'klik' 'krieek'
Dan seperti yang kuduga, Silvia Anggraini datang ke kamarku.
Pintu terbuka dengan mudahnya karena tidak terkunci.
Tidak mungkin aku selengah itu sampai aku lupa mengunci kamarku. Hanya untuk malam ini saja, aku sengaja tidak mengunci pintu kamarku.
Aku berbaring di tempat tidurku, menghadap ke tembok, berpura-pura tertidur.
Silvia Anggraini melangkah pelan-pelan sebisa mungkin untuk tidak membuat suara, menuju ke meja belajarku.
Cara melangkahnya yang berusaha menyembunyikan suara tidak sempurna. Itu wajar bagi seorang remaja biasa. Lagi pula, orang biasa tidak akan bangun dari suara kecil seperti dari suara langkah kaki Silvia Anggraini.
Tiba-tiba seluruh ruangan menjadi terang.
Senter dari handphone, ya?
Itu pilihan yang jelek. Aplikasi senter yang dari awal sudah ada di handphone itu terlalu terang untuk digunakan di situasi yang seperti ini. Pilihan yang bagus tentunya menggunakan aplikasi senter yang mana bisa diatur terang dan redup cahayanya. Bahkan lebih bagus lagi, jika punya senter redup khusus yang juga tidak akan membuat suara mekanik ketika menghidupkannya untuk hal-hal seperti ini.
Untuk lebih meyakinkan Silvia Anggraini bahwa aku tertidur, aku akan memberikan dia perasaan bahaya.
"mmrrghh..." Aku sengaja merintih dan menggerakkan posisi terbaringku.
Seluruh ruangan kembali menjadi gelap. Silvia Anggraini mematikan senternya.
Dengan sengaja memberikan situasi seperti ini, Silvia Anggraini akan semakin percaya bahwa aku tertidur, bukan berpura-pura tertidur. Karena pikirannya akan menuju: "mana ada orang yang berpura-pura tertidur jika ada yang masuk ke kamarnya?" Semacam itu.
Aku bisa merasakan sepasang mata melihatku dengan tajam.
Setelah beberapa detik telah lewat, Silvia Anggraini melepaskan pandangannya dariku.
'srekk..'
Dari suaranya, kelihatannya Silvia Anggraini sedang membuka laci mejaku.
Kemudian Silvia Anggraini mulai membongkar isi laci mejaku. Aku bisa mendengar kelegaan kecil dari helaan nafasnya. Silvia Anggraini hanya menemukan buku dan alat tulisku.
Tentu saja tidak ada barang aneh, karena sudah kusembunyikan di tempat lain.
Selanjutnya, semestinya dia bisa melihat tempat sampah di samping meja belajarku.
Dugaanku benar, karena aku bisa mendengar suara kertas-kertas diobrak-abrik dan mengenai lantai.
"hu..... Hah. Huf. Ha... Hah."
Dari suara yang dia buat, sepertinya dia sudah menemukannya.
"Hik. Uhh... huk. Mmhh..mm..."
Silvia Anggraini... menangis...?
Meskipun nota tersebut adalah salah satu bukti, tapi itu tetap belum cukup baginya menyimpulkan bahwa aku adalah pelakunya dengan pasti.
Silvia Anggraini segera merapikan tempat sampah dengan buru-buru, kemudian dia lari keluar sambil menutup pintu. 'Blang!'
Itu terlalu keras. Betapa lengahnya dirinya. Bagaimana jika aku terbangun dari suara itu? Aku harus akting seperti apa dalam situasi seperti ini?
Dari kondisi psikologi Silvia Anggraini, aku bisa menghitung-hitung, bahwa dia tidak akan kembali ke kamarku. Tapi tetap saja masih ada kemungkinan dia kembali ke sini untuk mengecek apa aku terbangun...
Aku bangun dari kasur dan berjalan mendekati meja belajarku.
Ada bekas tetesan air di lantai.
"..."
Ada kotoran kertas yang masih tercecer di lantai.
Buku-buku dan peralatan tulis tidak dia kembalikan di posisi semula.
Sungguh... Betapa cerobohnya dia itu.
Aku tidur kembali ke kasur, kali ini aku sungguhan akan tidur.
Aku memejamkan mataku dengan bayangan Silvia Anggraini menangis di belakang pikiranku.