Proses renovasi rumah Mile selesai bersamaan dengan WNTM end-season. Saat juaranya diumumkan, kulihat Mile dan Miss Kendall berdiri di jajaran terdepan pasukan juri. Barulah ada Bella Hadid dan lain-lain di belakang. Mereka memberikan penghargaan juara 3 besar sambil memeluk satu per satu peserta. Dan secara aneh kebahagiaan itu tertular padaku. Padahal aku tidak paham betul dunia mode, tapi entahlah ... apa senyumku ini hanya karena Mile bebas? Dia tidak akan syuting lagi karena tugasnya selesai?
[Phi Mile: Aku akan pulang besok pagi :) ]
[Apo: Iya]
Tapi tak ada balasan setelah itu. Mungkin Mile fokus menyetir atau semacamnya, yang pasti dia offline dan tak bisa dihubungi.
Aku pun fokus ke berkas-berkas sidang-ku. Lalu menemui saksi kasus untuk wawancara lagi. Siang pukul 1 akhirnya sesi 3 tugasku selesai. Lalu atasan memberikan keringanan untuk aku pulang cepat.
"Hmm, sebaiknya kucek dulu Bella hari ini ...." gumamku saat masuk mobil di parkiran. Ponsel pun kukeluarkan dari dalam saku, masuk beberapa notifikasi. Lalu kubaca satu per satu.
[Babysitter Bella 1: Tuan Natta, Nona ingin cone isi 3 rasa]
[Apo: Oke]
[Babysitter Bella 2: Tuan Natta, Nona tadi menumpahkan sirup di korden putih ruang tamu. Sudah Saya cuci tapi nodanya sulit hilang. Jadi, mau di-laundry atau bagaimana?]
[Apo: Laundry saja]
[Apo: Beli baru sekalian. Pasang langsung dengan model sama persis]
[Babysitter Bella 2: Baik]
[Apo: Taruhlah yang lawas ke meja kerjaku. Biar kuperiksa dulu masih layak atau tidak]
[Babysitter Bella 2: Siap]
Tiba-tiba ada chat beruntun lain.
[Phi Mile: Aku hampir sampai di tempatmu :) ]
[Phi Mile: Sibuk tidak? :) ]
[Phi Mile: Berkenan jika bapak-bapak mengajakmu kencan? :) ]
Seketika mataku melotot. "Cepat sekali sampai rumahnya ...." gumamku heran. Bukankah seharusnya Mile pulang dulu setelah durasi kerja yang panjang, terlepas ada atau tidaknya orang menyambut di rumah. Mile membuatku ingat pada diriku yang dulu. Dimana duniaku berputar pada Davikah, tapi si empunya justru tak peduli padaku.
Apa jika begini terus, aku akan sama dengan Davikah?
Jangan sampai Mile seperti itu ...
[Apo: Kemana?]
[Phi Mile: Kemana pun :) ]
[Phi Mile: Belanja? :) ]
Aku pun mengepalkan tangan.
[Apo: Phi Mile, bisa jangan mulai lagi? Tolong ....]
[Apo: Itu di luar perjanjiannya]
[Phi Mile: Hm, calon suami pulang kerja tidak menghamburkan uang? :) ]
[Phi Mile: Itu adalah kriminalitas :) ]
"Ha ha ha ha ha ... pokoknya aku tidak mau tahu," tawaku. "Sekali tidak ya tidak."
Namun, baru saja aku mengetik balasan, nama Mile justru muncul di layar ponsel.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ...
Phi Mile
- memanggil -
"Halo?"
Suara Mile terdengar begitu seksi. "Hai. Bisa menoleh ke kanan sebentar? Ayo kita berangkat sekarang ...."
"Hah? Apa?"
"Selamat siang ...."
Mendadak wajah Mile muncul di jendela mobil. Dan dia nyaris mengecup bibirku, tetapi gagal karena aku sudah membekap bibirnya. "Siang juga, Phi ... tapi jangan!" larangku.
Mata tajam Mile pun menatap gigih. "Ayowah swedikit swaja ....." katanya susah bicara.
"Tidak."
"Swatu kali?"
"Tidak."
"Swedikit."
"Ini di tempat kerjaku ...."
Mile pun menarik tanganku perlahan. Dia tersenyum karena merasa berhasil. Lalu bertelakan pinggang seolah menjuri modelnya. "Baiklah ... berarti iya setelah di tempat yang lebih privat."
Sial ....
Aku pun menggerutu hingga tanpa sadar Mile menjajah mobilku. Dia masuk demi merebut kemudi. Lalu menyeringai seperti psikopat freak kepadaku. "Ayo pergi, Sayang. Bilang saja mau kemana ...." katanya sebelum keluar gerbang.
Mobil Mile sendiri malah ditinggal di sini. Lalu dia membawaku ke Washington Square Mall. Itu merupakan pusat perbelanjaan tersohor di jantung kota, wilayah Mile dan karya-karyanya, tapi aku jelas tak tahu yang mana saja. Di sana kami berjalan perlahan. Dan Mile mengikuti langkahku yang ragu-ragu.
"Aku sebenarnya sedang apa di sini?" batinku sambil menatap keramaian di sekitar. "Aku masih tidak mengerti ...."
Di sebelahku Mile memperhatikan gesturku, tapi aku coba mengabaikannya. Sengaja kumasukkan dua tanganku ke dalam saku long-coat, karena aku sungguh tak ingin apapun dari sini.
"Aku tahu solusi bingungmu," kata Mile. "Jadi jangan khawatir. Cukup lihat ke sini sekarang ...."
"Hm?"
Mile pun menunjukkan dua kertas di depan mataku. Ukurannya sekecil sticky notes, sama-sama putih. Tapi hanya kosong tak ada gambarnya.
"Apa itu."
"Tebak?"
"Aku tidak mau melakukannya."
"Hmmh ...."
Mile pun menghela napas panjang. Dia membalik dua kertas itu untuk menjelaskan, dan katanya aku harus memilih salah satu saat berbelanja. Ada yang tulisannya "Louis Vuitton", ada juga yang tulisannya "Dior." Dengan begitu permainan akan berakhir melalui tebak-tebakan. Kita berkeliling. Mile membayarnya. Lalu aku dapat hadiah keberuntunganku.
"Apa kau tak tahu kencan yang seperti ini?"
"Tidak."
"Serius? Bahkan untuk Daddy muda sepertimu?"
"Aku memang baru tahu sekarang ...."
Mile pun terkekeh senang. "Bagus, bagus. Kalau begitu aku menjadi pengalaman pertamamu."
Aku justru melenggang meninggalkannya. Kunaiki eskalator karena gelisah, dan dia mengikutiku sambil memanggil. Namun, semakin dekat dia rasanya dadaku berat. Mungkin karena aku belum pernah memberikan sesuatu untuknya.
"Apo! Apo! Nattawin!"
Memang apa yang bisa kuberikan?
Jelas-jelas semahal apapun benda di sini, Mile bisa beli sendiri. Malahan aku kepikiran dengan isi box yang pernah dia berikan padaku. Fakta aku menjualnya, kini membuatku sakit hati. Tapi Mile tidak pernah membahasnya denganku. Pria ini tetap tengil seperti bocah. Ingin disayang, padahal tubuh tinggi besarnya melebihiku.
"Phi Mile, sebelum itu aku ingin minta maaf kepadamu ...." kataku saat dia menyejajarkan langkah.
"Soal?"
"Suit pengantin, kemeja, dan hal lain yang pernah kau berikan padaku ...."
"Oh ...."
"Aku menjualnya saat terjepit membeli gaun balet Bella."
"...."
"Aku benar-benar minta maaf ...."
Saat itu, kami memang terus berkeliling. Tapi tatapan kosongku tidak berhenti. Mile pun menyadari obrolan ini serius, dan terdiamnya dia menunjukkan kekecewaan juga. Namun, bisa tidak aku memperbaiki perasaannya sedikit? Jika niat baiknya benar-benar ingin bahagia bersamaku, lantas kenapa aku tak membuka jalan untuknya?
"Tidak apa. Toh niatmu mengembalikan uangnya padaku," kata Mile. "Fakta aku tidak rugi sepeser pun perlu kau ingat, jadi sebaiknya jangan merasa bersalah ...."
Dia bisa serius juga ternyata ...
"Oke ...." Kualihkan lirikanku darinya. "Tapi, tetap saja. Jangan lakukan hal-hal seperti ini padaku ...."
"...."
"Tidak sampai aku merasa memberimu hal yang sepadan di lain waktu," tegasku sambil menggandeng tangannya. Mile pun heran karena mendadak, tapi dia diam saat mengikutiku masuk ke sebuah outlet. Di sana juga ada banyak koleksi yang branded. Rata-rata elegan, tapi aku tidak bisa beli semuanya seperti Mile. Saat ditanya si petugas aku pun menunjuk dasi. Lalu mereka memberiku banyak pilihan. Ada yang merk Ralph Lauren, Victoria Secret, Carvet, Roberto Cavali, dan masih banyak lainnya. Semua jenis memiliki harga di atas $200, cukup untuk makanku sebulan. Tapi aku tetap ingin memberinya sesuatu.
"Boleh Saya rekomendasikan, Tuan?"
"Iya?"
"Yang hitam ini sangat menawan. Apa akan digunakan pesta?"
"Hm."
"Wah ... fine dinner, pernikahan, atau yang lainnya?"
"...."
"Biar saya pilihkan yang paling sesuai."
Aku hanya tersenyum manis. Hal yang membuat si petugas bingung, tapi dia senyum saja saat melihatku tak masalah diberi apapun. Dengan begitu dasi-ku pun dibungkus dalam kotak kecil, lalu kusodorkan untuk Mile usai kulunasi.
"Dariku."
Mile pun menatap tajam kadonya. "Kenapa jadi kau yang berbelanja?"
"Terima saja," kataku. ".... dan pakai kalau kita jadi menikah."
Mile pun tak bisa berkata-kata. Dia memasukkan kotak itu ke dalam sakunya, walau tampak ingin membantahku. Hal yang membuatku tersenyum penuh kelegaan. Sehingga dia paham aku bisa bahagia meski bukan dia yang memanja. "Baiklah, kalau begitu permainannya kusimpan dulu. Toh bisa digunakan di lain waktu ...."
"Hm."
Usai berbelanja, Mile pun membawaku ke rumah dia. Seperti bayangan, bangunan tersebut bak istana. Hanya saja sepi sekali. Mile cukup menempatkan beberapa satpam di sekitar, seolah isinya memang tidak berharga. Kulihat dia tak seperti pria yang takut kehilangan, atau terlalu menjaga barangnya. Tapi aku yakin Mile lebih dari itu semua.
"Rasanya tak ingin masuk ke dalam ...." batinku usai gerbangnya dibuka. Mataku resah hanya karena menatap fasadnya, atau halaman yang berhias air mancur beku salju (oke, pasti kalau musim panas bagus).
"Kenapa lagi?" tanya Mile karena aku tidak mengikutinya. "Ayo."
"...."
Pria itu akhirnya kembali demi menggandengku masuk. Dia meremas tanganku ke dalam sakunya, tidak membiarkanku dihujani salju terlalu lama, atau napasku mengepul heboh di sana.
Mile ternyata punya 4-5 pelayan yang aktif (sedikit untuk ukuran rumah sebesar itu) dan salah satunya menyambutku dengan cokelat panas. "Senang tidak?" tanyanya. "Besok pindah saja langsung ...."
Aku pun menatap seberapa bangga raut pada wajahnya. Seolah, 'Lihat, Sayang. Inilah hasil kerja kerasku. Dan kau bisa tinggal di sini kapan kau pun mau.'
"Kau ... boleh tidak aku bertanya sesuatu dulu?"
"Go on ...."
Tanpa sadar aku balas meremas tangannya. "Phi, apa kau benar-benar tidak pernah menyukai satu pun wanita?" tanyaku, ragu-ragu.
"Huh? Tidak."
"Kenapa?"
"Tidak tahu. Aku hanya tidak suka saja."
Itu tidak menjawab pertanyaanku ....
"Phi ... kau tidak punya trauma atau apapun kan?" tanyaku lagi. "Maksudku, yah ... apa kau tak pernah berpikir akan kesepian tanpa penerus? Semua wanita pasti merasa beruntung jika bersamamu."
Mile mengecup punggung tanganku. "Ha ha ha ... bisa lupakan kisah Disney Princess?" katanya. "Aku hidup untuk kebahagiaanku sendiri, bukan demi memenuhi ekspektasi orang lain."
"...."
"Aku tidak dirancang untuk menjadi pangeran, dan kau pun bukan puteri yang perlu kuselamatkan ...."
Ah, semua perkataan Mile benar adanya.
Aku pun tidak menghindar ketika dia mendekat, hanya menatapnya. Aku bahkan membuka mulut untuk menerima ciuman itu. Kulihat seberapa gigihnya Mile mengunyah bibirku, dan lidahku ditarik keluar untuk bergulat cepat. Dia menyesap tiap bagiannya seperti pecandu. Mendorongku mundur, tapi lengannya melingkari pinggang rampingku terlampau sigap. Di sana dia meremas dan melindungi. Mile tidak lupa menyingkirkan asbak rokok dari atas meja. Membuat ruang agar bisa mengangkatku ke sana. Sementara aku terkejut. "Ah," desisku saat merasakan gigitan.
Mile menekan leherku dari belakang cepat tanggap. Semua agar aku tidak melepas ciuman. Dia maju hingga tubuhku condong ke belakang (nyaris rebah, jika sikuku tidak menopang) lalu Mile merengkuh bahu-bahuku yang kurus. Dia seolah ingin mengimbangiku agar tidak kewalahan, tapi bibirnya tak berhenti melumatku dalam sedotan agresif. Suhu dingin yang kurasa di luar pun jadi menghilang. Sebab kehangatan dalam dadaku menyebar ke sekujur tubuh.
Mile membuatku kesulitan menarik napas hingga nyaris tersedak oleh sodokan lidahnya. Tapi ternyata dia tak sekejam itu. Mile paham momentum relung dadaku yang sesak, segera berpindah, lalu menjajah leherku yang jenjang. Giginya menancap sambil menarik syalku agar leluasa. Sensasinya perih, ngilu. Dan itu membuatku merintih lembut. "Hh, Phii--!" sebutku di sela-sela usaha meraup udara.
Aku pun memeluk lehernya karena cemas. Ingin protes, tapi rasanya tak benar. Toh aku sendiri yang mau datang kemari. Seharusnya aku paham konsekuensi permintaan Mile dari awal, tapi hanya terlalu takut melihat kenyataannya. Pria ini betul-betul bernafsu padaku, ingin menguasaiku. Dan bukti nyatanya membuatku syok.
Kenapa mendadak sekali?!
"Tunggu--"
".... Sayang, ya?" tanya Mile tidak sabaran. Dia menjeda sesaat karena ingin mencari kepastianku. Aku balas menatap, lalu dia mengecup bibirku lagi.
Dengan bola mata yang bergerak gelisah, aku pun mencoba meluruskan isi kepala. ".... di-di sini?"
"Terus kemana? Kau mau berputar dulu ke lantai dua?" tanya Mile. "Kamarku masih harus naik tangga dengan beberapa lorong."
"Plis, tunggu dulu ... tunggu ...." Aku pun meremas bahu Mile sekuat mungkin agar dia tahu ketakutanku nyata. Telapak tanganku bahkan dingin kembali. Bukannya karena suhu, melainkan kepanikan yang tidak terkontrol. Tubuhku pun menjadi kaku, sangat tegang. Hingga seandainya Mile memperkosaku di sini, semua pasti mudah saja. Belum lagi sempat ada pelayan lewat tanpa sengaja. Dia yang kaget pun segera pergi. Lalu berbisik ke satpam agar menutup gerbang dan semua pintu.
"Kau pasti aman di sini ... ya?" tanya Mile sekali lagi. Dia meneguk ludah karena di ambang batas. Lalu kusadari penisnya gembung di balik celana. Oh, Tuhan .... Otakku pun berubah ribut. Ingin mau, tapi hatiku tak siap. Dan itu membuat mataku berair.
Apa aku bisa percaya padanya?
"Phi, kau memang sangat keterlaluan ...." kataku sambil meraih lehernya dengan kedua tangan. Cepat-cepat kucium dia sebelum suasana memburuk, dan kesepuluh jariku pun bertengger pada rahangnya. Mile jelas paham keringat dinginku mengucur deras, dadaku berisik, dan telapak tanganku licin sekali. Namun, pria ini langsung menggenggamku tepat di sisi pipinya, tidak membalas agresif karena ingin aku nyaman. Barulah menaikkan vest-sweater tebalku ke atas dada. Dia tampak senang setelah meraba putingku, melepas bibir hanya untuk melihat bagian itu, barulah merangsek maju ke sana.
"Ah!" desahku refleks menjambak. Kepalaku pun mendongak karena ciuman Mile naik dari ceruk, menggigit ulang, tapi tangannya tidak diam begitu saja. Keduanya bersinergi untuk melepas sabuk celanaku--kelamaan! Jadilah Mile meremas penisku dulu di balik kain. Dia mengelus di sana sambil lanjut bergerilya. Lalu menebar kissmark baru di mana-mana.
"Ngh, Phi. Jangan gigit terus, tolong. Rasanya sakit semua."
"Hmmh?"
"Rasanya badanku sakit semua, dengar tidak?" ulangku. Namun, Mile justru membuka dada kiriku juga. Pindah ke sana. Sementara kakiku gemetar karena birahi. Penisku panas dan tegang karena dirogoh dia (resletingnya barusan dibuka), sangking tidak sabarannya menunggu celana lepas.
Mile lalu menunduk untuk membuka kakiku. Aku nyaris terjengkang. Lalu dia meraup batangku ke dalam mulut tanpa basa-basi. Dia menjilat di sana sambil menekan perutku. Ingin aku tenang. Barulah melepaskan celanaku secara bertahap. Dari pinggang ke bokong, dia menarik sekaligus karet dalamannya. Tahu-tahu garmen malang itu sudah dilempar ke lantai. "Ah! Ngnhh ...." desahku karena Mile mulai tidak punya ampun.
Pria ini mengeluar-masukkan penisku dalam mulutnya begitu cepat. Membalurinya dengan saliva hingga aku sulit percaya pemandangan yang kulihat. Lalu meludahi jarinya. Cuh!
"Phi Mile, pelan sedikit. Jangan buru-buru, hhh--"
"Sshhh ...." kata Mile sebelum menunduk ke bawah lagi. Dia tidak sungkan berlutut untuk memeriksa lubangku. Mengelus di sana, tapi tak cukup sekali saat membaluri. Dia masih mengambil saliva lain dalam mulut hingga merasa cairan cukup, barulah mencoba membukanya lewat kerutan yang rapat. Aku pun mendesis, 'Mnh, rasanya aneh--' tapi tatapan mata Mile terlalu seksi untuk kutolak. Apalagi alis tebalnya sudah merengut.
Mile memang hati-hati padaku. Terbukti karena dia hanya memasukkan satu jari tengah. Dia berdiri lagi untuk menciumku, seolah ingin aku lupa dengan proses pelonggaran itu. Lumatannya membuaiku.
Aku pun pegangan di pinggiran meja bulat bulat itu dengan kesepuluh jari. Dan Mile membiarkanku melampiaskan rasa sesuka hati. Asal tidak menolak, dia it's okay. Tapi sumpah geli sekali saat tangan kanannya meraba bagian dada.
Mile bahkan mencekikku pelan saat menambahkan jari yang kedua. Seolah bilang, 'Jangan berontak dulu dan tetap di sana' padahal faktanya dia hanya diam. Awalnya, tatapan Mile memang mengancamku, tapi lama kelamaan melembut saat air mata di pelupukku makin tergenang.
Mile pun memindah kecupannya di keningku. Dia ingin aku tahu bahwa aku begitu disayang, lalu sebelah lengannya melingkari pinggangku.
Sangat nyaman. Sangat aman.
Aku merasa Mile memegangku kuat, barulah mengeluarkan penisnya sendiri di balik resleting.
Srrrrrt--aku pun melotot horor ketika ada suara zipper yang ditarik turun. Tapi tetap kulihat benda gemuk, tebal, dan berurat itu. Mile mengurutnya sebentar karena makin keras, dan setiap detik membuat debar jantungku makin gila.
"Wait--! K-Kumohon jangan dulu--! Hhh, hh, hhh ...." larangku sambil mendorong pinggangnya.
"Tenang, tenang. Aku tidak akan kasar untuk pertama kalinya. Lihat aku," kata Mile sambil menarik daguku. Dia mencium sejenak sambil menatapku. Lalu kulihat dia menampar-namparkan penis ke jalur masuknya.
Tidak langsung menusuk, memang.
Mile seolah ingin aku tahu ini tidak semenakutkan bayanganku. Karena seks adalah tentang dua orang yang saling cinta. Sehingga Mile cukup mendorong, lalu aku menerima. Sesederhana itu.
Pipiku pun dibelai hingga bersemu. Lalu tangan kiriku dibawa tepat ke area dadanya. Di sana ada detak jantung yang bertalu kencang. Dan ternyata sama hebohnya dengan milikku.
Padahal Mile tidak pernah bilang cinta. Tepat seperti yang pernah dia katakan beberapa bulan lalu, "Cinta itu apa, Nattawin?" tapi Mile tahu cara membuatku merasa seluruh dunianya milikku. Pria ini pun membuat mata kiriku meneteskan cairan bening. Hanya sebulir, tapi itu bukan jenis yang keluar karena kesedihan.
Melainkan sebaliknya.
Entah kenapa aku senang menyerahkan sisi dominasi, hanya saat di sini. Apa mungkin karena Mile layak menerima diriku? Mungkin saja. Dengan menjilat bibir keringku, aku pun mengangguk mempersilahkan dirinya datang. Lalu dia mengecupku sambil tertawa.
"Ha ha ha ha ha ... thanks ....." kata Mile dengan suara paling bahagia yang pernah kudengar. Pria ini pun menampar-namparkan ujung penisnya lagi ke bokongku. Menerobos masuk, tapi keluar lagi. Karena pertama tak selalu mudah.
Aku pun berebah karena tak sanggup menahan gugup. Rambutku nyaris menabrak hiasan meja. Tapi tidak jadi karena Mile cepat-cepat menarik kedua pahaku.
Pria ini pun mengeluh, "Fuck! Aku tercekik--!!" tapi tak menyerah untuk mendorong lebih kencang. Kudengar suara aneh saat aku mengejan hebat, disesaki. Karena ada pertemuan kulit dan kulit yang teramat dalam. Plakh!
"AHHH! NG--H!! PHI!" teriakku refleks menjambaki sweater sendiri. Dasi kantorku pun melonggar karena aku menariknya tanpa sadar. Lalu kurasakan benda panas nan perkasa milik Mile menyodok ujung liangku. Rasanya sakit sekali, sungguh. Aku merasa dirobek dari luar dan dalamku. Tapi Mile segera mengocok penisku agar ada pelampiasan sedikit.
Aku pun menumpahkan sedikit cairan dari penisku, malu sekali. Dan mataku tidak bisa menatap Mile terlalu lama mulai sekarang. Bola mataku bergerak ke sana kemari karena gelisah. Dan kusadari penisnya sering ditata ulang karena masih kesempitan.
Tapi Mile tidak marah padaku.
Mile bilang, "Apo Nattawin--tatap aku. Apo ...." Dari atas sana. Lalu meraih daguku paksa karena aku tidak mau.
"Phi, aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan ...." kataku sangat kebingungan. Kulihat penisku sudah tegang kembali karena tadi belum tuntas, tapi Mile membisikiku semua akan baik-baik saja. Ssssh .... PLAKHH!
"AAHHHHH! AHHHH!" jeritku karena guncangan Mile semakin kasar. Pria ini meninju bagian terdalamku (yang entah apa namanya) yang pasti tempat itu lebih nikmat daripada yang lain saat disodok ujung penis.
Pahaku pun bergetar karena karena ini nikmat sekali (aku pecah ....) dan cara Mile menyebut namaku belum pernah seistimewa ini.
"Apo ... Apo--sayang? Baby?"
"Hmmngh?"
Mile Phakphum seolah memberiku nama itu saat aku baru lahir.
"Ini hebat, kau tahu? Come here ...."
kata Mile lalu merengkuhku agar duduk lagi. Dia menata tanganku di bahunya seolah ini mimpi. Dan lengannya berada di bokongku untuk mengangkatku dari meja.
"PHII! NOO!! NANTI JATUH--!"
"Tidak akan! Ha ha ha ha ha ...."
"Tidak--!"
"Pegangan yang erat saja padaku."
"Hmmngh!"
Aku pun merangkulnya sekuat mungkin. Bahkan kedua kakiku berada di pinggang Mile selama penisnya menusuk-nusuk dari bawah.
Sumpah ini seks paling gila yang pernah kurasa, karena aku menangis sambil berdebar dengan lantai yang berguncang layaknya gempa.
Padahal aku lah yang sedang dijajah oleh pria baik ini. Dia yang selalu bilang ingin jadi suamiku. Menghilangkan kekhawatiranku akan penghinaan. Lalu mengusiliku bagai anak muda.
Hal itu ... yang mengucur diantara memoriku ... justru merubahku menjadi pihak yang mulai takut kehilangan lagi. Semua pikiran itu pun mengganggu, hingga lengan ini kutata berkali-kali di bahu kokohnya agar tidak pernah lepas.
Aku di sini, Mile ....
Aku di sini juga untuk menginginkanmu ....
"AAHHHHHH! AHHHH! PHI--Hhh ... hhh ... Phi Mile, aku mau keluar ....!"
"Iya, Sayang. Sebentar ...." keluh Mile dengan otot yang menegang kuat. Tampak jelas dia mulai keberatan menanggung bebanku. Tapi tetap bertahan hingga kami berdua menggila.
Kuremas undercut Mile dengan jemariku yang licin nan basah. Barulah dia klimaks di dalamku, bersamaan aku muncrat deras di perutnya.
"AHHHHHH!"
"AHHH--Apo ...."
Tubuhku pun ambruk ke meja lagi karena Mile mulai tak kuat, dia gemetar. Tapi segera memelukku untuk menuntaskan klimaks.
Cairan kami pun menetas lengket hingga mengucur ke meja. Bahkan ada juga yang jatuh ke lantai.
Namun, tetap saja. Mile tak membiarkan penisnya keluar dari liangku hingga spermanya habis. Lalu menatapku sambil tertawa bahagia "Ha ha ha ha ha .... "
"Phiii, Mile ... hhhh, hhh, hhh ...."
Mile pun menyodok beberapa kali lagi di dalamku. Lalu menata ulang kedua kakiku. Dia ingin aku terus memeluknya pinggangnya. Walau penis besar itu sempat lemas saat dikocok sambil menciumku. Percayalah, ya ampun ... itu membuatku bangga karena memuaskan dia. Walau usai kami berciuman benda itu malah keras lagi.
"Oh ya Tuhan, ini agak--"
"Baby, ya?" kata Mile lagi-lagi merayuku.
Aku yang merasa robek pun ingin menggampar diri sendiri. Sebab ternyata perasaan ini mengalir lebih deras daripada yang pernah kutahu. "Mn, terserah," kataku mengikuti kata hati.
Mile pun merengkuh hingga membuatku kaget (wajahku bahkan membentur dadanya) tapi dari situ aku jadi lega. Bola mataku meredup karena debar jantung kami seirama. Sangat nyaman. Dan mataku menetes lagi karena ada suara dari inti perasaannya.
"Aku benar-benar mencintaimu, Apo Nattawin."
"Hm ...."
"Aku benar-benar mencintaimu, jika memang ini yang disebut begitu ...."