Setelah tiba di taman, Aku dan Abang duduk di taman yang sepi, menikmati angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Duduk di bawah pohon rindang yang memberikan teduh dari sinar matahari itu tidak terlalu buruk. Aku merasa sedikit lega bisa menghirup udara segar dan menenangkan pikiran setelah kebingungan yang terjadi sebelumnya. Namun, kekhawatiranku terhadap masalah Ojan tidak hilang begitu saja. Aku masih merasa takut dan cemas akan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Aku masih merasa bingung dan penasaran akan apa yang sebenarnya dia inginkan dariku.
"Abang, Aku tidak pernah suka dengan Ojan. Osis yang super duber ngeselin gitu. Buat apa, suka kayak begitu." kataku dengan lembut. " Dia itu sombong, sok pintar, dan suka mengatur-atur orang lain. Dia selalu mendapat nilai bagus di sekolah, dan banyak guru yang memujinya. Tapi, aku tahu dia itu tidak sebaik yang orang-orang pikirkan. Dia itu licik. Aku bener bener benci dengannya, ntah kenapa aku terus dihantui olehnya."
Abang mendengarkan dengan perhatian saat aku mengungkapkan perasaanku tentang Ojan. Dia tampak memahami dan mengerti betapa aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ojan dalam hidupku.
"Jess, Abang bisa mengerti mengapa kamu merasa seperti itu terhadap Ojan," kata Abang dengan lembut. "Setiap orang memiliki orang-orang yang tidak mereka sukai atau tidak nyaman dengan kehadirannya. Tapi penting untuk tetap tenang dan tidak terlalu membiarkan hal itu mengganggu pikiranmu."
Beberapa saat kemudian, suara dering handphone berbunyi. Ternyata itu adalah panggilan telpon dari line. Aku terkejut Jasmine menelpon dalam situasi ini. Aku merasa jantungku berdebar kencang, tidak tahu apa yang akan dia lakukan kali ini.
"Dijawab aja, Jess. Siapa tahu dia punya sesuatu yang penting untuk diceritakan," ujar Abang, mencoba menenangkan diriku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menjawab panggilan dari Jasmine. Suaranya seperti, "Jess, kenapa kamu tidak menjawab pesan lineku? Ini aku Ojan, aku sedang bersama Jasmine. Bisa jawab engga."
Hatiku berdegup kencang saat mendengar suara Ojan, sudah kutebak. Pasti itu suara dia, aku bisa firasat saja. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, tapi ketakutan langsung melanda diriku. Aku merasa ragu apakah harus menjawab panggilannya atau tidak. Namun, aku harus tetap tenang dan menghadapinya dengan kepala dingin.
"Jess, apa kamu masih di sana? Kenapa tidak menjawab lineku." tanya Ojan lagi, kali ini dengan nada lebih mendesak.
Aku mematikan telepon linenya dan meletakkannya di sampingku. Abang melihat keadaanku yang tegang dan mencoba menenangkanku.
"Jasmine bukan?"
"Bukan, itu si Ojan. Dia lagi bertemu sama Jasmine sepertinya."
"Ojan? Apa maksudnya dia menelpon kamu? Apa dia mau mengganggu kamu lagi? Apa yang diinginkan. Sepenting itukah?" tanya Abang dengan heran.
"Aku tidak tahu, Abang. Aku bingung kenapa dia bisa punya nomor lineku. Aku tidak pernah memberikan nomornya kepadanya," jawabku dengan bingung.
"Mungkin dia mendapatkannya dari Jasmine. Kamu kan pernah berteman dengannya, tetapi Jangan fokus ke satu tujuan aja Jess. Abang pun tidak menaruh curiga dengan Jasmine."
"Ya, bisa jadi. Tetapi Abang, Jasmine pernah curhat ke aku. Jasmine sebenernya tertarik sama Ojan. Dia bilang ada sesuatu yang menarik dari Ojan. Dia bilang Ojan itu cerdas dan memiliki kepribadian yang unik. Aku kan pernah cerita Abang tahu sendiri kan, Ojan selalu menjadi perhatian di kelasku karena suka masuk masuk kelas dengan dalih razia tanpa pemberitahuan dulu. Target utamanya ya kami. Tapi, mungkin ada sisi lain dari Ojan yang kita tidak tahu. Abang tahu kan, terkadang orang bisa menutupi perasaan mereka dengan kepribadian yang berbeda. Jasmine suka sama Ojan, Abang." kataku dengan kesal.
"Jasmine suka sama Ojan?" tanya Abang dengan kaget.
"Iya, Abang. Aku yakin. Jasmine pernah bilang begitu ke aku. Dia pernah minta tolong aku untuk mendekati Ojan. Dia pernah bilang kalau dia ingin jadi pacarnya Ojan," jawabku dengan jelas.
"Lalu?"
"Aku menolak, Abang. Aku bilang ke Jasmine kalau aku gamau terlalu aneh banget gitu. Tetapi Jasmine pas itu menuduh aku juga suka sama Ojan, menuduh juga aku saingannya."
Abang mendengarkan dengan serius saat aku bercerita tetnang kekesalanku terhadap Ojan. Wajahnya penuh perhatian dan keprihatinan.
"Jadi, Jasmine menuduhmu saingannya dan berpikir kamu juga suka sama Ojan?"
Aku mengangguk. "Iya, Abang. Dia sampai bertanya-tanya apakah aku mendekati Ojan untuk merebutnya darinya. Padahal, aku sama sekali tidak tertarik dengan Ojan. Aku malah sangat tidak suka dengan sikapnya yang arogan dan suka mengganggu kami di kelas. Aku curiga, Jasmine itu sedang melakukan rencana aneh untukku. Gatau, aku merasa curiga aja Abang, karna dia terus menghantuiku. Sekarang juga, kami sudah berpindah tempat duduk. Bukan aku yang mulai duluan, tetapi dia yang ingin pindah sendiri."
Abang mendengarkan dengan serius ceritaku tentang tuduhan Jasmine dan kecurigaanku terhadap rencana anehnya. Dia tampak memahami dan mengerti betapa aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
"Jess, aku bisa mengerti mengapa kamu merasa curiga terhadap Jasmine dan Ojan," kata Abang dengan lembut. "Tuduhan dan kecurigaan seperti itu bisa membuatmu merasa tidak nyaman dan terganggu. Tetapi penting untuk tetap tenang dan tidak terlalu membiarkan hal itu mengganggu pikiranmu."
Aku mengangguk, mencoba mengikuti nasihat Abang. Meskipun aku merasa curiga dan tidak nyaman, aku harus tetap tenang dan tidak membiarkan hal itu mempengaruhi pikiranku.
"Ya, kamu benar, Abang," ucapku dengan penuh pertimbangan. "Aku harus mencoba tetap tenang dan tidak terlalu terpengaruh oleh kecurigaanku. Mungkin ini hanya kebetulan saja atau mungkin ada penjelasan lain yang bisa menjelaskan situasi ini."
"Tetapi, apa kamu yakin Jess. Tebakan kamu benar, bahwa yang share nomor kamu itu adalah Jasmine?"
"Betul, Abang. Aku sudah menaro curiga dengannya, apa aku bohong? Sekarang saja dia aja sekarang sedang bersama Ojan. Pasti bisa jadi itu dia Abang."
"Jess, aku menghargai perasaan dan pendapatmu. Kamu berhak untuk merasa curiga dan tidak percaya pada Jasmine. Tapi, aku harap kamu tidak terlalu cepat menuduh atau menyalahkan orang lain tanpa bukti yang kuat," kata Abang dengan bijak.
"Abang, apa kamu tidak percaya padaku? Apa kamu tidak melihat apa yang sudah dilakukan Jasmine padaku? Apa kamu tidak melihat betapa dia berkhianat dan palsu padaku?" tanyaku dengan sedikit kesal.
"Jess, Abang percaya padamu. Abang melihat apa yang sudah dilakukan Jasmine padamu. Abang melihat betapa dia berkhianat dan palsu padamu. Tapi, aku juga ingin kamu melihat hal-hal dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin ada alasan lain di balik tindakan Jasmine dan Ojan. Mungkin ada sesuatu yang tidak kamu ketahui atau pahami," kata Abang dengan lembut.
"Alasan lain? Sesuatu yang tidak aku ketahui atau pahami? Seperti apa, Abang?"
Aku emosi dengan Abang, dia seolah olah membela Jasmine. Siapa orang yang dapat aku percaya lagi?Aku merasakan kekecewaan dan emosi yang mendalam terhadap Abang, karena dia seakan-akan membela Jasmine yang telah membuatku terluka. Sudah cukup sulit bagiku untuk menerima pengkhianatannya, tetapi ketika seseorang yang kupercaya juga mendukung tindakannya, rasanya aku kini merasa kesepian dan bertanya-tanya, siapa lagi yang dapat aku percaya?
"Jess, Abang akan memberitahumu sesuatu yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu. Tapi, kamu harus janji tidak akan marah atau benci padaku atau Ojan," kata Abang dengan serius.
"Gamau, aku gamau percaya sama kamu, atau siapapun. Apa yang mau Abang katakan? Apa yang Abang inginkan? Abang pengen gimana emang."
"Jess, sesuatu yang mau Abang katakan adalah..." kata Abang sambil menatapku dalam-dalam.