Aku pun segera mencari ponsel. Mengetik cepat, lalu mengirimi Mile chat yang cukup panjang.
[Apo: Phi Mile, apa hadiahnya tidak berlebihan? Aku rasa satu kunci sudah cukup. Maksudku, aku ambil mobilnya saja. Yang lain belum kuperlukan. Soalnya rumahku masih sangat layak]
[Phi Mile: Kembalikan ke mana? Kau tidak tidak tahu dimana rumahku :) ]
[Apo: Makanya itu aku tanya dimana rumahmu?]
[Phi Mile: Itu masih rahasia :) ]
[Apo: Phi Mile .... ]
[Phi Mile: Satu foto untuk merayu calon suami :) ]
[Apo: :|]
Aku pun mengehela napas.
Apa begini kelakuan bapak-bapak jatuh cinta?
[Apo: Daripada itu, kenapa Phi bisa membalasku cepat? Memang sudah boleh bawa ponsel?]
[Phi Mile: Sudah sejak tadi pagi :) ]
Lama-lama emot senyum itu sangat menggangguku.
[Apo: Oke, sebentar]
[Apo: -sending a picture-]
Aku pun menjepret sembarang benda yang di ruang tamu. Di foto masuklah kopi serta tumpukan koran milikku. Kupikir Mile akan protes karena tidak ada aku, ternyata dia menerima dengan lapang dada.
[Phi Mile: Bagus, kutebak kau belum mandi :) ]
[Apo: Memang belum]
[Phi Mile: Sebenarnya itu rumahku :) ]
Hah?
[Apo: Kenapa jadi rumah Phi? Memangnya kau punya rumah lain?]
[Phi Mile: Tidak, tapi coba pikir lagi :) ]
Aku pun mengerutkan kening.
[Apo: Phi, ingin mengajakku tinggal serumah?]
[Phi Mile: Kalau mau? :) ]
[Phi Mile: Aku belum dapat hadiah ulang tahunku :) ]
Benar-benar keterlaluan ....
[Apo: Tidak bisa pakai cara lain?]
[Phi Mile: Kalau menolak, ya sudah simpan saja kunci itu :) ]
[Phi Mile: Lagipula aku jarang memakainya :) ]
Sampai sini otakku berpikir keras. Mile Phakphum ini seriusan tidak sih? Dia orang yang tergolong aneh, dan aku tidak bisa percaya padanya langsung karena otaknya di luar bumi. Aku tahu dia baik, tapi selalu menyimpan game teka-teki. Karena itulah sudah cukup berkali-kali aku dikerjai. Harusnya perasaanku terasah untuk membedakan mana omongan dia yang masih bisa dipercaya.
[Apo: Phi Mile pasti punya rumah lain kan?]
[Phi Mile: Tidak :) ]
[Phi Mile: Tapi aku akan beli baru kalau sudah pasti ada isinya :) ]
Apa kata Phi barusan?
[Phi Mile: Misal istri manis dan anak gadisnya? :) ]
Oke, jantungku harus bertempur lebih kuat lagi.
[Apo: Phi Mile, ini baru 2 bulan]
[Phi Mile: Kan aku bilang 12 bulannya untuk menikah :) ]
[Phi Mile: Boleh tidak berumah tangga-nya dipercepat saja? :) ]
Phi Mile pasti sudah gila ....
"Bapak-bapak ini sangat meresahkan ...."
Daripada berdebat terus-menerus, aku pun memutuskan untuk membiarkan Mile. Jangan sampai aku telat kerja hanya karena meladeninya. Salah-salah umurku ini hanyalah sebatas angka.
Tidak, ya. Maaf. Aku boleh payah soal hal lainnya, tapi profesi tetap nomor satu. Aku sudah janji pada diri sendiri untuk berdiri tegak pada kakiku. Takkan kubiarkan keseimbangan hidupku hancur begitu saja.
Namun, berangkat menggunakan mobil baru merk Porsche (yang entah sejak kapan terparkir di teras rumahku) rasanya sangat-sangat aneh. Aku pun masuk dan mulai menyopir, tapi hatiku resah sekali. Mungkin karena tidak terbiasa dengan kemewahan muluk. Jadilah aku kepikiran sampai seharian. Nyatanya kunci rumah itu sering kupandangi hingga pulang. Lalu aku menge-chat Mile lagi saat ada kesempatan.
[Apo: Phi, jarak rumah ini jauh tidak sih dengan TK Sunday Sunrise? Maksudku, apa kau pernah memikirkan sekolahnya Bella?]
Pesanku lama tidak berbalas.
Namun, aku agak tenang karena sudah centang dua. Pertanda tinggal menunggu Mile membuka ponselnya. Dari keterangan "terakhir dilihat" memang cukup lama. Tepatnya sejak tadi siang pukul 2. Mile mungkin sibuk di seberang sana, sehingga lebih baik kutinggalkan mandi dan ganti piama. Bella juga kucek agar bersih-bersih. Lalu kuayunkan tangan kepadanya sebelum naik ke ranjang.
"Sini, Honey. Kupakaikan dulu skincare-mu. Jangan terlewat, oke? Biar tetap cantik seperti Aishwarya Rai ...."
"Oke, Daddy ....!"
Bella pun naik ke pangkuanku. Lalu memejamkan mata selama wajahnya kurawat. Tentu saja menggunakan produk khusus balita. Zaman sekarang memang ada skincare khusus bocah, kalau dulu ... ya ampun. Kami harus menunggu dewasa dulu demi meng-glow-up-kan diri.
"Wajah sudah, sekarang kucek dulu gigimu. Aaaa ...."
"Aaaa ...."
Bella pun membuka mulutnya. Lalu kusuruh dia mengatupkan kembali sambil meringis. Dengan begini bisa kutarik plak tipis-nya menggunakan white-strips, sehingga gigi anakku sehat melebihi di iklan-iklan (tentu saja prosedur ini setelah gosok gigi dan berkumur mouthwash), tapi aku selalu merasa tidak cukup hingga dia seindah Barbie sungguhan. Ah, Bella. Bahkan sebelum tidur pun anak ini kusisir dulu rambutnya.
"Kaos kakinya mana? Hm? Kok lupa belum diambil ...."
"Oh, iya. Hihihihi ...."
"Sana, balik lagi. Daddy tunggu di sini sampai selesai."
"Siap, Komandan!"
Bella pun lari masuk ke kamarnya lagi, dan balik-balik bawa air putih juga dalam botol. Babysitter-nya pasti menyiapkan itu, jadi Bella bisa duduk sambil minum sementara aku membalurkan lotion pada tubuhnya. Mulai tangan, lengan, dan kaki-kakinya. Barulah kaos kaki itu membalut agar lebih hangat.
Musim dingin memang harus diperangi selalu, dan biasanya Bella kuberikan selimut tambahan agar bisa tidur nyenyak.
"Ya sudah selamat malam ...."
"Iya ...." desah Bella yang keningnya kusayang. "Selamat malam juga, Daddy ...."
"Hm ...." desahku karena disayang balik. Namun, Bella tidak langsung melepasku malam itu. Malahan dia melontarkan hal yang tak pernah kuduga sekali pun sebelumnya.
"Daddy?"
"Ya?"
"Uncle Mile itu ... baik, ya?"
"Hah? Oh, tentu ...."
"Dia juga sayang Daddy, kan?"
What?
"Tunggu, tunggu, tunggu ... kenapa kau bertanya begitu?"
"Soalnya kan ... kemarin waktu Bella mimpi buruk ... Bella mau ikut tidur lagi sama Daddy ...." celoteh anak gadisku. "Tapi pas Bella panggil-panggil Daddy--Uncle Mile bilang ... 'Ssshh, sini ... jangan berisik Daddy lagi tidur ....' terus tangannya begini-begini ke Bella."
Oh, shit! Apa yang sudah dilihat bocah kecil ini semalam?!
Aku pun menatap cara Bella mempraktikkan ayunan tangan Mile. Barulah Bella ikutan naik ke ranjang juga. Entah bagaimana posisi kami semalam (aku sulit sekali membayangkan adegannya) yang pasti Bella bilang keningnya dikecup sayang. Persis seperti cara Mile mengecup keningku sebelum tidur.
"Uncle melakukan itu?"
"Um, um." Bella pun mengangguk pelan, dan bocah seusianya mana mungkin berbohong. Aku sampai merasa bodoh karena berdebar sendiri, padahal nasib mata anakku harusnya lebih dipikirkan untuk saat ini.
[Phi Mile: Jauh, memang. Mungkin tiga kali lipatnya Bella berangkat dari rumahmu :) ]
[Phi Mile: Tapi, kenapa harus memikirkan itu? Nanti kupekerjakan sopir khusus untuknya kalau tidak sempat mengantar sendiri :) ]
[Phi Mile: Bagaimana? :) ]
[Phi Mile: Atau sesekali kita antar dia gantian? :) ]
[Phi Mile: Lagipula di luar syuting WNTM kerjaku sering rumah saja :) ]
Aku pun ingin meremukkan ponsel di tempat. Karena perasaan kesal--sekaligus rindu ini--sama sekali tak masuk akal. Hal yang membuatku segera menelepon. (Persetan kalau ini jam tidur malam) karena si Mile Phakphum harus diberikan pelajaran--
"Halo? Dengan Calon Suami Nattawin di sini? Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan? Jangan lupa beristirahat lebih awal ...."
"PHI MILE!"
Brakh!
"Apa, Sayang ....?"
Usai meninju meja, aku pun mengepalkan tangan karena hampir marah sambil tertawa kencang. "SUDAH CUKUP MAIN-MAINNYA!" bentakku sambil meneteskan air mata.
"Iya? Boleh. Jadi sekarang waktunya serius ya? Memang mau seserius apa, Tuan? Besok mau pindah ke rumahnya bersamaku?"
"Aha ha ha ha ha ha ... astaga, dasar bodoh, brengsek, gila ...." makiku sambil mengusapi pipi. Padahal kupikir ... saat dulu menikah dengan Davikah, aku ini sudah cukup gila dan random. Tapi Mile Phakphum Anderson ini level gila-nya masih jauh di atasku. "Kau ... kau ini beda orang atau bagaimana Phi? Kau menyamar jadi iblis dan menipu orang-orang ya?"
"Bagaimana?"
"Tidak tahu lah. Jangan matikan dulu aku mau tenang ...." kataku sambil mengatur napas. Mile pun menungguku beberapa saat. Dan aku cuci muka lagi. Tentunya dia mendengar tiap detik kucuran air wastafel dari seberang sana, tapi aku tak mau peduli.
"Sudah?"
"Sudah ...." Aku menjawab sambil mengelap wajah dengan handuk kecil.
"Yakin takkan emosi lagi?"
"Ya, kecuali Phi lanjut berulah. Paham kan? Jangan pura-pura tidak tahu begitu. Jelek, serius. Memang siapa yang membuatku begini. Dasar bapak-bapak sok polos ...."
"Ha ha ha ha ha ...."
Malam itu, kami pun deep-talk hingga pukul 1 malam. Dan akhirnya aku setuju untuk pindah bersamanya. Ya, walau realisasi rencananya tak bisa langsung. Mile bilang dia harus selesaikan syuting WNTM dulu hingga pertengahan Maret. Lalu aku menyanggupinya. Toh kepindahan juga menyiapkan banyak hal, tapi aku tenang karena Mile tinggal sendiri. Dia mengaku memang jarang pulang (lebih nyaman jalan-jalan sambil menyelesaikan kerjaan di luar) toh mendesain tidak harus seribet aku.
Namun, jika Bella dan aku di rumah, dia bilang pasti akan semakin betah menetap. (Oh, mari buktikan saja apa dia benar-benar begitu).
Tapi aku sekarang jadi lega, batinku setelah menutup telepon. Karena Mile sudah mendapatkan kado yang dia inginkan, aku senang. Juga tidak lagi merasa berhutang.
Aku rasa, hubungan harusnya memang timbal balik seperti ini. Sampai-sampai aku lupa kapan terakhir melakukannya dengan Davikah.
[Apo: Oh, iya. Phi, aku lupa mengatakan suatu hal penting]
Centang satu.
Tak masalah, aku tetap mengetik chat lanjutannya sesuai dengan apa yang kurasakan, walau Mile pasti sudah tidur di seberang sana.
[Apo: Aku ini sangat menyukai serial India -- tertawa tak masalah, tapi tolong jangan hina hobiku -- jadi bisa tidak kau menoleransinya? Maksudku, mungkin saat kau mengajak nonton bioskop Barat aku takkan tertarik? Hanya saja kalau Phi senang, tentu tetap kutemani pergi]
[Apo: Dulu, aku juga sering menyetel lagu India sambil menyidak kasus di rumah. Tapi speaker-nya kulepas sejak Davikah protes berkali-kali]
[Apo: Sebenarnya aku juga senang memajang foto-foto idolaku di tempat kerja pribadi karena itu menyegarkan. Misal poster film Jodha Akbar oleh Hritik Roshan dan Aishwarya Rai :) ]
[Apo: Aku bahkan pernah hobi menirukan koreografi tariannya ketika muda, tapi sekarang tidak lagi karena hinaan Davikah sangat kuingat]
[Apo: Jadi, aku takkan menuntut banyak setelah bersamamu. Asal Phi membiarkanku menyukai duniaku itu sudah sangat cukup]
[Apo: Aku janji takkan segila dulu]
Aku pun mematikan ponsel karena batrei-nya tinggal 33%, harus segera di-charge. Tapi jujur dadaku berdebar kencang saat mengakui ini.
Aku sampai insomnia karena memikirkan bagaimana reaksi Mile. Apakah illfeel? Apakah aneh? Apakah yang lain-lain? Yang pasti aku merasa hal tersebut sangatlah penting.
Aku tidak mau kejadian bersama Davikah terulang lagi. Tidak mau menyembunyikan diriku lagi, karena sakit sekali jika harus diam-diam untuk menikmati apa yang kusuka di rumah sendiri.
Aku benci merasa tak aman. Aku muak berpura-pura jadi husband material, tapi sekarang kupahami bahwa kehidupan pernikahan itu tentang saling memahami dalam aspek apapun.
Drrtt ... drrrtt ... drrrtt ... drtt ...
Phi Mile
- memanggil -
Pagi harinya, usai membaca semua pesanku, Mile pun meneleponku sekali lagi. Dia membuat jantungku berdebar hebat, langsung duduk, padahal masih mengantuk karena semalam kurang tidur.
"Ya, Phi Mile?"
"Mau kubuatkan ruangan khusus?"
"Hmngh?"
"Di lantai dua ada home-theater jika mau menonton sepuas hati. Di situ kedap suara. Tapi dekorasinya masih dominan hijau sementara ini."
Aku pun berkedip-kedip untuk meredakan rasa kantukku. "Hijau?"
"Ya, karena dulu arsiteknya kusuruh membangun ruangan itu sesuai seleraku. Cukup luas. Tapi tenang dekorasinya bisa dirubah."
Aku pun mendengarkan ocehan Mile hampir 15 menit sendiri. Kita bertukar informasi soal selera. Bahkan Mile juga bertanya kesukaan Bella. Dia bilang ada bagusnya jeda untuk kami. Sehingga Mile punya waktu untuk merenovasi beberapa tempat sebelum kepindahanku. Bella akan mendapatkan ruang bermainnya sendiri, semua koleksi boneka Ken dan Barbie-nya bisa dipindah. Dan ternyata Mile menyukai Jazz serta Rock aliran keras.
"Aku malah senang kau beritahu, jadi intinya kita butuh 3 ruang kedap suara untuk me-time di rumah."
"Iya ...."
"Satunya lagi untuk Bella latihan balet kan? Dia pasti butuh ketenangan untuk musik-musik klasik-nya itu."
"Terima kasih, Phi."
"Ha ha ha ha, it's okay," kata Mile. "Tapi bagaimana dengan satu selfie sebelum kerja? Bapak-bapak seusiaku kan wajar jika butuh batrei lebih, paham?"
Aku pun tertawa karena kusilannya. Dan kurasa ini bukan candaan terakhir yang akan dia katakan padaku."Hm, oke, wait ...."
Karena itulah, meski sebetulnya bingung. Aku pun mengarahkan kamera ke arah cermin untuk mirror selfie. Aku lalu memotret diri sendiri. Padahal pemandangan kamar jelas cukup berantakan. Dengan rambutku yang masih megar. Berpiama garis-garis warna monokrom. Belum cuci muka. Masih berkaus kaki putih dengan sandal lantai. Dan foto itu langsung Mile terima dengan centang biru.
[Phi Mile: ... mengetik ....]
Kulihat Mile melakukan ini lama sekali. Mengetik, tidak, mengetik, tidak, dan mengetik lagi ... sehingga aku cemas menanti reaksi dia.
Benar-benar seperti remaja. Aku ini sangat memalukan--
[Apo: Phi, kenapa lama sekali?]
Balasan Mile pun muncul bersamaan dengan chat tak sabaranku. Lalu aku scroll ke bawah untuk mencari tahu.
[Phi Mile: Maaf-maaf, tadi aku sedang mencari gif ala bapak-bapak :) ]
[Phi Mile: Lihat :) ]
"HA HA HA HA HA HA HA HA! PHI MILE!" tawaku pun langsung meledak tanpa terkontrol.
Aku yakin Mile Phakphum Anderson sebenarnya tidak begini. Terbukti seberapa high-class desain-desain baju dan prospek kerjanya yang dihargai ratusan miliyar oleh dunia fashion haute couture.
Tapi ... ada-ada saja hal yang dia lakukan untuk memenuhi ekspetasi pribadiku ....
Apa aku benar-benar sangat bodoh?
Aku hanya merasa beruntung tidak benar-benar mengabaikannya selama ini ....