Minggu ini, hanya akan ada pelajaran kosong. Tapi sebagai gantinya, kita semua fokus pada persiapan pelaksanaan HUT yang akan tiba dalam beberapa hari lagi. Aku, sebagai anggota Majelis Perwakilan Siswa, juga semakin sibuk dengan mendekatnya hari HUT.
Pagi ini, aku langsung menuju ke ruang multimedia. Hari ini aku sama sekali belum masuk ke kelasku sendiri. Karenanya, aku kehilangan banyak kesempatan untuk mendengar apa yang teman sekelasku sedang bicarakan.
Apa boleh buat? Aku tidak bisa ada di dua tempat sekaligus.
Tapi, bukan berarti ini tidak termasuk dalam dugaanku. Sebagai anggota Majelis Perwakilan Siswa, aku mendapat banyak kesempatan bertemu dan berbicara orang-orang di luar kelasku dan di luar angkatanku. Namun, belakangan ini aku mulai kehilangan keuntungan sebagai anggota Majelis Perwakilan Siswa.
Sudah jelas kelihatan berkurangnya jumlah anggota di dalam ruang multimedia dibandingkan hari pertama para anggota Majelis Perwakilan Siswa berkumpul.
Jam Istirahat.
Sebelum, sesudah, ataupun saatnya jam istirahat, sekolah tetap dilingkupi dengan suasana ramai. Murid-murid ke sana kemari membawa barang-barang, setiap kelas diisi dengan keramaian, ada murid-murid yang sedang bermalas-malasan dan tidak membantu, ada murid-murid yang disuruh ke sana kemari untuk membeli jajan dan minum.
Jika aku ditanya, "apakah kamu suka keramaian?", maka akan kujawab iya.
Sudah wajar untuk memanfaatkan segala macam situasi demi keuntungan diri sendiri.
Akan ada banyak keuntungan yang bermacam-macam jika aku memanfaatkan keramaian. Tapi di saat yang sama, aku kesulitan mendengar perbincangan orang lain. Jika aku sulit mendengar perbincangan orang lain, itu berarti orang lain juga kesulitan mendengar perbincangan orang lain. Masuk akal.
Ketika manusia mengetahui bahwa mereka berada pada situasi yang aman, mereka menjadi lengah. Psikologi ini menjadi dasar dari rencanaku.
Mereka mengira bahwa dirinya itu tidak penting dan tidak berarti bagi orang lain. Mereka berpikir: "mana mungkin ada orang yang akan memperhatikan setiap tindakan dan perkataan yang aku ucapkan?" Itu artinya, kebanyakan orang akan merasa lebih lengah di tengah keramaian yang berisik. Contohnya pencurian dompet di tengah parade karnaval. Kasus pencurian barang sering terjadi di tengah keramaian. Tentunya itu tetap tergantung pada masing-masing sifat orang itu; apa mereka sering berhati-hati atau tidak.
'Bagaimana dengan saat ketenangan? Bukannya orang menjadi semakin lengah?'
Awalnya, aku pernah berpikir begitu. Tapi mendengar cerita dan pendapat orang lain, sepertinya tidak begitu.
Kemungkinan, manusia sudah lebih sering dan terbiasa dikelilingi keramaian dan suara, jadi ketika tiba-tiba dunia menjadi hening, mereka tidak menyukai hal tersebut.
Contoh yang paling simpel, dari kisah yang aku dengar, tentang bagaimana ketika orang tua mereka tidak ada di rumah dan sama sekali tidak ada orang di rumah, hanya dirinya sendiri. Tindakan yang diambil bukannya memanfaatkan keheningan tersebut, melainkan sebaliknya. Katanya, dia terlalu ketakutan sampai dia tidak berani keluar dari kamar.
Maka, di saat keramaian; justru bukan di saat ketenangan itulah manusia menjadi yang terlengah. Di saat-saat inilah, informasi mengalir dengan luar biasa.
Tidak sia-sia aku belajar dan berlatih cara membaca mulut dan cara memfokuskan pendengaran.
Aku ingin berjalan-jalan untuk menyapa dan melihat situasi di kelas sekitar, tapi aku harus mengutamakan kelasku terlebih dahulu supaya aku bisa mendapat gambaran jelas tentang situasi di dalam kelas.
Aku bisa saja bertanya kepada Alex Mahes dan Calista Anita, atau ke teman sekelas yang lainnya lewat handphone. Tapi, lebih banyak hal yang bisa terungkap dengan melihat menggunakan mata kepala sendiri.
Aku masuk ke dalam kelas dan tidak terkecuali, kelasku juga sangat ramai. Yang paling sibuk dan ramai adalah yang sedang mengerjakan majalah dinding.
Para murid yang mengerjakan majalah dinding, sedang duduk di lantai dengan papan besar menyebar di lantai. Bangku-bangku dipinggirkan ke pinggir tembok. Ada barang dan sampah berserakan di sekitar mereka. Pekerja majalah dinding saling meminta dan meminjamkan alat dan bahan satu sama lain. Agak jauh dari majalah dinding, ada yang sedang menulis sesuatu di kertas berwarna sebagai artikel untuk dipasang di majalah dinding.
Sebenarnya, apa manfaat dari ini semua? Ini hanya pembuangan uang. Aku terlalu aneh untuk kegiatan "masa muda" ini.
Para murid terlalu sibuk untuk menyadari keberadaanku. Aku tidak menyapa mereka semua.
Ketika aku sudah selesai melihat sekitar dan lokasi setiap murid di kelasku, aku berjalan ke kelompok yang kunilai sangat menguntungkan untukku.
Daripada mendekati sahabatku, Calista Anita yang sedang menghias majalah dinding, justru aku berjalan ke arah lain. Aku mendekati sahabatku satunya yang sedang mengerjakan lampion berwarna merah.
"Alex, aku bantuin." Panggilku dari belakangnya untuk menarik perhatiannya.
"Oh!" Alex Mahes menengok ke belakang. "Ngapain di sini? Tugasmu sudah selesai?"
"Belum." Aku menggelengkan kepalaku. "Tugasku tambah banyak. Gara-gara banyak yang keluar, aku disuruh ngerjakan tugasnya orang lain. Pas jam istirahat, aku izin mau lihat kelasku." Kataku sambil ikut berjongkok untuk menyesuaikan ketinggianku dengan yang sedang bekerja.
Aku menjelaskan alasanku sedetail mungkin untuk memberi impak terhadap tindakanku ini, seolah aku mengatakan bahwa aku rela menyibukkan diriku lebih lagi untuk temanku.
Aku melihat ke kerangka lampion dan bahan-bahan yang berserakan di sekitarnya untuk mengetahui apa yang bisa kubantu.
"Ohh. Nggak usah repot ke sini lah kalau sibuk."
"Aku sungkan nggak ngelakuin apa-apa buat kelas." Kataku sambil mengambil sebuah gunting dan kertas plastik berwarna merah yang sudah digarisi.
"Sok banget! Ngomong aja kamu capek di Majelis." Balas Alex Mahes dengan senda gurau.
"Ya setengahnya memang gara-gara capek, sih." Balasku kembali sambil mengguntingi kertas.
"Ah itu- kalau udah, kertasnya dilem. Sori ya, padahal lagi istirahat." Alex Mahes menunjuk ke kertas yang kupegang.
"Nggak apa, bro."
Biasanya aku akan berjalan ke tempat parkir bersama orang lain, tapi kali ini aku berjalan sendirian.
Majelis Perwakilan Siswa sudah kehilangan sebagian besar anggotanya. Yang masih datang ke ruang multimedia, biasanya mereka akan pulang terlebih dahulu atau hanya menengok keadaan Majleis Perwakilan Siswa karena merasa bersalah.
Silvia Anggraini juga masih di ruang multimedia karena sedang berbincang-bincang dengan guru pembimbing. Dan meskipun dia punya waktu luang, Silvia Anggraini tidak akan ingin pulang bersamaku.
Aku berjalan tidak menuju tempat parkir, melainkan ke kelasku.
Suasana di sekolah hening.
Memang untuk belakangan minggu ini, murid-murid tidak diwajibkan untuk tetap tinggal di sekolah sampai jam pulang sekolah berbunyi. Dan tentunya, bagi manusia yang berstatus "murid", tidak ada yang tidak suka pulang lebih awal dari biasanya.
Maka dari itu, ketika aku berjalan ke kelasku, aku menengok sekitar dan itu memberi suasana suram dan mengerikan. Mungkin karena sekolah sangat sering diisi dengan keramaian, keheningan ini memberi efek luar biasa.
Aku mencatat penemuan psikologi ini ke dalam kepalaku.
"Iya, 'kan?" Gumamku ketika melihat ke dalam kelas.
Karena memang tidak ada pelajaran dan sepanjang hari hanya mengerjakan sesuatu untuk HUT, bagi murid biasa, ini sangat membosankan. Maka dari itu, aku tidak kaget ketika ada sampah berserakan dan bangku-bangku berantakan.
Meskipun aku menghela nafas, aku tetap saja berjalan ke tempat berkumpulnya alat-alat kebersihan.
Tidak ada yang meminta. Tidak ada yang berterima kasih. Seperti yang Calista Anita katakan dulu, aku ini aneh.
Aku sudah terlalu telat untuk menanyakan alasan dari perbuatanku. Mungkin hanya masalah pendirianku?
Tentunya, tidak akan mungkin aku melakukan ini selamanya. Suatu hari nanti, aku akan lelah dan bosan. Lihat saja nanti.
Aku membersihkan kelas sendirian... lagi. Aku memastikan tidak membuang sampah bagi beberapa barang yang aku tidak yakin adalah sampah.
Aku tidak ingin membuang-buang waktu di sini lagi, jadi aku segera menaruh peralatan kebersihan kembali ke tempatnya setelah selesai membersihkan secukupnya. Kemudian, aku mengambil tasku yang kuletakkan di salah satu meja.
"...a..."
Telingaku menangkap suara redup di kejauhan ketika aku melangkah keluar kelas.
Aku melirik ke ujung lorong untuk mencari sumber suara. Tidak ada satu pun jiwa yang dapat kulihat.
Aku memfokuskan ke pendengaranku lagi. Suara-suara lain mulai masuk. Suara para murid yang sedang bermain sepakbola, suara mesin motor di tempat parkir, suara murid berbincang-bincang di tangga, suara air mengalir, dan suara tangisan.
Aku berjalan ke arah kamar mandi.
Kakiku berhenti tidak tepat di depan pintu kamar mandi, tapi cukup jauh sehingga aku bisa mendengar suara-suara di kamar mandi perempuan.
"Ahahahaha! Rasain nih!"
"Kalian... mau apa sih kalian?!"
"Ih, ih, jijik. Airnya mana lagi? Masih kotor nih cewek."
"...Awas!"
"Kya!"
"Gimana rasanya? Udah seger?"
"Eh, eh, nih cewek punya duit?"
"Aku- nggak punya uang!"
"Hahahaha!"
"Emangnya kenapa, bos? Lagi sempit duit?"
"Jangan! Jangan!"
Sangat ceroboh. Mereka sama sekali tidak berusaha menyembunyikan pembulian mereka, bahkan tidak menahan suara mereka. Apa mereka sangat percaya diri bahwa tidak akan ada orang yang memberitahukan mereka ke guru? Tapi itu bukan urusanku. Mereka tertangkap guru atau tidak, itu sama sekali bukan urusanku.
Jika aku dapat menangkap mereka melakukan pembulian di sini, maka orang lain yang lebih dekat dari sini, pasti juga dengan mudah mengetahui perbuatan mereka. Namun buktinya? Sampai sekarang, pembuli-pembuli ini masih melanjutkan perbuatan mereka.
Ah...
Aku jadi teringat terhadap hukum "Good Samaritan". Betapa enaknya hidup jika hukum tersebut berlaku di semua sekolah.
Hukum "Good Samaritan" mendapat nama ini dari Alkitab penganut agama Katolik dan Kristen. Di cerita di Alkitab berisi seperti ini: seorang Yahudi diserang dan dirampok, kemudian ditinggalkan begitu saja di tengah jalan selagi penuh dengan luka. Imam Yahudi, seorang Lewi, maupun asisten imam, melewati orang Yahudi tersebut tanpa memberikan bantuan. Namun, ketika seorang Samaria melihat orang Yahudi tersebut, orang Samaria itu merawatnya, membawanya ke penginapan dan membayar segala biaya yang diperlukan. Pada waktu itu dalam sejarah, orang Yahudi dan orang Samaria saling membenci. Inilah asal-usul nama hukum tersebut.
Namun, cerita yang sebenarnya kenapa hukum ini diciptakan lebih menjijikkan. Pada tahun 2006, di Cina, seorang laki-laki membantu seorang wanita berumur 66 tahun ke rumah sakit setelah wanita tersebut jatuh di halte bis. Wanita tersebut memberi tahu bahwa dia dijatuhkan oleh laki-laki tersebut dan dia ingin laki-laki tersebut membayar biaya medis. Laki-laki tersebut menolak. Sebagai gantinya, wanita tersebut mengajukan gugatan atau penuntutan perkara. Tanpa bukti yang jelas, laki-laki tersebut akhirnya harus membayar 40% biaya medis. Kasus ini menimbulkan kegemparan secara nasional dan sebuah pertanyaan: "haruskah aku membantu orang lain?"
Cerita ini belum selesai. Seorang laki-laki berumur 57 tahun jatuh pingsan di pinggir jalan. Dalam delapan menit, empat mobil dan dua puluh tiga orang melewatinya tanpa membantunya. Salah satu dari mobil tersebut, justru memutar balik dan menindasnya. Laki-laki tersebut meninggal dunia setelah diantar ke rumah sakit.
Masih ada banyak cerita sungguhan lainnya yang menjelaskan betapa menjijikkannya pemikiran manusia dan betapa pentingnya hukum "Good Samaritan" ini.
Di Indonesia, tidak ada hukum "Good Samaritan", tapi alternatifnya ada di Pasal 531 KUHP. Isi Pasal 531 KUHP berisi tentang sanksi yang akan diberikan, jika seseorang tidak menolong orang lain meskipun orang tersebut menyaksikan sendiri ada orang yang dalam bahaya maut.
Jika sekolah menegakkan aturan ini, pembulian tidak akan menjadi masalah besar. Jika dipikir dengan baik, yang membuli biasanya adalah sebuah kelompok berisi beberapa orang. Jumlah murid dalam satu sekolah bisa berisi ratusan orang (tergantung lokasi sekolah). Secara logis, jumlah ratusan itu bisa dengan mudah membinasakan ketika satu kasus pembulian muncul. Tapi manusia bodoh, jadi apa boleh buat?
Itulah betapa busuknya manusia itu. Ketika hidup mereka sendiri yang terancam, mereka tidak akan ragu membuang rasa malu dan harga diri mereka untuk keselamatan diri mereka sendiri. Tapi di saat yang sama, aku juga sama seperti mereka.
"..." Aku mengeluarkan alat perekam suara dari kantongku.
Aku tidak perlu menyalakannya, karena sebelum aku sampai dekat kamar mandi perempuan pun, alat perekam suara ini sudah menyala.
Aku melihat ke alat perekam suara ini sambil berpikir dan bertimbang-timbang.
Saat ini aku sedang memegang bukti yang tidak dapat diungkir balikkan. Namun, ini belum cukup.
Meskipun aku melaporkan ke guru, meskipun aku memiliki bukti, itu tidak akan mengubah apa pun. Jika masalah pembulian dapat diselesaikan semudah itu, maka dari dulu pembulian sudah akan punah.
Jika aku memberitahukan ini kepada guru sekarang, itu hanya akan memperburuk pembulian, atau akan mengganti targetnya padaku. Para pembuli hanya akan dimarahi dan diperingatkan, kemudian mereka akan diawasi. Hanya begitu saja.
Aku belum pernah mendengar ada kasus tentang murid yang dikeluarkan sekolah karena melakukan pembulian. Setidaknya di area kota ini, tidak ada kasus seperti itu.
Sekolah tahu sendiri konsekuensi membuat murid keluar sekolah. Bukan masalah moral, tapi masalah reputasi. Misalnya, telah keluar informasi tentang pembulian di sekolah ini, dan ketika pihak media menangkap hal tersebut, mereka tidak akan melepaskannya begitu saja.
Jurnalis, wartawan, dan seterusnya, tidak akan memedulikan akibat dari penyebarluasan informasi tersebut; asalkan mereka dapat membuat orang-orang tertarik ke cerita yang mereka ceritakan.
Kaum masyarakat yang kemudian mendengar hal ini, tidak akan diam saja. Kebanyakan orang tua adalah orang tua yang memiliki anak yang sedang sekolah, jadi hal-hal seperti ini membuat mereka sensitif. Karena pada dasarnya, tidak ada orang tua yang ingin anaknya tersakiti. Mereka akan mengkritis sekolah dan guru karena telah membiarkan pembulian dari awal terjadi. Dan akibatnya, sekolah yang dikritis akan mengalami penurunan calon murid yang mendaftar tahun berikutnya.
Itulah singkat ceritanya: jika sekolah bertindak atas pembulian.
Maka dari itu, sanksi yang paling buruk yang sekolah akan berikan, adalah menghukum murid kembali ke rumah.
Pembuli-pembuli itu mungkin tidak terlalu tahu tentang hal ini, tapi mereka paham bahwa sekolah tidak akan bertindak besar asalkan mereka menjaga jarak jumlah korban tetap kecil.
Dan meskipun teguran dan hukuman-hukuman itu membuat pembuli berhenti, mereka tidak akan berhenti selamanya. Mereka akan menemukan waktu dan tempat tersembunyi; untuk kembali melakukan pembulian.
Karena sekolah tidak akan bertindak, para murid juga tidak mau menghentikan pembulian karena akibatnya adalah mereka yang nantinya bisa jadi target pembulian.
Maka saat ini, aku tidak dapat bertindak. Jika aku bertindak sekarang, maka itu akan menimbulkan efek sebaliknya. Masalah pembulian tidak bisa diselesaikan dengan mudah dan selesai saat itu juga. Masalah pembulian harus dicabut dari akarnya langsung.
Aku jadi teringat Silvia Anggraini. Jika dia ada di sini, dia tidak akan memikirkan tentang konsekuensi sekarang. Terkadang aku iri dengannya; yang bisa berpikiran sesimpel itu.
"uu..uua..."
"Aaah, nangis udah nih anak."
"Udah ah, cabut yuk."
Ketika aku mendengar mereka berkata begitu, aku melangkah pergi.
Aku naik tangga, menuju ke ruang OSIS.
Aku tahu satu perempuan yang kebalikan dariku. Dia tidak memiliki wajah ataupun topeng lain. Dia bukan pembohong, tapi juga masih naif.
Aku tahu dan yakin 100% Silvia Anggraini ada di ruang OSIS.
"Masih sibuk?" Kataku sambil membuka pintu tanpa mengetuk pintu.
Di situ Silvia Anggraini sedang duduk di bangku dengan meja yang paling besar daripada bangku lainnya. Kemungkinan, bangku itu khusus bangku untuk Ketua OSIS.
Aku melihat sekitar ruangan, sama seperti yang orang-orang katakan, tidak ada anggota lain selain Silvia Anggraini sendiri. Rak buku penuh berisikan semacam dokumen-dokumen dan kertas-kertas. Di dinding terdapat berbagai foto yang terpajang, kemungkinan adalah foto-foto generasi OSIS-OSIS sebelumnya.
Sebagai calon saudara tiri, kami berdua sudah menyetujui kesepakatan tak terucapkan, yaitu untuk tidak mengatakan persoalan keluarga ini ke orang lain. Kesepakatan tersebut juga berisi untuk tidak sering-sering berbicara dengan satu sama lain supaya tidak terlihat dekat atau mengenal dalam.
Jadi ketika aku masuk ke ruang OSIS dengan kurang ajar, Silvia Anggraini melihatiku dengan tajam dan celaan; karena ada kemungkinan ada orang lain yang melihatku masuk. Ditambah lagi, aku tidak punya alasan logis untuk datang ke ruang OSIS. Jujur saja, tidak banyak murid yang ingin atau berani masuk ke ruang OSIS, selain anggota OSIS itu sendiri.
Aku tidak menyalahkan ketika dia melihatiku seperti itu.
"Tahu sopan santun?" Tegur Silvia Anggraini.
"Nathania Dea sedang dibuli."
"?!" Silvia Anggraini langsung bangkit diikuti suara gaduh dari tempat duduknya. "Di mana dia?!"
Aku tidak menyangka hanya dengan menyebutkan nama Nathania Dea saja, itu membuat Silvia Anggraini seperti ini. Dia bahkan tidak menanyaiku motivasi di balik tindakanku.
"Di kamar mandi."
Silvia Anggraini keluar dari belakang pintu dan berlari ke pintu, ke tempat di mana aku berdiri.
Dia bahkan tidak menanyai kebenaran jawabanku. Entah karena dia terlalu terbawa emosi atau pembuliannya sangat sering terjadi sampai dia tidak heran lagi.
"Kamu juga ikut!" Teriaknya ke belakang sambil lari. "Memangnya akan kubiarkan di sini sendirian?! Tutup pintunya!"
Kami menemukan Nathania Dea terduduk meringkuk dengan tubuh dan pakaian basah di lantai kamar mandi perempuan.
"...!" Ketika melihat apa yang telah terjadi, Silvia Anggraini terpaku di tempat dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Aku menepuk punggung Silvia Anggraini dengan pelan, dan dia langsung tersentak tersadar. Aku memberitahunya bahwa ada handuk di UKS.
Silvia Anggraini membantu Nathania Dea berjalan ke UKS. Aku hanya mengikuti mereka tanpa mengatakan apa pun.
"Dea?" Panggil Silvia Anggraini sambil mengeringkan rambut Nathania Dea dengan handuk.
"..." Nathania Dea hanya tetap diam saja duduk di atas kasur.
Sedangkan aku hanya berdiri jauh dari mereka.
"...Sudah cukup, Silvi." Katanya pelan sambil menurunkan tangan Silvia Anggraini dari mengeringkan rambutnya.
Perkataan Nathania Dea bisa bermaksud dua arti. Apa dia mengatakan bahwa sudah cukup mengeringkan rambut atau sudah cukup... atas ini semua. Dan yang Silvia Anggraini ingin dengar hanyalah arti berhenti mengeringkan rambut.
"Aku sudah nggak kuat lagi, Silvi!"
Itu menyakiti hati Silvia Anggraini.
Kemudian, apa yang akan Silvia Anggraini katakan? Apa Silvia Anggraini akan meyakinkan Nathania Dea untuk tidak menyerah lagi, setelah semuanya ini? Setelah gagal menyelamatkan temannya, apa dia sebenarnya punya hak untuk melakukan itu? Bukannya lebih baik Nathania Dea menyerah daripada lebih semakin disakiti lagi? Aku ingin tahu. Aku ingin tahu.
Terkadang bukan musuhlah yang sangat menyakitimu, tetapi orang terdekatmulah yang lebih menyakitimu. Dan di sini, Silvia Anggraini adalah teman baik yang menyakiti.
Dan Silvia Anggraini memberikan jawabannya: "..." Silvia Anggraini hanya terdiam.
Setelah Silvia Anggraini mengunci ruang OSIS, aku dan Silvia Anggraini menemani Nathania Dea pulang ke rumahnya.
Selama perjalanan kami bertiga tidak mengatakan apa pun sama sekali. Keheningan hanya mengisi di antara kami bertiga. Khususnya aku.
Seharusnya aku tidak di sini, tapi aku tetap mengikuti mereka dan mereka tidak mengatakan apa pun. Aku hanya roda ketiga.
Kami sampai di depan rumahnya.
"..." Kami bertiga turun dari sepeda dan Nathania Dea mendorong sepedanya ke gerbang depan rumahnya tanpa mengatakan apa pun.
Aku menengok ke Silvia Anggraini, dan kulihat dia sedang menggigit bibirnya.
Apakah Silvia Anggraini akan membiarkan semuanya berakhir dengan begini? Akankah dia tidak memilih apa pun?
"Dea...!" Silvia Anggraini berteriak untuk terakhir kalinya. Inilah Silvia Anggraini yang kukenal.
Nathania Dea berhenti berjalan mendengar panggilan temannya.
Nathania Dea berpaling ke belakang dan tersenyum. "Maaf dan terima kasih, Silvi... Aku nggak ingin ngrepotin kamu lagi... Kamu sibuk 'kan? Sebentar lagi 'kan ada HUT... Jadi semangat ya, Silvi..." Nathania Dea mengatakan itu semua dengan memaksakan dirinya. Itu semua tampak dari wajah maupun suaranya.
Luar biasa. Hanya itu yang bisa kupikirkan ketika melihat Nathania Dea.
Beberapa hari yang lalu aku melihat Nathania Dea akan jatuh dari atap karena ingin bunuh diri. Sekarang, dia sedang tersenyum dan justru menyemangati Silvia Anggraini.
Tentunya itu hanyalah semacam akting saja; untuk menyembunyikan kesakitan yang menjerat hatinya. Tapi bukan itulah yang aku kagumi. Melainkan adalah bagaimana Nathania Dea sedang tersenyum untuk tidak membuat khawatir sahabatnya, Silvia Anggraini.
Setelah semuanya ini, dia masih bisa memedulikan orang lain?
Nathania Dea tidak ingin membuat Silvia Anggraini merasa bersalah. Dengan demikian, Nathania Dea memasang topeng.
Aku sungguh terkagum.
Nathania Dea memiliki kartu yang bisa dimainkan setiap saat; yaitu kartu "Korban". Nathania Dea bisa melakukan apa pun kepada Silvia Anggraini dengan memainkan kartu tersebut.
Nathania Dea berhak mengutuk Silvia Anggraini. Nathania Dea berhak menyalahkan Silvia Anggraini.
Namun, itu semua tidak Nathania Dea lakukan.
Aku memang bukan ahli dalam psikologi manusia, tapi dari pengalaman hidupku selama ini, aku bisa mengatakan bahwa dia adalah manusia terkuat yang pernah aku temui; opiniku memang terdengar kontradiktif.
Sayangnya, itu sia-sia.
Justru, itu membuat Silvia Anggraini tidak bisa menyuarakan perkataannya.
Usaha Nathania Dea membuat Silvia Anggraini tidak merasa bersalah justru menimbulkan efek yang sebaliknya.
Silvia Anggraini tahu bahwa Nathania Dea melakukan ini semua untuk membuat dirinya tidak merasa bersalah. Silvia Anggraini tahu maksud dari topeng itu.
Dan fakta itu, membuat Silvia Anggraini semakin menderita.
Silvia Anggraini tidak dapat memilih apa pun. Silvia Anggraini tidak dapat meneriakkan dukungan ataupun permintaan maaf. Silvia Anggraini tidak dapat menyelamatkan satu-satunya teman baiknya. Dia telah kehilangan kesempatan untuk menjadi teman sejati. Dia telah gagal.
'Apa yang telah kulakukan sehingga aku berhak mendapat kebaikanmu?' 'Apa aku berhak jadi temanmu?' 'Kenapa kamu tidak membenciku?' 'Bagaimana kamu bisa tetap tersenyum?' 'Kenapa aku tidak menolongnya?!'
Nathania Dea masuk ke rumahnya tanpa mengatakan apa pun lagi.
Dengan tanda suara pintu rumah Nathania Dea tertutup, Silvia Anggraini terperosot ke tanah.
Lengannya memeluk bahunya dan dia diam di situ. Bahunya gemetaran dan kukunya menggali ke kulitnya. Aku bisa mendengar suara rintihan tangis yang teredup.
Silvia Anggraini yang sekarang adalah yang terendah. Prinsip hidupnya telah menyakiti teman baiknya. Masalah OSIS masih ada. Masalah keanggotaan Majelis Perwakilan Siswa masih ada. Acara HUT sekolah beberapa minggu lagi. Hanya akan ada kehancuran yang menunggu.
Silvia Anggraini mungkin bukanlah pemimpin yang sempurna ataupun bagus, tapi pekerjaannya selalu dia selesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Kita saat ini hanyalah anak SMA. Ketua OSIS tidak dipatutkan untuk menjadi pemimpin yang sempurna. Sudah wajar jika seorang remaja SMA melakukan kesalahan, dan Silvia Anggraini masihlah remaja SMA. Justru fungsi OSIS di SMP dan di SMA adalah supaya murid remaja bisa mencoba pengalaman memimpin dan berorganisasi tanpa konsekuensi yang berlebihan.
Murid ataupun guru tidak akan pernah meminta lebih kepada seorang remaja. Tidak ada yang menaruh harapan lebih. Misalnya ketua OSIS tidak melakukan apa pun selama masa jabatannya, murid-murid tidak akan menyadarinya.
Murid-murid remaja ini terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri untuk memedulikan urusan ketua OSIS. Jujur saja, setiap kali ada pemilihan ketua OSIS, aku tidak memilih sama sekali, karena siapa pun yang akan menjadi ketua OSIS, aku berpikir bahwa mereka tidak akan mungkin bisa memengaruhi kehidupanku.
Karena itulah, aku tidak terkejut ketika orang keras kepala seperti Silvia Anggraini bisa menjadi ketua OSIS.
Yang kuherankan bukanlah alasan Silvia Anggraini bisa menjadi ketua OSIS.
Mengapa Silvia Anggraini sendirian? Mengapa tidak ada anggota OSIS selain Silvia Anggraini?
Aku yang selalu penasaran akan hal itu, telah mengambil sebuah kesimpulan.
Harga diri dan keseriusannya mengganggu tanggung jawabnya.
Selama beberapa minggu ini, aku tinggal bersama dan bekerja sama dengannya, tidak pernah aku mendengar dia meminta tolong. Dia selalu mengangkut semua beban kepada dirinya sendiri.
Memang ada saatnya, ketika melakukan pekerjaan, akan lebih efektif untuk dilakukan sendiri. Aku mengakui itu.
Ketika ada tugas kelompok, terkadang teman lainnya tidak memiliki kecakapan untuk melakukan pekerjaan tertentu. Maka dari itulah diperlukan pembagian tugas. Bahkan, ada saatnya ketika aku harus menanggung penggarapan semuanya sendirian. Tapi itu pun dengan izin dan kompromi antar anggota kelompok.
Namun ada perbedaan antara Silvia Anggraini dengan contoh yang kubuat.
Komunikasi antar anggota.
Apalagi, dengan proyek HUT sekolah yang melibatkan seluruh anggota sekolah dan berharga puluhan juta dengan uang murid itu sendiri; tentunya diperlukan komunikasi. Tidak heran sekolah membuat Majelis Perwakilan Siswa sebagai ganti fungsi OSIS untuk sementara.
Akibat dari miscommunication di sini adalah Silvia Anggraini mendorong semua orang pergi. Silvia Anggraini mengharapkan hasil luar biasa, dan mereka tidak bisa memenuhinya. Ketika mereka tidak dapat memenuhinya, Silvia Anggraini menyerah. Lebih tepatnya, Silvia Anggraini mengambil semua tugas yang dimiliki orang lain tersebut.
Lalu bagaimana dengan orang yang tugasnya direbut itu?
Mereka merasa tersakiti. Mereka merasa tidak dipercaya.
Seharusnya di sini, Silvia Anggraini menjelaskan dan memberi saran kepada orang-orang yang tidak dia percaya. Dan dengan begitu, orang-orang yang diberi arahan dan penjelasan bisa berkembang bersama dan mengasah kemampuan mereka.
Tapi Silvia Anggraini, singkatnya: "Sini, biar aku saja yang mengerjakan. Kamu main sana."
Silvia Anggraini tidak memberikan mereka kesempatan kedua atau kesempatan memperbaiki. Sikapnya yang mengambil alih pekerjaan, menghina mereka.
Mereka merasa muak dipandang rendah. Hingga akhirnya, mereka keluar dari OSIS.
Mungkin Silvia Anggraini tidak bermaksud memandang rendah. Tapi tidak penting apa yang dimaksud Silvia Anggraini, yang paling penting adalah penyampaiannya.
"..."
"..."
Lalu apa yang bisa kulakukan?
"Kamu masih punya waktu sebentar?" Kataku pelan.
"...Aku lagi nggak mood." Setelah berkata begitu, dia menaiki sepedanya lagi dan mulai mengayuh pergi.
Aku tahu sendiri bahwa memang ini bukan waktu yang tepat. Lalu, kata-kata apa yang bisa menarik perhatiannya?
"Aku tahu rumahnya." Aku sengaja memulai pembicaraan secara ambigu.
"Apanya?" Silvia Anggraini kebingungan sampai bertanya secara refleks.
Salah satu sifat yang mendefinisikan manusia adalah "Rasa Penasaran".
George Loewenstein menggambarkan rasa ingin tahu sebagai "kognitif yang diinduksi oleh kehilangan yang muncul dari persepsi celah dalam pengetahuan dan pemahaman." Teori celah/kesenjangan informasi ini, menyatakan bahwa keingintahuan berfungsi seperti keadaan dorongan lainnya, seperti rasa lapar, yang memotivasi makan. Berdasarkan teori ini, Loewenstein menyarankan, bahwa sejumlah kecil informasi; berfungsi sebagai dosis utama, yang sangat meningkatkan rasa ingin tahu.
Dari pernyataan yang kubuat, Silvia Anggraini bisa menduga apa arti dari perkataanku, tapi dia tidak akan pernah tahu jawaban sebenarnya, maka dari itu dia bertanya.
Sayangnya, dia masih mengayuh pergi. Itu menunjukkan betapa dia tidak ingin sekali berbicara denganku.
"-Rumahnya pembuli." Jelasku.
'nkgrrgrttt!'
Seketika aku selesai berkata, suara rem sepeda berbunyi.
Jarak antara kami adalah lebih dari 2 meter.
Aku melihat tubuh Silvia Anggraini dari belakang. Tangannya memegang erat pegangan sepeda. Kaki kirinya turun ke tanah.
Dan dari itu, entah kenapa aku bisa merasakannya dengan jelas. Kemarahannya.
Benar. Benar, Silvia Anggraini. Ini bukan salahmu ataupun salah Nathania Dea. Ini salah manusia-manusia busuk itu. "Seandainya mereka tidak ada." "Seandainya mereka tidak dilahirkan." "Ini semua tidak akan terjadi." "Aku dan Dea bisa senang-senang dan bahagia bersekolah." "Ini semua salah mereka."
"Di mana?"
Misalnya aku tidak tahu apa pun, Silvia Anggraini hanya akan terlihat seperti perempuan remaja yang sedang menaiki sepeda dan berhenti di tengah jalan. Justru karena itulah, aku merasa kemarahannya memuncak karena tindakannya yang terlihat biasa-biasa saja.
"Nggak mungkin ini benar." Kata Silvia Anggraini ketika melihat rumah yang kutunjukkan.
Rumah yang kita kunjungi adalah salah satu pembuli dan yang kupercayai sebagai pemimpin dari para pembuli yang membuli Nathani Dea.
Karena pastinya pembuli itu ingin menyembunyikan keberadaan tempat tinggalnya, maka aku tidak dapat menemukan alamat rumah ataupun bentuk rumahnya di sosial media. Jadi, aku membuntutinya pulang ke rumahnya.
"Di mana rumahnya yang betul?"
"Menurutmu, kenapa ada pembuli?" Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan.
"Hah? Itu nggak menjawab pertanyaanku." Silvia Anggraini menengok ke aku dengan marah.
Kami sembunyi di balik rumah lain, jauh dari rumah yang kutunjukkan.
Rumah yang kutunjukkan ke Silvia Anggraini, adalah rumah kumuh. Bukan rumah besar atau mewah. Bukan rumah dengan ukuran umum. Tapi adalah rumah kumuh.
Kotor, adalah kata-kata yang bisa menjelaskan rumah yang sedang kita lihat. Memang terdengar seperti ejekan, tapi aku tidak peduli, karena faktanya memang begitu.
Pembuli tersebut selalu memakai dandan, dia selalu mengenakan pakaian mencolok jika di luar sekolah, dia selalu memakai hiasan seperti anting-anting dan gelang. Wujud pembuli yang gagah, sombong, dan kuat, tidak dapat ditemukan di wujud rumah kumuh itu.
"Hah... Bodohnya aku ikut kamu." Kata Silvia Anggraini sambil menghela nafas frustrasi. Dia bersikap seolah aku telah menghabiskan waktu berharganya.
Silvia Anggraini tidak memercayaiku. Aku tidak menyalahkannya. Manusia memercayai apa yang mereka ingin percayai.
Silvia Anggraini baru ingin membalikkan kakinya, tapi matanya menangkap sebuah wujud.
"!"
Itu adalah pemimpin pembuli. Dan mata Silvia Anggraini tidak bisa salah mengenalinya, karena jumlah mereka berdua bertengkar dari kelas 10 sampai sekarang tidak bisa dihitung dengan dua tangan.
Aku menengok ke Silvia Anggraini untuk melihat ekspresinya.
"a...pa ini...?" Dia sangat tercengang sampai dia hampir lupa akan kemarahannya sendiri. Sepertinya kenyataan sudah mencapai dirinya.
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Tapi-! Tapi dia-"
"Tidak terlihat seperti orang miskin?"
"..." Silvia Anggraini langsung mengatupkan bibirnya ketika mendengar perkataan kasarku.
"Ya. Memang dia tidak terlihat seperti itu. Penampilannya dan sikapnya tidak menunjukkan itu sama sekali. Justru itulah bukti betapa pentingnya rahasia ini. Sebuah topeng."
"....Terus... gimana ini?" Tanya Silvia Anggraini.
"Maksudmu? Bukannya kamu sendiri yang ikut aku untuk berbicara dengannya?"
"...Dan ngomong apa?"
"Hah..." Aku menghela nafas dengan sengaja untuk menunjukkan kekecewaanku.
Tentunya, aku tahu kenapa Silvia Anggraini menjadi begini. Dengan menunjukkan kekecewaanku, Silvia Anggraini menjadi semakin bersalah dan sadar akan kemarahannya tadi.
"Tanya tentang kenapa dia melakukan ini dan itu. Suruh dia berhenti. Terserahmu." Kuberikan jawaban seolah aku tidak peduli apa yang akan terjadi atau konsekuensinya.
Secara psikologis, dengan sengaja membuat nadaku seperti ini, aku juga memberi tahu bahwa aku tidak punya maksud menolong Silvia Anggraini dari awal.
Manusia adalah makhluk yang lemah. Kecerdasan, maupun posisi di rantai makanan, manusia memanglah di atas di antara makhluk lainnya. Tapi ada satu kategori yang manusia itu sangat lemah: "Emosi".
Manusia sangatlah lembek, plin-plan, dan selalu terbawa perasaan tanpa alasan yang logis.
Sebenarnya, manusia tidak perlu menjalankan semuanya bersama-sama dengan manusia lainnya. Tapi itulah yang dilakukan setiap manusia yang pernah kutemui. Mereka bertanya jawaban untuk memastikan, mereka meminta orang lain untuk memilih pilihan, mereka menunjuk orang lain untuk bertanggung jawab. Itu semua dilakukan supaya mereka tidak merasa penyesalan.
Pikirkan baik-baik.
Jika seseorang bertanya tentang sebuah soal ke orang lain, dan orang lain itu tanpa sengaja memberi jawaban yang salah, siapa yang akan marah di situasi ini?
Inilah yang Silvia Anggraini inginkan dariku. Dia ingin ada sebuah jaminan. Dia perlu seseorang untuk memberitahunya jalan mana yang harus dipilih, entah itu benar atau tidak. Dia ingin siapa pun orang itu, untuk memberitahunya bahwa dia tidak salah. Dia ingin seseorang untuk mengelusnya dan memberinya rasa kenyamanan. Suatu saat ketika dia menyadari bahwa dia telah membuat kesalahan dan menyesal, dia hanya perlu membuatku sebagai penjahat di hidupnya.
Sebenarnya akan lebih mudah untuk mengendalikannya jika aku membuatnya bersandar ke aku, tapi yang kulakukan di sini adalah sebaliknya. Aku mendorong dan menjatuhkan harapan terakhirnya. Itu semua kulakukan demi menyaksikan pertumbuhan Silvia Anggraini.
Tidak ada orang yang bisa dia andalkan di dekat sini. Dia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri apa yang harus dia lakukan. Apakah dia akan menghadap pembuli tersebut, atau dia hanya akan pulang begitu saja? Tapi, dirinya yang sekarang tidak bisa berpikir lurus. Silvia Anggraini tidak yakin pada dirinya sendiri setelah dihadapkan kepada fakta traumatis, bahwa ada kemungkinan pembulian Nathania Dea menjadi semakin parah karena tindakannya sendiri.
Dan satu-satunya orang di dekatnya yang memahami situasi ini lebih dari siapapun, adalah aku- justru menolak permintaan pertolongannya. Dengan begini, aku semakin menjatuhkan Silvia Anggraini lebih dalam ke moral dilema.
"..."
"Tapi kamu sudah tahu kenapa." Kataku dengan samar.
Pernyataan ini bisa diterima dua maksud. Aku bisa membahas alasan pembuli itu membuli, atau alasan Silvia Anggraini mulai menjadi rusak terdiam seperti ini.
Dunia ini bukan berwarna hitam dan putih saja. Jika jahat, maka jahat─ tidak seperti itu.
Dan dengan menunjukkan Silvia Anggraini bahwa pembuli itu jugalah manusia biasa, itu memukul Silvia Anggraini lebih parah lagi.
Di kepala Silvia Anggraini sekarang, imajinasinya terbang ke mana-mana. Silvia Anggraini membayangkan bahwa pembuli itu punya orang tua, punya adik atau kakak, kesusahan mencari makan, kesusahan membayar biaya sekolah, dan seterusnya. Itu memang terlihat simpel dan sepele, tapi justru karena itu sepele, Silvia Anggraini menjadi lebih terkejut.
Ketidaktahuan ini terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia.
Kita memiliki teman atau orang yang kita kenal. Di alam bawah sadar kita, kita tahu bahwa orang yang kita sedang ajak berbincang-bincang ini juga memiliki orang tua, keluarga, saudara, tapi kita juga membuat batas garis antara kita dan orang lain ini. Maka dari itu, kita tidak setiap kalinya aktif bertanya tentang keluarga orang lain meskipun kita sudah sangat mengenal orang tersebut. Batas garis ini bisa berarti hal yang baik. Itu berarti kita memedulikan privasi orang lain, memedulikan perasaan sensitif orang lain, dan berusaha sebisa mungkin tidak membawa percakapan menuju topik yang sensitif menurut mereka. Tapi jika dilihat dari sudut pandang yang lain, itu berarti kita tidak peduli apa masa lalu mereka, atau kondisi keluarga mereka sama sekali.
Batas garis ini juga bisa berarti tindakan yang baik, tapi di saat yang sama, kita juga bisa terlihat egois dan bebal.
Dalam hubungan sosial di mana garis batas ini selalu kita buat, kita akan mudah terkejut. Hal-hal yang kelihatannya tidak seperti itu, ketika terungkap fakta yang sangat tidak terduga, membuat kita terkejut. Contoh mudahnya, teman sekelas yang terlihat selalu ceria, ternyata memiliki rumah tangga yang rusak dan orang tua yang melakukan tindakan kekerasan kepadanya, dan kita terkejut mengetahui hal tersebut.
Dan inilah yang terjadi pada Silvia Anggraini: terkejut. Silvia Anggraini terkejut karena pandangan yang kuat, keras kepala, kokoh, kasar, dan jahat, semua kesan pembuli itu; runtuh dari satu fakta saja. Fakta bahwa pembuli itu memiliki kelemahan; memiliki keluarga yang miskin ini, telah memutarbalikkan dunia Silvia Anggraini.
"..."
Silvia Anggraini yang terdiam, dengan jelas telah memberiku kesempatan.
"Kamu terkejut." Kataku tiba-tiba.
Apa yang kukatakan itu sudah jelas. Siapa pun yang melihat wajah Silvia Anggraini sekarang, akan mendeskripsikan raut mukanya dengan kata "bingung".
"Faktanya bahwa kamu terkejut, berarti dari awal kamu tidak melihat dia sebagai manusia. Kamu melihatnya setara dengan penjahat buangan di cerita-cerita fiksi."
"..." Justru sampai terkejutnya Silvia Anggraini, dia tidak merespons terhadap panggilanku... dia tidak menengok ke belakang, dia sengaja untuk tidak melihat wajahku.
Dia terlalu malu akan suatu fakta tentang dirinya yang baru dia sadari. Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya dari belakang, aku bisa dengan mudah membayangkan dia sedang menggigit bibirnya.
"-Itu karena kamu melihat dia sebagai seorang monster; seseorang yang benar-benar jahat yang tidak memiliki hati nurani. Tapi ketika kamu tahu dia punya kelemahan, kamu tersadar... bahwa dia hanyalah manusia, sama seperti kamu dan aku."
Aku katakan lagi dan lagi. Inti dari setiap kalimat yang kuutarakan adalah sama. Semuanya untuk memakukan sebuah fakta yang paling mendasar.
"Punya keluarga. Punya rumah. Dia tidak muncul di dunia ini secara ajaib begitu saja. Dia bukan karakter antagonis yang tiba-tiba muncul untuk kisah hidupmu. Dia punya orang tua. Dia mungkin lahir di rumah sakit sama seperti kita berdua. Dia lulus SMP sama seperti siswa lainnya seangkatan kita. Dia punya sejarah. Dia punya masa lalu."
Justru karena sangat nampak mudah dan simpel, terkadang; sangatlah tak terlihat. Dan itulah yang membuat Silvia Anggraini menjadi malu. Dia lupa fakta yang paling simpel dan paling mendasar, bahwa pembuli itu adalah manusia biasa sama seperti manusia lainnya.
"──────────────" Inti sari eksistensi Silvia Anggraini terguncang.
Hanya perlu satu dorongan lagi.
Jika aku diberi pertanyaan; siapa itu Silvia Anggraini? Hanya kuperlukan satu kata untuk menjelaskan siapa itu Silvia Anggraini.
Aku memiringkan kepalaku ke samping.
"Hff- Naif." Aku menggumam pelan. Itu tidak jelas kuarahkan ke siapa, tapi pastinya aku tidak ingin orang lain mendengar karena aku mengucapkannya bersamaan menghela nafas.
"!" Namun, Silvia Anggraini dapat mendengarnya dengan jelas, karena aku melihat pundaknya meloncat ketika aku mengucapkannya.
Ini merupakan serangan psikologis. Dengan kusengaja bersuara kecil, itu melipatgandakan celaanku. Itu kubuat supaya aku bermaksud menggumam dan terlihat seperti aku tidak ingin Silvia Anggraini mendengarku mengatakan "naif". Dan dengan begitu, itu terlihat seperti aku berpikir bahwa Silvia Anggraini adalah "naif" dengan sungguh dari dalam lubuk hatiku.
Tentunya, jika didengar baik-baik, itu hanyalah sebuah cemoohan.
Silvia Anggraini sendiri sadar bahwa itu adalah serangan psikologis, tapi dia tidak melawan karena dia tidak bisa menentang pernyataanku. Justru karena dia lebih tahu sendiri apa yang dia rasakan, dia tidak bisa melawanku.
Wajahnya dipenuhi kemuraman. Dia menutup matanya erat-erat dan memegang erat pegangan sepedanya, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan.
Tidak ada lagi wujud pada dirinya yang penuh amarah dan haus darah. Misalnya Silvia Anggraini masih saja berani melawan atau bertemu pembuli itu saat ini juga, Silvia Anggraini akan lebih ditimpa rasa bersalah dan rasa malu... justru, inilah yang sedang terjadi pada dirinya.
"..." Terdiam karena moral dilema.
Ini adalah titik penting baginya. Setiap kata harus disusun dengan sempurna.
Dan untuk mendorongnya lebih terpojok ke pinggir jurang, yang kuperlukan hanyalah menegakkan kenyataan lagi di depan matanya, kebalikan dari keinginannya.
"Sudah datang ke sini jauh-jauh, marah-marah, tapi malah diam saja. Lemah."
Seseorang memerlukan sebuah keteguhan untuk menyakiti orang lain. Pembuli itu berani menanggung segala risiko dan tidak sungkan menggunakan cara kotor. Di sini, Silvia Anggraini telah mengikuti aku karena terbawa amarah. Tapi, setelah kupaparkan kenyataan sebenarnya, dia menjadi goyah dengan begitu mudahnya. Dengan tekad setengah matang begitu, aku mengoloknya lemah.
"...kh..." Dan setiap kali Silvia Anggraini mendengarku mencemooh, Silvia Anggraini semakin berusaha menutup erat telinganya dan menggertakkan giginya.
Tapi itu percuma. Dia tidak bisa lari dari kenyataan; denganku di dekatnya. Meskipun dia lari dari sini, meskipun dia tidak mendengarku, meskipun dia memukulku, mulutku tidak akan pernah berhenti sampai Silvia Anggraini rusak.
"Kamu jadi ketua OSIS, malah mendorong mereka pergi cuman karena mereka tidak bisa mengikutimu. Sombong." Aku memindah bukti permainan menuding ke OSIS.
"berisik..."
Apalagi yang bisa menjelaskan tindakan tidak logis Silvia Anggraini selain "sombong"? Silvia Anggraini hanya punya satu tugas, yaitu menjadi ketua OSIS dan memimpin. Tapi harga diri dan kemampuannya dalam berkomunikasi sangatlah buruk sampai orang-orang di dekatnya meninggalkannya.
"Kamu berusaha menanggung beban mengurus HUT mendatang sendirian, akibatnya semakin melibatkan lebih banyak orang dan terbentuknya Majelis cuman untuk membantumu. Egois."
"berisik..."
Aku tidak tahu alasan mengapa dia menjadi ketua OSIS dari awal, tapi saat Silvia Anggraini menerima jabatannya sebagai seorang pemimpin, seharusnya dia juga harus sadar; masalah milik satu orang adalah masalah bersama.
Namun, apa yang terjadi? Dia melakukan semuanya sendirian, bukan mengajari dan membiarkan anggotanya melakukan kesalahan dan belajar, tapi justru mengambil alih pekerjaan mereka. Mereka merasa dihina karena dipandang rendah. Bagi mereka yang bahkan tidak diberi kesempatan belajar dari kesalahan, Silvia Anggraini adalah egois.
Silvia Anggraini mendorong harapan berlebih-lebih kepada anggotanya, tapi ketika anggotanya tidak memenuhi harapan egoisnya, Silvia Anggraini mengusir mereka. Hingga akhirnya ketika HUT akan mendatang, sekolah harus membuat Majelis Perwakilan Siswa tanpa campur tangan OSIS. Semua itu karena kesalahan Silvia Anggraini.
"Kamu bersahabat dan membela Nathania Dea, tapi kamu juga penyebab terbesar penderitaannya. Bebal."
"Berisik!!!" Silvia Anggraini meninggalkan pegangan di sepedanya dan membiarkannya jatuh. Kedua tangannya menuju ke arahku. Kali ini, Silvia Anggraini menarik kerahku layaknya penjahat di film-film. Mungkin karena aku menyentuh topik tentang sahabatnya. Tetap saja, aku tidak memedulikannya.
Nathania Dea. Sebuah eksistensi yang kuat dan setiap detiknya semakin menjadi rapuh.
Silvia Anggraini seharusnya tahu dari dulu bahwa alasan pembuli itu semakin keras membuli Nathania Dea adalah karena Silvia Anggraini menentang pembuli. Pembuli itu suka melihat reaksi ketua OSIS tanpa ada yang menolongnya. Hingga Nathania Dea sangat terpojok sampai ingin bunuh diri. Semuanya karena Silvia Anggraini yang menolak kenyataannya, bahwa dia sendirilah salah satu alasan keruntuhan mental Nathania Dea.
Niat baik tidak cukup. Perhatian murah tidak akan membantu.
"Kamu menganggap dirimu sendiri sebagai penegak keadilan dengan melindungi Nathania Dea dari pembulian, tapi itu justru membuat pembulian semakin memburuk. Kepuasan diri."
"KUbILANG bERIsIiieKkkKkKKkKKK!!!"
Dan aku menyentuhnya. Suatu fakta yang tidak dia ingin dengar.
Menurutmu apa alasan seseorang membantu orang lain dengan ikhlas? Apa dia ingin masuk surga dengan membantu orang lain? Salah. Salah. Salah. Semua alasan lain yang terlintas di kepalamu adalah salah.
Karena manusia suka menempatkan diri mereka di atas orang lain. Itulah kenapa.
Apa yang para pembuli itu perbuat tidak dapat dimaafkan di mata Silvia Anggraini. Namun, belum berhadapan dengan pemimpin pembuli saja, Silvia Anggraini sekarang terhentikan karena moral dilema. Itu sudah jelas lagi, dia datang ke sini bukan untuk membela atau menegakkan hukum bagi sahabatnya, melainkan untuk kepuasan diri sendiri.
"Pasti enak 'kan rasanya?"
"...?"
"─Memandang orang lain jahat, najis, berdosa, dan menempatkan dirimu di tempat yang bermoral tinggi?"
"ARRGHHH!!!" Jeritan Silvia Anggraini kemudian disusul dengan tamparan ke wajahku.
Namun, tangannya tidak sampai di wajahku.
"?!"
"Oh?" Aku menyuarakan geliku.
Aku menangkap pergelangan tangan Silvia Anggraini yang sedang menuju wajahku.
"Lihatlah dirimu... menggunakan kekerasan. Pada akhirnya, kamu sama saja." Aku tersenyum selagi masih memegang erat pergelangan tangannya. "Kamu tidak bisa membela dirimu sendiri, terus kamu berusaha menampar orang yang tidak bersalah supaya dia diam? Apa itu tidak egois? Kamu frustrasi, terus menggunakan kekerasan... apa itu caramu menyelesaikan pembulian? Dengan kekerasan? Apa bedanya kamu dengan mereka?"
"...!"
"Silvia Anggraini... apa aku yang menghancurkan OSIS? Apa aku yang memecahkan Majelis? Apa aku yang membuli Nathania Dea? Apa aku menyakiti keluargamu? Apa semua ini salahku? Bukan, 'kan?" Dengan suara dingin, aku menanyakan pertanyaan-pertanyaan retoris. Kemudian, mulutku mendekati telinganya. "Lalu kenapa tanganmu ini menuju wajahku?"
"RAGHHOAHH!!!" Silvia Anggraini meraung.
Silvia Anggraini tidak ingin mendengar perkataanku. Dia ingin memukulku, tapi aku akan mencacinya lagi jika dia berusaha menggunakan kekerasan fisik.
Kepalanya bergerak ke sana kemari. Tangannya yang kutangkap ditarik-tariknya, kaki dan panggulnya menjorok ke belakang, tapi dia tidak bisa membuatku bergerak; dia tidak bisa lari. Salah satu tangannya menutup telinganya, tapi dia tidak bisa menutup kedua telinganya karena tangannya satunya masih kupegang. Jadi, dia menjerit. Dia menjerit untuk menenggelamkan suaraku.
"Hah! Hahh! Hahh... harh... hah...hu...u" Nafasnya terengah-engah, wajahnya berantakan, dan air mata mulai sedikit-sedikit keluar. Tangan kanannya masih kupegang erat, menyebabkan warna merah di pergelangan tangannya. Kepalanya menunduk dan menyentuh dadaku.
"Ha. Apa aku salah? Kamu melihat dirimu sendiri sebagai pahlawan keadilan, memang pantas kamu menghukum mereka. Tapi kamu sama saja."
"Memangnya kamu tahu apa?!"
"Memangnya kamu tahu apa?" Aku mengulangi pertanyaannya ke wajahnya langsung.
"!..." Mulutnya terkatup secara refleks.
Aku memang tidak bisa paham jelas apa yang dirasakan Silvia Anggraini. Aku tidak bisa paham jelas hal-hal apa saja yang dialaminya. Aku tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dia rasakan. Namun, dia tahu apa tentangku?
"...Kenapa!─"
"Naif."
"?!" Dipanggil seperti itu untuk kedua kalinya, hatinya mematung.
'Kenapa kamu mengatakan begini padaku? Kenapa kamu memarahi aku? Kenapa aku? Kenapa aku? Kenapa aku?! Padahal aku sudah bekerja keras dan lebih keras dibandingkan orang lain! Aku sudah berusaha! Iya memang aku gagal, tapi aku sudah berusaha! Aku berusaha menyelamatkan Dea! Aku betul-betul berusaha! Lalu apa lagi yang harus aku lakukan?!'
Iya, Silvia Anggraini. Aku tahu usaha dan penderitaanmu lebih dari siapa pun. Namun karena itulah, aku memanfaatkannya tanpa sisa dan tanpa ragu; demi menghormati penderitaanmu.
"Kamu adalah orang baik dan adil. Kamu melindungi Nathania Dea dengan maksud baik." Meskipun aku mengatakan sebelumnya bahwa dia melindungi Nathania Dea hanya demi kepuasan diri, tetap saja ada sebagian dari dirinya yang tulus untuk menolong teman dekatnya.
"...?" Silvia menjadi bingung tiba-tiba dipuji begitu.
Dia yang tadinya menyandar ke dadaku dan menundukkan kepalanya, mulai menengok ke atas, menengok ke wajahku. Itu adalah respons yang alamiah, dia ingin melihat apa yang kukatakan itu tulus dari dalam hatiku atau tidak; dari raut wajahku.
"Tapi masih ada banyak orang jahat yang terlihat baik, dan melakukan kejahatan tanpa orang lain ketahui. Sebaliknya, ada orang yang terlihat jahat, ternyata adalah orang baik. 'Orang jahat' bisa berbuat baik, dan 'orang baik' bisa berbuat jahat."
Hanya karena seseorang adalah jahat sekarang, berarti ia harus jadi orang jahat di masa lalu juga? Sebaliknya, hanya karena seseorang baik dulu, berarti ia harus jadi baik sekarang?
"Apa kamu menangis ketika mendengar ada orang yang meninggal yang diberitakan di televisi? Tidak, 'kan? Apa berarti itu jahat? Sebenarnya, kamu lebih sering menangis waktu menonton film fiktif."
Hati manusia sangatlah menyukai hal-hal dramatis dan romantis. Siapa yang peduli apakah itu fiksi atau tidak? Jika ceritanya bagus dan mengharukan setiap manusia yang menyaksikannya bisa dibuat menangis. Manusia lebih sering menangis terhadap sesuatu di dunia fiksi, daripada sesuatu di dunia nyata.
...Ironis dan menjijikkan.
"Menurutmu, kenapa tertulis nama seseorang di AC perpustakaan? Ada murid di sekolah kita yang mampu mendaftar dan masuk ke sekolah dengan cara tidak jujur. Tapi kamu tidak pernah memarahi mereka?"
Itu adalah sesuatu yang betul-betul terjadi di sekolah kita. Ada beberapa murid yang masuk di sekolah kita, entah itu melalui menyogok dengan donasi fasilitas, menyogok dengan uang, atau bahkan menggunakan jabatan orang tua dari anak untuk membuat anaknya menjadi siswa di sekolah. Itu semua terjadi setiap harinya, di berbagai sekolah di berbagai dunia. Aku tahu sendiri.
"Ada murid yang menyontek mendapat nilai lebih bagus daripada yang betul-betul berusaha. Apa itu adil?"
Tentu saja tidak adil. Sayangnya, dunia ini tidak selalu memberkati mereka yang telah bekerja keras, tapi lebih memberkati mereka yang mencurangi dunia. Maka dari itu, tidak aneh selama berabad-abad, akan selalu ada manusia-manusia yang sangat andal dan mengasah kelicikan mereka.
"Ada orang-orang yang bisa terlepas dari kejahatan dengan menyuap polisi. Kenapa polisi menerima suapan? Di mana kamu untuk menghentikan mereka?"
Aku belum pernah mengakui ini sebelumnya... tapi aku sangat membenci kata "polisi". Suatu pekerjaan yang berharga dan terhormat, dikotori dengan salah penggunaan kekuasaan. Yang terlintas di kepalaku ketika aku melihat atau mendengar "polisi" hanyalah hinaan kepada mereka. Aku belum pernah merasa lebih setuju terhadap kutipan "absolute power corrupts absolutely" sampai ketika aku mengenal konsep polisi dan pemerintah.
"Ada orang-orang yang mengabaikan pengemis. Kenapa mereka tidak ingin membagikan sedikit ke pengemis?"
Apakah kita pernah merasa bersyukur; kita bisa pergi ke sekolah, makan sampai kenyang, memiliki orang tua yang menyayangi kita, diberi uang jajan, memiliki akses air, dan memiliki hak warga negara? Tentu saja kita pernah merasa bersyukur. Tapi, apakah kita pernah membagikan sedikit dari yang kita miliki kepada orang lain yang tidak kita kenal?
Di Indonesia sendiri, ada peraturan yang mengkhususkan persoalan tentang pengemis. Pasal 40 Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum mengatakan: "Setiap orang atau badan dilarang: membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil." Aturan tersebut sebenarnya dikhususkan untuk daerah Jakarta saja. Sedangkan larangan untuk mengemis atau menggelandang, diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP, Buku ke-3 tentang Tindak Pidana Pelanggaran.
Tapi, bukan itu yang kutanyakan kepada Silvia Anggraini. Memang aturan tersebut telah dengan terang-terangan menyatakan larangan untuk memberi uang kepada pengemis, bahkan melarang dengan jelas untuk tidak mengemis─ namun, yang aku tanyakan bukanlah aturan yang mengatur tentang pengemis tersebut. Bahkan, kebanyakan orang di negara ini, tidak tahu aturan-aturan ini sebenarnya ada dan di mana letak-letak pasal hukumnya. Kebanyakan orang bertindak mengabaikan karena keputusan mereka sendiri. Dan aku sangat penasaran, alasan-alasan apa yang dapat mereka pikirkan ketika aku menanyai mereka.
"A-..." Silvia Anggraini membuka dan menutup mulutnya berulang-ulang setiap kali aku mengeluarkan kalimat pertanyaan.
Seluruh tubuhnya kehilangan tenaga. Aku melepaskan tangan kanannya dan tangannya jatuh begitu saja.
Percakapan ini sebenarnya tidak adil. Aku tahu itu sendiri.
Silvia Anggraini bukanlah seorang pahlawan keadilan. Aku yang mengatakannya sendiri. Tapi, aku tetap saja mengkritisnya tentang hal-hal ini seolah dialah yang memiliki kewajiban untuk melakukannya. Inti dari semua yang kukatakan di sini adalah, aku sedang mengatakan: "jika kamu mencoba menghentikan pembulian, kenapa kamu juga tidak melakukan hal-hal kebaikan yang lain ini dan itu?"
Dan kritikan-kritikan yang baru kukatakan, membuat Silvia Anggraini semakin merasa pahit.
"Penjahat juga bisa menolong dan bersimpati. Orang biasa juga bisa menolong dan bersimpati. Lalu apa bedanya penjahat dengan yang baik? Kamu tidak bisa mengatakan bahwa seseorang adalah jahat hanya karena mereka adalah kriminal. Sama seperti bagaimana kamu tidak bisa menyebut seseorang adalah orang baik, hanya karena mereka bukanlah kriminal."
Pada dasarnya, definisi baik dan jahat itu ambigu dan subjektif. Tergantung bagaimana seseorang melihatnya, apa yang bisa disebut baik, dan apa yang bisa disebut jahat, bisa berubah dengan cepat.
"...Kamu ingin mengatakan apa?"
"Pembuli itu tidak salah."
"?!" Mendengarku menyatakan begitu, jadi merah marah Silvia Anggraini. Aku bisa merasakan Silvia Anggraini telah membuang semua ceramahku sebelumnya, karena kata-kataku yang tidak masuk akal yang baru saja kuucapkan. "Setelah semua yang dia lakukan kepada Dea?!" Karena perkataanku, kemarahan Silvia terdalam muncul kembali. Dia bisa menoleransi ceramahku, tapi dia tidak bisa memaafkanku karena memanggil pembuli itu sebagai orang yang tidak bersalah.
Aku tidak menyalahkan Silvia Anggraini membentakku kembali. Apa yang kukatakan memanglah tidak masuk akal... di telinga Silvia Anggraini.
"Apakah kejahatan sebenarnya itu ada?" Kataku mengeluarkan pertanyaan mendalam. Ketika menanyakan pertanyaan ini, aku juga tidak secara langsung melindungi perbuatan membuli.
Di mataku, masyarakatlah yang mengubah perempuan itu menjadi pembuli yang sekarang. Entah karena lingkungannya, entah karena keluarganya, entah karena sekolah sebelumnya, intinya adalah akumulasi pengalaman-pengalaman pada masa kecilnya.
Tidak ada manusia yang tiba-tiba memutuskan untuk menyiksa orang lain hanya karena mereka ingin. Manusia yang memiliki hidup nyaman dan enak, tidak akan membuat musuh yang berisiko mengganggu hidup nyamannya tersebut.
"Hah?! Memang mungkin nggak ada yang namanya 'kejahatan sebenarnya', tapi bukan berarti membuli itu benar!" Silvia Anggraini menjerit sampai aku bisa mendengar suara seraknya.
Pasti aku adalah "orang yang paling tidak masuk akal yang pernah hidup" di matanya. Aku menolak dasar moral dari aturan baik-jahat. Bagaimanapun aku membaliknya, pembulian itu memang tidak benar; secara moral maupun hukum.
"Itu adalah jawaban yang kamu inginkan. Tidak lebih dari itu." Aku berkata untuk menantangnya.
Orang-orang selalu mencoba untuk memercayai kebohongan; yang paling nyaman bagi mereka sendiri.
"Kamu ingin berpikir bahwa musuhmu adalah kejahatan tanpa menanyai dirimu sendiri. Dengan begitu, kamu bisa berdiri di sisi kebaikan dan menghancurkannya dengan kekerasan tanpa pertanyaan. Lain dari itu akan menjadi masalah. Kamu menyerah dari awal. Kamu menyerah memahaminya. Kamu memutuskan bahwa melihatnya sebagai kejahatan lebih mudah. Maka dari itu, kamu tidak betul-betul berusaha menghadapinya dengan sungguh-sungguh atau tulus, dan sekarang kamu tidak mengambil usaha sama sekali untuk berbicara dengannya."
Pembulian itu salah di mata Silvia Anggraini. Kejahatan yang harus ditindas dan seharusnya dihapuskan di muka bumi. Itu bukan pemikiran yang salah, asalkan dia tidak melihat "pembulian" sebagai kejahatan murni.
Silvia Anggraini selama ini melihat "pembulian" sebagai kejahatan yang betul-betul tidak bisa diubah. Dia menyerah memahami. Dia menyerah untuk bernegosiasi dengan pembuli. Ketika Silvia Anggraini mengikutiku ke rumahnya, dari awal ia tidak bermaksud berbicara damai dengan pembuli.
Justru karena dia menyerah memahaminya, itu lebih membuktikan bahwa dia melihat dirinya sendiri di posisi tinggi yang berhak menghukum orang lain.
"Berarti pembulian itu benar, begitu?!"
Silvia Anggraini masih belum sadar.
Siapakah kita; berhak menentukan orang lain sebagai "jahat" atau "baik"? Pada akhirnya, kita semua- kita manusia hanyalah hipokrit. Kita memberi tahu orang lain untuk tidak membuang sampah sembarangan, tapi kita sendiri pernah melakukannya. Dan, betapa nyamannya kita manusia memandang rendah orang lain. Pasti sangat enak. Dasar hipokrit.
"Tidak." Aku menggelengkan kepalaku. "Pembulian itu salah, tapi caramu mengatasi juga salah."
"Lalu aku harus bagaimanaaa??" Setelah diputar-putar, akhirnya Silvia Anggraini menjerit frustrasi.
Manusia adalah makhluk lemah. Meskipun mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, mereka tetap bertanya kepada orang lain. Maka, jika mereka melakukan kesalahan, jika mereka gagal, mereka hanya perlu menyalahkan orang yang mereka tanyai tersebut.
Silvia Anggraini juga sama. Silvia Anggraini masihlah seorang manusia.
Silvia Anggraini menginginkan validasi. Ia tidak ingin salah lagi. Semua manusia tidak ingin salah. Ia tidak ingin merasakan kesakitan tersebut lagi. Ia tidak ingin menjalani penderitaan tersebut lagi. Tapi ia harus. Jika Silvia Anggraini mengandalkanku, ia tidak akan tumbuh.
Silvia Anggraini tahu apa yang ia harus lakukan, namun ia masih bertanya kepadaku.
Akan sangat mudah jika aku mengatakannya kepadanya. Akan terlalu mudah.
"Pikir sendiri." Dengan menjawab dingin begitu, aku memotong harapan terakhir Silvia Anggraini.
"?!"
Selama ini aku menceramah dan mencemooh, layaknya aku peduli. Itu memberikan harapan palsu bagi Silvia Anggraini bahwa aku akan membantunya.
Tentunya, aku tidak akan memberinya harapan sama sekali. Jika aku membantunya, itu akan menjadi sia-sia.
Silvia Anggraini saat ini tidak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Jika dia tidak menyadari kesalahannya, maka Silvia Anggraini tidak akan bisa tumbuh.
Hari ini adalah hari di mana Silvia Anggraini akan lahir kembali.
Secara biologis, manusia lahir sekitar 1 tahun lebih awal dibandingkan keadaan pertumbuhan mamalia lainnya. Ketika bayi baru lahir, kemampuan atletik mereka belum matang dan mereka belum dapat berjalan sendiri. Sebaliknya, hewan besar seperti rusa, sudah termasuk dewasa ketika mereka keluar dari kandungan. Banyak hewan lainnya yang hidup sendiri, dan langsung meninggalkan sarangnya ketika mereka lahir. Dibandingkan hewan-hewan tersebut, manusia sangatlah lemah.
Di sini, contohnya adalah Silvia Anggraini yang baru saja lahir. Ia belum dapat bergerak sendiri. Namun, meskipun belum dewasa, ia juga membawa kemungkinan yang tak terbatas. Dia dapat bertumbuh di jalan mana pun. Mungkin hati Silvia Anggraini masih bertentangan. Kemungkinan, ia masih berusaha sangat keras untuk menentang perkataanku dengan sia-sia. Akan sangat lebih baik jika ia menyerah menentang, dan menerima perkataanku supaya dia bisa segera menghidupi kehidupan barunya ini.
Sebelumnya, semua musibah terjadi karena dia telah berusaha menanggung semuanya sendirian. Mulai dari sekarang, Silvia Anggraini akan menjadi manusia yang bersinar meski di tengah kegelapan.
Tetapi... Meskipun begitu... Sayangnya, Silvia Anggraini tidak akan dapat menyelesaikan masalah pembulian, menyelamatkan Nathania Dea, dan mengurus HUT sekolah di saat yang sama.
Aku harus menyelesaikan masalah-masalah ini dengan kedua tanganku sendiri. Tidak ada orang selain aku yang sadar akan masalah ini. Tidak ada orang selain aku yang dapat melihat betapa buruknya situasi ini sekarang.
Betapa ironisnya. Aku mengkritis Silvia Anggraini bahwa kesalahannya disebabkan karena dia berusaha melakukan ini semua sendirian. Tetapi, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang disebabkan olehnya, aku harus melakukan semua ini sendirian.
19 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 2 November. Malam hari sampai tengah malam. ~~~Silvia Anggraini.
Aku diomeli...? Dia bilang aku egois dan naif... terus memangnya kenapa?!
Meskipun dia ngomong macam-macam apa begitu, nggak masuk akal! Itu nggak 'ngubah apa pun! HUT dalam dua minggu lagi; memangnya aku bisa apa dalam dua minggu? Aku nggak bisa apa-apa!
Aku bangun tengah malam. Mungkin karena ketika aku sampai di rumah, aku langsung melemparkan diriku ke kasur dan menangis sampai tertidur.
Karena aku tidak bisa tidur lagi, aku memutuskan untuk bangun dari kasur dan mencicil pekerjaan HUT sekolah.
"..." Ketika aku berusaha bangkit dari kasur, tanganku bisa merasakan bantal yang basah. Ditambah lagi, aku bisa merasakan pedih di ujungku mataku. Aku bisa membayangkan mata dan hidungku berwarna merah.
Ini sangat memalukan...
Aku terus mengerjakan sisa-sisa pekerjaan HUT di kamarku lewat laptop.
Pada akhirnya, aku harus menyampingkan perasaanku dan fokus mengerjakan... Tidak. Lebih tepatnya, aku ingin fokus mengerjakan supaya aku tidak menghadapi dengan permasalahan yang sebenarnya.
"Ka...mar. Ah."
Aku teringat kamarku ini adalah bagian dari rumahnya. Tidak mungkin kamar ini tidak pernah digunakan sebelumnya. Kamar yang sekarang aku dan kedua adik kembarku tempati ini, dulu adalah milik orang tuanya. Karena memang rumah ini tidak terlalu besar dan tidak banyak ruang, aku tidur di kamar ini bersama Luki dan Luka. Sedangkan ibuku tidur di kamar ayahnya...
Aku bisa tahu ini karena ayahnya yang memberi tahu aku ini. Ketika istrinya meninggal dunia, dia berpindah dan menggunakan ruangan lain sebagai kamarnya karena kamar ini terlalu mengingatkannya pada almarhum istrinya.
"..." Aku menengok ke belakang. Di kasurku, kedua adik kembarku sedang tertidur nyenyak. Melihat mereka selalu membuatku tersenyum.
Aku juga melihat cahaya layar laptopku menyinari seluruh ruangan ini.
Ditambah lagi, karena kamar ini kumatikan lampunya, membuat cahaya bluescreen dari laptopku ini semakin lebih terang dari biasanya. Padahal aku sudah mengatur cahaya laptop paling kecil. Ini tidak bagus untuk mata, seperti yang dia katakan dulu...
"..." Aku menyentuh pergelangan tanganku. Ada bekas merah karena dia sangat erat memegang tanganku tadi sore.
Dia lagi... Dia muncul di pikiranku lagi. Rasanya, dia ada di mana pun. Itu mungkin terdengar romantis, tapi kenyataannya, ini membuatku gusar.
"Arrh..." Sambil mengeluh, aku menatapkan dahiku ke meja dengan jengkel, sekaligus untuk menghindar dari sinar bluescreen laptopku.
Kepalaku sakit. Mataku sakit.
Aku pusing harus memimpin Majelis, sekaligus mengerjakan bagianku sendiri, dan pembulian...
"Dea..."
Teman baikku...
Mungkin yang dikatakannya sebetulnya benar. Semakin aku berusaha, semakin aku menyakiti Dea. Mungkin memang benar aku tidak bisa menyelamatkan Dea dengan melawan pembuli secara langsung. Tapi aku tidak rela membiarkannya begitu saja! Aku tidak paham bagaimana orang lain tidak merasakan apa yang kurasakan. Mungkin hanya aku saja yang tidak ingin mengakui kebenarannya...
'ping!'
Selagi aku berpikir begitu, suara notifikasi muncul dari handphoneku.
"..." Aku menengok ke samping untuk melihat apa isinya.
Notifikasi itu muncul di grup chat Majelis Perwakilan Siswa; grup chat yang dibuat untuk membahas persiapan HUT dari rumah.
Namun isi dari pesan itu yang semakin membuatku marah dan jengkel. Isinya hanyalah candaan saja meskipun di tengah malam begini; tidak membahas HUT sama sekali.
"Kenapa nggak ada yang pahaammm...?"
Aku tidak ingin menjadi ketua OSIS. Aku tidak ingin menjadi ketua Majelis juga.
Aku cuman ingin bersama Dea. Aku cuman ingin belajar dan menikmati kehidupan sekolahku. Siapa... yang menyebabkan ini semua...?
"uu..."
Dan aku tahu sendiri; hanya aku sendiri yang bisa disalahkan.
Aku meredam suara tangisku di pelukan lenganku.
Aku masih belum mengantuk dan tidak bisa tidur. Untuk refresh, aku keluar kamar dan menuju ke dapur.
Yang jelas, ada yang perlu diubah. Aku perlu melakukan sesuatu yang berbeda, tapi aku nggak tahu apa. Terus dia juga nggak beri tahu aku apa yang harus kulakukan. Dia memberi tahu semua bagian burukku. Terus? Aku harus menyingkirkan semuanya itu? Oke. Gimana caranya coba? ...Memangnya dari awal yang dia katakan harus kuanggap serius?! Bisa aja dia cuman ngejek aku.
"Eh?" Ketika aku masuk ke ruang tamu, aku baru sadar bahwa lampu ruang tamu masih menyala meskipun di tengah malam. Aku terlalu terserap dalam pikiranku.
"..." Dan yang sedang duduk di sofa adalah dia.
Ketika kami saling melihat satu sama lain, aku bisa merasakan diriku sendiri dan dirinya sama-sama sedang berusaha menghindari kontak mata. Langkah kakiku berhenti dan kepalaku berpaling ke arah lain secara refleks, tidak melihat hal spesifik apa pun, hanya ingin menghindarinya.
Dia masih belum tidur. Dia sedang duduk di sofa sambil meminum... kopi? Aku bisa mencium bau kopi dari sini.
"Erm..." Ini situasi yang sangat canggung. Ya mana mungkin tidak?
Setelah kejadian memalukan yang tadi sore, kita tiba di rumah di waktu yang berbeda. Ketika aku sampai, aku langsung mengurung diriku di kamar, menangis sampai tidur di balik selimut, mengabaikan adik-adikku (maafkan kakakmu yang bodoh ini), dan tidak melihat satu sama lain lagi sampai sekarang. Aku tidak menduga aku akan bertemu dengannya segampang dan secepat ini.
Kurang ajar tinggal serumah! Aku menemukan kembali rasa benci tinggal serumah dengan orang dari luar keluarga.
Aku menyangka, setidaknya aku akan melihatnya besok pagi atau entah gimana. Karena paling tidak, mungkin persiapan mentalku sudah selesai ketika waktu itu tiba. Jika kami tidak tinggal serumah, tidak mungkin situasi ini akan terjadi.
Apa sih yang dia pikirkan emangnya?! Kok berani minum kopi di sini setelah tadi sore?!
"..." Karena tidak ada apa pun yang terjadi setelah waktu lama telah lewat, dia melanjutkan minumnya sambil masih menghindari mataku.
...Apa tadi dia kira aku orang lain; makanya dia kaget tadi?
Itu bisa dimengerti. Jika aku adalah dia dan aku mendengar suara langkah kaki, aku tidak mengira aku sendiri punya keberanian keluar dari kamar setelah kejadian tadi sore... Apa boleh buat?! Aku tidak tahu dia akan ada di sini tengah malam begini!
"Hah..." Daripada bergelimang di dalam keheningan yang menulikan telinga, dia mengambil langkah keberanian pertama. Dia bangkit berdiri dari sofa dan berjalan ke dapur. "Kopi?" Dengan punggungnya menghadap ke arahku, dia menawariku kopi.
"Oh... oh ya." Aku perlu beberapa detik sebelum merespons tawarannya.
Aku duduk di sofa selagi dia membuatkanku kopi. Oh, dan dia juga membuatkan dirinya sendiri segelas kopi lagi... Jadi dia berencana untuk bergadang, ya?
Aku tidak melakukan apa-apa selagi aku menunggunya. Aku hanya memandang ke atap dan merenung.
Aku mendengar langkah kaki seseorang mendekatiku, tapi aku tidak bereaksi. Secara logis, aku sudah tahu siapa yang mendekatiku tanpa aku harus lihat; siapa lagi kalau bukan dia?
"..." Dia juga tidak mengatakan apa pun dan hanya meletakkan segelas kopi di meja di depanku. Setelah itu, dia mengambil langkah menjauh dariku dan duduk di ujung sofa.
Jadi dia nggak berjalan pergi setelah ini, ya...?
"Makasih..." Aku mengucapkan terima kasih sebagai bentuk norma sopan santun yang selalu diajarkan ibuku.
Kenapa dia nggak berjalan pergi meskipun dia tahu bahwa situasi ini sangat canggung, aku nggak paham. Oh... Dia juga buat kopi lagi untuk dirinya sendiri. Jadi dari awal, dia berencana akan tetap di sini? Nggak, nggak... Dia bisa membawanya masuk ke kamarnya, 'kan? Lagi pula, dari awal ini aneh. Kenapa dia memutuskan untuk bergadang di ruang tamu meskipun dia seharusnya tahu ada kemungkinan salah satu dari kita yang akan bangun dan menyadari lampu ruang tamu menyala? Apa dia tipe orang yang seceroboh ini? Atau itu disengaja? Apa dia sedang menunggu seseorang? Dia sudah janjian dengan orang lain?
Aku masih belum menyentuh gelas kopi di depan hadapanku. Terdapat semacam kabut mengepuh ke atas dari dalam gelas, menandakan kopi masih panas.
Mataku tidak lepas dari gelas tersebut tanpa alasan apa pun. Aku hanya jatuh termenung dan kebetulan, gelas tersebut ada di depan pandanganku.
Hm...?
Aku menyadari bahwa aku tidak merasa canggung lagi.
Apa ini karena aku sudah menjadi terbiasa? ...Mungkin karena kita berdua menyadari bahwa kita sama-sama tahu bahwa kita merasa canggung, jadi kita nggak merasa canggung lagi...? Apa itu masuk akal? Jadi, kami berdua merasa semacam rasa persaudaraan...? Eh, memangnya dia sudah nggak merasa canggung? Bisa aja dia memalsukannya...
"Rggh..." Aku merintih kesakitan dan menyentuh dahiku.
Argh. Kepalaku sakit. Rasanya, aku bukan diriku sendiri. Tadi-tadi, aku juga berpikiran agak konyol... Aku nggak berpikiran lurus. Aku juga tetap duduk di sampingnya seperti ini... Aku menurunkan pertahananku terlalu banyak...
"Ada obat sakit kepala di lemari." Katanya sambil menunjuk ke lemari di dapur.
"Obat, ya? ...Eh? Nggak, sebentar." Menyadari bahwa aku sedang diperhatikan, aku tetap mengabaikan gelas kopi di depanku dan menghadap ke samping, ke arahnya. "Yang lebih penting, aku punya pertanyaan."
"Pertanyaan?"
"Ya. Menurutmu apa yang harus kulakukan?" Aku telah memikirkan untuk meminta sarannya selagi aku menunggu dia selesai membuat kopi tadi.
"Entah." Dia memberikan jawaban yang sama seperti tadi sore.
Tapi aku sudah tahu dia akan membalas seperti ini, jadi aku tidak goyah dan tetap lanjut. "Nggak, sungguhan aku. Tolong. Beri tahu aku. Aku tahu aku masih kekurangan banyak hal." Ketika aku mengucapkan kalimat yang terakhir, matanya menyipit; aku mengabaikan itu. "Makanya, aku ingin kamu beri tahu aku tentang apa yang harus kulakukan sekarang. Aku butuh pandangan orang lain di sini. HUT dua minggu lagi. Ini masalah serius! Aku minta KAMU untuk menolongku ini. Aku telah membuang harga diriku, nih! Sama seperti yang kamu katakan tadi sore, bahwa harga diriku terlalu besar."
"Hah..." Jawaban pertama yang dia berikan setelah terdiam mendengarkan omelanku adalah helaan nafas. "Sepertinya kamu salah paham, Silvia Anggraini." Dia memanggilku dengan nama lengkap... Kalau aku tidak salah ingat, dia juga memanggilku seperti itu tadi sore. Tetapi sebelum aku bisa bereaksi, dia melanjutkan: "Itu bukan kelemahanmu."
"Eh?" Apanya? Dia membicarakan harga diriku? Jadi harga diriku bukan kelemahan...?
Menyadari bahwa aku salah paham, dia menerangkan lebih spesifik apa yang dia maksudkan. "Ingin menyelamatkan orang, bukannya itu menakjubkan?"
"!" Ketika dia memuji apa yang selama ini telah kupercayai, aku bisa merasakan pipiku menjadi hangat.
Apa ini rasanya divalidasi orang lain? Aku tidak tahu bisa seenak ini...
Aku segera menggoyahkan perasaan ini hilang dari hatiku. "Ta-tapi yang tadi sore kamu katakan-"
"Aku hanya mengatakan bahwa kamu itu naif, kamu memandang rendah orang lain, dan caramu menyelamatkan orang lain sedikit salah. Aku tidak pernah secara spesifik menyalahkanmu tentang niat menyelamatkan Nathania Dea. Apa kamu pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika kamu tidak pernah berusaha menyelamatkan Nathania Dea? Kehidupan SMA seperti apa yang akan dia alami? Apa dia akan tetap bisa tersenyum sama seperti ketika dia menyampaikan jumpa kepada kita tadi siang?"
Dia memanggil Dea dengan nama lengkap juga; aku mengabaikan hal tersebut untuk sekarang. "Tapi aku menyebabkannya menderita..." Aku terkejut suaraku keluar nyaring. Apa ini karena aku belum minum air sama sekali sejak bangun dari tidur? Atau karena aku takut...?
"Dari sudut pandangmu, mungkin memang seperti itu. Tapi apa pernah kamu mendengarnya mengutukmu?"
"..." Mengutuk? Dalam arti mengejek atau membenciku? Aku berusaha menggali semua ingatanku ketika aku bersamanya, dan tidak ada sama sekali. "Itu... Karena dia orang yang baik..."
"Betul. Kalau- Hm..." Melihat aku sama sekali tidak mau mengalah, dia menjadi terdiam dan kelihatan berpikir. "...Apa kamu pernah bertanya kepadanya apa yang dia pikirkan tentangmu?"
"Tentangku...?"
Aku tidak pernah terpikirkan sama sekali tentang itu. Aku selalu memikirkan caranya melindungi Dea. Bisa saja Dea sama sekali tidak suka denganku selama ini... Apa Dea pikir aku ini teman yang jelek? Caraku menangani pembulian salah? Pikiranku terganggu oleh suaranya.
"...Cepat minum kopinya. Nanti jadi dingin." Melihatku menjadi terdiam lagi, dia bangkit dari sofa dan berjalan pergi.
"Ah..." Aku meraih tanganku ke arah punggungnya, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutku.
Aku tidak punya pertanyaan lagi. Aku lebih penasaran terhadap apa yang dipikirkan Dea tentangku sekarang ini. Aku juga tidak punya hak untuk membuatnya berhenti di tempat. Selama ini, aku yang selalu mengusirnya dan berusaha menjauh darinya... jadi ini ya yang dia rasakan?
Aku masih di ruang tamu dengan lampu ruang tamu juga masih menyala.
Karena tidak ada orang lain di sekitarku, aku tidak perlu bersikap sopan lagi dan bergerak bebas. Aku menaikkan kedua kakiku ke sofa dan memeluk lututku.
Tanganku memegang handphoneku dan menempelkannya ke telinga.
'Tut... tut...'
Aku sedang menunggu permintaan panggilanku diterima.
'Klik.' [Silvi...?] Suara serak dan lelah muncul dari handphoneku.
"Halo, Dea? Masih bangun?"
[Baru bangun...]
"Sori, sori! Ya udah besok aja kalau gitu! Sori ganggu!" Aku sangat bodoh.
Aku tahu ini sudah tengah malam dan Dea seharusnya sudah tertidur, tapi aku tetap memutuskan untuk meneleponnya. Apa sih yang kuharapkan?! Aku terus-terusan mengganggunya, kenapa sih aku?!
[Silvi... nggak apa kok.] Dea berusaha menenangkanku. Itu semakin membuatku merasa bersalah.
"Nggak kok, Dea. Nggak penting atau darurat. Lanjutin besok aja nggak apa."
[Sungguhan nggak apa kok... Ada apa malam-malam gini?] Aku bisa mendengar suara pintu terbuka melalui handphoneku. Kelihatannya dia sedang keluar kamar, mungkin untuk minum air.
"Dea... Makasih, Dea. Buat selama ini; terima kasih."
[Kenapa kok tiba-tiba gitu? Hehe!] Dia terkikih-kikih geli mendengarku begini. Jika dilihat baik-baik, memang aneh aku melakukan ini di tengah malam begini. [Justru sebaliknya, Silvi. Makasih banyak.]
"Itu..." Aku mengatakannya keluar dari mulutku tanpa sengaja. Aku berusaha menunjuk ucapan terima kasih tersebut. "Maaf selama ini aku kayak gini. Kalau misalnya aku bisa lebih baik-" Kata-kataku dipotong.
[Jangan gitu, Silvi.] Dea tiba-tiba menyelaku.
"Eh? Ya, tapi 'kan kalau aku nggak kayak gini, pembulianmu..." Kata-kataku berkeluyuran dan aku tidak menyelesaikannya. Aku takut untuk membahasnya di hadapan Dea, jadi aku hanya mengindikasikan dan berhenti di tengah jalan.
[Mana mungkin itu salahmu, Silvi? Yang salah ya jelas mereka, bukan kamu. Kamu yang melindungiku, Silvi. Makasih.]
"Oh..." Apa yang dikatakannya dan Dea benar, tapi ini belum cukup. Dea memanglah anak yang baik. Dea membohongi aku supaya aku tidak merasa sakit hati...
[Yang jelas, nggak mungkin aku bisa bertahan selama ini tanpa kamu... Dulu, aku merasa bersalah mungkin aku merusak hidupmu, Silvi, sampai aku pernah kepikiran bunuh diri.]
"Dea...!" Aku tidak tahu aku harus mengucapkan apa. Aku bisa merasakan dadaku terasa sesak dan nafasku tersumbat.
Karena aku, Dea pernah berpikiran seperti itu...? Kadang-kadang, aku mendengar berita tentang bunuh diri di televisi atau di koran-koran. Aku tidak pernah menyangka, pikiran yang menyeramkan seperti itu bisa ada sangat dekat sekali... di dalam pikiran sahabatku... Rasanya aneh dan asing.
[Tapi ketika aku sadar bahwa kamu betul-betul peduli, aku kepikiran kamu nantinya akan sangat sedih kalau aku bunuh diri.] Katanya dengan nada riang. Dia tahu bahwa aku merasa takut, jadi dia berusaha menyingkirkan itu secepat mungkin. [Ya, tapi karena gagal waktu coba pertama kali itu.]
"Ha?" Aku tidak bisa mendengar kalimat terakhirnya dengan lengkap karena suaranya terlalu kecil sampai mesin handphonenya tidak bisa menangkap suaranya.
[Nggak apa! Nggak apa!]
"?"
Setelah itu, kami bercakap-cakap tentang hal lain. Aku mengeluh tentang HUT, tentang masalah tinggal bersamanya (aku sudah memberi tahu ini kepada Dea dulu), dan menceritakan apa yang terjadi tadi sore.
[Oh... Ngomong-ngomong tentang dia.]
"Kenapa dia?"
[Ya... memangnya kenapa dia ngomong kayak gitu ke kamu tadi sore tiba-tiba?]
"Eh?" Betul... kenapa dia...?
[Dia juga 'kan yang beri tahu kamu untuk 'nelepon aku?]
"Ya... nggak secara langsung tapi." Dia tidak memberi tahu aku untuk menelepon Dea. Dia hanya mengatakan sesuatu sehingga aku menjadi penasaran apa yang dipikirkan Dea tentangku.
[Silvi, kamu nggak heran?]
"Sekarang aku heran."
[Mungkin aja dia peduli sama kamu?]
"Hah?!" Aku menjerit terkejut sampai tubuhku menjadi tegak dan kakiku turun dari sofa. Aku langsung menutup mulutku karena ini masih tengah malam. "Ap... Nggak. Nggak mungkin! Kenapa kok kamu bisa mikir gitu?"
[Ya, aku dengar dari tadi dari kamu sendiri, kalau dia itu membantu kamu.]
"Membantu aku...? Bantu aku gimana?" Tadi sore dia membantuku? Yang bagian mana yang membantuku?
[Memang betul kata-katanya kasar, tapi 'kan, intinya buat kamu sadar tentang banyak hal yang bagus di kamu.]
"Hah???" Rasanya, sahabatku ini mulai jadi gila.
[Hm...] Mengetahui bahwa aku masih tidak paham maksudnya, dia berusaha memikirkan bukti-bukti lain untuk disampaikan.
"..." Selagi aku menunggu, aku menyeruput kopi. 'sruupp...'
[Ah! Itu! Itu!] Mendengarku menyuruput, Dea langsung menunjuk-nunjuk seolah mendapatkan ide bagus. Dia langsung teringat bahwa aku tidak bisa melihat apa yang sedang dia tunjuk. [Anu, tadi kamu bilang kamu lagi minum kopi, 'kan?]
"Kopi? Iya. Memangnya kenapa?" Apa hubungannya kopi dengan dia?
[Aku nggak pernah tahu kalau kamu suka kopi, Silvi. Aku juga nggak ingat kamu pernah ngomong tentang kopi sekalipun sebelum kamu pindah ke rumahnya. Dia 'kan yang buat kopi itu?]
"Stt..." Aku menahan nafasku. Gelas di tangan kiriku berhenti tepat di ujung bibirku. "Me-memangnya apa hubungannya?!"
[Ya itu. Dia memuji kamu berusaha menghentikan pembulianku, dia memberi kamu saran dan mengkritik kamu, dia membantu kamu membeli kado buat adik-adikmu, dan dia rela membuatkanmu kopi. Kalau dia nggak peduli, dia nggak akan melakukan itu.] Nada Dea mulai sedikit berubah menjadi lebih bermain-main.
"..." Aku menelan ludahku, meskipun aku tahu saat ini tidak ada kopi di dalam mulutku.
Jadi selama ini, dia tidak mengejekku, gitu? Intinya, yang dia katakan tentangku adalah pujian? Apa dia... Apa dia selalu berpikir begitu tentangku selama ini? Nggak mungkin, nggak mungkin. Dia hanya mengejekku! Kalau memuji orang lain ya mana mungkin pakai bahasa seperti itu!
Kendalikan dirimu, aku! ...Tapi jika memang gitu... apa berarti dia tadi menyemangatiku...?
"Hah! Nggak, lah! Eh, itu, anu! Yang HUT itu loh, gimana ini?"
[Hehe!] Dea sadar kalau aku sedang berusaha mengubah topik pembicaraan. Dea berusaha menumpat gelinya, tapi mesin handphonenya berhasil menangkap suaranya dan aku juga mendengar tawanya. [HUT, ya? Eh, siapa loh ya yang masih di Majelis?]
"Ha?" Siapa? Ya, aku masih di Majelis...
[Katamu tadi, dia masih bantu kamu, 'kan?]
"Ah-!" Aku teringat. Tadi, aku menceritakan juga tentang bagaimana dia tidak keluar Majelis seperti anggota-anggota lainnya, tapi aku tidak menyangka Dea akan menyerangku seperti ini! Aku tidak sadar bahwa itu bisa terlihat sedang memujinya. "Nggak, itu 'kan sudah kuberi tahu! Anu! Dia itu cuman pingin terlihat baik!"
[Iya, iya...] Dari nadanya, Dea hanya menyingkirkan alasan yang kusampaikan seolah tidak dapat dipercaya.
"Hehh!!!"
...Aku tidak bisa paham kenapa sahabatku lebih percaya musuhku daripada sahabatnya sendiri...
Kami melanjutkan bercakap-cakap sampai aku jatuh tertidur di sofa. Ketika aku bangun di sofa di pagi harinya, ada selimut di tubuhku. Obat pil sakit kepala dan segelas air terletak di atas meja.
Siapa yang-
"..." Aku bisa merasakan pipiku menjadi hangat lagi.