Kegiatan lampion akhirnya sudah selesai diringkas. Sekarang, tinggal tugasnya para anggota Majelis Perwakilan Siswa untuk memberitahukan ke kelasnya masing-masing.
Pada jam istirahat aku berdiri di depan kelas. Mereka mendiamkan diri menantikan apa yang akan kukatakan.
"Ada tambahan lagi selain mading." Aku berkata sesantai mungkin. Aku di sini bukan sebagai ketua atau guru. Aku adalah teman sekelas mereka dan sepatutnya aku berbicara seramah mungkin. "Jadi nanti ada lampion di hari terakhir HUT. Di puncak HUT." Jelasku lebih singkat. "Per kelas buat tiga lampion. Ini aku kirim contoh cara buatnya ke grup." Kataku sambil memegang handphone.
Selagi aku mengirimkan detailnya, aku bisa mendengar keluhan di sana sini. Tidak ada yang suka kerja tambahan yang mendadak.
"Nggak harus sama plek. Asalkan bisa nyala aja." Aku menenangkan mereka.
"Lampionnya buat apa?" Seorang murid bertanya.
"Nanti di hari ketiga, lampionnya sudah dipasang di atas halaman. Dinyalakan waktu malam hari ketiga."
"'Dipasang di atas' gimana?"
"Jadi nanti ada tali dari gedung satu ke gedung dua. Semua lampionnya dipasang di tali itu. Santai aja. Bagus kok nanti."
"Bahannya gimana?"
"Kita beli sendiri. Iuran kayak gitu. Ini Majelis sudah cari toko buat beli bahan-bahannya, nanti bisa dicek. Atau kalian sudah tahu toko yang mana, atau toko yang deket rumah kalian mungkin?"
Aku dan teman sekelasku melakukan sesi tanya-jawab dan diselingi senda gurau hingga beberapa saat.
Reaksi mereka lebih bagus dari yang kuduga. Aku bersyukur atas kerja kerasku berteman baik dengan mereka semua.
Sore ini ada rapat seperti biasa. Rapatnya selesai lebih cepat dari biasanya, tapi aku masih tetap di ruang multimedia. Itu karena aku ingin di sini dan beberapa anggota Majelis Perwakilan Siswa masih tetap mengerjakan di sini.
Ketika aku mulai semakin sering berkerja sebagai anggota Majelis Perwakilan Siswa, aku bisa melihat kenapa kantor diciptakan. Aku bisa melihat betapa efektifnya kondisi dan lingkungan kantor terhadap efisiensi kerja.
Memang pada awalnya sekolah dibuat untuk mempersiapkan murid untuk lingkungan kerja, bukan? Atau hanya aku saja yang semakin lama menjadi terbiasa dengan perasaan budak ini?
"Hm?" Selagi aku berpikiran aneh-aneh untuk tidak jadi sinting, aku menyadari dua orang sedang mendekatiku dan aku melepas tanganku dari laptop.
"Belum selesai?" Sapa Calista Anita.
"Belum." Jawabku sambil menghembuskan nafas dan duduk menyandar, menunjukkan bahwa aku beristirahat. "Kenapa belum pulang?"
"Rapatnya sudah selesai, 'kan? Kamu kenapa juga belum pulang?" Katanya sambil menengok ke pintu keluar, memperlihatkan beberapa murid yang sedang berjalan keluar ruangan.
"...Lebih enak di sini."
Aku kebingungan dengan tindakan Calista Anita. Alex Mahes ada di belakangnya, tapi dia tidak ikut dalam perbincangan, seolah dia di sini karena ditarik Calista Anita.
Dan Calista Anita sangat aneh sekali. Rasanya mereka di sini cuman untuk bertemu denganku. Itu bukan masalah besar sebenarnya. Teman tidak harus bertemu atas dasar kebutuhan saja. Aku tahu itu, hanya saja aku tidak pernah terbiasa dengan perasaan ini.
"Terus? Ada apa kok kalian belum pulang?"
"Makan ke kantin yuk."
"Hah? Masih buka?" Ini sudah sore dan jam pulang sekolah.
"Masih kok."
"..." Aku melirik ke Alex Mahes. Dia hanya mengangguk, seolah setuju untuk makan di kantin.
Kenapa mereka naik tangga capek-capek cuman untuk mengajakku makan (makan sore)? Apa yang terjadi dengan aplikasi kirim pesan di handphone?
Ada apa ini?