Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 29 - 11 hari sebelum HUT sekolah. Sabtu, 10 November. Malam hari.

Chapter 29 - 11 hari sebelum HUT sekolah. Sabtu, 10 November. Malam hari.

"Alex. Woi." Aku menyapa sahabatku di malam hari dengan satu tangan dan sebuah senyuman.

"Oi."

Kami berdua sepakat bertemu di sini tanpa alasan penting. Alasan kami di sini hanyalah ingin bertemu saja. Tidak heran 'kan bagi seorang sahabat untuk berkeluyuran bersama hanya karena ingin berbincang-bincang?

Percakapan di chat tadi berlangsung seperti ini: "Mau keluar jalan-jalan?" "Oke, yuk." "Ketemu di alun-alun."

Berjalan-jalan, membeli jajan, bermain, berbincang-bincang, hanya itu saja yang mungkin akan kami lakukan sampai tengah malam nanti dan kami pulang ke rumah masing-masing.

"Ya ampun, ketemuan sama cowok di malam minggu." Ejek Alex Mahes.

"Ani ada curfew, jadi memang bisanya kita berdua doang."

"Bosen ah sama kamu terus."

"Oh? Berarti kamu pingin sama Ani daripada aku?" Aku mengusiknya.

"Y-ya nggak begitu bro maksudku. Kan ada temen cowok lain."

"Loh? Punya?"

"Kurang ajar-"

Ketika kami sampai di kedai terdekat, perbincangan kami berhenti sejenak. Dia tidak bisa melawanku kembali selagi masih ada orang asing yang sedang berhadapan dengan kami. Tidak sopan membuat kegaduhan atau merepotkan orang yang tidak dikenal. Itulah aturan sopan santun di Indonesia. Tidak mungkin Alex Mahes bisa menang melawanku.

Perbincangan tidak bermakna di antara kami berdua berlangsung lama sambil berjalan mengelilingi alun-alun. Kami berhenti di beberapa kedai, tapi kami tidak diam di satu tempat dengan lama. Meskipun begitu, kami tahu kita tidak bisa berjalan tanpa henti.

Tidak ada yang selamanya. Semuanya akan berakhir. Mau tidak mau.

"Lex." Aku memanggilnya untuk memperhatikan gerakanku.

"Hm?"

Kakiku berhenti melangkah. Alex Mahes juga ikut berhenti ketika melihatku berhenti.

Tentunya kami tidak berhenti di tengah jalan. Aku tidak ingin ada orang lain mengganggu.

"..." Aku melihat sekitar.

Meskipun saat ini malam hari, cahaya dari lampu-lampu di berbagai tempat tidak menciptakan suasana suram atau gelap gulita. Ada suara keramaian di sana sini; suara manusia berbicara dan suara kendaraan di kejauhan. Ya, memang sangat ramai sekali. Sudah kuduga dari efek malam minggu. Ini sempurna.

Aku tidak ingin hanya ada keheningan di antara kita berdua. Jika kami berdua berhenti berbicara, kesunyiannya akan sangat jelas bagi kita berdua. Itu juga berarti orang lain akan kesusahan mendengar perbincangan kami.

"Duduk." Kataku singkat.

Alex Mahes menangkap maksudku dan langsung mengikuti aku dari belakang. Dia telah melihat banyaknya tempat duduk yang ada di dekat kita. Memprediksi di mana aku akan duduk dari arah jalanku, dia duduk bersamaan ketika aku menurunkan tubuhku.

"Hah..." Aku melegakan nafas dengan berlebihan seolah menunjukkan aku lega telah menemukan tempat duduk untuk beristirahat. Tidak mungkin aku sangat merasa lelah hanya karena berjalan beberapa saat.

Selagi aku melegakan nafas, aku menengok ke atas dengan sengaja.

Di atas kami terdapat lampu-lampu hiasan.

"Oh." Alex Mahes juga ikut menengok ke atas setelah melihatku menengok ke atas. Tidak heran lagi jika dia teringat akan kegiatan lampion seperti yang kurencanakan.

"Lampion..." Seolah aku teringat karena lampu-lampu hiasan tersebut, topik pembicaraan aku setir ke HUT sekolah. "Bener katamu, Alex. Semuanya jadi amburadul..."

"..." Menangkap apa yang sedang aku bicarakan, Alex Mahes hanya memalingkan pandangannya dari wajahku.

"Tapi untungnya aku nggak keluar Majelis. Mungkin agak terdengar sombong ya, tapi kalau misalnya aku nggak di situ membantu, mungkin HUT-nya bisa tambah parah lagi."

"Kalau akhirnya HUT dibatalkan, ya percuma semua."

"Itu di belakang dan di depan."

"He?" Tidak memahami pepatah yang baru aku buat di tempat, Alex Mahes menengok ke aku dengan wajah aneh.

"Sori, sori. Maksudku, kalau memang dibatalkan, aku menyesal. Kalau nggak dibatalkan dan berjalan lancar, aku senang. Jadi, tergantung hasilnya."

"Oh... Iya... Iya." Alex Mahes menyuarakan pemahamannya. Ini adalah logika yang simpel, tapi sangat susah terlihat karena semua manusia hidup di masa sekarang.

"Makanya waktu aku memutuskan untuk nggak berhenti, aku tahu aku nggak akan pernah menyesal."

Alex Mahes bisa dengan yakin mengatakan sekarang bahwa aku mengikuti Majelis Perwakilan Siswa adalah sebuah kesalahan karena situasi sekolah sekarang. Jika situasi sekolah sekarang lebih baik, apakah Alex Mahes akan tetap mengatakan bahwa aku mengikuti Majelis Perwakilan Siswa adalah sebuah kesalahan?

Namun, tentunya aku tidak mengajaknya ke sini untuk membicarakan HUT sekolah.

"Alex, kemarin waktu aku... mengungkapkan pencurian itu..." Aku sempat berhenti sejenak untuk menunjukkan bahwa aku merasa malu atas tindakanku empat hari lalu.

"Ya?"

"Inget waktu ada cewek yang ngomong ke Ani tentang pacaran itu." Seluruh gerak-gerik tubuhku meneriakkan ke dunia bahwa aku sedang merasa gelisah.

"...Yang tentang rumor itu?"

"Ya!" Aku menaikkan suaraku berlebihan. Aku sedang membicarakan tentang rumor terdapat hubungan cinta segitiga di Trio Sekawan. Aku dan Calista Anita sedang berhubungan kekasih, dan Alex Mahes cemburu.

"...Ke...napa...?" Suara serak keluar dari mulut Alex Mahes, tapi aku berpura-pura tidak menyadarinya.

"Nggak apa, sih. Aku nggak nangkap maksudnya, tapi malamnya waktu aku mau tidur, aku baru sadar."

Pandanganku memang ke arah lain, tapi di ujung mataku, aku bisa melihat jelas seluruh eksistensi Alex Mahes.

"...Sadar apa?" Hatinya merasakan seperti diremuk dan ditekan oleh beban. Hatinya pasti tenggelam begitu dalam sampai ke perutnya. Dia tidak ingin mendengarnya.

Ya, Alex Mahes. Kamu tahu apa yang akan kukatakan.

Aku tersenyum dan menghadap Alex Mahes langsung. Dengan kata lain... "Aku suka sama Ani."

"A-"

Sebuah bola menggelinding di depan di mana kami sedang duduk, tepat sebelum Alex Mahes akan mengucapkan sesuatu untuk menyahut pengakuan cintaku.

Alex Mahes yang tiba-tiba kekuatannya terisap oleh perkataanku, tidak bertindak maupun membuka mulut sama sekali. Sedangkan aku berdiri dan mengambil bola untuk memberikannya ke anak kecil yang sedang mengejar bola tersebut.

"..."

"Makasih, kak!"

"Sama-sama!"

Kenapa aku memilih tempat ini jika aku tahu kalau terdapat seorang anak kecil tidak jauh dari sini sedang bermain bola? Aku memilih duduk di tempat ini dengan sengaja karena salah satu alasannya adalah aku melihat ada anak kecil sedang bermain bola tersebut.

Alex Mahes terlalu terserap ke dalam percakapanku sampai dia tidak menyadari ataupun mendengar suara bola sedang bergulir ke arah kami beberapa detik sebelum pengakuan cintaku.

Tentunya, aku sudah melihat bola tersebut bergulir ke arah sini dan segera memanfaatkannya untuk keuntunganku. Aku mengucapkan kata-kata paling berkesan, yaitu pengakuan cintaku, ketika bola hampir tiba di depan kami.

Jika aku tidak berhati-hati atau melengahkan perhatianku, akan muncul efek yang tidak kuharapkan.

"..." Jari-jari tangannya saling bertautan. Tubuhnya meringkuk dan menjorok ke depan. Dia tidak sedang menghadap ke arahku; dia tidak bisa.

"Huwah." Ketika aku duduk kembali, aku sengaja membuat suara berlebihan.

Tidak mungkin diriku yang sekarang ini tidak menyadari apa yang sedang dialami Alex Mahes meskipun dia sangat berusaha keras untuk tetap tenang. Namun, aku sedang memainkan peranku... aku sedang memakai "Topeng". Aku bertingkah seolah aku tidak tahu apa pun. Aku ikut bermain dalam usaha keras Alex Mahes.

Sama sekali tidak ada suatu hal pun yang aneh yang terjadi sekarang.

"..."

"Mungkin HUT nanti aku mau tembak dia."

"Se-"

"Di hari ketiga mungkin." Aku menyelanya. "Romantis nggak ya, kira-kira?" Aku menyandarkan tubuhku ke belakang dan menengok ke atas lagi. Semuanya kulakukan dengan berlebihan supaya Alex Mahes selalu sadar aku sedang melakukan apa.

"Makanya kamu..."

"Makanya aku harus buat HUT sukses!"

"..." Alex Mahes hanya melirik ke atas untuk mengikuti pandanganku dan langsung turun kembali ke bawah.

"Tapi aku nggak tahu apa Ani suka sama aku. Kalau misalnya dia nggak suka sama aku, rasanya bodoh aku nanti." Kataku sambil menggaruk belakang leherku.

"Hrm..." Alex Mahes berusaha keras untuk terlihat sedang mendengarkan dan memedulikan kekhawatiranku. Dan dari usahanya, yang keluar hanyalah erangan.

"Jadi..." Aku menurunkan tubuhku dan mendekatkan mulutku ke telinganya untuk memastikan bahwa Alex Mahes tidak akan bisa menggunakan alasan dia tidak dapat mendengarku. "Bisa tolong bantu aku?"

Ya. Inilah yang kuinginkan. Inilah alasan kenapa aku membawanya kemari.

Cinta dapat merusak hubungan pertemanan. Karena itu, aku tahu aku dapat mengubah cinta menjadi senjata.

Pada Jumat, 19 Oktober, 22 hari lalu, Alex Mahes memberitahuku tentang perasaan aneh yang sedang dia alami. Aku masih mengingatnya dengan jelas karena kejadian itu sangat berbeda sekali dari sikap Alex Mahes yang kukenal.

Apa memang benar dia merasakan semacam paranormal?

Setelah mendengarkan rekaman percakapan kami berdua berulang-ulang, aku yakin Alex Mahes sedang membicarakan Calista Anita tanpa langsung.

Tapi kenapa?

Semestinya Alex Mahes merasa bahagia bisa berdua sendiri dengan Calista Anita tanpa kehadiranku, tapi kenapa Alex Mahes justru ingin aku untuk keluar dari Majelis Perwakilan Siswa sampai-sampai membuat semacam kebohongan?

Jawabannya simpel: kecemburuan.

Sudah bukan misteri lagi bahwa Calista Anita menyukaiku.

Pasti rasanya sangat menyakitkan ketika seseorang yang kamu cintai sedang mengkhawatirkan orang yang bukan dirimu.

Ketika hanya ada mereka berdua saja, berapa banyak dan berapa kali Calista Anita berbicara tentangku? Rasa khawatir Calista Anita kepadaku hanya membuat Alex Mahes semakin sakit hati.

Dengan hilangnya keberadaanku, perasaan cinta itu semakin terlihat lebih terang di mata Alex Mahes.

Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi dan apa yang Calista Anita katakan tentangku sampai menyakiti Alex Mahes seperti itu. Bisa saja aku hanya salah sangka. Bisa saja Alex Mahes betul-betul mengkhawatirkanku.

Namun bagaimanapun juga, faktanya tetap sama, Alex Mahes menyukai Calista Anita.

"..."

Alex Mahes mengenal baik "aku", sahabatnya. Dia tahu bahwa "aku" tidak akan bertindak seperti ini untuk mengejeknya. Dia tahu bahwa "aku" ini tidak terlalu pintar mengenai perasaan cinta. Dia tahu bahwa "aku" tidak tahu mengenai perasaannya terhadap Calista Anita. Dia tahu bahwa "aku" tulus dan tidak mungkin dengan sengaja menyakiti hatinya.

Jadi, dia tidak membuka mulutnya sebagai bentuk kesopanan.

Dia menelan rasa pahit kembali ke dalam tenggorokannya.

"Terus, mau tolong aku nggak?"

"Oke..."

"Makasih, Alex!" Aku langsung memeluk pundaknya dengan erat, dan tubuhnya meloncat dalam genggamanku. "Sahabat selalu bisa diandalkan!" Aku menekankan poin sahabat supaya Alex Mahes teringat akan hubungan pertemanannya denganku.

"Ya..." Wajahnya putih seperti salju, bukan dalam arti pujian atas wajah tampannya. Ekspresi gentar di wajahnya sangat sempurna dan jelas di mataku.

Sepanjang perjalanan pulang, Alex Mahes tidak bertemu mata denganku.