Chereads / STAY [MileApo One-Shoot] / Chapter 13 - AFFAIR WITH INFIDELITY 12

Chapter 13 - AFFAIR WITH INFIDELITY 12

- Epilog -

3 Tahun Kemudian ....

_______________________

"Bella Nattalie Anderson!"

"Yes, Mam!"

"Silahkan maju ke depan untuk mendapatkan penghargaanmu!"

"Thank you ...!"

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan tes balet dasar. Bella lulus tahun ini dari tingkat 1, dan dia adalah peserta terbaik nomor 3 diantara seluruh wisudawan.

Siang itu, tanggal 12 Mei 2018. Aku dan Mile menyempatkan waktu untuk menghadiri acaranya. Semua demi berfoto bersama Bella. Kami menyiapkan kado khusus untuknya, berisi sepatu kaca impian lengkap gaun Cinderella berbahan kain organza. Bella ingin me-recreate dansa legendaris Cinderella bersama teman lelakinya, tapi acara tersebut masih 2 bulan lagi.

Kata Bella, guru les-nya mengadakan itu dalam rangka penyambutan para junior. Anak gadisku merupakan salah satu ballerina berprestasi, sehingga pantas unjuk gigi sebagai jadi kebanggan guild.

"Ayaaaaaaaaaah!" jerit Bella saat turun dari panggung. Dia menabrak peluk Mile yang duduk di kursi terdepan, dan suamiku refleks memeluknya. Aku sendiri hanya memangku kado di sisi Mile, sudah cukup puas memandangi Bella berceloteh. "Ayah, tadi perform aku bagus kaaan? Aku menarinya special untuk Ayah lhooo!" katanya bermanja-manja.

Bella memang lengket kepada Mile sejak kami menikah. Pastinya karena sang Ayah baru lebih royal daripada aku. Bella senang merayu Mile untuk dapatkan hadiah, tapi bagus juga anakku punya idola pantas. Mile jadi semangat bekerja, anakku semangat belajar. Apa lagi yang perlu kusedihkan? Aku cukup menjadi panglima berkuda putih. Jadi saat Mile dan Bella bertengkar, peranku baru ada diantara mereka.

"Ho ho ho ho, keren sekali tariannya. Tapi janji tidak makan cokelat lagi?"

"Tidak kok, janji."

Mile tak menghiraukan kelingking Bella, melainkan mencubit hidungnya yang mungil. "Bagus. Ayah tak mau gigimu gampang keropos. Aaaa ...."

"Aaaa ...."

Nyatanya gigi Bella masih utuh, tapi anakku memang sempat mengeluh nyeri.

Usai penutupan kami pulang bersama. Tapi sebelumnya makan dulu di restoran seafood. Sepanjang jalan Bella menggandeng tanganku dan Mile sekaligus, walau dia sempat berat meninggalkan sepatu kaca barunya di mobil. "Bella ...." kataku memperingati.

"Uumm, oke makan dulu, Daddy. Pokoknya di rumah nanti langsung kucoba!"

"Iya, Sayang ...."

"Aku mau abalone yang banyaaaak! Whoaaaaa!" kata Bella sambil berlari masuk. Dia meninggalkan kami berdua. Bahkan menyerempet waiter tampan yang lewat. Untungnya anakku cantik sekali, jadi si korban tak mudah marah, melainkan hanya menasihati. "Be careful, Baby Girl...." katanya sambil mentapku.

Orang ini tahu aku dan Mile pasangan karena kami langganann. Juga tahu Bella anakku satu-satunya. Dia pun memberi pelayanan baik kepada kami, masih ramah, tapi suasana itu tak bertahan sampai malam. Saat Mile mencumbuku di kamar (sumpah baru celanaku yang lepas) tiba-tiba saja Bella menjerit dari kamarnya sendiri.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!! AKU MATIIIIIIIII!! HUAAAAAAAAAAAAAAA!"

Refleks aku pun mendorong kepala Mile yang sedang mengulum penisku. Aku syok, sayang tidak bisa sembarangan turun karena masih ereksi.

"Hhhh, hhh ... M-Mile ... Mile? Bisa cek Bella dulu tidak? Nanti kita lanjut lagi," kataku refleks terduduk. Kakiku yang masih mengangkang pun terasa kaku,  cengkeraman pada bajuku mengendur, tapi Mile tidak serta merta turun. Dia memandangku karena sudah seksi berantakan, mendesis kesal, namun dia selalu mengalah jika sudah menatap mataku.

"Ahhh! Baiklah. Tolong tunggu sebentar ...." kata Mile. Dia pun keluar kamar tanpa memakai atasan, mengecek princess kesayangan kami, sementara aku panik menarik selimut saat dia kembali. Sebab  Mile menggendong Bella di pinggangnya. Bella masih menangis, lalu bilang ingin tidur di sampingku.

"Dadddddyyyy ... hiks ... hiks ... hiks ... gigiku dibawa Lord Dursasana ...." kata Bella sambil mengucek matanya.

"Hah? Bagaimana?" tanyaku bingung karena masih kondisi birahi. Otakku serasa melembung dengan bulu yang merinding. Sebab aku belum beres di bawah selimut kami.

"Tadi gigi susu Bella copot satu waktu dia tidur lelap ...." jelas Mile yang rautnya melunak. Tampaknya suamiku sudah mengajak Bella berkumur. Lalu dia menyimpan gigi si boceh di bawah bantal. Sayang Bella tak percaya peri gigi (dia terlalu sering kuajak menonton Mahabarata) Jadilah si jahat Dursasana lah yang disalahkan sekarang.

Hei, Honey ... tolonglah. Dursasana itu membenci Pandawa Lima. Bukannya main cabut-cabut gigi!

"Hiks ... hiks ... hiks ... Lord-nya jahat, Daddy ... hiks ... aku mau tidur sama Daddy ...."

"Oh, hhh ... ya--sini ...." kataku segera menyambut Bella di sisiku. Mile pun membaringkan bocah itu di tengah kami berdua. Aku memeluknya, tapi Mile paham aku masih sangat tanggung.

Bagaimana tidak? Sambil puk-puk Bella, telinga memerah, penisku sakit. Apalagi Bella butuh 10 menitan untuk terlelap lagi. Mile sendiri badmood selama membelai rambut anakku. Dia diam saja, sampai aku pamit turun untuk selesaikan itu di kamar mandi.

"Phi, sebentar, ya?"

"Kemana?"

"Aku bisa gila kelamaan di sini ...." kataku memberi isyarat. Dengan muka Bella melesak yang pada dadaku, Mile pun harus menggantikan posisi pemeluk biar aku bisa pergi.

"No, wait. Aku saja yang pindah ke sana," kata Mile sambil menahan tanganku.

"Hah? Phi tolong jangan aneh-aneh ....."

"Ini tidak akan apa-apa. Cukup tutup saja mulutmu."

"Tidak--"

"Ssshh ...."

Aku pun refleks membekap mulutku, karena Mile kini mendempetku dari belakang. Dia menyingkap selimutku sedikit. Membelai bokongku secara halus, lalu menyingsingkan kemejaku naik ke pinggang. "Nnghh ...." lenguhku sambil memejamkan mata.

Dari cermin kamar kami, kulihat Mile mengesun pipiku posesif. Lalu kakiku ditata agar jemarinya bisa memasuki belahan bokongku. Dia meremas sambil memandangi ekspresiku, mengambil saliva sebentar, kemudian mengocok penisku agar yang tadi berlanjut. "Ahh ...." desahku, kadang lepas kontrol.

Ini tidak bagus karena aku takut Bella bangun, tapi setiap kutilik bocah ini ternyata tetap pulas. Saat aku gemetar klimaks, napas Bella begitu stabil. Beda denganku yang ngos-ngosan, tapi Mile tak berhenti melumat bibirku.

"Phi Mile--"

"No, ini waktunya memanggiku "Sayang", kan?" kata Mile mengingatkan.

Aku pun memerah penuh (bagaimana tidak situasinya begini!!) tapi kuturuti juga permintaan suamiku. Pria ini menekuk sebelah kakiku. Dia mengeluarkan penis besar beruratnya, lalu masuk ke bokongku perlahan

"Sayang, nggh ...." desahku sambil meremas pinggul Mile. Suamiku pun paham aku menolak dihentak keras, dan ternyata dia menyesuaikan situasi.

"Iya, tenang saja. Bella takkan bangun sampai kita selesai."

"Ahh ...."

Mile pun memeluk pinggulku erat. Kadang dia juga memeluk Bella yang di dekapanku (karena kesulitan posisi) tapi berusaha terus memuaskan kami. Aku sendiri memegang sebelah kakiku agar Mile leluasa menusuk, lalu mengangkatnya lewat lutut dalam. Ahh, nikmat sekali, Tuhan. Ini sungguh nikmat sekali, pikirku selama menahan guncangan kecil. Dengan seks pelan, kami pun tahan yang durasi lama. Sehingga ini tidak buruk juga.

"Berbalik, Baby. Bisa menghadap kepadaku sebentar?"

"Nnghh, jangan ... nanti aku tidak bisa mengawasi Bella."

"Hhh, ya sudah. Tak apa," kata Mile lalu menciumku.

Akhirnya kami pun menyelesaikannya pada pukul 2 (Mile tak tahan juga untuk tidak menindihku di akhir), lalu melepas kondom setelah kami sama-sama puas. Entah ke berapa ronde malam ini. Yang pasti aku senang Mile tampak segar lagi. Mood-nya baikan. Giliran aku yang digendongnya ke kamar mandi. "Ayo, Baby. Sini ...."

"Hnngh ...." kataku yang kini merangkak ke pelukan Mile. Suamiku pun tertawa karena kakiku refleks melingkari pinggangnya. Lalu dia membawaku seperti bayi koala.

"Kau semakin terasa ringan. Apakah bobotmu turun lagi?" tanya Mile sepanjang perjalanan. Dia menendang pintu kaca perlahan-lahan. Langsung menaruhku berendam. Barulah aku menjawab dirinya.

"Iya, mungkin? Aku malas makan akhir-akhir ini."

"Kenapa?"

"Tidak tahu? Yang penting tidak sakit saja ...." kataku sambil mengedikkan bahu.

Mile pun pergi setelah mengecup keningku (dia ingin memberesi kekacauan di kamar), dan posisi tidur Bella ditata ulang agar lebih nyaman. Semua adegan itu bisa kulihat dari ambang pintu, dia tersenyum padaku. Lalu memberi isyarat "oke" dengan jempol pertanda semuanya aman.

"Tapi kalau bisa jangan ulangi lagi, Sayang," protesku saat Mile menyusul masuk ke bath-up.

"Ha ha ha, tapi kau terlihat menikmatinya."

Seketika kucubit kencang dada kiri Mile. "Iya, enak. Tapi bagaimana kalau Bella bangun? Sinting ya ... nanti dia berpikir kemana-mana! Dasar Ayah tua mesum!"

Mile malah menyerangku lagi di bath-up itu. Aku sampai angkat tangan dengan keusilan pria ini, lalu berlutut dua ronde lagi dalam air.  "Ahh, astaga--ahh ... Mile! Mmngh--Sayang ... ahh ...." desahku tak henti-henti.

Panggilanku ke Mile memang berubah sejak 1 tahun lalu, karena aku sudah bisa memastikan perasaan padanya. Ya, walau dipancing kejadian menakutkan dulu. Mile sempat kecelakaan di jalan raya karena tabrakan beruntun. Kaki dan tangannya luka. Untung mobil Mile yang kena tabrak paling akhir. Dalam peristiwa itu ada 2 pria yang mati, 1 wanita hamil keguguran, dan 3 pria lain luka-luka (salah satunya suamiku). Aku pun syok karena waktu itu di tengah sidang, statement-ku buyar, padahal sedang mengumumkan daftar tuntutan. Lalu keluar begitu saja untuk ke rumah sakit.

Kacau sekali situasi waktu itu. Seperti di film drama, aku pun menangis sambil berlari di lorong-lorong. Tahunya yang kupeluk erat bukan jasad Mile Phakpum. Ah, tolol sekali kalau diingat. Suamiku malah duduk di kamar sebelah. Cuma terpisah tirai, dan lukanya sedang diperban dokter.

"Hai, Baby ...." sapa Mile sambil tersenyum. Ya ampun, sungguh merasa tidak berdosa.

Aku pun tak bisa berkata-kata. Langsung kupeluk dia, walau Mile mengeluh sangat kesakitan.

"Arrrghh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" makiku jengkel. Namun beda di mata orang, dengan saat kami berdua. Aku pun mencium tangan Mile di sebelah ranjangny, kupuja dia, dan kukatakan pernyataan yang selama ini dia tunggu. "Aku mencintaimu, Mile. Tolong tetap hidup untuk mendengarnya berkali-kali."

Mile pun memanfaatkan kesempatan itu untuk meminta panggilan "Sayang", dan firasatku mengatakan aku akan menyesal jika menolak permintaannya.

"Setidaknya saat kita bercinta, Baby. Aku tidak memintamu lebih."

Sejak saat itu hubungan kami pun menjadi semakin dalam, tapi aku heran ketika diperkenalkan teman Mile sepulang kerja. Dia merupakan gadis blasteran Jepang-Indonesia. Masih muda, umur 24, dan tampilannya cukup manis dengan rambut hitam sepunggung. "Who is she?" tanyaku terheran-heran.

"Oh, dia? Perkenalkan, Baby. Dia adalah anak didikku yang baru. Fresh-graduate. Baru lulus dari Universitas Tokyo, tapi melipir kesini," kata Mile dengan nada yang berbeda. Jelas gadis ini lumayan istimewa, tapi mataku menyipit curiga karena kenalannya Om-om 45 tahun.

"Good morning, Sir. I'm Ren Jiyūūna Isamu. I'm the first child in The Minor Anderson Family, tapi Papa baru kasih izin ke USA setelah lulus di tanah air. May I have an apology? Waktu Anda menikah saya belum resmi gabung ke keluarga Mai-Niisan," kata gadis bernama Ren ini.

Otakku pun berpikir cepat ada gabungan lain dalam silsilahnya Mile, tapi yang terpenting bukanlah hal itu. Melainkan apa tujuannya bertamu ke rumah kami?

Usut punya usut Ren ini adalah fashion blogger, stylish, journalist, serta model sekaligus. Hanya saja karirnya duduk belum lama ini. Dia tertarik dengan profesi Mile sejak masih sekolah. Menjadikan Mile insipirasi dia, lalu menekuni semuanya sambil menulis artikel. Beberapa kritik Ren soal fashion diakui majalah editorial Jepang, dan sekarang dia kemari untuk mendalami itu.

Oh, tentu saja? Jika bukan Mile siapa lagi yang Ren jadikan mentor? Dan ternyata fashion forecaster sekelas suamiku menyetujui idenya.

"Wah ... apa keluarga Isamu kaya raya juga? Ren membayarmu berapa sampai relasi kalian begitu?" tanyaku saat makan malam.

Mendengar pernyataan yang lumayan spicy, Mile justru terkekeh-kekeh. "Bukan ... Baby. Mana mungkin dia sanggup membayarku," katanya. "Hanya saja kita saling menguntungkan. Dia dapat ilmu, aku sendiri dapatkankan prasasti cantik."

"Huh? Prasas--apa?"

Bella hanya memandangi obrolan kami sambil mengiris dagingnya.

"Prasasti. Atau kita artikan saja dengan karya biografi. Ren ingin menulis perjalanan karirku dari kecil hingga sekarang. Dia akan mencetaknya, tapi rasanya ada yang kurang ...."

"Maksudnya?"

"Aku ingin kau dan Bella ambil bagian dalam karya itu," kata Mile. "So, kita harus diskusi tentang topik yang diketik dalam naskah. Dan tentunya bertemu langsung lebih enak, daripada mengobrol lewat telepon."

"Oh ...."

"Lagipula dia kerabatku kan sekarang? Apa salahnya menjalin hubungan baik."

"Hmm ...."

"Sampai sini sudah paham?" tanya Mile sambil memandangku yang sedang menggigit sendok. Aku pun malu sendiri. Sebab Mile adalah gay murni, lantas kenapa kecemburuanku tadi sebegitunya?

Hei, aku ini sangat keterlaluan ....

"Daddy ...!"

"Hmm?"

Untung Bella memanggiku tiba-tiba. Jadi, sebelum kemana-mana, pikiranku sudah terdistraksi dia.

"Bella besok libur sekolahnya. Tanggal merah! Tanggal merah! Apa kita nonton Mahabarata lagi?" tanya Bella. "Bella penasaran kapan The Devil Sengkuni mati ...."

Aku pun ingin tertawa.

Tak kusangka Bella hapal cerita Mahabarata. Mulai Krisna, Pandawa, Kurawa, Drupadi, Kunti, Sengkuni, Destrarastra, Gandari, dan masih banyak lainnya. Bahkan dia bisa membedakan mana tokoh baik dan buruk karena tidak melewatkan satu episode pun, kecuali tertidur. "Iya, Sayang. Boleh ...." kataku. "Tapi hanya 2 episode, ya. Jangan lebih. Bella harus bagi waktu juga dengan tidur malam."

"Oke ....!"

Mile kini menatapku. "Perasaan film-nya tak habis-habis ...." katanya. "Apa kalian nonton ulang lagi?"

"Ha ha ha ... tidak lah ...." jawabku. "Tapi memang sebanyak 28 season. Sangat panjang, kan? Jadi dicicil pun butuh waktu juga."

"Oh ...."

"Apa Mile ingin mencoba ikutan nonton?"

"Hah? Ha ha ha ... kalau ada aksi-nya aku baru mau gabung," kata Mile. Suamiku pun mencari alasan lain (aku tahu dia kurang menyukai film India) karena menurut Mile adegannya kebanyakan slow-motion. Namun, aku tetap sering menjahili dia. Bahkan saat kami bulan madu dulu kuajak dia ke Mumbai.

Well, Mile jelas tak menolak. Tapi berkat selera beda dia pun mengajakku lagi ke tempat yang lain. Destinasi kedua adalah Bioluminescent Bay di Puerto Rico. Dimana kami bisa piknik sepanjang siang, lalu malamnya berselancar bebas dengan air yang menyala. Semua dikarenakan banyaknya plankton dan mikroba laut yang tersebar, sehingga saat papan kami menabrak air pemandangan indah seperti kekuatan Frozen Elsa pun keluar dari muncratan airnya.

"WHOAAAA HA HA HA HA HA, MILEEE!" teriakku saat diajari Mile selancar. Malam itu dia pun menarikku dengan speedboat kecil. Kami bersenang-senang. Bahkan lupa rasanya dingin dan lelah. Brugh! "Hhh ... hhh ... hh .... hh ... apa?" tanyaku begitu terkapar di pantai. Sambil mengatur napas kami berdua pun berpandangan. Saling menoleh, lalu berciuman di sana.

Oh, apa menurutmu hanya begitu?

Tentu saja tidak. Bagaimana pun kami pengantin baru. Jadi kami bercinta di sana, tanpa takut atau cemas hari esok. Toh seluruh venue sudah disewa Mile khusus untuk kami, dan resor sewaan juga dekat sekali jaraknya. Ya, walau sumpah aku sempat kaku di bawah tindihan Mile. (itu adalah seks outdoor-ku yang pertama kali, jadi tolong jangan hitung pas di meja rumah Mile) sebab waktu itu masih ada mendingnya.

Kini tak ada lagi atap atau dinding, tak ada lagi pintu atau kunci, melainkan di atas kepala adalah langit berbintang. Tubuh kami juga ditempeli pasir, tapi itu tidak menghentikan apapun. Kami bercumbu seperti binatang. Saling memakan atas bawah dan membekuk depan belakang. Bahkan aku berani menunggangi penis Mile untuk pertama kalinya.

Dengan posisi dia di bawah, aku pun menduduki paha Mile. Lalu membuka kakiku untuk memasukkan penis besar dia. Sambil meremas kedua paha Mile, aku pun bergerak naik-turun, sementara Mile memegang pinggulku untuk mengatur ritmenya. "Ahh, huh ... hmmff ... Mile ... hhhh ... Phi Mile ...." desahku dengan kepala bergerak ribut. Kadang aku mendongak, kadang juga menunduk. Bahkan keningku berkerut-kerut saat aku tidak tahan memuncratkan klimaks. "AHHHH! AHH!" jeritku dengan senyum kepuasan.

Kuakui kehidupan seksualku stabil sejak dinikahi Mile, dan peranku sebagai istri kuterima, walau pernah penasaran bagaimana jika kami berganti role. Kau tahu kan, maksudku? Bagaimana pun aku ini lelaki, bernaluri menancapkan penisku ke lubang lain. Akan tetapi saat ditantang mencoba, aku sendiri yang berkeringat.

Jariku tidak sanggup masuk ke liang Mile demi penjarian, apalagi memasukkan penisku ke bokong dia? Ah lupakan. Aku pun tertawa kencang ketika mundur, bilang tadi hanya bercanda, lalu Mile mengeteki kepalaku di pantai itu.

"HA HA HA HA HA HA HA HA!"

"HA HA HA HA HA HA HA HA!"

Ya ampun ... dasar aku yang dipenuhi rasa penasaran.

"Apo, Baby ...? Bisa kau kemari sekarang?" tanya Mile 3 bulan kemudian.

"Ya?"

Aku yang menjilid dokumen kasus pun menoleh. Lalu keluar dari ruang kerja pribadiku.

"Lihat. Naskah Ren sudah jadi lho hari ini," kata Mile. "Dia ingin menunjukkannya sebelum proses editing. So, kita bisa koreksi mana yang perlu dikurangi."

"Wah ... iyakah?"

"Yeah, just come ...."

Aku pun ke ruang tengah dimana Mile membuka laptopnya. Lalu menunggu suamiku mengirim PDF karya dari sang kerabat. Dari ponsel menggunakan bluetooth. Barulah 12 detik kemudian file tersebut terkirim. Clung!

"Berhasil?" tanyaku.

"Hm, sebentar kita buka bersama-sama ...."

Aku pun lebih mendekat. Lalu kami membaca book biografi Mile mulai halaman satu. Di situ aku mendapatkan informasi detail terkait Mile. Lalu kami menyelesaikannya pukul 11 malam.

"Wah ... keren. Pokoknya aku wajib memilikinya jika sudah terbit nanti," kataku dengan mata berkaca-kaca. Mile pun terkekeh karena perjalanan hidupnya dibaca. Mulai kelahiran, pendidikan, profesi sebelum masuk ke dunia fashion, penghargaan yang pernah didapat, dan masih banyak lainnya. Namun, Mile bilang tetap aku lah prestasi terbesar dalam hidupnya.

[Ren F-Blogger: Mai-Niisan, kalau boleh tahu judul buku biografinya mau ditulis bagaimana?]

[Ren F-Blogger: Formal atau Informal? Karena biasanya anak muda penggemar fashion akan tertarik membaca jika ada embel-embelnya]

[Ren F-Blogger: Ada saran?]

Aku pun memberitahu Mile begitu ada pesan muncul di layar ponselnya. Suamiku teralih, lalu dia berbalas di depan mataku.

[Mile: Terserah]

[Mile: Kupercayakan semuanya padamu]

[Ren F-Blogger: Oke]

[Ren F-Blogger: Kalau begitu boleh aku izin satu hal lagi?]

[Mile: Apa]

[Ren F-Blogger: Lain kali aku ingin menulis versi novelnya]

[Ren F-Blogger: Kurasa akan lebih mudah dipahami kaum milenial ketika dibaca. Jadi yang biografi ditujukan untuk para senior saja]

"Novel?"

Mile pun menoleh padaku. "Hm ... ini sepertinya ide baru dia."

"Oh ...."

"Kau sendiri bagaimana? Tak masalah?"

"Eh? Kenapa aku harus begitu?"

"Kalau aku silahkan saja, tapi ada namamu dan Bella juga di sana," kata Mile. "Based on true story kan pastinya lebih kompleks lagi."

Aku malah membuang muka dadakan. Malu sekali, apalagi koleksi tersebut akan sejajar dengan biografi Miss Kendall, Bella Hadid, Liu Wei, Karlie Kloss, Arthur Kulkov, dan tokoh fashion lainnya.

"Tunggu, tapi biografi teman-teman Phi Mile ada versi novelnya juga tidak?"

Mile pun tampak berpikir. "Tidak ada ... mungkin?" katanya. "Ren kelihatannya juga tidak mengambil semua tokoh. Dia cuma menggandengku, Kendall, Karlie, dan Arthur saja."

"Oh ...."

"Sekarang ketik saja jawabannya. Kuserahkan keputusan itu pada dirimu."

Aku pun menerima ponsel Mile. Kupandangi chat yang ada di layar. Lalu jariku bergerak sesuai kata hati saja.

[Mile: .... mengetik ....]

[Mile: Baiklah, silahkan]

[Mile: Lakukan yang terbaik untuk pekerjaanmu]

[Ren F-Blogger: Tentu, terima kasih]

Dari situ Mile pun tersenyum manis. Dia tampak bangga, karena persetujuanku berarti izin bahwa dia boleh pamer soal aku kepada dunia.

"Hmph ... kurasa aku lah yang harusnya berterima kasih padanya ...." kata Mile sambil mencondongkan tubuh padaku.

"Eh? Kenapa?"

"Menurutmu?"

"Aku benar-benar tidak mengerti."

Senyuman Mile pun berubah menjadi seringai sadis. Dia lapar. Lalu meraba bagian depan bajuku. "Sebelum ditulis, bagaimana kalau kita membuat happy endingnya?"

"Ah?" Aku pun tertawa kecil. "Maksud Phi percintaan dua bapak-bapak umur 40-an?"

"Ha ha ha ha ... memangnya itu aneh buatmu? Bagiku tidak sama sekali."

Aku pun terpejam ketika Mile mengadu hidungnya padaku.

"Kalau begitu ... mm ... aku juga setuju dengan suamiku."

"Ha ha ha ha ha ... bagus ...." kata Mile, lalu berbisik di telingaku. "Baiklah, mau di sini atau pindah ke kamar?"

"Hm? Aku bisa di mana saja, asal jangan--"

"DADDYYYYYYYYYYYYYYYY!! BELLA MAU DITEMANI BELI ES KRIIIIIIIIIIIIIIMMM! DADDYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYY!"

Brakh! Brakh! Brakh! Brakh! Begitu ada suara lari dari lorong, aku dan Mile pun kompak kabur sambil tertawa-tawa.

"Satu, dua, tiga!"

"Ha ha ha ha ha!"

....

...

..

Oh, shit!

Pada bagian ini, pokoknya Ren harus diberitahu agar menulisnya sedikit lebih terpuji ....

[ EPILOG ]

TAMAT