Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 28 - 14 hari sebelum HUT sekolah. Rabu, 7 November. Sore hari. Jam pulang sekolah.

Chapter 28 - 14 hari sebelum HUT sekolah. Rabu, 7 November. Sore hari. Jam pulang sekolah.

Sekarang untuk permasalahan pembulian Nathania Dea.

Pada dasarnya, semua masalah lebih baik diselesaikan langsung dari akarnya, daripada menunda atau dikurangi.

Jujur saja, nasihat atau opini mengenai pembulian tidak akan mengubah apa pun. "Harus dihentikan." "Sadarilah dari diri sendiri." "Laporkan ke guru."

Iya, itu sudah jelas, tapi tidak ada yang peduli. Yang korban pembulian inginkan adalah tindakan, bukan omong kosong.

Di barat, pembuli diperlakukan sama seperti permasalahan kesehatan mental. Mereka percaya bahwa pembuli adalah orang yang perlu diobati. Mereka percaya bahwa pembuli harus diisolasi dan diberi konseling. Tapi di Indonesia?

Dari berbagai sumber yang kubaca, penanganan pembulian di Indonesia dilakukan dengan pencegahan, penyelesaian melalui kekeluargaan, perlindungan, dan rehabilitasi bagi kedua pihak. Secara konsep, itu luar biasa. Tapi eksekusinya patut dipertanyakan.

Coba lihat pembulian yang sedang terjadi terhadap Nathania Dea. Apa itu pencegahan? Apa itu penyelesaian melalui kekeluargaan? Apa itu perlindungan? Apa itu rehabilitasi? Kenapa harus korban pembulian yang lari?

Lalu, apa yang menyebabkan pembulian susah dihentikan?

Selama ratusan tahun, masalah ini akan tetap ada karena kebusukan pelaku pembulian dan ketakutan masyarakat untuk berbicara keras.

Aku tidak menghitung gerakan anti-bullying sebagai salah satu tindakan berbicara keras. Siapa pun bisa memasang sebuah banner bertuliskan "say no to bullying". Tapi jika tidak ada tindakan dan hasil, itu semua omong kosong.

Aku telah memaklumi hal ini. Tidak ada yang akan berubah. Aku tidak senaif itu sampai aku mengharapkan pembulian akan musnah begitu saja jika aku menutup mataku. Jadi, yang harus diatasi adalah pelaku pembulian itu sendiri, ya?

Tidak perlu basa-basi lagi. Pelaku pembulian harus ditiadakan... itulah yang aku inginkan.

Seandainya semudah itu, masalah pembulian tidak akan pernah ada sejak awal.

Apa penyebab pembulian? Apa yang diinginkan seseorang sehingga mereka melakukan tindakan pembulian terhadap orang lain?

Aku tidak tahu pasti dan hanya bisa membuat dugaan. Mungkin mereka ingin menempatkan diri mereka berada di atas orang lain. Mungkin mereka suka menganiaya orang lain. Mungkin mereka tidak ingin berada di bawah orang lain.

Banyak yang berusaha mencoba alasan di balik tindakan mereka... tapi karena setiap pembuli punya motivasi tersendiri, tidak ada ahli yang bisa mengatakan dengan pasti.

Mereka tidak bisa dikategorikan, dan sia-sia saja memikirkan alasan kenapa mereka melakukan hal-hal tersebut.

Kita tidak akan pernah tahu keinginan terpendam manusia lain. Tapi setidaknya, aku bisa mencoba untuk memahami manusia ini.

Maka dari itu, aku memerlukan informasi. Banyak. Tentang pembuli ini.

Di permasalahan pembulian ini, ada lebih satu dari pelaku pembulian, tapi yang memegang inti dari kelompok ini hanya satu orang saja. Bisa dibilang ia adalah pemimpin dari grup pembuli.

Ini memudahkan pekerjaanku. Aku hanya perlu mencari tahu tentang orang ini saja.

Rumah kumuh yang telah aku tunjukkan ke Silvia Anggraini, adalah rumahnya pembuli yang aku maksud.

Saat ini, aku sedang menunggu di dekat rumahnya, supaya aku bisa berbicara dengannya.

Benar. Aku akan mencoba berbicara dengannya; bernegosiasi layaknya manusia beradab.

Untuk kali ini, aku tidak memasang "Topeng"ku. Karena dengan "Topeng"ku, aku tidak bisa betul-betul berbicara dengannya. Dia tidak akan menanggapiku dengan serius dengan sifat ceria dan wajah yang selalu tersenyum. Jadi, aku memutuskan untuk melepas "Topeng"ku. Aku perlu persona untuk menempatkan posisiku di mana aku bisa mendominasinya.

Dia akan menjadi orang ketiga yang tahu sifatku...

Aku berdiri tepat di mana dia akan belok ke jalan ini.

Aku bisa tiba lebih awal darinya karena aku segera berangkat ke tempat ini, sesegera setelah bel pulang sekolah berdering. Aku menunggunya lumayan lama karena mungkin dia tidak segera pulang setelah bel jam pulang berbunyi. Juga, aku menyembunyikan sepedaku tidak jauh dari sini.

"!"

Dan dugaanku benar. Dia berbelok ke jalan ini. Ketika melihatku, kakinya mematung sehingga dia berhenti mengayuh sepeda sejenak dan membiarkan hukum inersia membawa sepedanya terus bergerak ke depan.

Dia melihat seseorang yang berseragam sekolah sama dengannya sedang melihat ke arahnya. Dia bisa berhenti dan membelokkan sepedanya menuju jalan lain, tapi itu akan terlalu mencurigakan. Kemudian dia berpikir, "kan nggak mungkin ada orang yang menungguku di sini, pasti cuman kebetulan" atau semacam itu. Jadi dia memutuskan untuk mengabaikanku dan lanjut mengayuh sepedanya.

Itu terjadi selama dua detik. Dan pada akhir dua detik tersebut, dia menyimpulkan bahwa aku "bukanlah siapa-siapa".

Namun, sesaat keraguan itu, justru membuatnya semakin mencurigakan.

Mungkin di mata orang lain yang lewat di situ memang terlihat seperti biasa saja. Tapi di mataku, aku menangkap matanya yang sekejap terbuka lebar dan gerak-gerik kecil lainnya. Itu sudah jelas terlihat bahwa dia tidak terlalu berpengalaman menyembunyikan bahasa tubuhnya. Lagi pula, orang waras mana yang sepeduli aku tentang ini?

Aku berlari ke tengah jalan dan menangkap pegangan sepedanya.

Karena hukum fisika akan selalu ada di bumi ini, tubuhnya langsung terjorok ke depan karena momentumnya berhenti tiba-tiba.

"?!" Dia berhenti di tempat dan hampir jatuh dari sepeda. Kedua kakinya segera turun ke tanah sebelum seluruh tubuhnya jatuh ke samping bersama dengan sepedanya. "Ngapain kamu?!" Tentu saja dia terkejut dicampur dengan marah.

Dia akan mengutukku lagi, tapi aku mencegahnya dengan berbicara terlebih dahulu. "Aku tahu apa yang kamu lakukan."

"Ha?"

"Pembulian. Aku punya buktinya."

"Terus?" Meskipun di hadapan ancamanku, dia masih tetap tenang saja. "Semua orang di sekolah sudah tahu itu."

Tentu saja, mental seorang pembuli harus kuat, jika tidak, mereka tidak akan bisa bertahan lama. Ditambah lagi, setiap harinya, dia terus bertengkar dengan Silvia Anggraini, jadi tidak heran.

"Aku juga tahu di mana kamu tinggal."

"!"

Jika dia tidak percaya bahwa aku tahu rumahnya di mana, aku cuman perlu bilang alamat tempat tinggalnya untuk membuktikannya.

Sepertinya dia sadar aku tidak punya alasan untuk berbohong, jadi dia menganggap bahwa apa yang kukatakan itu benar. Itu juga berarti, aku baru saja membuat diriku menjadi orang yang harus dia waspadai dan yang harus dijadikannya sebagai musuh.

"...Terus memangnya kenapa?" Dia justru menantangku lagi. Awalnya dia terkejut, tapi kelihatannya itu tetap tidak menggoyahkannya dengan tekad kerasnya.

"Bukannya sudah jelas? Aku mengancammu."

"Buat apa? ...Jangan-jangan kamu pingin aku berhenti membuli?" Dia berusaha menarik informasi dariku supaya tahu motivasiku mengancam dirinya. Dengan dia tahu motivasiku, dia bisa mengambil alih perbincangan dan negosiasi tidak lagi menjadi satu arah seperti ini.

"..." Aku menjawab dengan mengangguk. Aku sengaja memberikannya jawaban begitu, karena negosiasi ini tidak akan pernah selesai jika aku selalu penuh tipu daya.

"AHAHAHAHAHAH!" Dia tertawa mendengar jawaban munafikku. "Seriusan? Kamu mengancamku karena kamu pingin aku berhenti membuli? AHAHAHA!" Dia tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.

Aku tahu apa yang kuminta adalah perbuatan menjijikkan, bahkan aku sendiri merasa malu ditertawakan di wajahku langsung ini.

Pasti di matanya, aku adalah orang yang naif, menjunjung tinggi keadilan, dan sebagainya; sama seperti Silvia Anggraini. Dia bisa tertawa terbahak-bahak karena dia memandangku sebagai hipokrit. Jika aku ingin menyelamatkan Nathania Dea, kenapa aku baru saja berusaha sekarang? Kenapa tidak dari dulu? Jika perbuatanku sekarang bukanlah hipokrit, lalu apa itu? Aku tidak menyalahkannya, karena aku melihat Silvia Anggraini sama seperti dia melihatku sekarang.

Sebenarnya, aku dan pembuli ini tidaklah jauh berbeda. Kita memiliki beberapa pendirian yang sama. Itulah yang kudapat dari informasi-informasi yang aku kumpulkan tentang dirinya. Hanya saja, dia tidak memanfaatkan kemampuannya dengan bijaksana.

"...Ahah..." Setelah beberapa saat dia terus tertawa, dia akhirnya berhenti.

Selama dia tertawa, aku menunggunya berhenti tertawa dengan sabar dan wajah datar sambil selalu memperhatikan lingkungan sekitar.

"Begini loh, bocah. Kamu pikir, dengan 'nyebarin ke orang-orang, itu buat aku takut?" Dia membicarakan tentang ancamanku.

"..." Aku tidak berkata apa-apa karena itu benar. Dari awal aku sudah memprediksi bahwa ancaman ini tidak akan berhasil.

Itu aku sudah jelas tahu. Aku tahu kurang lebih bagaimana sifatnya. Aku tidak pernah berharap bahwa dengan mengancamnya begini dia akan langsung berhenti membuli seajaib itu.

Kalau sebegitu mudahnya dia berubah pikiran, dari awal dia tidak akan bisa bertahan melanjutkan pembulian meskipun di bawah pengawasan guru. Lebih lagi, harga dirinya tidak akan membiarkan ancamanku membuatnya berhenti dengan mudah.

"Nggak ada yang berani ngelawan aku. Coba aja sebarin, aku malah makin buli Dea lebih keras lagi." Dia membalasku dengan mengancamku kembali.

Dia tidak takut akan risiko dari ancamanku. Jika aku betul menyebarkannya, aku kehilangan sebuah "alat" untuk mengancamnya. Dengan begitu, justru pembuli itu tidak punya lagi alasan untuk tidak membuli. Dia akan terus membuli meskipun aku menyebarkannya.

"..."

"Kamu paham sekarang? Bukan kamu yang 'ngancam aku, aku yang 'ngancam kamu di sini." Dengan setiap kata-kata yang dia ucapkan, telunjuk jarinya semakin menusuk dadaku.

Aku memahami pemikirannya sekarang. Meskipun aku mengancamnya, itu tidak akan mengubah apa pun. Salah satu faktornya karena ancamanku tidak mengimbangi keinginannya.

Ini sungguh menyebalkan.

"..." Aku mengeluarkan amplop berwarna cokelat yang agak tebal. Amplop tipikal yang biasanya digunakan untuk diisi uang. Orang-orang di film-film maupun di dunia nyata pasti sadar apa artinya ini.

"..." Saat itu juga, senyumannya membeku, matanya terbuka lebar dan berkedip-kedip. Setelah menyadari apa yang kupegang, senyumannya hilang. Dia memahami maksudku.

"Ke sini." Ajakku menuju ke gang sepi yang agak dekat dari sini.

"..." Dia mengikutiku dari belakang sambil menuntun sepedanya.

Aku berhenti berjalan ketika aku merasa bahwa ini adalah tempat yang cocok. Aku berbalik badan dan dia juga berhenti berjalan. Dia menyandarkan sepedanya ke tembok dekat tempat ini.

"...Apa itu?"

"Uang." Kataku sambil melempar amplop cokelat ke tanah seolah tidak berarti apa-apa. "Isinya 1 juta." Jelasku lebih lagi.

"..."

Meskipun aku telah menjelaskan, dia hanya diam saja dan matanya mengikuti amplop cokelat tersebut jatuh ke tanah.

1 atau 2 juta memang terdengar jumlah yang kecil, tapi aku masih seorang siswa. Aku belum punya pekerjaan seperti ayahku. Ditambah lagi, aku membeli peralatan-peralatan itu; perekam suara dan sebagainya.

Ada banyak cara mendapatkan uang tanpa perlu lulus sekolah. Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk menghasilkan pendapatan karena kesibukan sekolahku. Jika aku sangat membutuhkan uang, aku hanya perlu menyisakan waktuku untuk memperoleh uang. Tentunya aku tidak mencuri, itu terlalu berisiko. Situasi belakangan ini tidak memaksaku untuk melakukan pekerjaan memperoleh uang.

"...Kamu pikir aku nggak punya harga diri?" Perasaan marah keluar sedikit ketika dia membuka mulutnya.

"...harga diri?" Tanpa sengaja aku menggumam heran. Tidak. Tidak. Salah. Kamu bukanlah tipe orang yang memedulikan harga diri. "Jadi kamu tidak membutuhkan uang?"

"..." Matanya berkedut ketika mendengarku berkata begitu.

Dari semua orang yang kusaksikan seluruh masa lalunya dan perbuatannya, kamu adalah manusia busuk yang memerlukan uang.

Tentu saja semua orang butuh uang, tapi yang kumaksud di sini adalah kondisi ekonomi rumah tangganya. Itu bukan berarti dia sangat butuh uang sampai dia perlu mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dia tahu sendiri bahwa keadaan ekonomi keluarganya hanya bisa memberinya makan dan membiayai sekolahnya.

Dia mengambil uang milik orang lain karena dia bisa, bukan karena perlu. Dia tidak sangat berputus asa untuk memperoleh uang. Dia hanya mengambil uang dari Nathania Dea karena terlihat mudah. Jika dia sangat membutuhkan uang, dia akan melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang. Mengambil uang dari orang lain itu terlalu rumit dan berisiko. Mungkin alasannya dia tidak ingin bekerja untuk memperkaya diri adalah karena dia malas atau karena pendiriannya yang membenci kerja. Dalam hal ini, dia terlihat sangat manusia.

"Apa ini kayak uang suap?" Dia mulai menangkap maksudku.

"Berhentilah membuli."

"Jangan pikir aku kayak wanita jalang, bajingan." Dengan mudahnya seperti bernafas, dia mengutukku.

Pasti harga dirinya sebagai manusia terlukai... pasti sangat terasa sakit sekali. Tapi apa itu sepadan dengan uang 1 juta?

Dia melihatku sebagai seorang bajingan karena aku telah bersikap sok tahu tentang dirinya.

Pastinya, sekarang ini aku dipandang sebagai seorang anak orang kaya yang kurang ajar, ya?

"Memangnya harga diri itu penting?" Kataku sambil menjatuhkan pandanganku ke amplop yang ada di tanah, dan matanya juga mengikuti pandanganku. "Kamu membuli untuk mendapatkan uang sangu dari anak lain; apa itu harga diri?" Betul. Selama ini, dia membuli Nathania Dea untuk mendapatkan uang.

"Bajingan..." Sambil menggertakkan giginya, tubuhnya gemetaran marah. Matanya dipenuhi dengan hinaan dan rasa marah sebesar matahari diarahkan ke kehidupanku.

Lucunya, dia sangat hati-hati dalam memilih target sampai dia menghindari anak penjabat. Dia juga sengaja memilih orang yang mental dan fisiknya lemah. Dia bukan lagi seorang murid remaja perempuan yang nakal. Ini adalah kejahatan yang direncanakan.

Aku mengetahui keinginannya. Aku mengetahui motivasinya. Aku tahu apa yang orang lain tidak tahu. Sekarang akulah yang mengendalikan alur perbincangan.

"Pikir baik-baik. Kamu tidak perlu melakukan apa pun dan kamu akan mendapatkan uang 1 juta. Itu harga yang murah untuk dilakukan, 'kan? Kamu membuli, berhenti, dan mendapat uang 1 juta." Begitu aku selesai mengatakan begitu, dari sudut pandang orang banyak, itu memang terdengar menarik.

Namun, ejekan dan provokasi kecil seperti ini tidak akan membuatnya kehilangan rasionalnya.

"Terus? Misalnya aku ambil uang ini, tapi aku masih membuli?" Dia tersenyum menyeringai dengan maksud lain, sambil berusaha tidak melihatkan amarahnya kepadaku.

Oh? Lucu sekali. Dia mulai mencoba mengambil risiko.

"Akan kubayar 1 juta lagi." Aku menawarkannya uang lagi.

Jika dia berhenti membuli, dia bisa mendapat uang 1 juta lagi... Itu artinya dia akan mendapat uang 2 juta tanpa melakukan apa pun, dan dia tidak perlu lagi membahayakan posisinya sebagai murid. Maka bisa dilihat, ini adalah negosiasi yang paling ideal baginya.

"Terus?" Senyumannya semakin lebar lagi.

"..." Aku tahu apa yang dia maksud. Dia ingin aku untuk terus meningkatkan tawaranku, dan dia bermaksud untuk terus meningkatkannya tanpa henti.

Hah... dasar dungu.

"..." Aku berhenti bersikap seperti seorang usahawan, dan menatapnya dengan tatapan kosong. "Rupanya kamu salah paham." Jelasku.

"Apanya yang salah paham?"

"Kamu bisa berkata begitu karena kamu mengira aku memedulikan Nathania Dea. Apa aku salah?"

"Ha?" Normal baginya jadi bingung karena aku memberitahunya sebuah pernyataan yang sangat berbeda dari tindakanku. "Hahaha! Oh, oke kamu jadi nggak peduli? Oke deh! Hahaha!" Dia menertawakanku dengan sinis.

Siapa pun yang mendengar percakapan kami dari awal, pasti akan mengira bahwa aku sangat memedulikan Nathania Dea. Dia ingin menggunakan kepedulianku dan menjadikannya kelemahanku. Kenyataannya, aku tidak peduli sama sekali terhadap pembulian Dea.

Tidak masalah jika dia berhenti membuli Nathania Dea kemudian membulinya lagi beberapa saat kemudian. Tentunya, akan lebih baik lagi jika dia berhenti selamanya atau memilih target lain. Aku perlu pembuli ini berhenti cukup lumayan lama, supaya Silvia Anggraini bisa melihat bukti dampak perubahannya nanti.

Cara menyogok bukanlah cara satu-satunya dan paling akhir. Aku hanya memilih cara ini karena ini adalah cara yang paling efisien. Hanya karena itu saja. Jika negosiasi ini gagal, maka ya sudah.

"Terus ngapain kamu ke sini, coba? Kamu ke sini soalnya nggak bisa apa-apa." Katanya mengejek sambil mengangkat bahunya. "Percuma 'nipu." Dia mengira bahwa aku berusaha menipunya untuk menurunkan harga 2 juta tersebut. Aku tidak menyalahkannya jika dia berpikir begitu.

"Hah..." Aku sengaja menghela nafas untuk menunjukkan bahwa negosiasi ini telah selesai.

Dia menolakku; menyangkal kemungkinan kehidupan yang sepenuhnya apatis. Belakangan ini, aku jadi terbiasa disangkal seperti itu gara-gara Pak Kiyo.

Aku membungkuk untuk mengambil amplop yang ada di tanah-

'krssk'

Sebuah sepatu menginjak amplop.

"...Apa ini?" Tanyaku sambil menengok ke atas, ke wajahnya.

"Pergi." Dan aku dihadapkan dengan senyuman kejinya.

"Hah..." Aku melepaskan peganganku dari amplop dan kembali berdiri sambil menghela nafas.

"Dengar-"

'wush!'

Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, sebuah tendangan menuju wajahku dan aku meresponsnya dengan menggeserkan kepalaku ke samping untuk menghindar.

Seperti yang sudah kuduga, ini adalah kesimpulan yang dia ambil.

Kekerasan fisik sangat mudah dipahami daripada kata-kata.

Tapi tentunya, sebagai seseorang yang berpengalaman dalam bela diri, dia tidak membiarkan musuhnya istirahat. Serangan berikutnya tiba.

Tangannya dia kepalkan dan menuju ulu hatiku.

Manusia memiliki tempat-tempat di tubuh mereka yang tak terhitung jumlahnya yang dapat disebut sebagai titik lemah. Salah satunya adalah ulu hati, area yang tidak bisa dilatih atau diperkuat.

Itu menunjukkan bahwa dia sudah dilatih untuk mengincar daerah kelemahan tersebut.

Sayangnya, ini adalah perkelahian jalanan, bukan latihan. Serangannya terlalu ortodoks. Itu membuatnya mudah diprediksi.

Karena momentum pukulan kerasnya tersebut, tubuhnya juga ikut maju dengan ceroboh.

Itu artinya, dia bermaksud untuk membuatku pingsan dengan sekali pukulan... Naif.

"!"

Aku segera melangkah ke samping dan menangkap lengannya. Dengan tangan lain aku menangkap bajunya, kemudian melemparkan seluruh tubuhnya ke belakangku. Aku menggunakan momentumnya untuk membantingnya ke belakang seperti semacam aksi di sebuah film.

"Grr!" Tapi, layaknya seorang profesional, dia berguling di atas tanah supaya tubuhnya tidak terdiam berhenti dan tidak terbanting jatuh dengan keras. "Bangsat!"

Dari awal aku sudah tahu bahwa dia pernah mengikuti perlombaan bela diri dan memenangi beberapa lomba tersebut. Ironisnya, dia mengikuti lomba itu untuk membantu perekonomian keluarganya. Dan sekarang, dia menggunakan bela diri tersebut untuk mengambil uang dariku.

Dibandingkan dia yang tidak menyangka aku dapat menghindar, aku sudah tahu dari awal kemampuannya. Maka dari itu, aku selalu berhati-hati dan menantikan serangan darinya.

Konflik tidak selalu merupakan masalah mental. Kekerasan fisik adalah kekuatan yang paling kuat di dunia ini. Ini berlaku bagi seorang jenderal yang memimpin pasukannya, dan juga alat yang sempurna untuk membunuh jenderal tersebut. Tidak penting seberapa liciknya seseorang, manusia akan terpaksa menyerah di hadapan kekerasan fisik.

Orang memang menyerah di hadapan kekerasan; itu sudah pasti. Tetapi supaya itu berfungsi, ia harus lebih kuat dari orang lain.

Menyadari hal tersebut, dia menjadi terdiam. "..."

"Lagi ngapain?" Aku memancingnya untuk menyerang, tapi dia tidak bergerak sama sekali.

Dengan jarak yang aku buat, itu memberikannya nafas dan waktu berpikir. Sekarang dia tidak akan lagi lengah dengan menganggapku remeh.

"Heheheh!" Dia tertawa keji setelah menyadari sesuatu. "Kalau kamu nggak mau 'nyerahkan uang itu, aku panggil polisi loh."

"Terus?"

"Hah!" Dia menertawakan kebodohanku. "Ya aku laporkan kamu 'nyerang cewek!"

Hal yang dia lakukan berikutnya mengejutkanku. Aku tidak pernah menduga itu.

"Hk!" Kemudian, dia memukul pipinya sendiri cukup keras sehingga terlihat bekas memar.

Dia menunjukkanku bahwa dia memiliki keberanian untuk melukai dirinya sendiri hingga aku bisa dikatakan sebagai pelaku penyerangan.

Jadi meskipun aku tidak berencana melukainya, dia yang akan melukai dirinya sendiri, ya? Aku tidak menyangka dia secerdik ini.

"Cewek yang ahli bela diri dan dikenal sebagai murid nakal?" Tanyaku retorik.

"Ck." Dia langsung berdecak setelah mendengar logikaku.

"Memangnya aku juga tidak bisa memukul wajahku sendiri?" Kalau perlu, aku bisa melukai diriku sendiri lebih parah dari lukanya nanti.

Dia sendiri tahu reputasi yang dia miliki. Sayangnya, dia tidak punya informasi tentangku sama sekali. Meskipun polisi akan campur tangan pun, dengan reputasi yang kumiliki di sekolah dan sejarahku di dunia bela diri adalah nol, pihak polisi tidak akan bisa menerima fakta bahwa aku berhasil melukai seseorang yang sepertinya.

Aku tidak pernah ikut dalam pelatihan bela diri, aku tidak pernah ikut kompetisi bela diri, aku menyembunyikan sifat asliku, pihak sekolah memercayaiku, teman-teman yang baik. Aku memiliki reputasi bagus karena aku bersikap baik.

Oh, betapa indahnya "kebaikan" itu. Mereka akan menghancurkan segala bentuk kejahatan.

Pertemanan itu indah. Mereka sangat berguna.

"..." Dia menengok ke atas dan melihat ke sekitar kita.

Aku langsung menangkap apa yang sedang dia lakukan. "Tidak ada CCTV di sekitar kita."

Tidak ada CCTV di sekitar sini, dan aku juga menghindari CCTV ketika dalam perjalanan kemari. Dalam perjalanan kemari, aku pastikan sebelum aku keluar dari sisi buta CCTV jalan, aku berhenti di sebuah kafe dan keluar lewat pintu belakang untuk menghindari CCTV. Dengan begitu, aku punya alibi. Setelah aku selesai dengannya, aku berencana masuk lagi ke kafe tersebut lewat pintu belakang.

Lagi pula, dengan hal yang sepele seperti ini, aku ragu pihak polisi juga akan memeriksa rekaman CCTV.

"Sidik jari." Sudah sangat jelas dia sedang putus asa.

"Seriusan?" Aku mencemoohnya. Ini adalah sebuah perkelahian antar dua orang murid. Hal sepele ini perlu melibatkan penggunaan sidik jari?

"Rrgh..." Dia mengerang marah.

Dia mulai merasa frustrasi dan menyadari betapa tidak berdayanya dirinya sekarang ini. Segala solusi yang dia pikirkan telah aku ketahui. Sekarang, dia betul-betul sadar bahwa ini semua telah direncanakan.

Dan meskipun pemeriksaan sidik jari terjadi, aku hanya perlu membuatnya menyentuhku juga dan mengatakan bahwa aku sedang membela diriku dari serangannya.

Sebenarnya, aku juga bisa saja membawa perekam suaraku, tapi aku lebih takut rekaman suara tersebut membuatku semakin mencurigakan, dan bisa saja rusak di tengah perkelahian.

"..." Aku mengambil amplop cokelat itu selagi dia terdiam berpikir. Kemudian, aku berjalan pergi dengan santainya.

"...Ah!" Begitu menyadari aku bisa berlari pergi dari perkelahian ini dengan uang 1 juta, dia segera berlari mengejarku.

Tapi itu adalah suatu kesalahan.

Aku berbalik badan lagi dan berlari ke arahnya. Sekarang aku dan dia sama-sama sedang berlari mendekati satu sama lain.

"!"

Dia terlalu telat untuk berhenti dan bereaksi dengan tepat. Luar biasanya, dengan pengalaman dan refleks yang dia latih bertahun-tahun lalu, tangannya langsung berusaha melindungi seranganku... tapi itu tetap percuma.

Pukulan menuju wajah seorang perempuan. "-Gah!"

Momentum pukulanku mendorongnya ke belakangnya. Kakinya berusaha menghentikan momentum tubuhnya dengan berjalan mundur.

Namun, kakinya tersangkut lubang di tanah dan dia terjatuh tergeletak ke belakang. "Ukh!"

Pukulanku tadi bukan semacam pukulan yang dikeluarkan di tempat latihan ataupun untuk bela diri. Pukulan itu bermaksud untuk membunuh. Aku tidak menahan kekuatanku sama sekali hanya karena musuhku adalah seorang perempuan.

Pengajaran bela diri di zaman modern tidak menggunakan kekerasan. Mereka hanya dilatih teknik dan diajarkan untuk melakukan rutinitas gerakan yang sama. Bahkan, latihan bertarung dalam bela diri akan dibatasi dengan sentuhan di titik-titik yang telah ditentukan.

Bisa dilihat dari namanya langsung, "bela diri", adalah pengajaran untuk melindungi diri dari kekerasan. Norma zaman modern inilah yang melanggar kekerasan dalam segala jenis apa pun untuk terjadi. Apalagi, ini adalah negara Indonesia.

Meskipun dia sudah lama berada dalam bagian dunia pembulian, dia masihlah seorang murid biasa menurut informasi yang kugali tentangnya. Tidak banyak kesempatan dia bisa berada di situasi perkelahian sungguhan. Jadi bisa dibilang, bagi dirinya, ini adalah pertama kalinya dia dipukul di wajah dengan serius.

"A..aahh."

Sekarang dia tergeletak di tanah. Dia berusaha berdiri langsung karena dia tahu ada musuh yang tidak akan menahan diri untuk memukul perempuan.

Dengan mulut terbuka, air liur yang tercampur dengan darah menetes jatuh ke tanah.

Itu pasti sakit. Bahkan, tanganku terasa sakit.

"...aahh!" Dia bangkit berdiri dengan menjerit.

Tubuhnya masih tidak seimbang karena rasa sakit yang dia tidak duga dan karena otaknya baru saja bergejolak dari pukulanku.

"..." Meskipun begitu, aku tidak mengambil kesempatan ini untuk menyerangnya. Tujuanku di sini bukan untuk menyakitinya, tetapi untuk menunjukkannya perbedaan kekuatan di antara kita.

Dia mendatangiku dengan pukulan, tendangan, dan membanting.

Dengan pengalaman dan pengajaran yang dia kumpulkan bertahun-tahun lalu, aku tidak bisa sepenuhnya menahan dan menangkis serangannya.

Dia membuat serangan jebakan di sana sini dan terkadang aku jatuh dalam jebakannya, dan terkadang, serangan yang aku lontarkan ditangkap olehnya dan diputar balikkan. Sekali dan dua kali tubuhku kembali terbanting ke tanah. Semakin lama kita berkelahi, dia semakin mengambil alih alur perkelahian.

Tetapi tidak sepenuhnya aku membiarkan dia membuatku kewalahan. Aku selalu membalasnya kembali dan merusak posisinya.

"Gah!" Dia melontarkan tendangan.

"..." Dan aku membuat tendangannya mengenai lututku.

"Ck!" Dia berdecak, melampiaskan frustrasi dan rasa sakit.

"..." Aku menghadapinya dengan sabar. Aku tidak membiarkannya membuat cedera kritis menimpaku.

Di gang sepi ini, kami berdua mendengus menahan rasa sakit. Terdapat suara gesekan sepatu ke tanah dan kerikil, pukulan dan tendangan menuju ke daging manusia.

Semakin lama kami berkelahi, semakin dia kehilangan kemahiran dan kecekatan bela dirinya. Dia mulai melupakan pelajaran-pelajaran, teori-teori, latihan-latihan dasarnya. Dia mulai menggunakan cara yang tidak pantas disebut sebagai bela diri. Dia menarik rambutku, menggigit, menyerang mataku, semuanya tidak termasuk dalam pelajaran bela dirinya.

Dia semakin sadar bahwa ini adalah perkelahian jalanan. Semuanya adil. Tidak ada yang menghentikan. Tidak perlu merasa malu. Tidak perlu merasa bersalah.

Setiap serangan yang kami terima satu sama lain sangat jelas sekali terdengar mengiang-ngiang di telinga kami, tapi kami terlalu sibuk untuk memedulikan setiap rasa sakit. Karena kami berdua sendiri tahu; tidak ada gunanya berhenti untuk menjerit kesakitan.

Memang benar bahwa aku tidak memiliki pengalaman berkelahi ataupun mengikuti pelajaran bela diri. Bela diri yang sedang kulakukan bisa dibilang ceroboh, karena jenis bela diri ini adalah jenis bela diri autodidak. Bela diri dan latihan fisik yang aku lakukan, hanya kutiru dari video bela diri yang kutonton dan dari buku-buku yang kubaca.

Aku hanya mengetahui bagian otot apa yang perlu kulatih, olahraga apa yang harus kuambil, gerakan apa jika aku dihadapkan dengan situasi-situasi tertentu, dan sebagainya.

Pada dasarnya, aku tidak akan pernah bisa menang dalam hal teknik melawannya. Tapi dalam hal fisik, ceritanya akan berbeda.

Selama masa kanak-kanak, hampir tidak ada perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, selama seseorang memiliki teknik yang tepat, cukup mudah untuk mengalahkan lawan jenis. Namun, semakin usia manusia bertambah, ini menjadi semakin sulit. Sekitar SMP, perbedaan potensi antara laki-laki dan perempuan semakin membesar.

Jika seseorang hanya membicarakan tentang fisik, maka tidak ada perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki. Ini bukan diskriminasi, tetapi sebuah celah yang betul-betul ada.

Tentunya, dibandingkan anak SMA pada umumnya, pembuli ini bisa dikategorikan sebagai orang yang kuat. Laki-laki remaja biasa tidak mungkin bisa mengalahkannya. Sayang sekali, dia tidak mungkin bisa menang melawanku.

"..." Aku mengabaikan serangannya dan menembus langsung.

Aku memulai membalasnya kembali dengan membanting tubuhku ke tubuhnya.

"Guh!"

Kuda-kudanya rusak, serangannya juga berhenti, dan pada akhirnya dia terjatuh ke tanah. Dia tidak menyangka aku akan melakukan ini.

Di berbagai macam pengalaman yang dia kumpulkan, tidak pernah dia pernah ditabrak langsung dengan tubuh. Karena ini adalah pertengkaran sungguhan, bukan latihan bela diri, tentu saja hal ini bisa saja terjadi. Apa pun adil dan bisa terjadi di perkelahian jalanan.

Pengalamannya yang selama ini membantunya mengalahkanku, akhirnya menjadi racun.

Dia berusaha bangkit berdiri secepat mungkin, tapi hanya ditemui tapak sepatuku.

"Agh-"

Aku terus membuatnya tergeletak di tanah dengan menendang wajah dan tubuhnya.

"-guh! Ukh! Kh! Ngkh!" Hingga pada akhirnya, dia menyerah dan melindungi tubuhnya dengan cara meringkuk dan melipat tubuhnya. Wajahnya dia sembunyikan di balik lengannya, dan tubuhnya tengkurap ke tanah.

Aku hanya bisa menendang dan menginjak-injak bagian belakang tubuhnya.

Dia telah menyerah dan mulai menyembunyikan area tubuhnya yang fatal.

Bisa dibilang, ini adalah tindakan yang memalukan bagi seorang pembuli yang telah melakukan hal yang jauh lebih buruk ke orang lain. Namun, seperti yang kukatakan tadi, semuanya adil di perkelahian jalanan. Tidak ada yang perlu dimalukan. Dan aku yakin, dia tidak merasakannya.

Negosiasi gagal, dan kita jatuh dalam pertengkaran. Sekarang, tidak ada kata damai di antara kita berdua lagi.

Jadi aku hanya bisa menyerah hari ini dan mencoba di hari lain--

Seketika itu juga, darahku mulai menjadi dingin.

Tapi dia akan masih tetap hidup. Mungkin saat ini dia merasa takut. Lalu bagaimana dengan ke depannya? Apa dia akan berhenti mencoba membalas dendam?

"...Gkh!" Dari celah lengannya, dia melirik ke wajahku.

Tidak ada kekalahan di cahaya matanya. Dia tidak bermaksud kalah.

Dari matanya, aku bisa melihat jelas maksudnya.

Meskipun dia merasakan perbedaan di antara kita, dia tetap menatapku dengan maksud mencari cara untuk menang. Hari ini aku memang menang, tapi dia tidak akan membiarkanku menikmati kemenangan lebih lama lagi.

Aku tidak bisa membuatnya berhenti membuli Nathania Dea. Justru, karena dia membenciku, dia akan terus membuli Nathania Dea. Dia akan melakukan segala sesuatu kebalikan dari yang aku inginkan.

Kekuatan fisik saja tidak menentukan kemenangan atau kekalahan dalam hal kekerasan. Bukan fisik lagi, namun tentang seberapa kuat hati seseorang.

Ketika seseorang kalah, mereka bisa bangkit dan mencoba lagi. Terus dan terus. Mereka mungkin kalah pada hari itu, tapi dengan mencoba ratusan kali, pasti salah satu dari ratusan perang itu akan menjadi kemenangan.

Aku yakin, dia hidup dengan prinsip ini. Kekuatan hatinya inilah yang membawanya sampai sejauh ini.

...Meskipun di bawah pengawasan guru. Meskipun di bawah pandangan orang lain.

...Dia tetap membuli.

Orang yang membuli dengan setengah hati tidak akan bisa sampai sejauh ini. Teman-temannya tidak akan bisa kuat. Mereka hanya mengikutinya. Misalnya dia berhenti membuli, teman-temannya juga akan berhenti membuli. Mereka tidak memiliki kekuatan yang sama dengannya.

Dia tidak takut untuk menyerah. Dia tidak malu untuk menyerah.

Karena, selama dia masih bisa bernafas, artinya dia masih bisa mencoba lagi.

...Menggunakan kekerasan untuk menjerumuskan musuhnya ke dalam ketakutan; ketakutan bahwa "jika kamu memusuhinya, tidak ada yang tahu kapan dia akan menyerangmu lagi".

Dengan cara ini, dia telah hidup di atas orang lain. Pada akhirnya, bukan orang lain yang menang, tapi dirinya yang masih tergeletak di tanah.

Mungkin aku memang menang hari ini. Tapi bagaimana dengan besok? Dan hari setelah besok?

Di awal-awal, aku sengaja melakukan kesalahan gerakan dan membuatnya mendominasiku. Tapi sekarang, aku melawan dan mendominasinya kembali dari titik lemahku.

Dari awal kita mulai berkelahi, aku berencana menunjukkan perbedaan kekuatan kita. Aku menahan diri dengan hanya menghindar dan tidak menyerang. Aku bisa saja menarik rambutnya, menggunakan batu di tanah, melempar tanah atau pasir ke matanya, menggigitnya, menabrakkan kepalaku ke hidungnya, menggunakan lutut untuk menyerang ulu hatinya, itu semuanya tidak kulakukan meskipun tidak ada yang melarang. Aku membiarkan dia mencoba bekerja sekeras mungkin mengalahkanku. Kemudian, aku melawan kembali dan mengalahkannya dengan sekejap dan mudah; semuanya ini untuk mematahkan tekadnya.

Sekarang, aku berada di atasnya meskipun dia telah memukul, menendang, dan membantingku tadi. Dengan begitu, aku bisa menghancurkan tekadnya... tapi, kenyataannya? Itu tidak terjadi.

Itu karena aku salah menghitung batas tekad hatinya. Ini bukanlah masalah yang perlu dikhawatirkan. Berarti, hanya diperlukan satu langkah tambahan dalam proses penghancuran tekadnya... berarti, dia hanya perlu merasakan rasa sakit yang jauh lebih parah.

"..." Aku menarik bahunya dan membuatnya tertidur menghadap ke atas.

Aku menduduki tubuhnya supaya dia tidak bisa lari.

"!!!" Sepertinya dia tahu apa yang akan kuperbuat, ketika dia melihatku menarik lenganku seolah bersiap untuk memukulnya.

Dia berusaha melindungi wajahnya dengan menutupinya menggunakan lengannya.

Tapi itu percuma, karena aku menindihi lengan kirinya menggunakan lutut kananku. Lengan satunya aku tahan menggunakan tanganku yang bebas. Dan tubuhnya, sekaligus pusat gravitasinya, aku tahan ke tanah menggunakan lutut kiriku dan dengan seluruh beban tubuhku.

Aku tidak bisa ceroboh di sini. Dia adalah seorang yang memilik pengalaman bela diri. Dia tahu cara lepas dari tindihan biasa.

Yang dia bisa lakukan hanyalah meronta-ronta ke kiri dan kanan. Kakinya mengayun-ayun memberontak untuk mengganggu keseimbanganku, tapi yang terjadi hanyalah menggerakkan tubuhku sedikit saja.

Pukulan pertama. "-akh!"

Ya. Itu dia. Sekarang kamu melihatnya juga, 'kan?

Pukulan keenam.

-Bahwa perasaan yang disebut sebagai rasa takut ada dalam dirimu.

Pukulan kesepuluh.

"U-udah-!" Dia menjerit meminta berhenti. "-kakh!"

Pukulan ketiga belas.

Aku memukulnya cukup lama sampai dia percaya aku mencoba membunuhnya.

Aku adalah orang yang berani memukul perempuan yang baru saja aku temui tanpa menahan diri. Alasan apa yang dimilikinya bahwa aku tidak berani membunuhnya? Dia punya alasan merasa takut dengan melihat mataku.

"...henti..."

Aku melihat wajahnya. Sangat buruk dan menjijikkan. Cocok sekali dengannya.

Ini tidak akan cukup untuk membuatnya diam selamanya. Setidaknya aku telah menanamkan benih ketakutan dalam dirinya. Lagi pula, meskipun dia datang lagi, dia tidak akan bisa menang.

"ua..."

"Maaf." Kataku sinis. Pukulanku benar-benar kuhentikan.

"..." Melihatku berhenti, dia tergeletak lemah sambil dipenuhi kebingungan. Dia terlalu pusing sampai dia tidak sadar aku mengatakan "maaf".

Aku berdiri darinya.

Tanganku berlumuran darah, dan tanah di sekitarnya penuh dengan percikan darahnya.

"!" Tapi begitu aku bangkit dari dirinya, dia teringat lagi bahwa aku bisa menyerangnya kapan pun aku mau. Sebegitu takutnya, secepat mungkin dia mendudukkan dirinya karena takut terhadap serangan yang tidak akan tiba.

Rasanya itu cukup untuk menakutinya.

Aku tidak ingin tanganku berdarah dan wajahnya terlalu rusak. Nanti akan terlihat jelas siapa yang melukainya.

"Nih." Kataku sambil melempar amplop cokelat tersebut.

"!" Dia terkejut ketika melihat amplop jatuh ke pangkuannya. Dia melihat wajahku untuk mencari tahu maksud sebenarnya.

Dengan melakukan ini, aku juga menyatakan bahwa aku bermaksud menepati janjiku jika negosiasi tadi berhasil.

"..." Wajahnya langsung dipenuhi kemuraman. Dia pasti berpikiran, 'jika saja aku lakukan ini, tidak akan sampai seperti ini' atau semacam itu.

Dan untuk jaga-jaga supaya dia semakin takut: "Asalkan kamu diam saja, oke?" Kataku sambil tersenyum dan meletakkan telunjukku ke bibirku.

"!" Seketika itu juga, aku bisa melihat tubuhnya gemetaran ketakutan.

Apa mungkin manusia bisa setakut itu karena dipukul beberapa kali? Aku tahu rasa takut yang ditimbulkan dari rasa sakit. Sayangnya, aku tidak bisa merasakan takut. Karena aku tahu, seberapa pun banyak penderitaan dan keputusasaan yang dialami seseorang, aku tidak akan pernah mengalami hal yang sama.

"Sebenarnya, jika kamu menerima tawaranku... juga akan kuberikan uang 1 juta lagi. Tapi karena kamu menolak, 1 juta itu aja cukup, 'kan?" Aku katakan itu sebagai jaminan.

"...."

Dengan memberitahunya seperti itu, tanpa secara langsung aku juga mengatakan bahwa aku adalah orang yang bisa bernegosiasi menggunakan cara damai, bukan kekerasan saja. Lain kali ketika aku perlu melakukan negosiasi dengannya, aku tidak perlu selalu menggunakan fisik.

Ditambah lagi, dia tidak perlu selalu merasa takut setiap kali bertemu denganku. Dia hanya perlu merasa takut ketika aku memutuskan untuk menggunakan kekerasan.

Sambil merapikan seragamku, aku melanjutkan penjelasanku. "Karena orang-orang nanti bertanya kenapa kamu tiba-tiba berhenti membuli, masih lanjutkan pembuliannya tidak masalah. Setelah HUT selesai, barulah kamu berhenti membuli."

"?" Dia hanya berwajah bingung.

Ah, tidak heran dia bingung jika tiba-tiba diberitahu begitu.

Aku memintanya untuk berhenti membuli, tapi juga memintanya untuk tidak berhenti membuli sampai waktu tertentu.

Aku tahu aku memiliki rekaman suara pembulian dan bukti-bukti lainnya. Aku juga tahu bahwa sekolah tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah pembulian. Maka dari itu, aku sedang berdiri di sini sekarang.

Aku bisa menyerahkan bukti-bukti yang aku kumpulkan dan memberikannya ke pihak media massa. Namun, efeknya bisa menjadi terlalu berlebihan dan sulit diprediksi. Itu bisa merusak "mood" HUT sekolah. Itu bukan suatu hal yang kuharapkan.

Jika begitu, kenapa aku tidak mencoba menyelesaikan masalah pembulian ini setelah HUT selesai?

Tentunya, aku punya alasan yang logis.

Jika dugaanku benar, aku tidak akan punya kesempatan lain untuk menyelesaikan ini selain sebelum HUT selesai.

Jadi, harus aku selesaikan ini sekarang, walaupun dengan menggunakan kekerasan fisik. Aku tidak bisa membiarkannya berkeliaran setelah dia tahu wajah asliku.

Lagi pula, jika pembuli ini semudah itu dikalahkan dengan mengandalkan media massa, kenapa dia masih bisa tetap membuli? Salah satu komplotannya adalah anak seorang pejabat. Aku tidak perlu menjelaskannya lagi, 'kan?

Meskipun aku berhasil menggunakan media massa dan mengeluarkannya dari sekolah, apa yang bisa menghentikannya membuli Nathania Dea di luar pengawasan sekolah? Apa aku bisa dengan yakin mengatakan bahwa pembuli itu tidak akan mendendam dan kemudian melampiaskan kemarahannya ke Nathania Dea? Tidak ada lagi orang dewasa dan aturan yang mengikatnya.

Jujur saja, itu tidak masalah jika terjadi saat HUT sekolah masih belum selesai. Itu tidak akan memengaruhi rencanaku. Aku hanya perlu dia berhenti membuli setelah HUT sekolah selesai. Tidak perlu selamanya. Selama beberapa minggu saja setelah HUT sekolah selesai itu cukup.

Aku tidak perlu menjelaskan alasanku kepadanya. Lagi pula, dia tidak akan berani melanggar perintahku.

Dengan segala keberanian yang dia kumpulkan, dia membuka mulutnya: "...Siapa kamu?"

Aku tidak menjawab.

Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan pembuli itu, aku kembali ke tempat di mana aku memarkir sepedaku.

Hari ini belum selesai begitu saja.

Aku mengayuh sepedaku menuju toko cat dekat sekolah.

Aku melihat sekilas isi toko dan sudah menentukan apa yang harus kuambil.

"..."

Ah... aku juga harus membuat pemilik toko mengingatku.

Tapi rupanya, meskipun aku belum melakukan apa pun, aku sudah dilirik dan diawasi oleh pemilik toko.

Aku baru sadar, seragamku sangat kotor karena perkelahian tadi... dan wajahku juga kotor dan penuh luka, bahkan ada bekas darah di bagian kerah seragamku. Tidak heran pemilik toko melihatku dengan penuh kecurigaan.

Tapi tetap saja, masih ada kemungkinan pemilik toko ini tidak akan mengingatku.

Mendekati HUT sekolah, murid-murid di sekolahku tentunya memilih toko ini jika butuh bahan cat karena dekat dari sekolah. Meskipun aku memakai seragam sekolah, ada kemungkinan pemilik toko tidak mengingatku karena aku adalah "salah satu dari murid sekolah itu yang mengunjungi toko ini".

Membuat pemilik toko ini mengingatku ada berbagai cara... tapi cara yang paling efektif adalah dengan memasang biji negatif.

Ada konsep yang terkenal dan paling sering kudengar: "negatif mengalahkan positif". Dan aku setuju meskipun terdengar sangat klise.

Manusia pada dasarnya lebih mudah mengingat pengalaman kejahatan, dendam, perbuatan buruk, dibandingkan ingatan kebahagiaan atau semacam itu.

"..." Aku berdiri di tempat jelas di pengawasan pemilik toko, kemudian aku mengambil 5 cat semprot kaleng dan memasukkannya ke kantong plastik hitam. Tapi bukannya aku berjalan ke kasir, aku berjalan pergi. Aku tanpa berhenti sampai meninggalkan toko sambil memegang cat tersebut.

"Hei!" Teriak pemilik toko. Dia keluar dari kasirnya dan mengejarku.

"?" Aku berpura-pura bodoh dan menengok belakang.

"Mau ke mana dengan itu, hah?"

"O-oh ini..." Aku berpura-pura merasa takut dan gugup.

"Bayar!"

Setelah aku diberitahu berapa harga setiap kaleng, aku mengeluarkan uangku dari dompet dan membayarnya.

"Huh! Kalau punya uang, ya nggak usah nyuri." Cemoohnya sambil menyimpan uang.

Dengan ini, aku sudah yakin aku telah meninggalkan kesan yang susah dilupakan.

Oh, aku juga harus punya bukti fisik untuk tahap berikutnya.

"Permisi..."

"Apa lagi?" Bisa terdengar suara jengkel dari pemilik toko ketika mendengar suaraku.

"Boleh minta nota?"

Aku pergi sambil membaca isi kertas nota pembayaran.

Ini sudah cukup.

Aku berjalan menuju sekolah. Tapi tidak berhenti di sekolah, justru berhenti agak jauh dari sekolah. Tepatnya di samping tempat sampah.

Dan dengan santainya seperti sudah melakukannya setiap hari, aku membuang kantong plastik berwarna hitam yang berisi cat kaleng tersebut ke tempat sampah.

Kira-kira satu minggu sebelum HUT, aku akan kembali ke sini untuk mengambilnya lagi. Sekarang aku hanya perlu menunggu hari itu datang.

Aku tidak khawatir karena aku tahu bahwa ada hari tertentu tempat sampah ini akan diangkut.

Setiap harinya, kota mengambil sampah dari tempat sampah untuk dibawa ke TPA atau bank sampah- berdasarkan zona. Kota dibagi menjadi beberapa zona tergantung luas kota tersebut. Misalnya, untuk hari Senin mengambil sampah di zona A, hari Selasa mengambil sampah di zona B, dan seterusnya.

Menurut jadwal, ini adalah tempat paling aman untuk menyimpan barang untuk sementara karena risikonya terlalu besar jika kusimpan di rumahku sendiri. Agak aneh, tapi itu memang benar.

Di rumah ataupun di kamarku bukan lagi tempat aman, ada kemungkinan Silvia Anggraini, ibunya, bahkan ayahku, bisa masuk ke kamarku dan menemukannya tanpa sengaja.

Sebelum aku berjalan pulang, aku membersihkan luka dan kotoran di toilet umum. Sayangnya, seragamku juga jadi kotor. Aku menutupi kotoran di bajuku dengan memakai jaket yang tadi kusimpan di tas, dan kutepuk-tepuk debu dari celanaku.

Aku pulang ke rumah dan Silvia Anggraini sudah ada di ruang tamu bermain-main dengan adik-adik.

"Habis dari mana?" Tanya Silvia Anggraini ketika melihatku lewat.

Sampai tersentaknya diriku, aku berhenti di tengah langkahku. Aku lupa memikirkan alasan aku pulang telat.

Aku hanya menyangka aku akan lewat dan sampai di kamar tanpa orang lain sadari, tapi dari semua orang yang ada di rumah ini, Silvia Anggraini yang bertanya? Apa itu berarti Silvia Anggraini menunjukkan semacam kepedulian pada keberadaanku? Hm, ini mengherankan bukan? Tapi ini juga buah hasil kerja kerasku.

"Main sama teman. Jalan-jalan dan sebagainya." Jelasku sambil lanjut berjalan ke kamar.

Aku bermaksud untuk ganti pakaian dari seragam sekolah, jadi tidak ada pertanyaan dan jawaban antara kita lagi setelah itu.

Setelah masuk kamar, aku menguncinya. Aku segera berjalan ke meja belajarku.

Di samping meja belajarku terdapat tempat sampah sederhana.

Aku mengeluarkan nota pembelian dari kantongku, kemudian meremasnya. Aku melepaskannya dari genggamanku, dan nota itu jatuh ke dalam tempat sampah.