Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 12 - 40 hari sebelum HUT sekolah. Jumat, 12 Oktober. Siang hari sampai malam hari.

Chapter 12 - 40 hari sebelum HUT sekolah. Jumat, 12 Oktober. Siang hari sampai malam hari.

Aku sampai di rumah lebih siang dari biasanya karena hari ini hari Jumat dan tidak ada rapat. Tapi Silvia Anggraini masih di sekolah untuk mengurus beberapa hal.

Sesampainya di rumah, aku membantu ibunya Silvia Anggraini membersihkan rumah.

Tidak banyak kesempatan aku bisa bercakap satu lawan satu bersama ibunya. Akan kugunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.

"Sebentar lagi Luki-Luka ulang tahun." Ibunya Silvia Anggraini menjorok ke telingaku, seolah mengatakan bahwa ini adalah percakapan rahasia. Apa dia mau merencanakan kejutan ulang tahun?

"15 Oktober, 'kan? Senin besok." Volume suaraku juga ikut kukecilkan.

"Yap. Nanti kalau sudah pulang, kita rayakan bersama."

"Oh, oke." Kalau menunggu kami pulang, bagaimana caranya mengejutkan mereka? Aku dan Silvia Anggraini adalah siswa SMA; kami selesai sekolah lebih telat dari mereka. Apa dia berbisik kepadaku untuk mendekatiku saja? "Aku juga perlu beli kado."

"Ah, nggak usah repot-repot."

"Nggak, nggak. Nggak repot kok. Rasanya nggak enak kalau cuman aku yang nggak ngasih kado."

"Maaf ya ngrepotin..."

"Nggak kok, tante..."

Setelah selesai membersihkan rumah, kami pindah mencuci perabot makanan.

"HUT itu, orang tua atau saudara boleh datang nggak?" Ibunya Silvia Anggraini bertanya. Mungkin mengharapkan keluarga dapat mengunjungi HUT sekolah.

"Belum tahu itu. Kemungkinan nggak boleh. Bisa tanya Silvia nanti kalau sudah pulang. Kalau nggak boleh, dia bisa mengajukan ke guru."

"Eh ya. Silvi 'kan ketua. Lancar aja di sekolah?"

"Ahh... shhht- sebenernya ada satu masalah sih kemarin-kemarin ini."

Seperti biasa, aku mulai dengan hal-hal ringan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh ibunya Silvia Anggraini.

Percakapan antara kami berdua masih kaku. Memang pilihan yang benar untuk memulai percakapan dengan santai.

Sudah mendekati. Aku cek dulu.

"...Silvia itu orangnya tegas menurutku. Jadi memang cocok jadi ketua." Aku tetap memuji Silvia Anggraini, meskipun dia telah melakukan suatu kesalahan beberapa hari lalu.

"Beneran?"

"Iya, beneran. Apa dari dulu kayak gitu, tante? Apa dia ketua OSIS waktu SMP juga?"

"Yahh nggak selalu gitu." Katanya. Tangannya berhenti bergerak. "Mungkin gara-gara aku dia jadi gitu."

"..." Aku tetap menutup mulutku. Aku menunggunya menyelesaikan ceritanya. Dengan memberikan keheningan, aku juga mengganti suasana dan memintanya untuk lanjut.

"Kamu tahu 'kan Silvi itu kakak dan anak pertama. Makanya dia jadi bertanggung jawab seperti itu."

"Iya." Penjelasan itu belum cukup.

"Ayahnya- suamiku dulu; kita sering tengkar. Terus akhirnya kita cerai. Silvi dulu masih kecil. Jadi masih kecil lihat kedua orang tuanya tengkar dan pisah itu... gimana ya rasanya? Terus aku sering marah-marah, padahal kita sudah cerai."

Penjelasannya sama seperti yang dikatakan Silvia Anggraini beberapa hari lalu.

"Memang berengsek orang itu." Kata ibunya tiba-tiba.

"..." Aku sampai berhenti dan menengok ke arahnya.

Mungkin dia merasa nyaman mengatakan begitu karena aku sudah SMA. Seandainya aku lebih muda dari umurku sekarang, kemungkinan dia tidak akan mengatakan seleluasa ini di depanku. Ditambah lagi, aku bukanlah anaknya. Dia tidak akan pernah berani mengatakan ini di depan Silvia Anggraini. Dia tahu sendiri dia sudah menimbulkan kesakitan dan masa kecil yang buruk bagi Silvia Anggraini.

"...Gimana ya? Mungkin karena Silvi tumbuh di keluarga kayak gitu, terus karena dia punya adik, dia jadi keras?"

"...Masa lalu nggak bisa diubah." Aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu setelah sekian lama. "Puji Tuhan aja Silvia nggak jadi nakal."

"Iya, ya? Silvi bisa aja jadi nakal."

Kami melanjutkan percakapan lagi, tapi dengan perasaan lebih ringan. Kami terus bercakap-cakap sampai kami selesai mengerjakan urusan rumah tangga.

Setelah itu, kami memasak makanan.

Silvia Anggraini dan ayahku masih belum pulang, jadi aku, ibunya Silvia Anggraini, Luki, dan Luka makan bersama-sama.

Sambil melakukan berbagai hal, aku merenungkan percakapanku dengan ibunya Silvia Anggraini.

Aku mengambil kesimpulan bahwa karena ayahnya berengsek, Silvia Anggraini jadi mudah mengetahui kejahatan dalam diri seseorang, sehingga dia bisa melihat tembus "Topeng"ku. Itu agak konyol, tapi hanya itulah sumber informasi paling dekat yang bisa kutemukan. Kalau begitu, kesimpulannya akan kutunda terlebih dahulu.

Sedikit menjengkelkan bahwa aku tidak bisa menemukan alasan yang memuaskan. Atau mungkin aku ingin alasan yang sangat hebat sehingga aku tidak merasa dikalahkan oleh Silvia Anggraini?

Mungkin saja, alasannya memang sepele.

Lagi pula, mengetahui alasannya saat ini tidak akan terlalu membantu. Aku harus menata ulang daftar prioritasku.

Setelah kami selesai makan, aku bermain bersama Luki dan Luka sampai Silvia Anggraini pulang.

Silvia Anggraini baru pulang sore itu. Dia terlihat lelah.

"Mandilah dulu." Aku mengatakannya ke Silvia Anggraini yang lewat di ruang tamu. "Terus ada makan di meja..."

"..." Silvia Anggraini mengabaikanku.

Aku menghela nafas dalam hati. Aku sudah tahu ini akan susah. Silvia Anggraini telah memutuskan untuk menghadapiku dengan cara mengabaikanku.

Aku berusaha mendekati dan berhubungan baik dengan Silvia Anggraini selama aku tinggal bersamanya. Tetap saja pertahanannya masih teguh.

Sangat susah berteman baik dengan seseorang yang sudah tahu sifat asliku. Dia dapat dengan mudahnya tahu perilakuku hanyalah akting belaka saja.

Aku mulai mempertimbangkan menggunakan cara lain untuk memperbaiki hubunganku dengannya.

Tengah malamnya, aku keluar dari kamarku.

Aku bermaksud ke dapur untuk membuat kopi. Aku menyadari keberadaan orang lain di ruang tamu.

Silvia Anggraini.

Lampu di ruang tamu sudah dimatikan, tapi aku masih bisa mendengar suara ketikan.

Di situ Silvia Anggraini sedang mengetik di laptopnya di tengah kegelapan.

Dia bisa mengerjakan tugasnya di kamarnya sendiri, tapi dia tidak melakukan itu. Dugaanku, karena dia masih di ruang tamu sejak tadi sore. Dia tidak pindah tempat selama itu...

Aku menyalakan lampu secara diam-diam dan dia terkejut.

"!... Oh."

"Jangan mainan laptop gelap-gelap. Sakit di mata." Aku juga menyadari ada tumpukan kertas di sampingnya setelah aku menyalakan lampu.

Aku bisa tahu alasannya bekerja di gelap-gelap ini dilihat dari sifatnya. Mungkin dia tidak ingin mengganggu orang lain, jadi dia matikan lampunya saja... Itu agak bodoh. Tidak ada orang yang akan terbangun karena lampu ruang tamu menyala.

"..." Setelah dia melihat bahwa yang menyalakan lampu adalah aku, dia kembali menatap laptopnya. Dia mengabaikanku lagi.

Aku menghela nafas dalam hati lagi.

"Mau kopi?" Aku menawarkan Silvia Anggraini segelas kopi.

"..."

"Atau teh?" Aku menawarkannya teh karena aku tidak tahu sebenarnya Silvia Anggraini suka kopi atau tidak. Aku menawarkan kopi tadi karena beberapa minggu lalu, dia menerima tawaran kopi dari ayahku.

"..."

"Nggak akan kumasukin apa-apa." Aku berusaha meyakinkannya begitu, karena mungkin saja, dia sangat tidak percayanya terhadap diriku sampai dia bisa berpikiran aneh.

"..."

"Aku tahu kamu nggak suka aku." Aku mengakui hubungan kami berdua.

"..." Silvia Anggraini masih tetap tidak mengatakan apa pun.

"Soalnya aku juga mau buat kopi. Kamu mau nggak sekalian dibuatin?"

"...Kopi." Akhirnya Silvia Anggraini menjawab.

"Oke..." Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan di percakapan singkat tadi... entah itu bisa disebut sebagai percakapan atau tidak.

Kakiku bergerak ke dapur setelah mendengar jawabannya.

Meskipun kita tinggal serumah sekarang, kita hampir tidak pernah berinteraksi dengan satu sama lain. Kita tidak pernah "berbicara" lagi sejak malam di mana aku menanyakannya tentang opini pernikahan ayahku dan ibunya.

Hanya interaksi kecil terjadi di sana sini, dan terkadang, akulah yang memulai interaksi tersebut. Silvia Anggraini bisa saja meminta tolong aku untuk mengambilkan sesuatu, tapi dia tidak akan melakukan itu. Kita hanya berpapasan di ruang tamu saja, dan itu dikarenakan aku sedang bermain dengan Luki dan Luka, atau dikarenakan makan bersama.

Aku sedang menunggu seduhan selesai di dapur.

Aku tidak tahu tipe kopi apa yang disukai Silvia Anggraini, dan dia tidak memberitahuku dia ingin kopi apa, jadi aku membuatnya sama dengan kesukaanku.

Setelah menuangkan kopi ke dalam dua gelas, aku mematikan lampu dapur dan kembali ke ruang tamu.

Aku meletakkan kopinya di sampingnya.

"..." Matanya melirik ke aku.

Aku duduk di sofa tidak jauh darinya.

"..." Matanya mengikuti aku sampai aku duduk. "....." Setelah melihat bahwa aku tidak melakukan apa pun, matanya kembali ke laptop.

"..." Aku meminum kopiku dengan tenang.

Aku paham kenapa Silvia Anggraini tidak pindah tempat atau melanjutkan pekerjaannya besok saja.

Mungkin karena besok adalah hari libur, dia merasa tidak apa bergadang sampai pagi. Mungkin juga karena dia tidak ingin momentumnya berhenti.

Aku juga pernah merasakan itu sebelumnya. Terkadang ketika aku sedang melakukan atau mengerjakan sesuatu, aku merasa ini tidak akan menjadi bagus atau akan susah untuk fokus lagi jika dilakukan di waktu lain.

"..."

"..."

Aku tidak melakukan apa pun selagi Silvia Anggraini terus mengetik di laptopnya. Aku hanya duduk dan minum kopi sambil melihatinya.

Terkadang Silvia Anggraini membuka-buka tumpukan kertas di sampingnya dan terkadang berhenti untuk meminum kopi.

Sepanjang malam itu, aku juga memutar dan mengalirkan semua ide dan rencana di kepalaku.

Malam lewat begitu saja sampai pagi hari.