Usai mandi dengan air hangat, aku pun ke balkon kamar karena mendengar mobil Mile. Kusibak tirai demi melihatnya yang menggendong Bella, anak itu tidur, seolah-olah darah dagingnya sendiri. Di sekitar para pelayan menurunkan barang belanjaan. Kuhitung hadiahku jadi sangat banyak. Melebihi 10 paper bag, padahal aku mengikuti intruksi Mile boleh memilih jumlah minimal.
Ya Tuhan, lagi-lagi barang mewah yang menurutku berlebihan. Namun, Mile tampak bangga saat menatapku dari bawah. Membuatku ingin tersenyum untuknya. "Hai ...." kataku sambil melambai kecil.
Beberapa saat kemudian, Mile pun masuk ke kamar dengan jaket penuh salju. Dia bilang sudah menidurkan Bella di kamar yang lain. Lalu datang untuk menuntut hadiah dariku.
"My kiss?"
Aku didempet ke pinggiran balkon.
"Boleh aku dapatkan obatnya dulu, Phi?"
"Oh, tapi masih di dalam tas entah mana."
Dia tetap mendekat hingga kurasakan hembusan napas Mile tepat di wajahku. Aku pun menjilat bibir, dan dia terhibur melihatku tegang hingga meneguk ludah beberapa kali. "Baby takut?" tanyanya.
"Huh?"
"Aku minta maaf tadi marah-marah ...."
Aku pun menyentuh bahunya perlahan. Jujur aku masih aneh saat didekati (maksudku awal-awal selalu begini) tapi bisa menerima jika terbawa suasana. Untung Mile memahami isi hatiku. Sehingga dia mengecup pelan seperti kupu-kupu dahulu.
"It's okay."
"Really?"
"Hm, it's okay."
"Syukurlah ...." kata Mile. Kemudian menciumku lebih dalam. Begitu terbuai pria ini segera menggandeng masuk. Dia mendorongku rebah di ranjang, lalu menarik tali bathrobe-ku tiba-tiba. Brugh!
"Ah, Phi Mile--!"
"Sssh, shhhh, shhh ...." katanya sambil meremas tanganku. Dia tidak ingin aku menahan talinya. Aku jantungan, tapi melemahkan penjagaan karena Mile mengeluarkan obat dari dalam saku.
Ah, dia menipuku lagi kan ....
"Mau apa--?" tanyaku takut-takut cemas.
Mile pun membuka bagian depan bathrobe-ku. Dia duduk di tepi ranjang sambil menekuk kakiku. Kemudian mengoleskan salep ke liang lukaku. Aku pun menahan napas karena Mile memandang dari jarak yang sedekat itu. Lalu membelai rambutku seperti bayi sungguhan.
"Phi, dingin," kataku dengan jemari kaki bergeliatan.
"Memang, tapi tahan saja sebentar ...." kata Mile sambil tersenyum.
"Khhh--"
Aku pun memejamkan mata sambil meremas lengannya. Kutahan sensasi perih karena jarinya masuk. Lalu Mile meratakannya dengan salep tambahan. Dia pun pindah ke bagian dada, betul-betul merawatku seolah aku tak bisa sendiri. Setiap aku menolak, dia bilang ingin melakukannya. Dimulai dari tempat yang paling parah (leher dan puting). Lalu ke bokong kiri yang sempat ditamparnya berkali-kali.
"Mhh ...."
Aku melenguh sambil meremas baju depannya. Mile sendiri melempar botol salep setelah merasa cukup. Lalu mendekapku agar nyaman. "Kau akan segera sembuh ...." katanya sambil menghidu bahuku. "Kau pasti akan segera sembuh ...."
"Iya."
"Hmmh ...."
Bersamaan Mile menarik selimut untuk menggulung tubuhku, aku pun balas memeluk dia karena gejolak aneh. Sebuah dorongan untuk menggenggamnya tetap di sini, tidak mau dia pergi hingga aku tidur, dan Mile ternyata memahamiku. Dia tertawa karena kelakuanku, tapi aku segera memejamkan mata agar tidak ditanyai.
"Hei, Apo. Sayang ... Baby? Bisa bicara denganku dulu?"
Aku pura-pura tidak mendengar dia.
"Kenapa tidak jujur saja? Mau menikah denganku, ya?"
Aku bahkan mengatur napas agar tampak benar-benar terlelap.
"Aku ingin membawamu ke Ayah dan Ibu ...."
Tanpa sadar aku meremas jemariku sendiri. Ah, bagaimana ya. Ini baru sekitar 4 bulanan. Dan dia lebih sering menghabiskan waktu di WNTM sebelum datang menjemput. Apakah tidak apa-apa?
Sebagai lelaki, aku sendiri tahu yang terpenting dalam menikah adalah niat yang jelas, tujuan pasti, dan komitmen untuk menjalaninya bersama. Mile memang memiliki semua itu, tapi aku merasa ada yang kurang di sini.
"Bisa Phi temui orangtuaku dulu?" tanyaku di balik selimut.
"Oh, tidak apa-apa langsung ke sana? Baiklah, kapan?"
Napasku tertahan mendengar perkatannya. "Tidak tahu. Aku tak pernah berpikir menikah lagi. Lebih-lebih dengan seorang lelaki."
Giliran Mile yang terdiam beberapa saat. "Sebelum itu, bagaimana pendapat mereka soal percerianmu dengan Davikah?" tanyanya sambil membuka selimut wajahku.
"Eh?"
"Ada komentar yang perlu kuhati-hati?"
Aku pun menatap matanya lurus. "Tidak sih ... mungkin? Mereka mengerti karena jelas-jelas Eden bukan anakku."
"Hmph, bagus."
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. "Phi pernah serius dengan lelaki selain aku?" tanyaku. Sebab hal ini terbersit dalam kepala. "Maksudku, selama ini ... mungkin saja ...."
"Ada, namanya Charlie Hataway dan Xavier Robinson."
Aku pun mendengarkan Mile, karena malah aneh jika dia bilang tak ada. Mile cerita Charlie yang diseriusi saat berumur 29, tapi si empunya memilih lanjut mengabdi di Kenya sebagai Jenderal Bintang Satu. Mereka pun terpisah negara bagian. Lalu Mile menemukan yang baru di usia 36. Beda dengan Charlie yang campuran negroid, Xavier ini lebih ke ras kulit putih. Dia tampan, bermata hijau. Tapi Mile tipe yang tidak mempermasalahkan asal pasangan. Namun, Xavier berubah pikiran usai berpacaran setahun. Kemudian mereka berakhir begitu saja.
Hmm, rasanya wajar di telingaku.
"Jadi, ini sudah 4 tahun sejak yang terakhir?"
"Ya."
"Phi masih mengingat mereka?"
"Tentu. Bagaimana bisa aku melupakannya?"
"...."
"Baby?"
"Yang mana yang paling berkesan untuk Phi?" tanyaku karena sangat penasaran.
"Hm, kalau boleh jujur tentunya Charlie," dengus Mile sambil tersenyum. "Tapi dia sudah menemukan jalan sendiri. Jadi Major Jenderal, dan dua tahun lalu menikah dengan pria yang hebat."
"Siapa?"
"Seorang Letnan Jenderal di Republik Chili? Namanya Owen atau siapa lupa. Intinya dia sempat dipindah tugaskan ke sana."
"Oh ...."
"Ha ha ha, sekarang kau paham aku lebih selera ke lelaki berkulit gelap."
Aku malah refleks menarik selimut ke dada. "Jangan menghina ya--ah! Perasaan aku tidak segelap itu."
"Ha ha ha, kenapa malah tak percaya diri? Aku kan sudah bilang suka yang berkulit gelap."
Entah kenapa aku tidak setuju dengan Mile. Mungkin karena aku terpengaruh pola pikirku sendiri, jadi aku merasa gambaran pasanganku harusnya "indah" dan "putih" seperti Davikah. Untung Mile memenuhi kriteria tersebut, walau minus gendernya yang kini bisa kutoleransi. "Jadi, Phi belum pernah serius dengan lelaki Asia?"
"Belum."
"Samasekali?"
"Ya, kalau pacaran tentu pernah, tapi untuk mengisi waktu luang saja."
Benar-benar pria bangsat (juga) ternyata ....
"Phi, aku ini hanya Jaksa Madya," kataku. "Apa tidak apa-apa? Aku kan tidak seabai itu sampai tidak tahu latar belakang keluargamu."
"Memang penting?" tanya Mile tanpa kuduga.
"Kenapa bilangnya seperti itu?" tanyaku balik.
"Xavier malah hanya Generic Reporter ...."
"...."
"Aku kan menikahi orangnya, Baby. Bukan pekerjaan mereka ...." kata Mile. "Jika Charlie yang di perbatasan saja pernah kutunggu, kenapa kau yang bisa kuraih tidak?"
Mendengar pernyataan barusan, seketika aku membayangkan Mile diam-diam pergi ke Kenya. Pria ini bisa saja melakukan hal ajaib. Mungkin menemui Charlie di hari cutinya. Dengan begitu mereka bisa bercinta, jalan-jalan, lalu bercanda sambil merokok. (Sayang Charlie lebih mencintai passion-nya). Dari situ aku pun mengiyakan, Mile teriak. Membuatku aku kaget dengan reaksi dirinya
"HA HA HA! GOT IT! BESOK KITA LANGSUNG BERANGKAT!" kata Mile, lalu menciumiku sesuka hati.
Namun, namanya ekspektasi sering ada melencengnya. Sebelum kunjungan, kusuruh Mile menunggu tubuhku sembuh dahulu. Dia juga sibuk membantu proses kepindahan. Lalu Mile kuperkenalkan kepada Bella (secara resmi tentunya).
"Bella, jadi ... Uncle ini sayangnya Daddy ...." kataku sambil menunjuk Mile usai sarapan. Bella pun tampak bingung. Dia heran. Apalagi Mile tiba-tiba berlutut di sisi kursinya.
"Eh? Uncle ... nanti kotor kalau di sana ...." kata Bella yang langsung memutar badan. Pinggang anakku pun dipeluk Mile. Pipinya disayang. Lalu Bella berkedip-kedip.
"Iya, tahu. Tapi boleh tidak Uncle tinggal bersama Daddy-mu mulai sekarang?"
"Huh? Boleh. Kan memang Daddy pindahnya ke rumah Uncle," kata Bella dengan polosnya. "Masak tidak boleh tidur di rumah sendiri ...."
Mile pun tersenyum kecil. "Bagus, jadi Daddy-nya boleh kunikahi?"
"Eh?"
"Daddy pasti bahagia di sini. Boleh ya, Honey?"
Aku pun cemas saat ditatap anakku. Bella tampak memikirkan sesuatu, dia menatap Mile. Lalu akhirnya mengangguk kecil.
"Hihihi, iya boleh," kata Bella. "Tapi lemari bonekaku harus lebih keren, ya? Aku mau buat Istana Rapunzel yang indah, Uncle ...." jelasnya sambil merentangkan tangan. "Sebesaaaaaaaaaaar ini ....! Terus ada banyak mahkota dan gaun-gaun balet cantik."
Mile pun tertawa keras. "Ha ha ha ha ha! Tentu. Nanti Istana Rapunzel-mu akan segera berdiri."
"Janji?" Bella pun langsung mengacungkan jari kelingkingnya.
"Janji."
Oh, astaga. Ini benar-benar terjadi ....
Aku pun menatap momen Mile menautkan kelingking kepada anakku. Lalu kulatih Bella untuk memanggil Mile lebih akrab. Dari "Uncle" ke "Ayah", walau awalnya dia bertanya kenapa jadi punya dua ayah.
"Y-Ya, karena Uncle memang akan jadi Ayah-nya Bella," kataku refleks gelagapan. Malam itu, aku bahkan gemetar saat menyelimutinya, tapi anakku ternyata jauh lebih peka daripada bayangan.
Bella bilang, "Sssssh ... Bella tidak tahu kok kalau Ayah lagi dicium Daddy." sambil menaruh telunjuk di bibir. Kusadari anakku pun makin komunikatif. Karena dia sudah terpengaruh tata pikir di Negara Barat ini. Aku lupa 97% teman Bella murni American di sekolah. Jadi bentukan anak ini beda denganku yang lahir dan besar di tanah air. Ah, maaf Bella. Aku sempat menganggapmu sama denganku.
Akhirnya, awal bulan April 2015 aku dan Mile pun pergi ke Thailand, tepatnya Huahin. Lalu dia memperkenalkan diri secara sopan siapa dirinya. Pertama, ayah dan ibuku jelas syok dengan kabar ini. Apalagi Mile tidak banyak basa-basi selama bertamu. Wajahnya beda saat meminta restu dari mereka, lebih diplomatis. Dan tata bicaranya berubah drastis (bisa bayangkan kan betapa anehnya dia selama ini?) Mile yang mampu berubah-ubah pembawaan itu pun membius orangtuaku. Apalagi caranya bicara cukup manipulatif.
Aku sendiri sudah terjebak dalam permainan keusilannya, bagaimana tidak dengan orangtuaku yang agak keterbelakangan sosial? Pria ini sungguh pandai mengambil hati orang lain, tapi dia tidak lupa menempatkan dirinya sendiri sebagai apa.
"Oh, iya. Tentu, Paman. Bibi ... Saya dan Apo sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari. Dia setuju, tapi Saya butuh izin untuk membawa keluarga besar kemari."
Ayah dan Ibuku jelas penasaran siapa mereka, keduanya kompak wanti-wanti. Tahunya sang ibu yang bernama Nathanee adalah wanita dari Keluarga Romsaithong yang tersohor. Memang siapa yang tidak tahu Sultan Kalasin? Beliau merupakan pengendali rumah sakit dan plaza yang ada di Bangkok, tapi tak semua orang tahu bahwa statusnya pernah menjanda. Nathanee pun menikah lagi setelah suaminya dari Keluarga Anderson meninggal. Berganti Songkit yang waktu itu masih melajang. Jadi hanya sang kakak dan Mile lah yang memiliki darah campuran.
Setelah itu, adik-adik Mile yang berjumlah 8 pun murni Asia. Mereka tinggal di Kalasin semua, sementara orangtuaku makin sesak napas karena tahu soal Keluarga Anderson. Namun, Mile tidak cerita sedetail itu juga. Karena saat menyebutkan nama Nathanee saja Ayah paham. Malah aku yang bercerita seluruhnya saat diwawancarai. Kalian tahu kenapa? Orangtuaku panik untuk persiapkan kedatangan mereka. "Apa? Kau ini sungguhan atau bercanda, Nak? Bagaimana bisa yang begitu-begitu mau kemari?" tanya Ibu saat mendengar Keluarga Anderson yang rata-rata politisi segera menyerbu rumah.
Orangtuaku pun auto membedah tabungan. Aku malah ikut-ikutan panik, tapi Mile segera mengayunkan tangan padaku di tengah kegiatan bermain bersama Bella.
"AAAAAA! HA HA HA HA! HA HA HA HA HA! AYAAAAAAAAH! JANGAN KENCANG-KENCANG NANTI AKUNYA JATUUUUUH!" jerit Bella dalam Bahasa Inggris. Dia malah didorong kencang oleh Mile. Membuat ayunannya nyaris terbang dari pohon, tapi Bella baik-baik saja. Anak gadisku tampak ceria, walau tak bisa berinteraksi dengan bocah di sekitar. Sebab Mile menemaninya sepanjang waktu.
Para tetangga pun hanya melihat karena tak paham bahasa kami (orang kampung begini jarang ada yang fasih Bahasa Inggris), lalu memendam rasa penasaran masing-masing.
"Iya, Phi?"
"Mau ke bank sekarang untuk menukarkan dolar?" tanya Mile. "Aku lupa belum menyetok Baht yang cukup banyak di dalam dompet."
"Ah, tapi Phi. Ayah masih--"
"Sudah, pakai uangku saja, oke? Jangan pikirkan hal-hal yang seperti itu."
"Umn, baiklah," kataku lalu meminjam kunci motor Ayah.
Ayah sendiri kaget karena scoopy-nya makin tampak kecil ditumpangi Mile. Lebih-lebih karena diboncengi aku di belakangnya. Ya Tuhan ... aku bahkan lupa sensasi di kampung halaman seperti ini. Menikmati udara yang lebih sejuk walau kadang ada banyak debu. Dan Mile tertawa saat diajak bicara Bahasa Thailand lagi oleh petugas bank. Dia bilang jujur kalau bingung karena lama tidak menggunakannya, tapi saat kutanya 'Kok Phi lancar saja bicara dengan Ayah?' dia menjawab:
"Ya kan seperti ujian akhir. Aku tadi harus konsentrasi agar tak ada topik yang terlewat lagi. Ha ha ha ha ha ...."
Aku pun tertular tawanya. Kucubit pinggangnya. Lalu orangtuaku berterima kasih atas bantuan besar yang diberikan (ya, walau di depan Mile menahan diri untuk tak heboh) tapi percayalah. Orangtuaku belum pernah memegang uang sebanyak itu, jadi mereka langsung merenovasi 45% bagian rumah serta halaman demi misi penyambutan itu. Mile sendiri tak keberatan tinggal sedikit lama, toh dia memang seorang freelancer. Malahan aku yang minta cuti dari Kantor Kejaksaan (jatahku selama bertahun-tahun ini kuambil) atasanku mengizinkan, lalu Mile dihubungi orangtuaku sendiri saat sudah siap.
"Eh? Sejak kapan Phi meminta nomor mereka?"
"Ssssh, sshhh, shhhh, shhh ...." kata Mile sambil menaruh telunjuk ke bibirku. Waktu baru bangun di hotel, dia pun langsung duduk fokus. Lalu mendengarkan Ayah bilang apa saja.
Singkat cerita kami pun akhirnya menentukan tanggal pertemuan. Kunjungan itu terjadi, dan tetanggaku heboh sekali karena menurut mereka ada pasukan yang datang.
Demi apapun mereka semua pasti langsung paham! Sebab aku satu-satunya anak dalam keluarganya Wattanagitiphat. Seorang lelaki, tapi tak ada yang berani berkomentar aneh karena acara itu terlampau gila.
Keluarga Romsaithong dan Keluarga Anderson pun datang dengan mobil beruntun. Terdiri dari orang yang 90% berpenampilan mewah (pribumi dan bule bercampur aduk) padahal di mataku itu belum semuanya. Mereka pasti hanya perwakilan selama aku dilamar. Dan rasanya masih tidak nyata waktu aku berdiri di tengah mereka (acaranya waktu itu di taman belakang yang disulap dengan penuh meja kursi).
"Baby, Apo Nattawin Wattanagitiphat. Will you marry me?"
Aku pun lirik-lirik gelisah ke sekitar saat menyerahkan tangan kiri. Kulihat keluarga Mile senyum semua padaku (padahal aku belum diperkenalkan secara resmi ke mereka). Kerabat Mile yang bertugas menjahit suit kami juga hadir. Sementara Mile hanya fokus kepadaku saat menanti jawaban. "Yes, I will," kataku sambil tersenyum.
Saat itu, aku masih takjub kenapa momen seperti ini hadir dalam hidupku. Sebab lamaran tersebut dipenuhi oleh tepuk tangan ramai. Mile pun memasang cincin di jariku dengan hati-hati. Kubalas dia, lalu pria ini menciumku di depan semua tamu. Brugh!
"Ahh--Phi!" protesku karena mendadak. Namun Mile segera menarik pinggangku, mata Bella ditutup Ibuku, kemudian kami berfoto-foto bersama.
"Senang?" tanya Mile pada malam harinya. Kami pun kembali ke hotel untuk melepas lelah. Dia memangkuku di sofa. Lalu kami mengecek spoiler photoshoot pre-wedding berdua.
"Iya, senang. Tapi setelah balik ke Washington Bella ikut sesi kedua kan?" tanyaku sambil menggeser foto di via chat kiriman sang fotografer.
"Hm, tentu, Baby. Soalnya kita tadi kan buru-buru ...." kata Mile yang tengah menaruh dagu di bahuku. "Yang penting pajangan di luar gedung ada dulu biar cepat dikerjakan. Toh Bella nanti jatahnya di foto undangan."
"Iya ...."
"Keep smile?"
Aku pun tersenyum tipis.
Rasanya memang lelah, padahal baru acara seperti itu. Karena aku harus memaksa diri dalam berinteraksi dengan banyak orang sekaligus. Aku juga diwanti-wanti Mile saat mendekati beberapa keluarganya, tapi mereka akhirnya tersenyum setelah bicara denganku.
Mile sendiri baru membawaku ke rumah seminggu kemudian. Pertama dengan Keluarga Romsaithong, barulah pulang ke Amerika menemui Keluarga Anderson. Semua itu kami lalui bersama-sama, hingga akhirnya formalitas pun selesai di April pertengahan.
"Ha ha ha ha, tak kusangka persiapannya lama sekali ...."
"Maksudmu?"
"Y-Ya, dulu saat bersama Davikah aku tidak sebegininya," kataku sambil menggulung undangan ke dalam kotak.
Di sebelahku, Mile pun hanya tersenyum. Tidak berkata apapun, lalu lanjut membantu. Dia mengambil tema pernikahan The Prince Palace (sesuai permintaan Bella tentang Istana Rapunzel) jadilah gedung kami nanti seperti dunia dongeng. Mile mempertimbangkan Bella yang punya bakat menari balet. Jadi dia ingin memamerkan "anak kami" di depan tamu acara. Dengan begitu bentuk undangan kami pun sangat elegan. Mirip perkamen gulung ala kerajaan. Bahkan warnanya kombinasi antara putih-emas. Ada amplop, pita, dan kotak rumit yang menghiasinya. Ada juga parfum khusus untuk menyemprotinya. Sampai-sampai aku pusing saat baru menyelesaikan 20 buah.
"Ahh, Phi. Aku sepertinya salah lagi ...." keluhku sambil membongkar kembali pekerjaanku.
"Hm?"
"Urutannya, Phi. Ya ampun, lupa. Harusnya kan dipasangi pita dulu ...."
Mile pun tertawa melihat kegigihanku. Dia memelukku. Lalu membuat undangan kami berjatuhan dari atas meja. "Enough, Baby. Ha ha ha ha ha ha ... cukup. Sudah, ayo istirahat biar nanti diselesaikan orang."
"Eh, tapi Phi--"
"Ayo ...."
Aku pun digandeng pergi. Langkahku terseok, padahal ingin memastikan sendiri bahwa semuanya oke. Aku hanya--apa ya ... tidak ingin teman-teman Mile yang diundang kecewa? Bagaimana pun dunia kekasihku jauh lebih luas dan megah. Jadi aku berharap pernikahan Mile sesuai impiannya selama ini.
"Phi Mile--"
"Kau pasti sudah lelah sekali ...."
Aku pun menoleh ke bawah, meski ikut Mile menaiki tangga. Untung para pelayan antusias saat memunguti undangan kami. Mereka sepertinya bersyukur karena Mile melepas lajang. Apalagi ini penantian panjang untuknya.
"Ini, untukmu."
Aku menatap sikat dan odol yang Mile sodorkan di kamar mandi.
"Terima kasih ...."
"Hm, sama-sama."
Dengan perasaan yang mengambang aku pun menemani Mile sikat gigi dan cuci muka. Lalu kami bercukur kumis bersama-sama. Sebagai orangtua, kami mengobrolkan tentang Bella dan pertunjukannya nanti. Lagu apa yang cocok dipakai, gaun seperti apa, hair-do gaya mana yang bagus, dan masih banyak lainnya. Namun, aku justru fokus pada ekspresi Mile di cermin. Betapa bahagianya dia, hingga tanpa sadar menangkap tangannya sebelum pergi. Pakh!
"Phi Mile."
"Ah, ya, Baby?"
Dia menoleh padaku.
Aku pun meremas di sana. Kutatap dia penuh keteguhan. Lalu kumuntahkan segala rasa yang selama ini kurahasiakan. "Phi Mile, terima kasih juga sudah datang padaku," kataku. "Aku senang kau lah yang muncul di taman itu. Muncul lagi di restoran waktu aku sendiri. Juga pas Davikah mengajak bertemu di ulang tahun Eden."
"....."
Dia pun berbalik dan heran, tapi diam saja untuk mendengarkanku
"Awalnya aku takut waktu kau jujur di gedung seni. Itu mengejutkan. Apalagi di umurku yang sekarang," kataku. "Tapi, sekarang aku lega karena Phi lah yang bersamaku, menerima Bella, masa laluku, sifatku, pekerjaanku, hoby-ku, orangtuaku, dan masih banyak hal lain yang tidak aku mengerti."
"...."
"P-Pokoknya terima kasih, Phi. Dan maaf aku tidak bisa mengatakan semuanya satu per satu," kataku lagi, kali ini dengan napas yang mulai memberat. "Hh, hhh ... belum lagi kau harus menghadapi emosiku, preferensi seksualku yang belum jelas, bahkan tidak membuangku meski aku membuatmu marah ...."
"...."
".... tapi aku akan berusaha yang terbaik mulai sekarang. Untukmu dan Bella. Aku pasti belajar memahamimu."
"...."
"D-Dan boleh tidak aku mencicil sedikit?"
"Untuk?"
Dadaku bergejolak gila saat dia menanggapiku pertama kalinya.
"U-Untuk? Suka Phi?" kataku. "Aku ingin bilang cinta juga, tapi rasanya belum seyakin Phi Mile. Hanya saja, aku pasti menyampaikannya suatu hari nanti."
Bibir Mile pun melengkung tipis. "Bagus .... "
"Yakin tidak apa-apa? Maksudku ... kalau tidak sekarang?" tanyaku. "Aku hanya takut mimpi buruk karena Phi Mile tetap menunggu. Lebih jelek lagi kalau sampai muncul ubannya."
Mile pun tak tahan untuk tak tertawa di titik ini. "Apa? Kejam sekali kau Bung ...." katanya sambil memijit kening. "Ha ha ha ha ha ha ha ...."
"A-Aku serius, Phi ...."
"Ha ha ha ha ha, ya ampun. Uban ya. Jadi ikut kepikiran juga. Ha ha ha ha ha ...."
Telingaku pun memerah, tapi bingung harus apa di situasi sekarang. "Aku benar-benar ingin mencintai Phi Mile juga ...."
"Ha ha ha ha ha ...."
"M-Maksudku yang 100%. Ah ... Phi Mile paham maksudku, kan? Iya kan? Phii! Tolonglah serius sedikit ...."
"Ha ha ha ha ha ha ha ...."
Aku pun terpana melihat setitik air mata jatuh di pipinya. Dia menabrak pelukku hingga aku terkesiap merasakan betapa kencangnya Mile ingin mengunciku. "Phi ...."
Jemariku mengelus bahunya.
"Pasti, Baby. Pasti aku akan menantinya," kata Mile. "Sampai ubanan pun tidak masalah. Ha ha ha ... tapi kau tetap harus membiarkanku mendengarnya kapan-kapan, hm? Jangan buat marga Anderson-ku malu karena tidak memilikimu seutuhnya."
"Iya ...."
Kami pun membagi senyum sambil berjalan keluar, dan kebahagiaan Mile menembus hari pernikahan kami.
Tepatnya tanggal 27 April 2015.
Usai pertunjukan balet Bella, Mile pun berdiri gagah di ujung altar dengan biksu yang menunggu. Perlahan aku digandeng Ayah menujunya, dan mataku tak bisa beralih dari potret menawan itu. Mile mengenakan jas hitam dengan bunga di sakunya, sementara aku berjas putih koleksi The Golden Groom persis seperti yang pernah dia berikan padaku. Wah, dasi dariku dipakai betulan rupanya.
Mile sangat memesona saat itu. Dia membuatku jadi gugup, padahal pernikahan ini bukan yang pertama untukku.
Ah, bolehkan aku berharap ini yang terakhir kali?
Aku benar-benar ingin berada di sisi Mile seumur hidup. Bahkan hingga kematian menjadikan nama kita kekal bersama.
TAMAT