_________________________________
Hari ini, tahun ini. Untuk kedua kalinya aku ingin menjual ponselku lagi. Jika dulu dikarenakan butuh uang saat membuat SIM, maka sekarang kesehatan Bapak butuh perhatian. Aku kaget ketika beliau muntah-muntah dan mengeluh urine-nya bercampur darah, padahal kemarin baru ke RS. Aku sedih ketika bangun tidur Ibu panik. Lalu memberitahuku bahwa Bapak harus di check-up ulang segera. Ya, namanya dokter juga manusia. Penyakit tak tahu kapan berulah, dan mereka hanya memprediksi saja. Namun, setelah Bapak dapat penanganan khusus di ICU, aku harus berhadapan dengan sistem pembayaran. Gaji 4 kali UMR yang kudapat saat masih di kontruksi sudah habis, padahal harus mempersiapkan lagi untuk jatah rawat inap Minggu depan. Aku pun membolak-balik ponsel pemberian Mile. Kulihat logo-nya adalah apel digigit. Pastinya ini mahal sekali.
Kira-kira 8-10 kali UMR? Aku benar-benar akan menjualnya jika sampai kepepet. Namun, pikiran itu merasuk ke kepala, saat Mile menghubungiku soal kerja di toko. Awalnya aku merasa bisa pura-pura, tapi semakin lama hatiku rasanya sesak. Mana mungkin aku keluar dengan Mile setiap Sabtu dan Minggu seolah tak terjadi apapun, padahal Bapak benar-benar butuh aku. Aku akhirnya menghubungi Mile lagi pas pukul 11 malam. Dan aku tak peduli apakah dia sudah tertidur.
Namun, tak kusangka Mile benar-benar memanggil menggunakan via video, padahal tadi hanya centang satu. Aku pun berupaya menenangkan diri di kursi tunggu hingga panggilannya mati. Lalu menelepon ulang, tapi Mile me-reject demi ganti ke video lagi.
Ah, Phi Mile suka sekali melihat wajah orang, ya? Pikirku. Lalu menekan tombol accept di ponsel.
"Halo," sapaku dengan ekspresi bangun tidur. Tadi sore aku memang ke RS tanpa cuci muka dulu. Sebab kecemasanku soal Bapak lebih besar daripada peduli penampilan. Mile pun kaget melihat rambut megar dan minyak wajahku, tapi dia hanya diam saja. Mile tidak berkomentar apapun. Lalu bertanya aku ada di RS mana karena ingin menyusul. "Di RS Sukumvit Huahin, Phi. Tapi Anda kan sudah rapi mau tidur. Saya malah menyesal kabar ini disampaikan larut malam."
"Kau sendirian di sana?" tanya Mile.
"Ada Ibu juga di sini."
"Sudah makan malam atau belum?"
".... belum."
"Croissant dariku sempat dicicipi?"
Aku pun meneguk ludah. "Maaf, kalau itu memang belum ...." kataku. "Tapi besok pasti kumakan kok. Jangan khawatir. Jajan croissant kan tahan lama, Phi. Palingan 6-7 hari baru basi. Anda di rumah saja besok kerja."
Mile yang sudah memakai baju tidur super seksi dengan dada terlihat malah turun dari ranjang. Dia meletakkan ponsel di sebelah Gabby (kulihat bocah itu mengemut jari) lalu Mile ganti baju di depan lemari. Dia menyuruhku menunggu tanpa mematikan sambungan (aku hanya melihat langit-langit kamarnya) tahu-tahu Mile sudah berjalan keluar. Kami masih bicara sepanjang jalan, bahkan setelah ponselnya dipasang pada holder ketika dia menyetir.
"Dengar-dengar dari Peter sakitnya Bapak sudah 2 tahun, ya?"
"Iya."
"Apa ginjalnya tak bisa ditolong? Kata dokter bagaimana? Sudah mendapat rujukan donor?"
Aku pun tak menjawab karena takut. Sumpah aku belum pernah berhutang terlalu banyak, paling-paling cuma jatah air atau listrik bulanan. Itu pun kalau ada kebutuhan mendadak setiap gajian. Namun, untuk penyakit Bapak keluarga kami belum pernah membukanya jelas. Sebab jika mengeluh, tetangga hanya akan memandang kami orang susah tak berguna.
"Natta?" tanya Mile lagi.
"...."
"Aku ini tanya serius, tapi kamu tidak menjawabnya."
"Phi, andai Saya berhutang apa Anda sabar hingga Saya melunasinya?" tanyaku karena tak tahan lagi.
"Apa? Hutang?" tanyanya. "Jadi benar Bapak butuh donor secepatnya?"
"Iya."
"Kenapa tidak bilang dari kemarin?" tanyanya dengan nada menyalahkan. Aku pun diomeli tapi hanya mendengarkan. Karena jika kalian di posisiku pasti bisa memahami. Aku yang belum yakin hubungan kami dibawa kemana jelas tidak mau lancang. Apalagi ini masalah yang sama-sama krusial. Namun, aku berdebat dengan Mile karena dia tak mau dibayar (itu hanyalah uang kecil baginya), sampai-sampai aku marah tanpa sadar.
"Phi, bisa Anda jangan begini? Saya memang miskin, tapi masih bisa berusaha," kataku. "Saya dan Anda juga ada tujuan bersama, tapi sebelum resmi Saya ini bukan bagian diri Anda. Jadi, apa Anda memikirkan perasaan Saya? Saya benci bergantung, Phi Mile. Saya sehat! Saya juga kesal karena Anda mengekang Saya baik dengan cara kasar, ataupun halus. Karena itu, bisa Saya diberi pilihan? Kenapa Saya harus menuruti cara-cara Anda ....? HAH?!"
Mile pun mengehentikan mobilnya. Dia menatap wajahku di layar ponsel tak menyangka. Dan aku terkejut ketika dia menggebrak setir. "APO NATTAWIN WATTANAGITIPHAT!" bentaknya. Lalu memijit kening karena pusing. Kurasa sudah benar kita berdua bertengkar. Karena aku masih bisa ambil hutang bank daripada jatuh dalam hubungan yang tidak sehat. Pokoknya Mile harus mengerti sudut pandangku agar tak semena-mena. Namun ide darinya kini cukup mengejutkan.
"Ya, sudah. Pilih saja ...."
"...."
"Kamu boleh hutang kepadaku, Natta. Terus lunasilah kapan pun terserah. Hanya saja tolong jangan menjauhiku ...."
"...."
"Pokoknya batalkan idemu soal hutang bank segala. Itu berbunga. Apalagi rentenir yang punya tukang pukul dimana-mana," katanya seolah membaca isi pikiranku. "Aku tidak suka kamu mengambil jalan beresiko, oke? That's dangerous ... kamu tidak pernah tahu apa yang akan mereka lakukan ...."
Aku pun menahan napas. "Terus, satunya?" tanyaku. "Anda bilang Saya memiliki pilihan ...."
Di layar itu, Mile pun menatapku sakit hati. "Kalau kamu mau menikah denganku segera, ya sudah. Selesai urusannya. Kita akan dekat seiring berjalannya waktu, kamu istri-ku. Jadi tidak bisa dikatakan bukan bagian dariku lagi ...."
Jantungku pun berdebar tanpa kendali. Aku rasa Mile benar-benar di titik akhirnya. Hanya saja aku yang sekarang tidak siap menerima. Dicium mendadak saja sensasinya masih terasa, apalagi jika wajib melayani kebutuhan ranjangnya? Seketika akal, jiwa, dan hatiku pun menolak kompak. Sebab opsi menikah dadakan adalah pilihan yang paling buruk.
"Um, kalau begitu Saya pilih yang pertama saja," kataku. "Tidak apa-apa kan, Phi? Saya pasti sisihkan uang gaji untuk melunasi."
"...."
"M-Maksud Saya ... Phi Mile jangan khawatir, walau saat mencicil tampilan uangku nanti tak karu-karuan."
Mile pun makin tampak terluka. "Iya, Natta ...."
".... ha ha. Karena uang kecil yang terkumpul pasti tak semulus punya Anda," tegasku dengan tawa hambar. "Bisa jadi kucel, lawas, burik, kotor, dan mungkin bekas remasan ibu-ibu belanja yang ada di pasar."
"Hm, oke. Tidak apa-apa."
"Saya juga akan mencatat rincinnya kok nantinya. Pasti detail. Begini-begini otak Saya pandai menghitung kalau uang ...." tegasku lagi. "Tapi, sebelum itu terima kasih ya. Saya benar-benar senang Phi mau menghubungi malam begini."
Kami pun mengobrol lagi, dan Mile bilang besok akan mengurus soal donor Bapak langsung. Dia juga meminta agar Bapak dipindah ke RS keluarganya saja biar gampang dipantau. Lalu aku minta screenshoot kode QR berapa ratus juta baht yang nanti harus dibayar.
Pada tiap prosedur pastinya. Mulai jatah operasi, transplantasi, rawat inap, obat jalan, bahkan juga pemulihan ... semua nominalnya kutulis di sebuah notebook, padahal jujur sebenarnya dadaku sesak sekali. Aku tahu nominal operasinya saja bisa membeli harga diriku (sekitar 690.000 baht lebih). Tapi ini masih bisa disyukuri.
Aku sadar ini agak memaksakan diri, terlalu nekad. Untung Mile masih baik tidak memberiku bunga. Bayangkan jika aku ambil hutangan pada bank? Mungkin aku akan bunuh diri seperti di film-film karena dikejar rentenir, tapi kisahku tak sesederhana itu. Setelah diberi hutangan, aku pun tahu kapasitasku begitu kecil, tapi Mile tidak pernah meninggalkanku.
Dia tetap video call saat aku menunggu Bapak dioperasi, padahal pria ini baru selesai meeting di kantornya. Aku pun menanggapi pertanyaan Mile satu atau dua saja. Sebab kedekatan kami mulai dibayangi oleh hutang-hutang, meski ini pilihanku sendiri.
Apakah ada jerat yang lebih baik?
Aku tak boleh meminta lebih karena ini sudah jalan yang paling bagus. Sayang Mile terlalu peka bahwa aku bingung dengan diriku sendiri.
"You're out of focus, Natta. Kamu tidak mendengarkan penjelasanku dengan baik," kata Mile saat mengajari table manner.
"Oh, maaf-maaf. Bisa satu kali lagi, Phi?" pintaku. "Saya akan mengingat jenis-jenis sendoknya kali ini ...."
Minggu malam, satu bulan kemudian. Aku pun bisa bertemu dengan Mile karena Bapak mulai pulih, tapi otakku miring saat dipakai berpikir. Ketika bekerja di toko aku bahkan terbayangi Mile setiap hari. Wajahnya, suaranya, tatapannya ... jeleknya aku merinding karena ingat nafsu yang tenggelam di dalam matanya.
Apa dunia gay segelap itu? Pikirku. Saat bercermin aku sulit membayangkan bagaimana jika telanjang di depan Mile. Mungkin dalam posisi mengangkang. Lalu dia di atasku untuk menyentuh sesuka hati. Aku mungkin berlebihan dengan fantasi kotorku, padahal Mile bilang itu bukan termasuk homophobia.
"Baiklah ... bagaimana jika dimulai dari awal lagi?" kata Mile pada suatu hari. "Kita pelan-pelan saja, Natta. Dan maaf karena ciumanku dulu mendadak sekali ...."
Aku pun merasa lega mendengarnya. Kami pun rutin makan siang tiap weekend seperti dulu. Semua normal karena aku dibiarkan bebas, walau Mile terkekeh geli saat aku setor cicilan hutang padanya.
"Jangan tertawa, tolong. Saya sudah mati-matian menyisihkan itu ...." kataku membela diri.
Mile pun membuka amplop dariku yang berisi 460 baht saja. Nominal itu setara dengan bayar air sebulan. Jadi mustahil dibandingkan dengan harga barang yang dia belikan.
"Kenapa tidak jual saja hadiah dariku?" tanyanya.
.... kan? Padahal baru saja kubatin beberapa detik lalu.
"Tidak mau. Semuanya masih Saya simpan kok dalam lemari. Phi jangan merasa bagaimana-bagaimana karena barangnya tak ada yang rusak."
"Hm?"
Di balik meja kerjanya, Mile Phakpum Romsaithong pun menaikkan alis.
"Ya, kan kalau dipakai membayar hutang Anda akan memberi barang yang lebih banyak ...." kataku. "Saya ini tak suka menjadi lewatan saja."
"Ha ha ha ha ha, pintar ...." puji Mile. Lalu memasukkan amplopku ke dalam laci. "Tapi, bisa jawab pertanyaanku tidak? Memang mau sampai kapan kamu begini?" Matanya menatapku lurus dari seberang sana. Aku pun jadi agak gentar, tapi kami berdua sama-sama realistis saja. "Ini hutangnya banyak sekali lho, sadar tidak? Atau seumur hidup mau berusaha melunasinya dariku?"
Aku pun tak bisa berkata-kata. Hal itu membuat Mile tersenyum puas. Lalu memberikan gambaran yang sebetulnya sudah pernah kubayangkan. "Phi ...."
"Hm ... tidak masalah sih. Aku oke. Tapi kalau sudah menyerah, bilang ya?"
"Eh?"
"Kapan pun itu, kamu boleh mengadu jika sudah mau menjadi istri-ku."
Benar-benar di luar pikiran. Aku sekarang malah diberikan alternatif lagi, semakin mudah. Hanya saja Mile pun juga makin pandai menjebakku. Aku heran kenapa Mile bisa begitu--dia bencana. Hanya saja perasaan ini diimbangi dengan kebaikan perilaku dia.
.... atau ini hanya pura-pura?
Kata Ibu yang baik memang untuk yang baik. Bisa jadi kami jodoh. Hanya saja aku yang keras kepala selama ini.
"Phi Mile, bisa hentikan sebentar?" tanyaku. Mencoba menahan Mile karena dia terus mencium tanganku. Mile memang punya hobi unik sebelum kita berpisah, padahal bertemu tiap weekend itu menurutku lebih dari cukup.
"Kenapa?"
Dia memelankan musik yang disetel dalam mobil.
"Saya hanya--mau bicara serius sedikit," kataku dengan ekspresi gelisah. Mile pun fokus kepadaku. Aku menatapnya, tapi pria ini tidak melepaskan tanganku begitu saja.
"Soal apa?"
"Phi Mile sampai sekarang belum menyukai Saya, kan?"
".... belum."
Aku pun tersenyum sedikit. "Saya juga."
"Tapi aku sudah yakin untuk menikahi kamu sejak kapan bulan ...." tegas Mile. "You're good, Natta. Cukup langka. Mana mungkin kulepaskan begitu saja."
"Seriusan cuma karena itu?"
"Ya." Mile pun segera menambahkan. "Dulu, aku menikah dengan Pim juga tanpa rasa sebegitunya kok--its not a big deal .... aku oke ketika Ibu dan Ayah memilihkan dia untuk kunikahi."
"...."
"Tapi karena wajah aslinya terlihat, ya sudah ... kulepaskan saja daripada toxic. Kurasa itu bukanlah masalah besar."
"Semudah itu?"
"Aku mungkin juga langka karena inner value bagiku adalah segala-galanya ...." kata Mile. "Jadi, Natta ....? Bagian serius mana yang ingin kau katakan padaku?"
Aku pun merasuki mata Mile semakin jauh. Jadi pria ini adalah tipe yang menjaga dengan segenap tanggung jawabnya, minim rasa, kaku di dalam ... bahkan dia lebih mengandalkan nafsu daripada kebutuhan cinta dalam hidupnya. Pantas Gabby bisa keluar di bumi ini, sebab Mile penganut paham "Paling-paling momen kasmaran hanya sebentar", tapi dia realistis dalam hal mempertahankan pola seksual.
.... ya masuk akal sih, walau ini masih tak nyata bagiku. Sebab untuk seseorang yang belum pernah menikah, khususnya aku, pasti memiliki ekspektasi lebih tentang kehidupan romansa. Mungkin kami akan menjadi pasangan yang super panas, penuh kehangatan, dan saling menemani hingga tua karena perasaan yang tulus. Sayang sekali kalimat Mile tadi sudah mengobrak-abrik sudut pandangku.
"Saya--umm ... Saya hanya merasa cepat atau lambat Anda pasti akan menang dari taruhan apapun," kataku. "Apalagi lawan dalam permainannya hanyalah Saya ... sejak awal ini benar-benar pertarungan yang tidak imbang."
"Hm?" Mile pun tersenyum lebar. "Benar ...." Lalu terkekeh mencurigakan. "Kamu hebat juga dalam membaca situasi, ya? Aku jadi bangga saat mengapresiasi."
Tanganku di genggaman Mile pun mulai berkeringat. "Jadi, Phi Mile pun akan membuang Saya andai sudah tidak layak lagi?"
".... belum tentu."
Aku pun diam sejenak. "Kenapa beda?"
"Aku tahu kapan seseorang berulah karena mengada-ada, atau memang sudah tidak layak dipertahankan lagi," kata Mile. Lalu mengecup tanganku kembali. "Karena itu jangan coba-coba bikin masalah secara sengaja. Itu fatal. Karena aku hanya akan semakin tertarik untuk menikahimu, mengerti?"
Aku pun makin merasa tak nyaman. Ini gila, tapi dalam waktu bersamaan juga ingin tertawa kencang sangking mirisnya. "Oke ...." kataku sambil tersenyum kecut. "Kalau begitu, kapan kita kira-kira akan menikah, Phi?"
Mile pun tersenyum lebar mendengar perkataanku. "Kapan pun, Natta .... sekarang?"
Ha ha ha ha ha ha ha, bercanda ya?
"Tolonglah, Phi ...." kataku sebal. "Bisa serius sedikit? Saya perlu tahu harus menyiapkan apa saja nantinya ...."
Mile Phakpum justru tertawa-tawa. Pria ini tampak bangga karena seperti baru memenangkan sesuatu. Aku pecah ... dan tak mengerti lagi apa yang dia inginkan bahkan setelah kami berdiri di altar itu.
Dalam sebuah proses resepsi in-door yang sangat privat. Hanya dihadiri keluarga inti dan sanak kerabat, tapi aku sudah senang karena Bapak bisa menggandeng tanganku saat hantaran. Beliau memang benar-benar pulih di hari besarku. Ini keajaiban. Bahkan Ibu menangis terisak-isak melihat jemari bersarung tanganku ketika disambut Mile.
"Sudah siap?" tanyanya.
Aku pun menoleh kepada Mile dengan perasaan yang bercampur aduk. "Tidak tahu, serius. Tapi aku benar-benar sudah di sini, Phi."
"Good."
Mile pun mengecup tanganku di depan semua orang. Dia membuatku sulit mengalihkan pandangan darinya. Dia tampan, tapi kami tetap harus fokus kepada peresmian untuk saat ini. Perlahan-lahan dua bridesmaid pun menuju ke arah kami, mereka membawa map bertuliskan sumpah suci. Lalu aku dan Mile mengucapkannya bergantian melalui microphone-clip yang terpasang pada kerah suit.
"Apo Nattawin Wattanagitiphat," kata Mile sambil memandang mataku. "Di depan altar Budha yang suci, aku memilihmu sebagai istriku, dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."
Percaya tidak?
Pria ini akhirnya benar-benar mengatakan sumpah sucinya kepadaku?
Aku sendiri masih kesulitan menelaahnya. Ini rumit, hanya saja jejeritan Gabby dari kejauhan membuat keteganganku luntur perlahan. "Aahhh! DADDDYYYYYYY! HURRY UP! GABBY ALREADY WANNA EAT YOUR DECORATED CAKE CASTLEEEEE!" katanya sambil mengacung-acungkan tongkat peluit.
Aku pun tertawa kecil. Napasku melembut. Barulah map berwarna silver itu bisa kuhadapi dengan tenang. "Mile Phakphum Romsaithong," kataku "Di depan altar Budha yang suci, aku menerimamu sebagai suamiku, dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."
.... dan, ya ... apa yang terjadi setelah itu?
Tidak banyak.
Kami pun saling mengangkup tangan dengan para tamu undangan yang tak lebih dari 100. Aku disapa beberapa dari mereka, meskipun tak ada saling kenal. Tapi Mile memang sudah meng-counter hal ini di belakang sebelum acara. Dia bilang akan mengadakan resepsi ulangnya jika aku sudah siap dengan publikasi (aku setuju saja), padahal dariku sendiri ini sudah lebih dari cukup. Aku sungguh tidak punya cita-cita memegahkan acara yang sudah mewah. Itu berlebihan, dan Mile juga bilang bahwa aku tidak perlu lagi memikirkan hutang yang dulu. Dia ingin aku menganggapnya sebagai separuh mahar (itu ide bagus), tapi bukan Mile Phakpum jika dia tidak memberikan hal yang lebih fantastis.
Pria ini mendatangkan mobil Porsche 992 GT3 warna burgundy, kunci serep rumah, kunci serep kamar, kunci serep villa, kunci serep akses ke sebuah pulau yang entah dimana tempatnya, juga kartu kredit untukku sendiri.
Apa ini tidak terlalu besar? Pikirku saat membuka kotak seukuran bekal makan itu. Aku yang baru mandi dengan bathrobe putih pun duduk di tepi ranjang. Terpana heran. Sebab biasanya tangan ini hanya mengemudi truck pasir saja. Aku juga tidak tahu harus menggunakan semua kunci ini untuk apa (memang perlu ya?), karena berkeliling rumah Mile saja pasti sudah capek sendiri.
"Suka?" tanya Mile yang baru keluar dari dalam kamar mandi. Kulihat-lihat suamiku tampak menggunakan bathrobe putih yang serupa. Dia berjalan mendekat. Lalu menarik handuk kecil dari headstand untuk mengeringkan rambutnya perlahan.
"Iya, terima kasih ...." kataku. Lalu memasukkan kunci-kunci itu lagi. Semua karena memang belum kuperlukan (Mile terlalu sigap menjadi pasangan) padahal mulai besok dia bilang kita ada jadwal untuk bulan madu.
Ah, apa benar begitu sebutannya?
Aku sendiri geli memikirkan topik seperti ini. Rasanya aneh, tapi aku tidak kabur ketika Mile duduk di sebelahku.
"Gugup tidak?" tanyanya sambil menyingkirkan handuk kecil dari kepala.
"Tidak tahu," jawabku apa adanya.
Dia pun mendekat untuk mengadu hidung kami berdua. Matanya menatapku, tapi aku sendiri malah didatangi rasa kantuk mendadak.
"Menurutmu malam ini aku akan memintamu melakukannya?"
Kelopak mataku pun terangkat ke arahnya perlahan-lahan. "Tidak tahu."
"Tapi kamu sendiri mau kalau misal kutuntut sekarang?"
Aku mulai pusing dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
"Saya benar-benar tak terlalu paham kenapa bisa di sini, Phi," kataku. "Perasaan kemarin masih enak-enak saja makan croissant di tepi jalan."
"Ha ha ha ha ha ... culture shock?"
".... hm, mungkin," kataku. Lalu mendorong dadanya perlahan. "Saya tebak Anda tidak tahu rasanya mencubit Yok Manee dari dandang-nya langsung, kan? Apalagi dengan tangan penuh semen bekas cor-coran ...." (*)
(*) Yok Manee itu jajanan pasar Khas Thailand. Bentuknya mirip klepon. Lihat gambarnya di bawah ini.
Mile pun tersenyum tipis. "Memang."
"Anda mungkin kaget jika suatu hari Saya memaki-maki lagi. Main banting barang ketika marah, atau berkelahi dengan orang hanya karena tersinggung."
"Aku yakin masih bisa menanganinya, selama objek targetnya aku sendiri."
"Bagaimana jika Gabby yang menjadi sasaran Saya."
"No, you're not," kata Mile secepat angin. "Kamu bukan tipe orang yang menyakiti seseorang tanpa alasan jelas seperti itu ....."
"Iyakah?"
Mile malah mengalihkan fokus kepada rambutku. Pria ini menyingsingkan sebagian kecilnya karena ada yang mencuat. Lalu merapikan bagian itu seperti menyentuh kapas. "Bagaimana dengan tidur berpelukan terlebih dahulu?" tawarnya.
Aku pun mengatupkan bibir karena tegang dadakan. Tapi itu masih bagus daripada terjadi hal yang masih jauh sekali dalam bayangan. "Oke."
"That's cool."
"Kalau begitu Saya ganti piama sekarang."
"Hm ...."
Aku pun beranjak dari dudukku. Langsung ke lemari, tapi entah kenapa tidak nyaman buka baju sembarangan di depan matanya. Ini tak seperti saat aku kerja diantara kuli-kuli. Beda jauh. Karena meski ada yang gay, tak seorang pun dari mereka yang menjadi suamiku seperti Mile Phakpum Romsaithong. Meskipun begitu aku tetap bersikap seolah ini biasa saja. Kita sesama pria. Lalu berbalik untuk menaruh bathrobe pada keranjang cucian kotor di kamar.
"Ini betul ditaruh di sini kan?"
"Ya."
Dia masih memandangiku kemana pun kakiku melangkah.
"Soalnya Saya belum lihat ada yang dimasukkan ke dalam ...."
"Ha ha ha ha, yang penting jangan lupa pakai kaos kaki saja. Biar hangat," kata Mile saat berjalan lewat. Dia pun mencari piama juga di belakangku. Ganti baju. Lalu menepuk-nepuk dada saat sudah naik ke ranjang kami berdua. "Kemari," katanya, seolah sedang memanggil peliharaan.
Aku pun datang dalam kondisi sudah berkaus kaki. Merangkak padanya. Walau saat nyaris memeluk pria ini justru mengentikanku.
"Apa, Phi?"
"Wait, wait. Tunggu dulu aku baru ingat sesuatu ...."
"Hm?"
Mile pun segera membuka laci nakasnya. Dia mengeluarkan kalung berbandul diamond mungil pada ujungnya. Sangat elegan. Lalu memakaikan benda itu ke leherku tanpa permisi.
"Phi, tunggu dulu. Anda ini--"
"Diam sebentar, aku ini sedang berusaha memasang kaitnya," kata Mile dengan napas yang menerpa leherku. Pria ini pun membuat otakku blank total. Berdebar terlambat. Sampai-sampai aku tidak sadar kapan ditarik untuk menelungkup pada dadanya. Brugh!
"Phi Mile--!"
"Good night ...." kata Mile sambil mendekapku dengan lengan kekarnya. Pria ini bahkan langsung mematikan lampu kamar. Menghirup ubunku. Lalu terpejam tanpa peduli dengan detak jantung kami yang saling bersahut kencang.
Bersambung ....