Yang pertama kali kita lakukan bersama-sama, adalah berusaha membersihkan berantakan dan kerusakan ini.
Memang, kemarin kita sudah mencoba membersihkan sebagian kerusakan ini. Tapi lama-kelamaan kita semua menjadi sibuk memperdebatkan mana yang harus dibuang dan mana yang masih bisa dipakai atau ingin kita simpan.
Karena masih tidak ada rapat di Majelis Perwakilan Siswa, aku ikut membantu membersihkan.
"Ini mau dibuat lagi nggak?" "...duh, siapa sih yang melakukan ini..." "Kurang ajar, ini juga dirusak." "Yang ini dibuang nggak?" "Ini masih bisa dipakai, 'kan?"
Sama seperti biasanya, kelas tetap sibuk dan ramai membersihkan.
Meskipun ini sebenarnya bukan salah mereka, tapi mereka dengan rela membersihkan. Mereka tidak punya pilihan lain. Kelas-kelas lainnya juga mengalami hal yang sama. Mereka tidak bisa dibantu karyawan sekolah atau meminta bantuan murid-murid di kelas lain.
Setidaknya, aku tidak perlu membersihkan ini semua sendirian seperti biasanya aku membersihkan kelas setiap pulang sekolah.
Dan saat yang kutunggu-tunggu... telah tiba.
Silvia Anggraini datang ke kelasku dengan kemarahan meluap-luap.
"HEI!!!" Teriaknya ke dalam kelas.
Semuanya yang di kelasku terkejut, tapi Silvia Anggraini kelihatan tidak memedulikan itu; sangat sesuai karakter Silvia Anggraini jika kepalanya mulai panas.
"Bangsat," Panggil Silvia Anggraini.
Tentu saja dari semua orang di sini, hanya aku yang tahu siapa yang Silvia Anggraini maksud.
"Silvia? Ada apa? Kenapa marah-marah?" Aku berdiri dari bangku dan mendekatinya.
Aku menjawabnya dengan bersikap tidak tahu, dan itu justru membuatnya bertambah marah.
Silvia Anggraini menarik kerahku. "Kamu pikir aku nggak tahu- apa yang kamu lakukAAAnnn?!!!"
"A-apa sih maksudmu?" Dengan sengaja, aku memperlihatkan nuansa di setiap gerakku untuk mengatakan betapa tidak bersalahnya diriku.
"Jangan berpura-pura bodoh! Kamu yang melakukannya! Kamu yang merusak semuanya ini!" Teriakan amarah Silvia Anggraini kemudian mulai memunculkan semacam reaksi.
"Ha?" "Siapa ini?" "Oh, bukannya dia ketos?" "Apa maksudnya dia yang merusak?" "Nggak mungkin dia yang nglakuin." "Kalau dia yang melakukan; kenapa?" "Buktinya apa?" "Dia yang bantu bikin mading, loh." "Ngomong apa sih nih, cewek?" Perbincangan antara kami berdua justru membuat kekacauan dan kebingungan.
Mereka tidak perlu berbicara satu sama lain. Mereka tidak perlu bertanya-tanya satu sama lain. Mereka bisa saja bertanya kepadaku. Namun, mereka tidak menghadapku.
Mereka tidak menatap mataku. Mereka tidak mencoba memastikan hal ini dengan bertanya kepadaku. Justru, yang mereka lakukan adalah memusuhi Silvia Anggraini.
Tidak ada sedikit keraguan terhadapku. Pikiran bahwa apa yang dikatakan oleh Silvia Anggraini adalah benar, tidak sedikitpun terlintas di kepala mereka. Lebih tepatnya, karena mereka tidak ingin perkataan Silvia Anggraini menjadi benar.
Mereka terlalu takut. Mereka takut dugaan mereka akan benar. Mereka tidak ingin hari-hari damai mereka akan berakhir dalam satu momen ini. Mereka ingin ini adalah sebuah kebohongan. Manusia selalu seperti ini.
Manusia, sebagai kelompok sosial, tidak akan tumbuh dengan cara ini. Mereka hanya akan terus bersembunyi di balik topeng dan mood. Mereka tertawa untuk mengabaikan hal-hal sensitif tersebut; membohongi satu sama lain. Semuanya tergabung ke dalam sebuah kebohongan besar dan mereka hanya terus menghindar menghadapi situasi yang nyata dan dingin.
Mereka tidak ingin merasa sakit.
Salah satu dari mereka harus mengajukan sebuah pertanyaan; tidak peduli seberapa menyakitkannya nanti.
Dan reputasiku yang melebihi Silvia Anggraini, membuat mereka jengkel. Teman dekat mereka diolok dan dituduh sebagai pelaku kejahatan; itu sama saja seperti Silvia Anggraini meragukan kemampuan mereka menilai orang lain dengan baik.
"Kebenaran" adalah senjata yang bisa diperoleh melalui penghimpunan kepercayaan. Ini adalah senjata yang tidak dimiliki Silvia Anggraini, yang hanya dimiliki oleh aku saja. Kekuatannya terasa kecil, tapi merupakan pedang bermata dua yang kuat; yang bisa berfungsi luar biasa dengan mengorbankan kepercayaan.
"...aku punya buktinya." Tiba-tiba Silvia Anggraini berkata begitu dengan suara kecil.
Silvia Anggraini menundukkan kepalanya dengan pundak yang gemetaran, seolah akan memukulku kapan pun dia mau.
"Yang kupegang ini adalah nota punyamu. Isinya cocok dengan kaleng kosong yang ditemukan. Dan aku sudah tanya ke penjual pyloxnya ini langsung! SEKARANG KAMU BISA BERKATA APA? HAH?!!!" Silvia Anggraini menunjukkan kertas yang selama ini dia remas di telapak tangannya.
"hm..." Aku tidak berkata apa-apa. Hanya tersenyum kecil.
Kemudian.
"!"
Wajah yang Silvia Anggraini sedang buat ketika melihatku tersenyum, tidak akan pernah dia buat lagi sepanjang hidupnya.
Silvia Anggraini menyadarinya. Silvia Anggraini sadar apa yang telah dia lakukan. Silvia Anggraini telah mendorongku ke jurang yang telah kusiapkan untuk diriku sendiri.
"..." Aku bersikap diam saja, seolah meyakinkan tuduhan Silvia Anggraini.
"Eh?" "Nota apa itu?" "Pylox?" "Yang buat mewarnai dengan menyemprot itu?" "Kenapa ketos punya itu?" "Eh, tapi katanya itu miliknya." "Nggak mungkin, 'kan?" "Oi, kenapa diam?!" "Mana mungkin..." "Eh, itu beneran nggak?" "Notanya palsu, 'kan?" "Ya itu nggak pasti dia lah..." "Nggak percaya aku."
"Percaya" adalah kata yang indah untuk didengar. Layaknya ada diskon barang "percaya", mereka menyemburkan kata "percaya", "percaya", "percaya". Namun pada dasarnya, kepercayaan adalah perbuatan yang disertai biaya yang mahal.
Rencanaku berhasil.
Setelah sebuah jawaban dikatakan salah, kemudian sebuah jawaban lain ditampilkan, banyak orang akan menganggap jawaban yang baru sebagai kebenaran.
Psikologi dari pemikiran logis ini, membuat orang jatuh dalam keyakinan. Simpelnya, psikologi manusialah yang menyebabkan mereka sendiri mudah sekali ditipu.
Ketika ada satu orang meneriakkan pernyataan dan pernyataan itu terungkap sebagai kebohongan, kemudian muncul satu orang meneriakkan pernyataan lain, kemudian lagi satu orang meneriakkan pernyataan lain dari kedua pernyataan sebelumnya. Sekarang, yang mana yang orang-orang akan percayai dalam tiga pernyataan tersebut?
Jika sebuah survei dilakukan, mayoritas akan menerima pernyataan dari orang kedua sebagai kebenaran. Itu karena psikologi manusia yang menganggap jawaban yang muncul setelah jawaban yang salah terungkap sebagai jawaban yang tepat.
Tapi tentunya, di dunia nyata, tidak mungkin jawaban kedua selalu pasti jawaban yang benar.
Dalam situasi ini, Silvia Anggraini memberikan tuduhan tanpa bukti, kemudian dia memberikan tuduhan dengan bukti.
Rasa "tidak percaya" dapat diubah "percaya" dengan cepat.
Kemarahan yang memakan Silvia Anggraini lah yang membuat ini terjadi. Jika saja, Silvia Anggraini tidak meledakkan amarahnya ke aku secara terang-terangan di depan umum, efeknya akan berbeda.
Sekarang, tidak ada seorang pun yang tidak ragu, bahwa akulah pelakunya.
Tentunya ada beberapa orang-orang yang merasa "tidak mungkin" karena aku adalah teman dekat mereka. Tapi itu justru lebih bagus.
Dengan memberikan rasa dikhianati, kemarahan mereka dilipatgandakan.
"...Beneran?" Teman terdekat dan teman baikku, oh sahabatku, Alex Mahes, menyuarakan sebuah pertanyaan.
Semuanya menjadi terdiam.
Tidak ada di kelasku yang tidak tahu hubungan dekat antara Alex Mahes, Calista Anita, dan aku. Terkadang, orang-orang bercanda dengan memanggil kami semacam trio sekawan.
"..." Aku tidak menjawab. Dengan memberikan jawaban diam seperti ini, aku meningkatkan ketegangan.
"Ngomonglah sesuatu... Heh... bukan kamu 'kan yang nglakukan?" Kali ini, suara gemetar tidak keluar dari mulut Alex Mahes, melainkan dari Calista Anita.
"Nggak mungkin. Nggak mungkin. Nggak mungkin, 'kan?" Seperti rekaman yang rusak, Alex Mahes mengulang-ulang kalimat yang sama.
Kemudian, suaraku kubuat gemetar dan mataku kualihkan dari Alex Mahes. "...bukan aku..."
Dengan begini, aku telah menjawab "iya".
Orang yang benar-benar tidak bersalah, tidak akan bersikap seperti ini. Aku sengaja membuat diriku terlihat ketakutan karena perbuatanku terungkap.
"Mana notanya?!" Suara Alex Mahes nyaring memanggil Silvia Anggraini.
"!-aa" Silvia Anggraini sendiri tersentak karena jeritan Alex Mahes, kemudian dengan patih, Silvia Anggraini mengangkat kertas nota pembelian.
"Huh!" Alex Mahes merebut kertas itu dan melihatnya dengan kedua mata kepalanya sendiri.
Alex Mahes tidak ingin menerima faktanya bahwa sahabatnya adalah pelaku dari semua kerusakan ini.
Kenapa? Kenapa kamu kesusahan Alex Mahes? Bukannya kamu menginginkan ini terjadi? Sebuah kesempatan untuk tidak merasakan rasa bersalah? Betul, Alex Mahes. Sekaranglah waktunya.
Dan tiba-tiba-
"BANGSATTT!!!" Alex Mahes memukulku jatuh.
"""?!""" Semua orang di kelas terkejut.
"KYAAA!" Calista Anita menjerit menyaksikanku dipukul Alex Mahes.
Aku tahu membuat Calista Anita menangis akan memojokkan Alex Mahes sampai memukulku. Cinta itu memang buta.
Ini berbeda dengan perkelahianku melawan pembuli; di mana aku berusaha menahan serangan musuh. Aku membiarkan pukulannya merusak wajahku. Aku membiarkan momentum membuatku jatuh.
Siapa yang akan menduga bahwa Alex Mahes akan memukul seseorang? Tentu saja semua orang di sini marah, tapi bukan berarti kemarahan tersebut akan sampai membuat seseorang sungguhan memukulku.
Mungkin banyak orang lupa, tapi ini adalah negara Indonesia. Aku pernah lihat sekilas di berita, belakangan ini, rata-rata perkelahian antar remaja di Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara di barat (tawuran pelajar ada persentasenya sendiri). Itu mungkin karena budaya orang Indonesia atau mungkin norma masyarakat Indonesia yang sangat menghukum keras jika memang terjadi perkelahian.
Lebih lagi, Alex Mahes terkenal sebagai sahabatku. Semua orang terkejut, karena setidaknya, yang Alex Mahes seharusnya lakukan adalah membelaku. Tapi, yang dia lakukan justru kebalikannya dari itu.
Seharusnya dia bertanya terus menerus, seharusnya dia memercayai aku, seharusnya dia membelaku, seharusnya memukulku adalah hal terakhir yang dia pikirkan.
Namun, faktanya adalah, Alex Mahes telah memukulku.
"Urkh..."
"JADI KAMU PELAKUNYAA?!!" Teriak Alex Mahes sambil ditahan beberapa murid.
"Alex!" "Tenang, woi!" "Alex! Alex, sudah!" Calista Anita juga ikut menahan Alex Mahes.
Curhat cintaku kepada Alex Mahes tiga hari lalu sangat efektif. Dia menyerahkan perempuan tercintanya kepada sahabatnya. Dia menelan kesakitan demi kebahagiaan sahabatnya. Dia pasti membayangkan kehidupan di mana Calista Anita ada di sisiku.
Namun sayang sekali... sahabatnya itu adalah seorang bajingan.
"KURANG AJAR!!! AHHH!"
Kerumunan yang di sekitar, semua langsung mundur, memberi kita ruangan.
Ada beberapa murid yang menahan Alex Mahes supaya berhenti memukulku. Tapi di sisi lain, orang-orang yang tidak menahan Alex Mahes melihatku sebagai orang yang pantas untuk dipukul dan dihajar habis-habisan.
Kebalikan dari individualisme adalah kolektivisme. Untuk menghindari membuat keputusan sendiri, manusia mengikuti kelompok mayoritas.
Memang mudah mengikuti sebuah kelompok. Tidak perlu berpikir, dan tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun. Pasti enak sekali rasanya.
"Tunggu! Aku-" Silvia Anggraini yang merasakan itu, berusaha menghentikan mereka semua.
Namun-
"Jangan-jangan dia beneran...?" "Tapi kenapa?" "Kurang ajar ini orang!"
"Bukan gitu! Dia- kya!"
"Alex! Udah, Alex!" "AGGKKHHHH!!!"
"Dia-"
"Panggil guru!" "Direkam woi~!" "Gurunya mana nih?"
Disela oleh orang-orang.
Sudah terlambat, oh Silvia Anggraini.
Justru ketika kamu berusaha menghentikan mereka, kamu terlihat seperti orang baik hati yang berusaha menghentikan perkelahian fisik, bukan orang yang betul-betul berusaha membetulkan kesalahpahaman.
"Dia..." Kata-katanya tidak mau keluar. Mulutnya hanya terbuka tanpa mengeluarkan suara.
Silvia Anggraini mulai melangkah mundur.
Bahunya terus bertabrakan dengan orang-orang yang ingin masuk kelas.
Meskipun dia berhasil membuat semua orang menjadi tenang dan mendengarkannya, dia tidak akan bisa meyakinkan mereka.
Dia sendiri masih tidak paham.
Dia tidak akan pernah paham kenapa aku melakukan ini. Karena Silvia Anggraini sangatlah manusia.
Mereka tidak memedulikan Silvia Anggraini.
Kemarahan melahap mereka.
Jika ada seseorang yang menyingkir dari jalan sedikit saja, kelompok tersebut akan berubah menjadi seekor monster bernama "massa". Hal-hal yang terlalu takut untuk dilakukan ketika sendirian, menjadi sangat mungkin di sebuah kelompok.
Selagi keramaian terus semakin menjadi bising, aku terbaring di lantai menghadap ke bawah, ke lantai.
Aku berusaha bangkit, tapi rasa sakitnya lebih parah dari yang kuduga.
"ku-" Aku merintih kesakitan- tidak.
Aku tidak merintih. Dengan mulut berdarah, aku tersenyum sinis.
Kenapa aku tersenyum?
Untungnya tidak ada orang yang melihatku tersenyum karena wajahku menghadap ke lantai.
Darah dari mulutku menetes ke lantai. Gigiku rasanya ada yang lepas.
Seperti yang kuharapkan dari pertunjukan oleh laki-laki paling atletik di sekolah dan sahabatku; penampilan yang bagus.
Aku berusaha bangkit, tapi kakiku menyerah. Dan dengan suara 'duk!', aku jatuh tergeletak ke lantai lagi.
Aku meremehkan rasa sakit pukulan "haus akan darah" ke wajah.
"Kekeke..." Suara tawa keluar dari mulutku dicampur dengan percikan darah.
Apa-apaan ini? Kenapa aku tertawa?
"he hek, keke, hu huk huuu, huha, kuhahhahhatt-"
Aku tidak bermaksud tertawa. Aku berencana untuk berpura-pura sakit dan kemudian meminta ampun seperti pecundang, tapi yang terjadi: aku tertawa.
Karena mulutku rasanya luar biasa sakit, aku tertawa seperti orang gila.
Mana ada orang yang dipukul, kemudian tertawa?
Benar... Inilah manusia...
Di mata orang lain, ini membuat mereka merinding.
Memuakkan. Mereka semua memuakkan.
"BAJINGAN!!! KAMU TERTAWA?!!"
Alex Mahes semakin memberontak.
Seorang laki-laki di masa mudanya yang haus akan darah, tidak bisa dihentikan dengan mudah.
Alex Mahes lepas dari cengkeraman orang-orang yang menahannya. Dia menduduki tubuhku dan memukulku satu kali lagi.
Aku semakin keras tertawa.
Alex Mahes berusaha mendiamkan tawaku.
Orang-orang semakin berusaha menahannya.
Situasi semakin menjadi kacau. Dan tidak heran, akhirnya ada seorang guru yang datang.