Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 25 - 9 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 12 November. Pagi hari. ~~~Silvia Anggraini.

Chapter 25 - 9 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 12 November. Pagi hari. ~~~Silvia Anggraini.

Dengan seluruh kekuatanku, aku berhasil memaksakan diriku datang pagi ke sekolah.

Bagaimanapun situasinya, aku harus tetap menjalankan HUT karena aku adalah ketuanya. Banyak guru dan murid sudah membantu, aku tidak bisa membuang usaha kita dengan sia-sia.

Guru-guru, para karyawan sekolah semuanya, dan beberapa murid yang sudah datang di pagi ini, berkumpul di satu tempat.

Mereka berkumpul di halaman depan, area sebelum masuk ke kelas-kelas.

Dan di sana, dia juga berada di tengah keramaian. Seperti biasanya, dia datang lebih pagi dari aku.

Dia sedang berbicara dengan Pak Kiyo, wali kelasnya.

"Ada apa, Bu?" Tanyaku ke guru pembimbing Majelis yang sangat kukenal.

"Silvia..." Panggil guru wanita tersebut dengan frustrasi.

Saat guru wanita itu ingin menjelaskan, suara teriakan dari orang lain menelan suara guru wanita di depanku. "Apa maksudmu kamu nggak tahu?! Kamu yang kunci gerbangnya terakhir, 'kan?!" "Iya maaf, pak! Tapi memang betul sudah saya kunci..." "Terus, juga kebetulan mereka keluar kota kemarin dan jadinya kayak gini?!" "Saya nggak tahu sungguhan, pak..." Orang yang sedang memarahi adalah kepala sekolah. Ia sedang memarahi penjaga yang selalu menutup gerbang terakhir.

Penjaga yang bertugas sedang membungkuk-bungkukkan badannya ke kepala sekolah dan wajahnya sangat pucat sekali.

"...?" Aku tidak bisa menangkap jelas apa yang sedang terjadi dari kata-kata mereka.

Kemudian suara lain datang. "Apa tidak ada yang lihat pelakunya?" "Nggak, Pak Kiyo. Kami datang sudah kayak gitu." "Iya. Dari awal, sudah kerasa ada bau-bau aneh." "Kalian yakin nggak lihat apa-apa?" "Iya, pak." Orang yang menanyai murid-murid adalah Pak Kiyo.

"Ada apa sebenarnya, Bu? Kenapa sedang 'nunggu di luar semua?"

"Ada yang mencoret-"

"Mencoret?" Sebelum dia selesai berbicara, aku menyelanya. Aku tahu sendiri menyela guru itu tidak sopan, tapi entah kenapa perasaanku sangat tidak enak dari tadi. Aku bisa merasakan leherku dibasahi keringat.

Sangat tidak enak sekali. Udara di sini sangat menyesakkan. Suasananya terasa sangat muram. Tidak enak.

Aku mengabaikan kerumunan ini dan melewati mereka semua.

"Ah! Bentar, nak!" Panggil Pak Kiyo yang melihatku berjalan masuk.

Kakiku melangkah semakin cepat. Rasanya di hatiku sangat resah. Perasaan apa ini?

Aku mendekati salah satu lorong untuk menuju ke kelasku.

Uh! Bau apa ini?

Yang kucium adalah bau sengit. Semakin mendekat, semakin jelas baunya.

Aku melihat dari jendela ke dalam kelas yang paling dekat.

A-apa-apaan ini?!

Aku tidak ingin memercayai apa yang kulihat.

'Mungkin aku salah lihat.'

Dengan harapan seperti itu, aku berjalan masuk ke ruang kelas. Aku ingin melihat dengan kedua mataku, bukan penglihatan yang terdistorsi oleh kaca jendela.

Ah...

Keringat dingin mengalir di punggungku.

Aku melangkah mundur keluar kelas. Kemudian aku lari ke kelas berikutnya. Sama.

Kemudian aku lari ke kelas berikutnya. Sama.

Kemudian aku lari ke kelas berikutnya. Sama.

Kemudian aku lari ke kelas berikutnya. Sama.

...

Tidak ada pengecualian. Semua kelas di sekolah ini, sama semua seperti itu.

Ahhhh...

Kerja keras mereka... kerja keras kita...

Semuanya sia-sia.

Semua kelas hancur. Majalah dinding yang seharusnya sudah selesai dan siap dinilai untuk lomba majalah dinding telah disemprot dengan cat kaleng semprot. Makanya berbau sengit. Tidak hanya itu saja, semua hiasan kelas dirobek dan berantakan.

Aku masih bisa menjelaskan kerusakan-kerusakan apa saja di setiap kelas tanpa henti. Seburuk itulah.

"AHHH!!!"