Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 10 - 44 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 8 Oktober. Sore hari.

Chapter 10 - 44 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 8 Oktober. Sore hari.

HUT sekolah sudah dalam jangkauan 1 bulan. Untuk pertemuan ini, kita hanya akan briefing dan merekap hasil kerja keras kita semua.

Silvia Anggraini akan membacakan satu per satu agenda kegiatan HUT. Itu adalah hasil debat dan usulan kita semua berminggu-minggu lalu.

Dengan bimbingan Silvia Anggraini selama ini, kami berhasil mempersiapkan lumayan cukup bagus.

Seperti biasanya, kami duduk di bangku-bangku yang dijejer untuk membentuk kotak di ruangan. Silvia Anggraini sebagai ketua, duduk di tengah dan depan bagian dari kotak. Di sampingnya adalah guru, sekretaris, bendahara, dan seterusnya.

Kali ini, perhatian kami jatuh pada Silvia Anggraini. Tangan kami tidak bekerja, hanya telinga dan mata yang bekerja. Kecuali bagi beberapa yang perlu melaporkan di briefing ini, mereka menyiapkan laptop dan kertas di atas meja mereka. Mereka berencana membacakannya kepada semua orang.

"Kita langsung mulai saja. Tentang acara kegiatan, seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya, kita akan melakukan sama seperti tahun lalu-"

"-Anu!"

Belum satu menit telah lewat, tapi Silvia Anggraini telah disela orang lain.

Mata kami teralihkan dari Silvia Anggraini ke sumber suara. Orang itu tidak kelihatan terasa malu ketika perhatian semua orang menjadi ke arahnya. Aku mengenalnya. Orang yang menyela Silvia Anggraini adalah kakak kelas, murid laki-laki kelas tiga.

"HUT-nya 'kan sama terus tiga tahun berturut-turut. Bagi murid kelas tiga, apa mereka nggak bosen? Aku pernah denger, banyak yang ngomong bosen."

"..." Silvia Anggraini menyembunyikan kejengkelannya.

Sebelum Silvia Anggraini betul-betul memulai briefing, ada orang lain yang mengganggu begitu saja tanpa mengangkat tangan atau menyuarakan izin.

"...Maaf, tapi ini sudah disepakati bersama berhari-hari lalu. Jadwal dan kegiatannya sudah disiapkan, makanya akan susah diubah sekarang." Silvia Anggraini menjelaskan dengan sangat berusaha setenang mungkin.

Kali ini aku dikejutkan.

Kesan pertamaku bertemu Silvia Anggraini adalah emosi kemarahan.

Kesanku terhadap Silvia Anggraini sudah rendah dari awal, jadi aku sangat terkejut aku bisa melihat kemampuannya sebagai ketua sebagus ini.

Silvia Anggraini bisa saja mencaci maki kakak kelas itu habis-habisan, memarahi alasannya membolos, memarahi sikapnya yang telah menyela briefing, dan seterusnya. Ada banyak alasan yang bisa dipakai Silvia Anggraini sebagai dasar untuk marah. Namun, Silvia Anggraini tidak melakukan itu semua. Pilihan yang bagus. Dia telah menjaga martabatnya sebagai ketua.

Perbuatan kakak kelas itu tidak menyakiti siapa pun. Misalnya Silvia Anggraini betul-betul meledak marah sekarang, kami para anggota hanya bisa melihat Silvia Anggraini sebagai orang yang ingin melampiaskan amarahnya ke orangnya yang tidak bersalah. Silvia Anggraini bisa dipandang sebagai ketua yang berlebihan kerasnya, yang tidak ingin membantu atau menjawab pertanyaan anak buahnya, dan tidak bisa menerima usul atau pertanyaan apa pun. Jika itu terjadi, rumor yang kudengar memanglah betul.

Ditambah lagi, kakak kelas itu bisa saja memberitahukannya kepada teman-teman lainnya, bahwa Silvia Anggraini ini orangnya seperti ini dan itu. Dan bagi murid yang di luar Majelis yang tidak tahu detail internal Majelis Perwakilan Siswa, mereka akan menerima informasi itu apa adanya.

Tentunya ini adalah sebuah masalah karena murid di luar Majelis Perwakilan Siswa lebih banyak dari anggota Majelis. Semua orang tahu; kekuatan mayoritas bisa melakukan apa.

"Ya soalnya aku nggak datang hari itu, makanya aku nggak bisa usul." Jelasnya kakak kelas.

"Permisi. Kalau kamu tidak datang hari itu, maka salah kamu sendiri tidak datang, padahal sudah diperintahkan untuk datang. Memangnya kenapa kamu tidak datang?"

"Aku nggak diberi tahu." Katanya sambil mengangkat kedua bahunya. "Aku bagian dokumentasi. Aku kira aku nggak perlu datang setiap rapat."

Kemudian kami melihat di atas mejanya memang terdapat kertas yang bertuliskan "DOKUMENTASI".

Para anggota langsung mengutuknya dalam hati. Alasan utama para anggota mengutuknya, karena betapa mudahnya bagian dokumentasi itu.

Kebanyakan tugas dokumentasi dibutuhkan ketika acara HUT berlangsung, bukan ketika persiapan seperti ini. Mungkin mereka dibutuhkan untuk memastikan peralatannya dan sebagainya. Tapi selain itu, mereka tidak dibutuhkan ketika persiapan HUT.

Tentunya tugas dokumentasi tidak semudah yang orang-orang kira. Namun tidak penting apa kebenarannya, yang paling penting adalah kebenaran di pikiran para anggota masing-masing. Asalkan para anggota tetap mengira tugas dokumentasi itu mudah, mereka akan tetap berpikir yang macam-macam.

Tentunya, di sini yang salah tetaplah kakak kelas tersebut. Bertugas dokumentasi ataupun tidak, anggota Majelis Perwakilan Siswa tetap wajib mengikuti rapat; sesuai yang dikatakan Silvia Anggraini pada hari pertama.

"Meskipun gitu, aku 'kan sudah bilang untuk datang setiap rapat. Kenapa kamu nganggap seperti itu?"

"Ya, aku nggak tahu. Harusnya aku dibilangi kalau bagian dokumentasi juga tetep ikut. Aku juga ada ekstra (ekstrakurikuler) waktu itu."

Meskipun itu tetaplah salah kakak kelas, alasan-alasan yang disampaikan kakak kelas tersebut dapat dirasakan ke semua anggota Majelis Perwakilan Siswa. Karena bagaimanapun juga, anggota Majelis Perwakilan Siswa adalah siswa.

Mereka akan sibuk dengan hal pribadi masing-masing. Mereka harus tinggal di sekolah sampai sore padahal mereka juga punya hal-hal lainnya yang mereka harus lakukan. Mereka bukanlah pekerja kantoran, melainkan adalah pekerja sukarela. Kita tidak mendapatkan uang atas kerja keras kita, dan kebanyakan anggota di sini dipaksa menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa oleh kelas mereka.

Pasti sebagai pekerja sukarela, satu atau dua kali, sebuah pikiran untuk membolos rapat terlintas di kepala mereka. Pikiran seperti ini membuat para anggota dapat memahami mengapa kakak kelas tidak menghadiri rapat itu.

Di sini, yang salah adalah Silvia Anggraini dan kakak kelas itu. Silvia Anggraini kurang jelas mengatakan betapa pentingnya rapat pada hari itu dan betapa pentingnya kehadiran setiap anggota meskipun seharusnya mereka sudah tahu sendiri.

Silvia Anggraini terlalu tidak memedulikan anggota yang tidak peduli. Meskipun hanya satu orang yang tidak menghadiri rapat, Silvia Anggraini seharusnya menanyakan alasan kehadirannya dan menegurnya secara pribadi. Tapi Silvia Anggraini tidak memedulikan kekosongan salah satu bangku. Misalnya Silvia Anggraini menegurnya kemarin-kemarin, kejadian ini tidak akan terjadi.

Sedangkan kakak kelas itu, dia kurang bertanggung jawab. Silvia Anggraini sudah mengatakan supaya setiap anggota hadir pada setiap rapat, tapi dia tetap memilih ekstrakurikuler daripada perintah Silvia Anggraini.

"..." Dengan begini, kesalahpahaman telah terselesaikan. Kakak kelas itu tahu kenapa kegiatan HUT yang akan dilakukan akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Briefing bisa dijalankan lagi.

"-Kenapa kita nggak nambah kegiatannya lagi?" Kata kakak kelas itu sambil tersenyum.

"""!"""

Para anggota Majelis Perwakilan Siswa lainnya bisa paham ketika dia pertama kali mengusulkan pendapatnya. Tapi kali ini dia sudah tahu alasannya, jadi kenapa dia justru berani mengusulkan menambah kegiatan?

"..." Aku melihat sekitar. Banyak wajah menunjukkan kejengkelan dan kebingungan.

Meskipun kakak kelas itu mengusulkan hanya tambah satu kegiatan saja, para anggota akan tetap marah. Karena alasan para anggota marah bukanlah masalah beratnya beban tambahan kegiatan, melainkan masalah prinsip.

Rapat itu diakhiri dengan kesepakatan bahwa kegiatan-kegiatan yang dipilih itu adalah final, artinya tidak bisa diganggu gugat. Bagi yang tidak hadir, itu adalah salah mereka sendiri. 'Memangnya kamu punya hak apa mengusulkan pendapat? Salahmu sendiri tidak datang rapat waktu itu.'

Bahkan, ada beberapa murid yang lainnya tidak hadir waktu itu. Meskipun begitu, mereka yang tidak mendapat hak pilih tidak mengeluh sekarang. Mereka sendiri tahu bahwa tidak menghadiri rapat dan tidak mendapat hak usul adalah salah mereka sendiri.

Namun, kakak kelas ini tetap mengusulkan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Itu sangatlah keterlaluan.

Meskipun aku berpikir begini, tidak bijaksana jika aku mengatakan sesuatu sekarang. Aku akan terlihat sebagai seseorang yang memihak atau sedang melindungi Silvia Anggraini. Ini bisa menimbulkan banyak macam masalah lainnya. Atau aku bisa terlihat sebagai seseorang yang berani melawan kakak kelas. Bagaimanapun juga, aku tidak akan disinari cahaya yang baik. Dan itu buruk bagiku. Aku ingin posisiku netral... Kelihatannya dari keheningan ini, semua orang setuju denganku.

"..." Aku menengok untuk melihat ekspresi Silvia Anggraini dan menantikan apa yang dia katakan.

Silvia Anggraini sedang duduk dengan kedua tangannya mengepal di atas meja.

"...Terus, kamu punya saran apa?" Silvia Anggraini menanyakannya ke kakak kelas itu.

"""?""" Kali ini, kami semua yang dibingungkan.

Di sini sudah jelas siapa yang salah, jadi kenapa Silvia Anggraini tidak memarahinya?

Dari pertemuan pertamaku dengan Silvia Anggraini, aku tahu Silvia Anggraini tidak akan sungkan untuk memarahi orang lain.

Bukannya karena sikapnya yang terlalu tegas adalah alasan terbesar OSIS jadi terpecah?

Beberapa kemungkinan terlintas di kepalaku.

Ada kemungkinan Silvia Anggraini mengenal kakak kelas itu... itu tidak mungkin. Aku tidak ingat pernah mendengar kakak kelas itu memiliki hubungan apa pun dengan Silvia Anggraini.

Silvia Anggraini bisa saja diancam oleh kakak kelas itu... Aku tidak suka kemungkinan itu, tapi itu bisa saja terjadi.

Atau kemungkinan lainnya; Silvia Anggraini betul-betul tidak tahu kapan dia harus marah. Entah dia membuat semacam resolusi untuk tidak marah tadi malam atau apa, pada akhirnya, keputusannya untuk tidak marah adalah sebuah kesalahan.

Memang sikap tenang Silvia Anggraini di awal patut dipuji, tapi ketika ada seseorang yang tidak sadar atau melewati batas kebodohan, dia harus ditegur. Kalau tidak, dia akan membuat kesalahan yang sama lagi. Ini juga bisa membuat orang lain menjadi berani melakukan kesalahan yang sama dengan sengaja. Ketidaktegasan semacam ini bisa ditemukan di segala bidang kehidupan mana pun.

"Nggak tahu. Kan memang gunanya rapat gini kita kerja sama mencari tahu." Kata kakak kelas itu dengan mudahnya.

"..." Aku memerhatikan Silvia Anggraini.

Aku bisa melihat dengan jelas dia sedang menahan marah, jadi kenapa dia tidak luapkan saja? Rasanya, tidak ada dari kita yang akan melindungi kakak kelas itu.

Kami, para anggota memiliki jabatan kedudukan yang sama dengannya. Meskipun aku memarahinya, dia bisa melawanku kembali. Tapi di hadapan ketua, kedudukan kakak kelas itu jelas lebih rendah. Perkataan dan teguran Silvia Anggraini sudah jelas akan lebih efektif dan berkuasa.

Silvia Anggraini memang berhasil menjaga martabatnya sebagai ketua, tetapi sekarang, dia telah mendapat pandangan buruk dari kebanyakan anggota. Sekarang, mereka memandang Silvia Anggraini sebagai ketua yang tidak tegas. Karena ketidaktegasannya, beban kita semua menjadi sedikit lebih berat. Sangat susah menemukan titik keseimbangan sebagai ketua.

"Heh..." Ketika Silvia Anggraini terlihat kalah, kakak kelas itu tersenyum kecil. Seolah dia merasa menang dan mengolok Silvia Anggraini.

Mataku tidak melewatkan detail tersebut.

Setelah beberapa anggota menyampaikan usul-usul, sebuah usul mengenai lampion disetujui.

Setiap kelas disuruh membuat lampion yang nanti akan dikumpulkan oleh Majelis Perwakilan Siswa. Pada hari ketiga HUT sekolah, di acara malamnya, akan digantungkan lampion-lampion tersebut di atas halaman terbuka. Ini tanpa sengaja menjadi acara terakhir HUT tahun ini.

Cara kerja kegiatan lampion ini masih terlalu buram. Tidak heran, karena baru saja dibuat sekarang. Setidaknya, dasar kegiatannya sudah ditentukan.

Waktu untuk rapat sudah hampir berakhir. Detail-detail untuk kegiatan lampion yang masih perlu dirapikan akan ditunda dulu.

Silvia Anggraini akhirnya menutup rapat untuk hari ini.

"...Sebelum pulang, ada pengumuman." Kata Silvia Anggraini sedikit keras untuk menarik perhatian.

Kemungkinan, Silvia Anggraini melakukan pengumuman sebelum kita pulang, karena dia tahu akan ada banyak murid yang datang telat rapat. Misalnya dia mengumumkan ini di awal rapat, akan ada beberapa murid yang melewatkan pengumumannya sehingga perlu diulang-ulang.

Padahal sudah ada grup chat, tapi Silvia Anggraini masih mengumumkan dengan cara langsung.

"Karena HUT sudah dalam jangkauan 1 bulan, mulai minggu depan, rapat mulai semakin sering. Dan untuk semua anggota Majelis diwajibkan selalu menghadiri rapat." Silvia Anggraini menekankan kalimat terakhirnya untuk memberi tahu ke semua anggota bahwa tidak akan ada toleransi bagi yang tidak hadir lagi.

Sebelum Silvia Anggraini selesai mengatakan keseluruhan informasi, banyak anggota sudah menghela nafas dan berbisik-bisik ke orang lain.

"Sekolah tidak ingin memberatkan muridnya, jadi kegiatan pembelajaran dihentikan sampai HUT selesai. Karena memang ada kegiatan HUT yang perlu tenaga berat."

Bagi murid-murid yang telah menjalani HUT sebelumnya, mereka tahu kegiatan pembelajaran akan dihentikan sementara atau kegiatan pembelajaran dibuat lebih ringan.

Meskipun mereka sudah tahu ini akan terjadi, para anggota langsung merasa lega dan senang, berlawanan langsung dengan rasa capek yang mereka tunjukkan beberapa detik sebelumnya. Mereka memanglah anak remaja.

Kegiatan yang memerlukan tenaga berat yang disindir Silvia Anggraini tadi adalah lomba majalah dinding, lomba kebersihan kelas, dan kegiatan lampion yang baru saja diusulkan tadi.

"Mbak Silvi," Panggil salah seorang adik kelas perempuan ke Silvia Anggraini. "Kalau memang wajib hadir, ekskulnya gimana?"

"Pastinya yang diutamakan tetap persiapan HUT. Jadi, mulai minggu depan kalian bisa izin ke ekstrakurikuler kalian masing-masing."

Mendengar penjelasan Silvia Anggraini, banyak murid yang melegakan nafas.

Rupanya, kebanyakan murid di sini tidak terlalu suka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler- yang menimbulkan pertanyaan, kenapa pada awalnya mereka memilih untuk bergabung? Manusia itu memang aneh.

"Ha?! Harus bolos ekstra?"

Mendengar jeritan itu, kita semua berhenti bercakap-cakap dan menengok ke sumber suara.

Sekali lagi yang membuat suasana jadi terlalu dramatis adalah kakak kelas laki-laki itu.

"...Memangnya kenapa?" Silvia Anggraini menanyakan kembali ke kakak kelas itu dengan sesabar mungkin.

Para anggota sudah jengkel memedulikan kakak kelas itu.

Ketika mereka menyadari bahwa yang menjerit adalah kakak kelas itu lagi, beberapa murid ada yang kembali melanjutkan percakapan, meringkas barang, dan berjalan keluar ruangan.

Mungkin sampai selesai HUT ini, kakak kelas itu akan dikenal sebagai orang yang lebay dan tidak akan dianggap sungguh-sungguh.

"Ya nggak bisa! Ekstra kok bolos? Kalau ada yang bentar lagi ikut lomba?"

"...Izin ke Majelis dan ke kelasnya untuk cari penggantinya jadi anggota Majelis."

"Terus yang pingin ikut ekstra, tetep harus ikut rapat berarti?"

"Betul begitu. HUT lebih penting karena kalau gagal, tidak bisa diulang."

"Eh, kita semua 'kan punya privacy! Kalau mau gini- ya, kita punya hak."

"...Kalau gitu, minta digantikan ke kelasnya sendiri."

"Ya nggak bisa gitu dong! Kalau misalnya ganti, pekerjaannya dipindah ke dia. Orangnya 'kan pasti bingung."

"...Itu memang risikonya. Makanya dulu diberitahu, 'bagi yang mau ikut Majelis, silakan mengajukan diri.'"

"Kalau gitu ya rapatnya disingkat."

Silvia Anggraini menanggapi semua keluhan-keluhan yang tidak masuk akal tersebut dengan tenang.

Tentunya aku melihat Silvia Anggraini mengerutkan bibirnya beberapa kali, tapi dia tidak sampai membentak.

Aku mengakui aku terlalu memandang rendah Silvia Anggraini. Aku harus mengganti penilaianku terhadap Silvia Anggraini mulai hari ini.

Selama perdebatan mereka berdua, banyak anggota Majelis Perwakilan Siswa sudah keluar ruangan.

Aku masih di dalam ruangan sedang duduk di bangkuku. Aku mengerjakan tugasku sambil melirik ke mereka berdua beberapa kali.

"..." Silvia Anggraini menggeleng kepalanya. "...Pekerjaan kita itu sudah banyak. Contoh satu saja, lampion yang tadi diusulkan. Kita perlu umumkan itu ke murid-murid."

"Gampang 'kan? Gitu doang?"

"Nggak cuman itu. Perlu disampaikan cara pembuatan lampion, bahan-bahannya yang diperlukan, perkiraan harga. Terus, masih perlu dibahas lampion itu mau dibuat apa nanti setelah HUT selesai. Apa kita buang, atau disimpan saja? Perlu tenaga kerja untuk memasang lampion itu. Tenaga kerja itu diambil dari mana? Sewa dari pekerja dari luar? Minta tolong murid? Atau anggota Majelis sendiri yang masang? Kapan deadlinenya pembuatan lampion? Kalau ada murid yang telat gimana? Mulai kapan kita pasang lampionnya? Kita setuju acaranya mulai di malam hari ketiga HUT, terus kita mulai pasangnya lampion waktu pagi itu, siang itu, atau hari sebelumnya? Apa mengganggu kegiatan lain kalau dipasang waktu tertentu. Terus, kita butuh kelompok khusus mengatur lampion. Padahal semua anggota sudah terbagi di kelompok kegiatannya masing-masing. Diambil dari mana anggotanya kalau gitu? Atau kita perlu ambil murid di luar Majelis? Dan itu pun baru satu acara. Kita belum mulai persiapannya sama sekali."

Para anggota yang masih ada di ruangan, baru menyadari betapa beratnya satu tambahan kegiatan acara ini.

Aku mengira kegiatan lampion ini akan menjadi berat dan mendadak bagi para murid. Aku tidak heran jika banyak murid di kelasku akan protes ke aku nanti. Tapi aku sedikit salah. Satu tambahan ini akan memberatkan semua anggota Majelis Perwakilan Siswa, bukan cuman bagi murid di luar Majelis Perwakilan Siswa.

Alasan terbesar kami menyetujui usul Silvia Anggraini untuk melakukan semua kegiatannya sama seperti tahun lalu adalah "karena mudah".

Semua fondasinya sudah ada sejak tahun lalu. Kegagalan apa saja yang dilakukan tahun lalu cuman perlu dibetulkan. Peralatan dan bahan yang dipakai HUT dulu tidak menjadi sia-sia. Jika perlu sesuatu dari luar sekolah, kita cuman perlu menyewa di tempat yang sama seperti yang dilakukan tahun lalu. Aturan-aturan kegiatan yang dulu cuman perlu disempurnakan. Karena kita cuman perlu memakai peralatan yang sama, itu mengurangi beban keuangan murid, sekaligus untuk sekolah.

Apa yang dikatakan Silvia Anggraini tentang sulitnya lampion memang benar. Jika tidak dimulai sekarang, kapan kita bisa selesai? Kita masih harus mengurus kegiatan selain lampion.

Apa seharusnya kita membagi kelompok bukan berdasarkan perlengkapan atau dokumentasi semacam itu? Apa seharusnya kita membagi berdasarkan kegiatan dan acara? ...Rasanya sudah terlalu telat untuk mengubahnya.

"..." Kakak kelas itu menatap ke Silvia Anggraini.

Tatapannya tidak lepas dari Silvia Anggraini. Wajah kakak kelas itu dibuat sedatar mungkin dan senyumannya hilang sepenuhnya. Dia sangat berusaha menyembunyikan kemarahannya ke Silvia Anggraini.

Sebenarnya, aku mengenal kakak kelas itu. Dia bukan orang yang sebodoh ini. Jadi, ada alasan di balik perbuatannya...

Sampai selesainya rapat, tidak ada satu pun anggota yang mengatakan kejengkelan atau keluhan langsung kepada Silvia Anggraini atau ke kakak kelas itu.

Manusia adalah makhluk yang sepele. Aku bisa dengan yakin mengatakan bahwa alasan-alasan yang dilontarkan kakak kelas itu; bukanlah apa yang sebenarnya dia maksud.

Motivasi, alasan, perbuatannya semua itu lebih sepele dari yang semua orang duga. Manusia tidak menyadari bahwa seberapa tahun pun mereka menua, akan selalu ada sisi yang keras kepala, kecemburuan, tidak masuk akal, seperti anak kecil.

Semua alasan-alasan yang dilontarkan kakak kelas itu hanyalah samaran belaka. Mungkin dirinya sendiri menyadari bahwa alasan-alasan yang dia sampaikan itu tidak masuk akal, tapi tidak masalah. Baginya, tidak penting itu masuk akal atau tidak.

Alasannya yang sesungguhnya sangatlah sepele, sampai itu membuat dirinya sendiri malu. Itu yang menyebabkan manusia akan tetap berbohong.

Contohnya, ada seseorang yang ingin pulang karena lelah dan malas. Tapi dia tidak bisa mengatakan begitu saja ke orang lain, karena itu tidak sopan atau mungkin melanggar kewajibannya. Jadi orang ini beralasan bahwa ada tugas PR yang harus segera dikerjakan.

Dia memalsukan alasan untuk membuat orang lain melakukan apa yang dia inginkan.

Terkadang, kita bisa tahu ketika seseorang sedang berbohong. Meskipun begitu, kita tetap memutuskan untuk tidak mengungkapkan kebohongan orang lain.

Manusia sebagai makhluk sosial dikondisikan untuk memperhatikan suasana. Kita diajarkan untuk tidak menyentuh topik sensitif.

Misalnya ada salah satu anggota Majelis Perwakilan Siswa memarahi langsung ke kakak kelas tadi dan menyatakan alasannya yang sepele itu, suasana akan jadi kaku. Anggota yang mengungkap itu bisa dikira tidak sopan, membuat marah, merusak orang lain. Karena jika dilihat dari luar, anggota itu sedang mengolok orang lain tanpa alasan apa pun.

Maka dari itu, para anggota lainnya tidak mengatakan apa pun kepada kakak kelas tadi, termasuk Silvia Anggraini sendiri.

Selain masalah sosial, ada masalah bukti... Misalnya anggota itu ditanyai, dia hanya akan bisa menjawab, "dia berbohong karena aku tahu dia berbohong" dan tentunya, itu bukanlah bukti yang konkret.

Sayangnya, kita sebagai manusia tidak bisa membaca pikiran orang lain.

Kita tidak akan pernah bisa betul-betul tahu alasan mengapa manusia melakukan ini dan itu. Seberapa pun orang bisa membaca bahasa tubuh orang lain, asalkan masih ada kata "kemungkinan", itu tetaplah bukan 100%. Dan "kemungkinan" inilah salah satu penyebab yang membuat kita tidak dapat menyuarakan keluhan kami kepada kakak kelas tadi.

Sebenarnya, alasan-alasan yang dia sampaikan mengandung sedikit kebenaran. Meskipun sedikit, itu tetaplah kebenaran.

Para anggota tahu sendiri dari dalam benak hati mereka, bahwa acara kegiatan HUT tahun ini akan dilakukan persis tahun-tahun lalu.

Jujur saja, misalkan kakak kelas itu membuat alasan bodoh dan sepele seperti, "murid SMA harus kreatif" untuk membenarkan keluhannya, tidak akan ada banyak orang yang berani menentangnya.

Lalu apa alasan sebenarnya kakak kelas itu bersikap aneh?

Aku tahu dia tidak bodoh. Aku tahu dia tidak menyukai Silvia Anggraini. Tapi apa yang mendorongnya sampai seperti tadi?

Bagaimanapun juga, Silvia Anggraini adalah ketua. Jika ketua tidak memiliki karisma, mereka tidak akan mendapatkan hormat dari anggotanya. Apalagi dalam kelompok sebesar ini, di mana itu sangat diperlukan.

Orang seperti aku sebenarnya tidak terlalu percaya terhadap eksistensi "karisma". Itu dikarenakan aku tidak mudah dipengaruhi. Tapi aku telah melihat sendiri efek karisma terhadap orang lain. Karisma ini dapat membuat orang berpikir tidak sia-sia melakukan sesuatu yang membuang waktu.

Tapi rasanya, bukan masalah karisma. Bukan itu.

Silvia Anggraini memiliki "karisma". Meskipun karisma Silvia Anggraini tidak sangat luar biasa, karisma tetaplah karisma.

Bagaimana mungkin orang-orang tidak merasa kagum terhadap Silvia Anggraini?

Silvia Anggraini bekerja keras lebih dari siapa pun. Dia yang membuat persiapan HUT ini berjalan luar biasa lancar. Perbuatan dan hasil Silvia Anggraini sampai membuat banyak anggota berpikir, "untung saja aku tidak jadi ketua Majelis Perwakilan Siswa."

Jadi, apa masalahnya?

...

...Jika dugaanku benar, ini adalah masalah umur... Lebih tepatnya adalah perbedaan angkatan kelas.

Masalah paling sepele yang pernah kudengar. Dari awal aku memang punya perasaan bahwa alasannya adalah sepele, tapi ini sangatlah bodoh.

Silvia Anggraini adalah murid kelas 11 SMA, dan kakak kelas itu adalah murid kelas 12 SMA.

Mungkin harga diri sebagai seseorang yang lebih tua yang tidak ingin mengakui Silvia Anggraini sebagai ketua. Memang, HUT sekolah di tahun-tahun sebelumnya selalu menjadikan kelas 12 SMA sebagai ketua... dan tahun ini menjadikan murid kelas 11 menjadi ketua.

Atau alasan lainnya karena penghancur OSIS, Silvia Anggraini, menjadi ketua persiapan HUT, maka dari itu dia membencinya...?

Rupanya, selisih satu tahun angkatan adalah masalah besar bagi murid SMA.

Inilah kesimpulan yang kuambil dari bukti-bukti yang kurenungkan. Walaupun aku masih kesusahan menemukan titik pemahaman.

Aku juga mengingat ketika Silvia Anggraini menanyakan umurku di rumah makan. Jadi baginya, umur adalah hal yang besar... aku masih tidak dapat memahami manusia.

Bagaimanapun juga, hal sepele ini menyebabkan masalah yang lebih besar dari yang kuduga.