~Sudut pandang Dhani
Hi semua, kenalin nih gw Dhani Putra. Gara-gara kejadian ditabrak pas naik sepeda, gw trauma sekarang. Untuk saat ini gw nggak berani naik sepeda lagi, apalagi di jalan raya. Gw takut banget kalo ada mobil atau motor yang ngebut di belakang gw. Gw sering mimpi buruk tentang kecelakaan itu, tentang suara klakson yang memekakkan telinga, tentang rasa sakit yang menusuk-nusuk tulang gw, tentang darah yang mengucur dari luka-luka gw.
Gimana ya, harus ngeliatin mobil yang lewat di jalan raya itu bikin deg-degan. Mau nggak mau, gw mesti hadepin rasa takut ini. Semoga lama-lama bisa terbiasa lagi, dan nggak terlalu bawa-bawa masa lalu. Tapi, yah, butuh waktu sih. Padahal sudah hampir 1tahun lebih deh semenjak kejadian itu, tetapi trauma itu masih ada.
Terkadang, sesekali temen ga ngertiin gw sama sekali. Mereka bilang gw lebay, gw pengecut, gw nggak berani menghadapi ketakutan gw. Padahal, mereka nggak tau apa-apa. Mereka nggak pernah ngerasain apa yang gw rasain.
Gw cuma punya satu harapan. Harapan untuk sembuh dari trauma ini. Harapan untuk bisa naik sepeda lagi tanpa takut. Harapan untuk bisa menikmati hidup lagi seperti dulu. Tapi, harapan itu terasa begitu jauh dan sulit. Gw nggak tau harus mulai dari mana. Gw nggak tau siapa yang bisa membantu gw.
"Dhannn, lagi apa? Sibuk engga? Bisa anterin kuenya engga," suara ibu gw terdengar dari dapur.
Ibu gw adalah seorang penjual kue online yang cukup terkenal di kota gw. Dia selalu sibuk membuat dan mengirim kue-kue pesanan pelanggan setiap hari.
"Aku nggak tau mah, nanti liat aja di list orderan. Aku masih ngantuk nih." jawab gw sambil menguap.
Gw adalah anak tunggal ibu, dan gw selalu membantu ibu mengantar kue-kue itu pake gerobak dorong. Gw nggak pernah naik motor atau sepeda lagi sejak kecelakaan itu. Ap
Gw bangun dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk berangkat. Gw pakai baju dan celana yang biasa gw pake, lalu gw ambil topi dan sarung tangan gw. Gw turun ke dapur dan liat ibu gw udah siap dengan kue-kue yang mau dikirim.
"Ini list orderannya ya, Dhani. Ada tiga tempat yang harus kamu anter. Semuanya di daerah sekitar sini kok, nggak jauh-jauh." kata ibu sambil memberi gw selembar kertas yang berisi alamat-alamat pelanggan.
"Oke mah, aku pergi dulu ya. Hati-hati di rumah." ucap gw sambil mengambil tas yang berisi kue-kue itu. Gw cium pipi ibu gw dan berjalan ke halaman.
Gw dorong gerobak gw yang udah gw isi dengan kue-kue itu. Gw liat jam di tangan, jam 8 pagi. Gw harus cepet-cepet nganter kue-kue ini sebelum jam 10, karena itu deadline yang ibu gw janjikan ke pelanggan.
Gw keluar dari halaman dan masuk ke jalan raya. Gw liat list orderan yang udah gw tempel di gerobak gw. Tempat pertama yang harus gw anter adalah rumah Pak Budi di Jalan Merdeka No. 12.
Gw jalan kaki sambil mendorong gerobak gw ke arah sana. Gw berusaha untuk tetap tenang dan fokus, meskipun hati gw masih deg-degan setiap kali ada kendaraan lain yang lewat di dekat gw. Takut diseruduk tiba tiba kayak kejadian sepeda pas itu, bayangkan kalo kejadian lagi dan tertimpa gerobak. Seserem apa coba.
Gw inget pesan ibu gw: "Dhani, kamu harus kuat ya. Jangan biarkan trauma itu menghambat kamu untuk hidup normal lagi. Aku yakin kamu bisa melalui ini semua dengan baik."
Gw mengangguk dalam hati. Gw harus kuat. Gw harus sembuh. Gw harus bisa naik motor atau sepeda lagi tanpa takut.
Gw sampai di rumah Pak Budi setelah berjalan kaki selama 8 menit. Gw bel pintu rumahnya dan menunggu sambil mengusap keringat di dahi gw. Gw liat sekeliling gw, banyak rumah-rumah mewah di sini. Pak Budi pasti orang kaya.
Pintu rumahnya terbuka dan seorang pria paruh baya keluar. Dia pakai kemeja putih dan celana hitam, rambutnya rapi dan berkacamata. Dia tersenyum ramah saat melihat gw.
"Halo, kamu dari toko kue Ibu Yuki ya? Aku pesan kue coklat untuk ulang tahun anakku." kata Pak Budi sambil mengulurkan tangannya.
"Iya pak, ini kuenya. Selamat ulang tahun untuk anak bapak." jawab gw sambil memberikan tas yang berisi kue itu. Gw liat di list orderan, kue coklat itu harganya 300 ribu rupiah.
"Terima kasih ya. Ini uangnya, 350 ribu. Sisanya buat kamu aja." kata Pak Budi sambil memberikan gw segepok uang.
"Wah, makasih banyak pak. Bapak baik sekali." ucap gw sambil menerima uang itu. Gw senang banget, ini tip ke sepuluh yang gw dapat dari nganter kue.
"Sama-sama. Kamu juga rajin sekali. Nganter kue pake gerobak dorong aja nggak capek?" tanya Pak Budi sambil menatap gerobak gw.
Gw jadi gugup. Gw nggak mau cerita tentang trauma gw ke orang asing. Gw cuma senyum-senyum aja.
"Ah, nggak apa-apa pak. Ini kan kerjaan saya. Lagian, jalan kaki juga sehat." kata gw berbohong.
Pak Budi mengangguk-angguk. Dia tampak simpatik.
"Kalau begitu, semangat ya. Kamu masih muda, kamu harus punya mimpi dan cita-cita yang tinggi. Jangan biarkan apapun menghalangi kamu untuk mencapai impianmu." kata Pak Budi bijak.
Gw terdiam. Gw merasa ada sesuatu yang menusuk hati gw. Apa impian gw? Apa cita-cita gw? Apa yang mau gw lakukan dengan hidup gw?
Setelah kejadian itu, gw pamit dari Pak Budi dan melanjutkan perjalanan gw. Gw masih harus nganter kue ke empat tempat lagi. Gw liat list orderan lagi. Tempat kedua yang harus gw anter adalah rumah Bu Rina di Jalan Cendana No. 7.
Gw jalan kaki sambil mendorong gerobak gw ke arah sana. Gw mencoba untuk melupakan perkataan Pak Budi. Gw nggak mau mikirin tentang mimpi atau cita-cita gw. Gw cuma mau ngelakuin apa yang harus gw lakuin.
Gw sampai di rumah Bu Rina setelah berjalan kaki selama 10 menit. Gw bel pintu rumahnya dan menunggu sambil menarik napas panjang. Gw liat sekeliling gw, rumah-rumah di sini nggak sebagus di tempat Pak Budi. Rumah Bu Rina juga tampak sederhana dan biasa aja.
Pintu rumahnya terbuka dan seorang wanita setengah baya keluar. Dia pakai daster bunga-bunga dan rambutnya diikat dengan karet gelang. Dia tampak senang saat melihat gw.
"Halo, kamu dari toko kue Ibu Yuki ya? Aku pesan kue pisang untuk arisan RT." kata Bu Rina sambil menyambut gw.
"Iya bu, ini kuenya. Selamat arisan ya bu." jawab gw sambil memberikan tas yang berisi kue itu. Gw liat di list orderan, kue pisang itu harganya 100 ribu rupiah.
"Terima kasih ya. Ini uangnya, pas 100 ribu." kata Bu Rina sambil memberikan gw selembar uang.
"Sama-sama bu. Makasih ya bu." ucap gw sambil menerima uang itu. Gw nggak dapat tip dari Bu Rina, tapi gw nggak masalah. Gw ngerti kalo dia nggak punya banyak uang.
"Eh, tunggu sebentar. Kamu mau minum atau makan apa nggak? Aku ada teh manis sama gorengan nih." tawar Bu Rina sambil menunjuk ke meja di ruang tamunya.
"Oh, nggak usah bu. Makasih ya bu. Aku masih harus nganter kue ke tempat lain." tolak gw sopan.
"Yakin? Kasihan kamu, jalan kaki terus. Kamu nggak capek apa?" tanya Bu Rina dengan nada iba.
Gw menggeleng. Gw nggak mau merepotkan Bu Rina. Lagian, gw juga nggak mau lama-lama di sini. Gw mau cepet-cepet selesai kerjaan gw.
"Nggak apa-apa bu. Aku udah biasa kok." kata gw berbohong lagi.
Bu Rina menghela napas. Dia tampak khawatir.
"Kalau begitu, hati-hati ya. Jangan lupa pakai masker ya. Cuaca nya lagi panas banget sekarang, hati hati kena polusi ga bagus loh." kata Bu Rina sambil memberi gw masker kain yang dia buat sendiri.
"Makasih bu. Aku pergi dulu ya." ucap gw sambil memakai masker itu. Gw cium tangan Bu Rina dan berjalan ke gerobak gw.
Gw dorong gerobak gw dan melanjutkan perjalanan gw. Gw liat list orderan lagi. Tempat ketiga yang harus gw anter adalah kantor Pak Andi di Jalan Sudirman No. 25.
Gw jalan kaki sambil mendorong gerobak gw ke arah sana. Gw harus melewati jalan yang ramai dan macet. Gw harus berhati-hati agar nggak tertabrak atau terserempet kendaraan lain. Gw merasa cemas dan panik. Gw inget lagi kecelakaan yang bikin gw trauma. Gw inget lagi suara klakson, rasa sakit, dan darah. Gw menggigit bibir gw dan mencoba untuk menenangkan diri gw. Gw mencoba untuk bernapas pelan-pelan dan mengalihkan pikiran gw. Di depan mata gw, ada seorang wanita yang sedang jalan kaki di trotoar. Gw kayak kenal sama wanita itu. Dari gaya nya yang khas, dan cara berjalannya. Sudah gw tebak.