Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 24 - 15 hari sebelum HUT sekolah. Selasa, 6 November. Siang hari sampai sore hari.

Chapter 24 - 15 hari sebelum HUT sekolah. Selasa, 6 November. Siang hari sampai sore hari.

Usaha Calista Anita dan Pak Kiyo menghapus postingan tersebut menjadi sia-sia.

Pelaku ini sudah merencanakan segalanya. Ia menyebarkan link di media sosial, sehingga hanya pihak-pihak yang berwenang atas media sosial itu yang bisa menurunkannya.

Untungnya, setelah beberapa jam kemudian, pelaku tersebut telah menutup websitenya. Di saat yang sama, kita juga tidak dapat mengetahui lagi siapa pelakunya.

Namun, meskipun sumber skandalnya telah ditutup, itu tetap tidak menutup mulut manusia. Bagi semua yang memiliki telinga di sekolah ini, tak terelakkan mereka akan mendapat informasi tentang kejadian ini.

Ditambah lagi, ada orang-orang yang menyimpan gambar-gambar tersebut dan semakin menyebarkannya lagi.

Dan itu dilakukan beberapa orang, bukan satu orang. Sekarang, pelaku awalnya telah lepas dari publik.

Aku tahu akan ada orang-orang busuk seperti itu. Makanya, meskipun aku tahu lebih awal dari kebanyakan orang, ini akan tersebar mau tidak mau.

Kelihatannya, pelaku ini juga berpikiran sama denganku.

Ia tidak perlu susah-susah menyebarkannya lagi, seperti yang dikatakan Pak Kiyo. Ia hanya perlu menyebarkannya sekali, dan membiarkan orang lain yang menyebarkannya kembali.

Tentunya, para guru memberi tahu murid-murid untuk berhenti semakin menyebar luaskan. Tapi sudah terlambat. Kerusakannya telah terjadi.

Secara logis, penyebaran topik-topik sensitif ini akan membuat kacau balau di kelas. Semua murid akan marah-marah, bertengkar, dan menuding satu sama lain. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu.

Di kelasku, suasana di sini menjadi sangat canggung. Tentu saja suasana menjadi canggung.

Meskipun tidak ada gambaran kacau balau seperti murid-murid saling berkelahi dengan satu sama lain, ini termasuk kacau balau di kamusku.

Kami semua, tanpa kami sadari, telah membuat aturan yang tak terucapkan untuk tidak menyinggung atau membicarakan topik yang sensitif. Di mana pun juga, aturan itu akan tetap ada di tengah-tengah sebuah kelompok.

Dan hari ini, aturan itu masih tetap berlaku... sehingga menciptakan suasana pengap ini.

Bagaimana mungkin tidak merasa canggung? Situasi ini sama seperti ketika sebuah kelompok teman sedang menjelek-jelekkan salah satu teman mereka yang sedang tidak ada situ, tapi kemudian dia muncul dan menyaksikan itu semua.

Kelas ini berisi murid-murid yang merupakan manusia remaja pada umumnya. Banyak rahasia dan hal-hal sensitif yang kita tidak ingin katakan atau tidak ingin orang lain dengar.

Masalah seperti pencurian tahun lalu ketika masih kelas 10. Itu akhirnya menjadi kasus yang tidak terlalu besar dan terselesaikan tanpa kita mengetahui siapa pelakunya.

Hal seperti ini merusak integritas kelompok, maka dari itu aku turun tangan untuk melerai permasalahan tersebut. Dan perlu beberapa waktu kemudian, hingga korban dari pencurian itu, yaitu murid di kelas kami juga, sampai melupakan kejadian ini.

Selama berjalannya waktu, kita juga ingin ketenangan dan damai, bukan masalah yang menyakiti sesama. Masing-masing dari kita memberi tahu kepada diri kita sendiri untuk tidak pernah lagi membahas topik ini. Kita mulai berjalan dan melupakannya. Tapi dalam hati kita... di bawah lubuk hati kita, kita tahu salah satu dari kitalah yang melakukan pencurian itu. Ada ular di tengah kita.

Dan berkat kejadian ini, peti yang menjamur dan tergembok, mulai terbuka lagi.

Orang-orang yang namanya tercantum dalam postingan tersebut, hanya diam saja, tapi juga tidak ada yang berani berbicara dengan mereka. Mereka... yaitu kami, dikucilkan.

Aku, Calista Anita, Alex Mahes; kita bertiga, berkumpul sendiri dan dijauhi. Entah kami yang menjauhi mereka atau yang dijauhi adalah kami.

Bangku-bangku yang dipojokkan untuk memberi ruang terhadap pembuatan mading dan hiasan kelas, sangat tidak membantu situasi ini sama sekali. Posisi masing-masing murid benar-benar sangat terpecah. Posisi kami semua antara satu sama lain sangat mencerminkan perasaan kita semua.

Di setiap kelas, aku yakin ada kelompok atau lingkaran pertemanan. Lingkaran pertemanan seperti "Trio Sekawan" adalah salah satu contohnya. Tapi hari ini, lingkaran pertemanan tersebut terlihat lebih jelas, karena jarak antara kelompok terlihat secara fisik.

Wajah Alex, sangat jengkel dan Calista Anita sudah menyerah melawan ataupun menjelaskan.

Mereka berdua sudah meratapi nasib, dan hanya bisa meminta tolong kepada Tuhan untuk mengembalikan hubungan pertemanan ini kembali. Tapi, aku tidak terlalu tertarik untuk meminta tolong kepada yang di atas.

Aku mengamati raut wajah masing-masing murid, kemudian bahasa tubuh mereka.

Tangan mereka yang memegang lengan. Lirikan mata mereka menuju ke mana. Percakapan maupun bisikan-bisikan mereka kudengarkan. Ini memuakkan- pikirku.

Aku tidak ingin ini terus akan berlanjut. Jika aku ingin, aku bisa saja langsung pulang ke rumah. Memang waktu bisa menyembuhkan, tapi ini adalah situasi yang berbeda. Jika ini dibiarkan, efek sampingnya akan terus menempel pada kelas ini.

Misalnya kita terus menjadi canggung dan berpura-pura semuanya baik-baik saja, sama seperti yang kita lakukan tahun lalu dengan kejadian pencurian itu, mungkin memang benar kita akan kembali ke kelas yang ceria dan menyenangkan, tapi itu berarti kita tidak akan berkembang. Keceriaan itu hanya akan ada di permukaan.

Jika kita kembali ke kelas yang menyimpan rahasia dan sama sekali tidak berusaha menyelesaikan konflik dalam hati kita, maka kita akan mudah rusak lagi.

Bagaimana jika terjadi hal yang sama lagi? Ada seseorang yang mengungkapkan semua rahasia kita lagi, apa yang akan terjadi? Kita akan kembali ke situasi yang sama seperti ini lagi.

Ini tidak bisa lagi kusebut sebagai kelompok sosial yang "tulus".

Bukan lagi diisi dengan pertemanan yang sungguhan, melainkan sebuah "penipuan".

Maka, perlu seseorang untuk menghancurkan tabu memuakkan ini.

Dalam sebuah kelompok sosial manusia, sebuah topik sensitif akan selalu ada.

Sebuah kelompok tidak akan bisa berkembang dengan mengabaikannya. Sebuah kelompok akan bertumbuh ketika mereka menghadapi dan menjalani kesengsaraan bersama-sama.

Kesengsaraan memang menyakitkan. Tidak heran manusia berusaha menghindarinya. Namun, ada sebuah pertumbuhan dalam menghadapi permasalahan.

Manusia tidak akan tumbuh dengan melakukan hal yang sama berkali-kali. Manusia tumbuh dengan kegagalan dan rasa sakit.

Aku bangkit berdiri. Aku meninggalkan bangkuku dan kedua sahabatku.

Meskipun aku hanya membuat suara kecil saja, semua mata menuju kepadaku. Mungkin, karena tidak adanya kebisingan ceria yang dulunya selalu berjalan terus, hal kecil seperti berdiri dari tempat duduk saja menangkap perhatian mereka.

Selama aku berjalan melintasi kelas, tidak ada seorang pun yang mengatakan sesuatu. Mereka semua hanya melihatku dengan keheningan yang mencekik. Tatapan mereka terus menusukku selagi aku berjalan melintasi kelas.

Mereka terus diam saja meskipun aku sudah sampai di tempat tujuanku.

"Kenapa kamu mencuri?"

"!!!"

Ketika aku memulai perbincangan sesantai mungkin dengan pertanyaan seperti itu, bisa kulihat dengan jelas wajahnya mulai memucat.

Orang yang kumaksudkan di sini adalah teman sekelas yang sama yang suka mengikutiku membersihkan kelas.

Aku selama ini penasaran kenapa dia sangat suka sekali melakukan kegiatan membosankan semacam ini... mungkin karena selama ini dia merasa bersalah. Dengan melakukan semacam kegiatan amal, itu menjadi semacam bentuk pertanggungjawaban atas dosanya. Bagaimanapun juga, itu bukan masalahnya sekarang.

Meskipun tidak jelas aku mengatakan tentang mencuri apa atau kapan pencurian yang kumaksudkan itu, semua murid di kelas ini langsung menjadi tegang karena mereka semua tahu apa yang kumaksudkan. Dan lebih lagi, terhadap lelaki remaja terkenal pemalu di kelas, yang sedang duduk seorang diri.

Bahkan, aku sama sekali tidak menanyakan keabsahan pernyataan di website terkutuk itu.

Jika betul dia bukan pelakunya, dia akan berusaha sebisa mungkin untuk menyangkalnya dan tidak akan menjadi jinak seperti ini.

"Apa butuh uang? Keluargamu kesusahan?" Aku berusaha berbicara sehalus mungkin supaya aku tidak terlihat menyerang dan memojokkan.

"a-..." Kehilangan kata-kata.

"......" Dan aku meresponsnya dengan menjadi diam juga.

Aku tidak mendorongnya untuk terburu-buru. Satu tahun lalu adalah waktu yang lama. Pastinya, dia juga telah menguburkan kejadian itu. Dia pasti berpikir dia akan lulus SMA dan memberi tahu kejadian itu kepada anak-anaknya sebagai pelajaran pengalaman berharga. Dia tidak menyangka hal ini akan terungkap sekarang dengan cara begini.

Ayolah. Aku tahu kamu merasa bersalah. Tidak ada manusia yang tidak merasa bersalah. Justru, gunakan kesempatan ini untuk menuangkan semuanya, karena dari awal sudah terungkap.

"......" Aku menunggu terus dengan diam. Aku melihat mulutnya terbuka dan tertutup beberapa kali. Tangan dan kakinya tergelisah tiada henti. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Kepalanya menunduk untuk menghindari mataku.

Dia sedang melalui konflik diri. Jika dia tidak menjawab pertanyaanku atau bahkan menyangkal pertanyaanku, itu akan membuat semuanya semakin rumit. Tapi, aku sudah yakin hampir 100% dia akan mengungkapkan semuanya.

Dia tidak memiliki halangan lagi. Hanya dirinya sendiri yang perlu berani untuk mengambil langkah ini. Jika dia tidak melakukannya, akan sangat disayangkan.

Jika perlu, aku akan diam di sini, di depanmu sepanjang hari.

"m...." Setelah menelan ludahnya layaknya seorang karakter di film animasi, dia menghadapku. Mata kami bertatapan. "Aku..." Dia menengok lagi ke samping, tapi pada akhirnya dia melihatku tepat di mataku. "Aku ingin ikut wisata waktu itu."

Oke. Ini tidak kuduga.

Aku tidak mengira alasannya akan sangat sepele. Hmm... mungkin di mataku, alasannya sangat sepele, tapi mungkin di matanya kegiatan wisata waktu itu adalah persoalan yang besar.

Dia melanjutkan penjelasannya, "Cuman nggak ingin menyusahkan ortu. Ortuku nggak sekaya seperti ortu yang lain. Ortuku keras masalah uang...... Erm, maaf, Rina, aku mencuri."

Dan dengan begitu, dia mengakhiri penjelasannya dari kasus terbesar di kelas ini sepanjang satu tahun; dengan permintaan maaf.

Ketika dia membuka mulutnya, kata-kata tersebut keluar terlalu lancar seolah dia sudah merencanakan ini dari awal. Aku yakin setiap malam sebelum tidur dia selalu memikirkan kata-kata permintaan maaf seperti apa jika dia memutuskan mengungkapkan dirinya. Pasti rasanya seperti batu di tenggorokan lenyap dari muka bumi ini; itu yang kudengar dari orang lain.

"...Nggak, aku..." Rina, korban pencurian satu tahun lalu, bingung harus berkata apa.

Kejadian tersebut terjadi satu tahun lalu. Tidak ada murid di kelas ini yang akan mengingatnya setiap hari. Rina, korban pencurian tersebut, pastinya juga sudah melupakannya. Aku menduga, Rina tidak sudah tidak peduli lagi. Lagi pula itu masalah uang, bukan masalah barang kesayangan. Memang dia memiliki hak untuk marah, tapi jujur saja, reaksinya terlalu berlebihan. Pasti Rina sendiri juga menyesal bereaksi terlalu berlebihan. Ditambah lagi, dengan dihadapkan permintaan maaf yang tulus, bagaimana mungkin dia bisa marah?

"..."

"..."

Karena tidak ada seorang pun yang mengatakan apa pun, dia memberi tanda bahwa dia sudah selesai berbicara ke aku. "...sudah."

Dia menundukkan kepalanya kembali dan menunggu diam akan apa yang akan terjadi berikutnya.

Aku mengamati kelas.

Semuanya terkejut terdiam.

Aku kembali menengok ke lelaki remaja yang sedang menundukkan kepala di depanku.

"Kan? Nggak susah ngomong gitu saja?" Aku mengatakan ini kepadanya, dan juga kepada teman-teman sekelasku tanpa langsung.

"!" Dia menengok ke atas tiba-tiba karena terkejut. Setidaknya, dia mengira akan mengalami bentakan, kutukan, atau pun ejekan. Tapi dia tidak mendengar satu pun dari itu.

Dia terlalu meremehkan kekuatan dari "waktu". Apa pun bisa sembuh semakin berjalannya waktu (?).

"Rasanya gimana? Lega?"

"Hehehe..." Dia tertawa kecil mendengar tebakanku yang benar.

--Menghadapi.

Sesimpel itulah yang perlu dilakukan. Memang menurutku, itu adalah hal simpel, tapi bagi manusia biasa, perlu keberanian luar biasa untuk mengungkapkan hati terpendam mereka.

Jadi, demi manusia-manusia awam ini, aku memberikan contoh. 'Tidak salah melakukan ini.' 'Tidak akan dibenci.' 'Tidak akan dimarahi.'

Menjadi lemah dan terbuka adalah hal yang menakutkan. Tidak ada yang tahu siapa yang akan memanfaatkan kita di diri kita yang terlemah.

Tapi sebenarnya, kita semua takut; kita semua mengalami hal yang sama. Dan orang yang memanfaatkan diri kita yang terlemah tersebut, hanyalah imajinasi belaka kita.

Ketika hati manusia menyadari bahwa ketakutan terbesar mereka hanyalah kepalsuan ciptaan mereka sendiri, mata mereka mulai terbuka.

Tidak ada hal yang berubah. Hubungan kita semua akan tetap berjalan seperti biasa. Jadi, janganlah takut menghadapi kebenaran.

Tidak perlu serangkaian kalimat yang indah. Tidak perlu pilihan kata yang bagus. Hanya fakta.

"..."

"..."

"Oh." Beberapa saat telah lewat, dan sebuah ucapan paling dasar di sepanjang seluruh sejarah manusia; keluar dari mulut seorang murid di kelas ini.

Dengan menyatakan kenyataan begitu saja di depan wajah mereka, kenyataan yang simpel-- itu membangkitkan mereka dari kecanggungan.

Memang rasanya akan menjadi tidak enak jika ada yang membeberkan fakta sensitif tersebut, tapi ketika dikeluarkan begitu saja dan mereka semua melihat dampaknya tidak terjadi apa-apa, rasanya konyol menjadi cemas.

"Oh iya, ya." "Eh, tentang pencurian yang tahun lalu itu, 'kan sebenarnya sudah selesai dibahasnya." "Memangnya ada pacaran juga kenapa? Kan pacaran biasa saja." "Wahahaha!! Tapi fotomu ini lo!" "Ya nggak usah diketawain kenapa sih?!" "Ah... takut bener tadi aku."

Ada yang merasa lega, ada yang langsung mengalihkan pembicaraan. Meskipun masih ada yang terlihat takut dan kaku, keseluruhan "mood" sudah melembut.

"..." Aku tersenyum masam ketika melihat suasana sudah berubah. Sebaliknya dalam hatiku, aku merasa muak.

Mereka sangat ingin menghapus suasana mencekik tadi, sampai mereka segera membuat suara ramai yang ceria. Mereka ingin membuat perbedaan yang sangat luar biasa dibandingkan suasana mencekik sebelumnya. Entah itu dibuat-buat atau sungguhan, mereka hanya ingin membuat ramai. Mereka tidak ingin menyamakan suasana ini dengan suasana hening sebelumnya. Mereka tidak ingin diingatkan akan kesunyian yang menyakitkan tadi.

Intinya, dari awal mereka semua tidak ingin merasakan suasana mencekik. Aku cuman memberi dorongan dan mereka hanya mengikuti arus saja.

Sungguh, cara manusia menghindari kesakitan sangatlah memuakkan.

Meskipun begitu, aku bisa melihat mereka telah bertumbuh. Meskipun sedikit dan tidak terlalu kelihatan, mereka telah bertumbuh.

Jika aku masih merasa muak, itu berarti mereka masih belum memenuhi kriteriaku. Atau harapanku yang terlalu tinggi?

"Eh, jadi Ani... kamu pacaran nggak--?" Salah satu murid mendekat ke Calista Anita dan bertanya sambil melirik ke aku.

"HA?!" Calista Anita menjerit terkejut atas pertanyaannya. "Y-ya nggak mungkin lah!" Calista Anita menjawab dengan menjerit lagi. "Ah-" Tapi dia langsung menutup mulutnya secara refleks. Dia mengintip ke arahku dengan wajah khawatir.

Salah satu rumor yang diposting di website tersebut membahas bahwa aku dan Calista Anita menjalin hubungan kekasih. Tentunya itu tidak benar.

Mereka nyaman menyentuh topik tersebut. Itu dikarenakan mereka baru saja melihat sendiri hasil dari menghadapi topik sensitif pencurian. Ditambah lagi, mereka tidak betul-betul bermaksud mengganggu privasi kami, mereka hanya sedang bersenda gurau. Jika Calista Anita melihatkan bahwa dia tidak suka sedikit saja, mereka akan memundurkan diri.

"?" Aku hanya tersenyum ke arahnya. "Iya. Mana mungkin kita pacaran? Memang kami dekat, tapi cuman itu saja."

"I-iya..." Mendengar ikutan jawabanku, itu membuat Calista Anita menghembus nafas letih.

"Ah..." Murid yang tadi bertanya memandangku dengan belas kasihan...

"Hm?" Aku sengaja menyuarakan kebingungan.

Aku melirik ke Alex Mahes untuk mencari jawaban, tapi dia hanya menunjukkan reaksi yang aneh. Alex Mahes tersenyum pahit melihatku.

Aku tahu. Aku tahu bahwa Calista Anita menyukaiku.

Bukan suka dalam arti pertemanan, tapi dalam arti cinta.

Namun, aku harus bertindak bodoh terhadap tanda-tanda cinta atau yang sejenisnya. Kalau tidak, aku tidak bisa menjaga semua hubunganku.

Kenapa aku yakin sekali itu dapat merusak hubunganku?

Faktanya adalah, sahabatku, Alex Mahes, menyukai Calista Anita.

Jika aku menerima satu perasaan, itu berarti aku menolak perasaan yang lain. Ketika perasaan mereka tertolak, mereka akan menjauhkan diri. Fakta tersebut bukanlah salahku atau salah siapa pun. Itu adalah perilaku cinta milik manusia yang wajar.

Yang hanya bisa kulakukan untuk menghindari fakta tersebut adalah berpura-pura bodoh.

Ini tidak dikhususkan bagi Calista Anita. Siapa pun juga orangnya, aku akan menghindari perasaan mereka dan berpura-pura tidak menyadarinya.

Aku tahu Calista Anita atau manusia lainnya yang telah jatuh cinta kepadaku bisa tersakiti dengan pemikiran ini, tapi jujur saja, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan adalah menjaga status quo. Asalkan mereka tetap bertingkah laku seperti biasa dan sesuai dugaanku, hal sensitif seperti cinta akan kubuat menjadi tidak penting...

Cepat-lambat redanya konflik digantungkan terhadap setiap pemimpin hierarki setiap kelas. Jika tidak ada yang melakukan langkah pertama itu, mereka hanya bisa mengandalkan liburan natal dan tahun baru untuk melupakan ini semua dan kembali menjalani kehidupan seperti biasanya.

Sayangnya, dari penilaianku terhadap setiap pemimpin hierarki setiap kelas, banyak kelas yang akan membutuhkan waktu panjang.

"Heh." Saat aku sedang mengamati kelas, Alex Mahes menarik ujung seragamku untuk menarik perhatianku.

"Apa?"

"Makasih, ya. Kalau bukan kamu, mungkin kelas nggak bisa kembali jadi kayak gini." Kata Alex Mahes sambil melihat seluruh kelas.

Kaku. Formal. Alex Mahes bukan orang yang seperti ini. Kita sudah berteman lama selama kurang lebih dua tahun, tapi di saat beginilah dia menyembunyikan rasa malunya ketika mengucapkan berterima kasih.

Terima kasih, Alex Mahes, karena telah meninggikan aku.

Calista Anita sedang berbincang-bincang dengan murid lain, jadi hanya aku dan Alex Mahes yang sedang berbincang-bincang dengan suara kecil di tengah keramaian.

"Cuman itu doang. Beneran makasih." Setelah berkata begitu, Alex Mahes berjalan pergi untuk berbicara dengan murid lain.

"......" Tidak ada kata yang ingin kuucapkan, jadi aku membiarkan Alex Mahes pergi setelah dia selesai mengatakan bagiannya.

Aku kembali mengamati seluruh kelas dan termenung.

Apa yang perlu kulakukan berikutnya, aku masih memikirkan... Bukan... Aku sudah selesai memikirkannya, cuman mempertimbangkan.

Aku berjalan ke sana kemari untuk mengecek reaksi dan pendapat mereka lagi tentang skandal penyebaran rumor ini.

Jam pulang sekolah.

Setelah menyelesaikan perbincangan-perbincangan dengan berbagai orang, aku segera pergi ke ruang OSIS, di mana Silvia Anggraini biasanya berada.

"Permisi." Kataku sambil mengetuk pintu.

"Ya." Jawaban suara teredam terdengar dari dalam ruang OSIS.

Dan seperti yang kuduga, dia sedang duduk di bangkunya seperti biasa. Kali ini dia tidak menyambutku dengan merengut dan sungut-sungut, tapi dengan lapang dada; tidak ada lagi wajah kerut yang selalu menyambutku.

Silvia Anggraini sudah berubah banyak sejak aku menceramahinya. Dia menjadi semakin lembut dan semakin lengah di hadapanku. Sayangnya, aku masih belum dapat memahami jalan pikirannya sepenuhnya. Aku belum yakin 100% dia sudah mengubah pikirannya tentangku atau ini hanya cuman aktingnya saja.

"Oh... Sudah kutunggu dari tadi."

"Maaf, tadi nggak bisa datang." Aku masuk ke ruangan dan menutup pintunya.

"Nggak apa, aku tahu situasinya di sekolah itu kacau." Balasnya dengan prihatin.

Dari tadi siang ada banyak keributan di sana sini.

Karena rumor-rumor ini, hierarki setiap kelas menjadi kacau.

Untuk menjaga ketenangan di kelasku dan teman-teman yang kuanggap sebagai teman dekat di kelas lain, aku datang untuk memediasi. Ada tempat tertentu juga aku sepatutnya tidak ikut campur tangan.

"Gimana denganmu?" Aku bertanya karena raut wajahnya seperti sedang menahan muntah.

"Harrh..." Dan dugaanku benar. Helaan nafasnya mirip nenek-nenek. "Sebentar lagi HUT... dan sekarang ada masalah lagi... Siapa sih yang lakukan ini? Kelasku makin ribut dan kacau. Hah... Kenapa namaku harus diikutin...?" Dia melipat kedua tangannya dan dahinya dia sandarkan ke tangan. Dengan sekali hembusan nafas, dia mengatakan keluhan-keluhannya.

"..." Sebuah perkembangan yang luar biasa. Tidak ada yang akan mengungkapkan kelemahan mereka di depan musuh, terutama Silvia Anggraini yang dulunya selalu menjaga pertahanannya di hadapanku.

Nama Silvia Anggraini juga ikut tercantum di rumor-rumor tersebut. Ditambah lagi, dia dikatai paling buruk oleh pelaku.

Sekalipun rumor tentang Majelis Perwakilan Siswa adalah kebohongan ataupun kebenaran yang tidak ditunjukkan sepenuhnya, itu tetap akan memengaruhi massa.

Hal ini juga berlaku kepada politikus-politikus di setiap negara. Entah seberapa banyak dukungan yang mereka miliki, hanya dengan satu "kebohongan" saja, bisa membuat mereka kehilangan dukungan tersebut. Maka dari itu, mereka selalu menggunakan kekuatan mereka untuk menekan media massa untuk menghentikan penyebaran "kebohongan" tersebut.

Bagi kelompok rapuh bernama Majelis Perwakilan Siswa seperti ini, aku tidak heran jika Majelis Perwakilan Siswa akan menjadi semakin susah untuk kembali berfungsi lagi.

"Timing apa-apaan ini?"

"Kerja bagus membatalkan rapat." Aku yang mengira bahwa buruk untuk melanjutkan membahas hal ini, segera mengganti topik.

Hari ini, Silvia Anggraini memutuskan untuk membatalkan kumpul. Di situasi kritis seperti ini, aku lebih bersandar terhadap perkumpulan untuk membahas masalah dan tetap mengejar ketinggalan sebisa mungkin.

"...Kamu sudah lihat, 'kan?" Silvia Anggraini bertanya tidak jelas, tapi aku tahu apa yang sebenarnya dia tanyakan. Apa boleh buat? Setelah mendengar di sana-sini, tidak aneh jika Silvia Anggraini membahas topik yang sama.

"Ya."

"Termasuk tentang Majelis?"

"Tentunya." Aku menangkap maksud Silvia Anggraini.

Rumor itu tidak hanya membahas tentang masalah internal setiap kelas, tetapi juga tentang isi Majelis Perwakilan Siswa, keburukan-keburukan beberapa anggota, termasuk Silvia Anggraini dan bahkan guru-guru yang membantu Majelis Perwakilan Siswa, dan berisi kritikan informasi-informasi yang buruk tentang HUT mendatang.

Masalahnya tentang rumor itu, adalah terlalu detail sampai tercantum nama dan jabatan orang-orang yang terlibat. Justru karena terlalu detail, itu menjadi mencurigakan. Hanya 1 siswa setiap kelas yang dimajukan menjadi anggota Majelis Perwakilan Siswa, jadi hanya 30 anggota yang ada di Majelis Perwakilan Siswa.

Misalnya pelakunya adalah orang luar, ia tidak mungkin mendapat informasi sedetail itu hanya dari perkataan orang lain. Jadi, ada kemungkinan besar, pelakunya adalah salah satu anggota Majelis Perwakilan Siswa. Kecuali, jika salah satu anggota Majelis Perwakilan Siswa menceritakan ke orang lain. Tapi itu terlalu berisiko, karena yang pemberi informasi itu akan langsung tahu.

"Pelakunya di antara kita, ya?" Aku mengucapkannya sambil menggaruk belakang leherku. Aku tidak ingin mengakuinya. "Kenapa kita nggak cari pelakunya sekarang? Interogasi satu per satu?" Aku tahu Silvia Anggraini bukan tipe orang yang akan meninggalkan seorang penjahat lepas begitu saja.

"Lebih parah lagi, kita belum tahu pasti jumlah pelakunya."

"Benar juga. Pelakunya bisa lebih dari satu." Tidak ada sebuah peraturan yang mengatakan bahwa jumlah pelakunya harus satu.

Jika aku adalah pelakunya, aku akan lebih memilih bekerja sendiri. Karena, jika ada kemungkinan salah satu dari kelompok terungkap atau salah satu dari kelompok menyerahkan diri, kita semua bisa tertangkap. Aku bukan orang yang sangat naif sampai aku bisa memercayakan seluruh hidupku berdasarkan kemampuan orang lain.

"Aku nggak ingin ada masalah lagi di dalam Majelis." Katanya sambil merintih dan mengguling-gulingkan kepalanya di atas meja. "Aku saja udah muak dengan masalah di kelasku sendiri..."

Orang-orang juga tidak bodoh, pasti ada beberapa dari murid-murid lainnya yang menyadari tentang kemungkinan bahwa pelakunya bisa jadi salah satu anggota Majelis Perwakilan Siswa.

"..." Aku jatuh termenung.

Silvia Anggraini tidak diperbolehkan untuk mengambil risiko menangkap pelaku penjahat ini sekarang. Jumlah anggota Majelis Perwakilan Siswa yang masih bekerja sudah sangat sedikit. Jika jumlahnya sedikit, apa itu berarti semakin mudah menangkap pelakunya? Tentu saja tidak. Pelakunya bisa saja adalah anggota yang sudah tidak bekerja lagi. Silvia Anggraini tidak ingin menimbulkan masalah internal lagi saat ini. Aku yakin Silvia Anggraini berencana menyelesaikan permasalahan ini setelah HUT selesai.

Beberapa hari lagi, HUT akan dimulai, dan karena proses yang sudah disiapkan selama 3 bulan ini, HUT tidak bisa dibatalkan atau diundurkan. Kalau tidak, dana yang sudah dikeluarkan untuk alat-alat dan panggung yang sudah disewa untuk hari itu akan menjadi sia-sia.

Pihak penyewa barang tentunya sudah menyiapkan sistem jaga-jaga jika kita memutuskan untuk mengembalikannya. Jika kita tidak menggunakan barang tersebut sama sekali, bukan berarti uang tersebut juga akan kembali ke kita 100% penuh. Ini sudah ada di kontrak. Jadi, lebih merugikan jika kita hanya kehilangan uang tanpa menggunakan barang sewaan itu. Apa kita bisa mengembalikan uang dan waktu murid-murid 100%? Kita akan menerima komplain dari murid-murid jika kita membatalkan HUT. Aku yakin pihak sekolah juga tidak menginginkan HUT dibatalkan hanya karena masalah ini.

Memang penyebaran rumor ini menyakitkan Majelis Perwakilan Siswa, tapi jika dipikir baik-baik, penyebaran rumor itu tidak sangat parah sampai harus membuat HUT dibatalkan. Apa itu merusak mood? Ya. Tapi apa itu merusak barang-barang persiapan untuk HUT? Tidak. Jadi, tidak masalah HUT tetap berjalan seperti biasa.

"Waktu menyembuhkan". Setiap emosi akan tertinggal di saat itu saja, setiap orang akan meneruskan hidup apa pun yang terjadi. Namun, beberapa hari tidak akan cukup di situasi dan lingkungan ini. Perlu beberapa bulan dan tahun untuk membuat mereka semua 'mengenang kembali hanya sebagai ingatan di masa lalu'.

Saat ini, mereka akan terus membicarakan ini ketika mengingat sekilas saja, kemudian akan berputar terus menerus. Ditambah lagi, bagi orang yang namanya tercantum di rumor tersebut, mereka pastinya merasa diserang dan disindir, dan membuat mereka semakin susah untuk melupakan kejadian ini.

Setiap orang memiliki tanggapan dan pendirian yang berbeda-beda. Ada yang mendendam, ada yang tidak peduli, dan seterusnya. Maka dari itu, aku berbicara dengan orang-orang untuk menguji dan menarik reaksi dari mereka.

Dan pelaku ini sengaja memilih hari yang kritis ini untuk merusak keharmonisan di sekolah...

"Tapi nggak apa." Silvia Anggraini tiba-tiba berkata ketika aku masih merenung.

"...?" Menyadari bahwa aku tidak tahu apa yang Silvia Anggraini sedang bicarakan, aku mengira bahwa aku telah melewatkan sesuatu karena aku jatuh termenung.

Wajahku sudah mengatakannya lebih dulu sebelum mulutku, dan Silvia Anggraini menjawab dengan senyuman tipis, "Karena ada kamu."

"!" Aku sungguh terkejut.

Siapa yang mengira? Ini masihlah manusia bernama Silvia Anggraini?

Sayangnya... dia berubah hanya kepadaku. Dia terbuka hanya kepadaku.