Chereads / Monolog Seorang Psikopat / Chapter 14 - 37 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 15 Oktober. Sore hari sampai malam hari.

Chapter 14 - 37 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 15 Oktober. Sore hari sampai malam hari.

Seperti biasa, anggota Majelis Perwakilan Siswa sedang rapat di multimedia. Daripada memanggil ini rapat, lebih tepatnya jam kerja. Kita semua terpisah mengerjakan sesuatu masing-masing di sana sini. Tidak ada diskusi sebagai keseluruhan Majelis Perwakilan Siswa.

Ada yang keluar dan masuk ruangan, ada yang dari awal terus duduk mengerjakan sesuatu menggunakan laptop, ada yang membagikan konsumsi, ada yang membawa kertas dan semacam dokumen ke orang lain, ada yang berbicara dengan guru. Aku adalah salah satu orang yang sedang mengerjakan sesuatu menggunakan laptop, meskipun aku adalah bagian perlengkapan.

Kebanyakan peralatan dan perlengkapan dari luar sekolah sudah berhasil disewa dan kontraknya sudah jadi. Barang-barangnya dapat diambil ketika mendekati HUT. Tugasku memastikan dan menulisnya. Karena itu, tugasku semakin sibuk ketika HUT semakin mendekat.

Aku sudah hampir selesai. Aku cuman perlu memastikan sekali lagi semua barang dan harganya. Seharusnya ini bukan bagian tugasku, tapi Silvia Anggraini menyuruhku melakukan ini.

Aku ingin cepat selesai mengerjakan dan menanyakan hasilnya ke Silvia Anggraini. Supaya jika masih ada salah, aku punya banyak waktu untuk membetulkan.

"Kenapa kamu telat lagi?!" Ketika aku ingin fokus, aku mendengar suara sedikit keras dari arah Silvia Anggraini.

Silvia Anggraini sedang berteriak memarahi seorang kakak kelas perempuan. Dia memarahi kakak kelas perempuan itu karena dia telat menyelesaikan tugas bagiannya. Jika Silvia Anggraini marah separah itu, itu berarti kakak kelas perempuan itu sudah melakukannya berkali-kali.

"..." Aku melirik ke arah mereka, kemudian melanjutkan melihat ke laptop. Kebisingan seperti itu sudah mulai terbiasa di telingaku.

Para anggota yang mendengar Silvia Anggraini, juga melirik sebentar saja.

Jika kita selalu memperhatikan setiap kali ada suara keras, kita tidak akan pernah selesai mengerjakan tugas kita.

Aku penasaran, jadi hanya kufokuskan pendengaranku ke Silvia Anggraini.

"Yah nggak papa 'kan, masih banyak waktunya?" Kakak kelas perempuan itu tidak merasa takut terhadap bentakan Silvia Anggraini.

Kakak kelas perempuan itu beralasan, bahwa tidak apa telat sedikit karena masih punya waktu. Tentunya, Silvia Anggraini memarahinya lagi.

"Kalau ada satu yang telat, semuanya bakal ikut telat! Makanya dibuat deadline. Kamu memang nggak kerasa telat, tapi temen-temenmu gimana?"

Apa yang dikatakan Silvia Anggraini benar. Tugasku bisa berfungsi lancar ketika tugas anggota lainnya sudah selesai. Maka dari itu, Majelis Perwakilan Siswa adalah sebuah kelompok. Setiap bagian tugas satu orang akan memengaruhi tugas orang lain.

"Ck!" Kakak kelas perempuan itu berdecak dan tidak berusaha menyembunyikan kejengkelannya. "Kan deadlinenya masih lama dari mulainya HUT."

"Memang supaya kita punya jarak waktu! Kalau ada masalah atau darurat apa, kita punya waktu membetulkan!"

"Ya ini sekarang daruratnya." Kata kakak kelas perempuan itu dengan nada datar.

"Hahhhh...! Kok kamu itu-!" Silvia Anggraini menghelakan nafas frustrasi.

Ketakutan Silvia Anggraini terhadap situasi darurat patutlah dipuji. Dia menjalankan tugasnya lumayan bagus dan logis. Tapi, Silvia Anggraini sebagai ketua sedang mengalami masalah dalam bidang sosial.

Menyadari bahwa kakak kelas perempuan itu tidak bisa digoyah, Silvia Anggraini mengalihkan ke topik lain. "Terus kamu nggak pernah ikut rapat, kenapa ya? Aku nggak pernah lihat kamu." Silvia Anggraini menyindir kesalahan lain yang diperbuat kakak kelas perempuan itu. "Kenapa nggak pernah? Alasanmu apa? Oh, apa kamu bantu kelas? Ikut ekstrakurikuler? Padahal sudah diberi tahu wajib ikut, kok telingamu nggak dipake?" Silvia Anggraini tiba-tiba bersikap sinis. Bahkan, aku terkejut.

Kukira Silvia Anggraini sudah berganti haluan. Apa stres mulai memakannya?

"..." Kakak kelas perempuan yang tadinya jelas terlihat tidak acuh, sekarang terlihat tersinggung. "Emangnya salah siapa kita harus kerja gini?! Kalau misalnya OSISmu nggak rusak loh, aku nggak perlu susah-susah. Semua orang nggak perlu susah-susah ngurus HUT ni." Kali ini, kakak kelas perempuan itu yang kembali menyindir.

"!!!" Wajah Silvia Anggraini menjadi pucat.

Sebenarnya, semua anggota di sini kurang lebih sudah tahu kenapa tugas mengurus HUT tahun ini lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya, dan semua anggota tahu betapa tidak bergunanya membahas itu sekarang.

Seharusnya, Majelis Perwakilan Siswa dibentuk bukan sebagai pengurus HUT sekolah sepenuhnya. Seharusnya, anggota Majelis Perwakilan Siswa dibentuk sebagai pendamping kegiatan-kegiatan lomba, penyampai informasi ke kelas mereka masing-masing, dan sudah selesai. Seharusnya, tugas Majelis Perwakilan Siswa hanya sekedar tenaga kerja fisik daripada tenaga kerja kantoran. Seharusnya, masalah mengurus uang, peralatan, jadwal acara, dan sebagainya, kebanyakan akan diurus oleh OSIS dan komite yang sudah dibentuk 3 bulan sebelumnya, dan semua itu dibantu guru. Namun karena pecahnya OSIS, semuanya menjadi kacau, dan persiapan HUT dimulai 2 bulan dari yang direncanakan, bukan 3 bulan sebelum HUT sekolah.

Majelis Perwakilan Siswa telah dibuat dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Para anggota sudah menerima faktanya dan menjalankan persiapan HUT dengan perasaan biasa-biasa saja.

Meskipun separah apa pun para anggota membenci Silvia Anggraini, mereka tetaplah makhluk sosial. Manusia didesain untuk tidak menyentuh topik sensitif yang dapat merusak "mood".

Namun, kakak kelas perempuan itu tetap melakukannya. Dan itu sangat efektif.

Silvia Anggraini tidak bisa membaca pikiran orang lain. Dia tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kita sedang pikirkan ketika kakak kelas perempuan itu menyentuh topik sensitif.

Ketidaktahuan akan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka lah yang membuat manusia menjadi mudah paranoid.

Padahal, sebenarnya para anggota sudah tidak terlalu peduli.

Namun bagi Silvia Anggraini, kegagalan tetaplah kegagalan. Dan faktanya, kegagalannya dalam mengurus OSIS di masa lalu, telah membebankan semua anggota tanpa sengaja.

Selama ini tidak ada orang yang membahas tentang masalah OSIS di depan wajahnya. Pikirannya tentang OSIS pasti sudah jauh terpendam. Pasti dalam lubuk hati Silvia Anggraini, dia mengira orang-orang sudah melupakan kegagalannya. Tapi ketika ada orang lain yang ternyata tahu dan membencinya karena kegagalan itu, entah betapa berat rasa bersalah yang dia rasakannya sekarang.

Silvia Anggraini merasa bodoh karena telah berpikir semuanya baik-baik saja. Silvia Anggraini merasa bodoh kegagalannya tidak menimbulkan hal negatif apa pun. Silvia Anggraini merasa bodoh karena berpikir naif.

Kalau begini, lebih baik orang-orang menyindir masalah OSIS setiap hari di depan wajahnya, supaya Silvia Anggraini tidak terlalu merasa sangat bersalah.

"a..." Sangat terasa sakitnya sampai mulutnya terbuka dan tertutup berkali-kali.

Aku tidak menyangka Silvia Anggraini bisa dipatahkan semudah ini. Entah apa yang terjadi di masa lalunya, sudah jelas Silvia Anggraini sangat menyesalinya. Informasi ini bisa berguna.

"...Kalau kamu nggak mau ngerjakan, ya sudah kembali ke kelasmu sana! Atau ke ekstramu sana! Aku saja yang ngerjakan!" Silvia Anggraini memutuskan untuk mengucapkan itu setelah kembali dari kejutannya.

"Hah." Kakak kelas perempuan itu kembali menjadi tidak acuh. Dia tidak terkejut diteriaki seperti itu.

Pandangan Silvia Anggraini kembali ke laptopnya dan terus memaku ke layar... seolah tidak ingin melihat mata orang lain di sekitarnya; tanda rasa bersalah.

Mataku mengikuti kakak kelas perempuan itu.

"Eh, gimana tadi?" "Pulang?" "Beneran?"

"..." Dia tidak mengatakan apa pun, hanya mengambil tasnya dari bangkunya dan teman-temannya ikut pergi keluar mengikutinya.

Sampai mereka keluar, mataku tidak lepas dari mereka.

Akibat cara Silvia Anggraini menindak situasi ini, tidak hanya kakak kelas perempuan itu saja yang keluar, tapi teman-temannya juga.

Aku tidak heran. Anggota-anggota di sini sudah membentuk kelompok sosial mereka masing-masing. Misalnya kakak kelas perempuan itu sendirian, tidak mungkin dia akan seberani itu di hadapan Silvia Anggraini. Dia merasa nyaman menentang Silvia Anggraini karena dia punya tempat untuk melarikan diri. Manusia merasa kuat dalam angka.

"..." Aku melirik sekitar.

Para anggota di ruangan ini telah jelas mendengar Silvia Anggraini. Mereka hanya berwajah pasrah. Memang tidak ada yang bisa mereka lakukan di situasi ini.

Tidak ada orang yang dekat dengan Silvia Anggraini kecuali Nathania Dea. Kalau misalnya ada salah satu anggota yang ingin melerai mereka, kemungkinan sukses yang terbesar adalah berbicara ke kakak kelas itu.

Tapi, manusia susah memedulikan orang lain di luar lingkaran sosial mereka. Kemudian yang mengusir kakak kelas perempuan itu adalah seorang ketua. Tidak ada jabatan yang lebih tinggi dari ketua selain guru di sini.

Setelah melihat Silvia Anggraini memarahi seorang kakak kelas, tidak ada yang berani mendekati Silvia Anggraini.

Ditambah lagi, yang memberontak adalah murid kelas 12 dan kebanyakan dari mereka sudah tidak menyukai Silvia Anggraini.

Apa yang dilakukan Silvia Anggraini terhadap kakak kelas perempuan itu adalah cara yang salah untuk menangani masalah ini. Aku bisa mengerti psikologi Silvia Anggraini dalam keputusannya mengusir kakak kelas tersebut. Mungkin keputusannya seperti ini yang menyebabkan pecahnya OSIS.

Silvia Anggraini menganggap bahwa jika seseorang tidak punya motivasi melakukan sesuatu, lebih baik mereka tidak melakukannya. Sayangnya, hampir semua anggota di sini tidak punya motivasi.

Tidak ada yang suka jadi sukarelawan. Aku bisa membayangkan di masa depan nanti, beberapa anggota akan mulai berhenti menghadiri rapat akibat kecemburuan. Bahkan, saat ini aku bisa melihat beberapa wajah anggota mulai bimbang.

Kesalahan Silvia Anggraini akan beriak dan memburukkan Majelis Perwakilan Siswa.

Hari ini adalah hari ulang tahun si kembar, Luki dan Luka.

Silvia Anggraini sibuk hari ini dan tinggal di ruang multimedia lebih lama, sehingga aku sampai di rumah terlebih dahulu.

Segera aku sampai di rumah, aku masuk ke kamarku dan ganti baju.

Kemudian, aku keluar dari kamar dan ke ruang tamu untuk membantu menyiapkan pesta ulang tahun Luki dan Luka.

Aku mengambil kue yang dibeli oleh ibunya Silvia Anggraini dari dalam kulkas. Aku menaruhnya di atas meja di depan Luki dan Luka. Setelah itu, aku menaruh dua lilin bersih ke atas kue.

Aku sudah menyiapkan korek api, dan aku pastikan bahwa korek api tersebut tidak pernah di dalam jangkauan Luki dan Luka; di dalam kantongku.

Televisi menyala, tapi mereka tidak bisa fokus ke televisi.

Mereka berdua saling berbisik-bisik satu sama lain dan terkikih-kikih.

"Bentar, tunggu kakak kalian sampai di rumah." Aku memberi tahu Luki dan Luka yang sedang duduk di sofa dan sudah tidak sabar lagi untuk memulai.

Aku berdiri lagi untuk mengambil beberapa piring dan garpu dari dalam lemari. Aku menaruh tumpukan piring dan garpu ke meja ruang tamu, di depan Luki dan Luka.

"Dia telat..." Aku menggumam kepada diriku sendiri selagi aku berjalan ke meja makan. "Aku text dia biar cepet pulang." Aku mengucapkannya cukup keras supaya ayahku dan ibunya Silvia Anggraini mendengarku.

"Oke." Ayahku menjawab.

"..." Ibunya Silvia Anggraini hanya mengangguk tanpa memalingkan kepalanya ke arahku.

Aku mengirimkan pesan lewat chat secara privat dan bukan lewat grup chat. Aku hanya dengan pasif bertanya, [masih lama?]

Aku tidak mendapatkan jawaban. Kalau Silvia Anggraini masih dalam perjalanan pulang, itu bisa menjelaskan kenapa dia tidak menjawab. Alasan lain adalah karena dia masih sibuk dengan kerja sehingga tidak sadar ada pesan masuk. Alasan satu lagi adalah dia membenciku, sehingga dia tidak mau membalas, bahkan membuka pesan yang masuk dariku.

Setelah menunggu beberapa saat, aku memutuskan untuk berdiri dari kursi dan menunjuk jariku ke handphone di tanganku. "Aku telepon dulu."

Tanpa menunggu izin atau jawaban, aku langsung keluar dari ruangan.

Aku masuk ke kamarku dan setelah aku menutup pintu kamarku, sebuah pesan masuk dari Silvia Anggraini.

[Sibuk]

Untung dugaanku benar bahwa Silvia Anggraini akan merespons setelah membaca pesanku. Mungkin berhubung sifatnya dan sebagai orang yang tegas. Walaupun dia sangat membenciku, dia tidak akan sampai melakukan sesuatu yang kekanak-kanakan seperti mengabaikanku. Manusia bernama "Silvia Anggraini" tidak akan pernah mengizinkan dirinya sendiri jatuh begitu rendah.

[Langsung pulang setelah selesai.] Aku memberitahunya seperti itu.

[Nggak perlu beri tahu]

Seperti yang Silvia Anggraini katakan, aku tidak perlu memberitahunya untuk langsung pulang ke rumah karena tidak sepertiku, dia tidak punya banyak teman, jadi dia tidak pernah diajak keluyuran.

[Yang terjadi hari ini, jangan dipedulikan.]

Silvia Anggraini hanya membaca tulisan itu. Setelah aku mengirimkan pesan itu, tidak ada lagi pesan yang masuk dari Silvia Anggraini.

Pesan terakhir yang kukirim kepadanya itu sudah jelas menimbulkan efek kebalikannya; itu justru semakin mengingatkannya.

Setengah jam telah lewat. Kami semua masih menunggu Silvia Anggraini sampai di rumah. Aku menemani

Silvia Anggraini sampai di depan rumah.

Kami semua mendengar suara sepeda berhenti dan sedang diparkir.

"...!" Ketika Silvia Anggraini masuk ke ruang tamu, dia berhenti di tempat.

"Kak Silvi!" Salah satu adik kembar berteriak menyambutnya.

"Eh..." Silvia Anggraini tidak tersenyum atau menyambut kembali adik-adiknya.

Menyadari keanehannya, aku berdiri dan menghampiri Silvia Anggraini dengan cepat.

"Eh, tadi ada apa aja di Majelis..." Aku berbicara sedikit keras supaya mereka mendengar selagi menarik lengannya Silvia Anggraini. "Kok lama banget sih tadi? Apa mestinya tadi aku nggak pulang dulu?"

Aku menarik Silvia Anggraini keluar ruangan dan keluar rumah.

"Apa-apaan?!" Silvia Anggraini melepaskan peganganku dengan kasar.

"Kamu lupa?"

"Hah? Lupa apa?"

"Ultah adik-adikmu."

"Memangnya kenapa kalau aku lupa?" Muncul sedikit rasa malu di raut mukanya. Nada suaranya sangat berusaha menyembunyikan rasa malu itu. Aku menangkap semuanya itu.

"Ini adik-adikmu. Kenapa kamu bisa lupa?" Aku menyampaikan fakta bahwa Luki dan Luka adalah saudara kandung Silvia Anggraini.

"Ya, maaf." Tidak ada suara tulus dari permintaan maafnya. "Aku lupa karena kejadian tadi siang."

Aku tidak menyalahkannya. Yang kudengar dari teman-temanku, tidak heran ketika seorang anggota keluarga melupakan hari ulang tahun sesama anggota keluarganya. Tentunya itu tergantung masing-masing keluarga, tapi dari yang kudengar, banyak yang tidak ingat ulang tahun orang tua mereka.

"Hah..." Aku menghelakan nafas dengan berlebihan.

"..." Aku melihat kening Silvia Anggraini mengerut.

"Ya sudah, tidak masalah. Yang penting mereka tidak tahu, dan kamu sudah punya kado."

"A..." Silvia Anggraini menghisap udara seketika dia mendengar kata "kado".

"Kamu lupa...?"

"..."

"Ini adik-adikmu." Aku mengulang fakta ini lagi.

"Terus, apa hubungannya sama kamu?!" Dia berteriak untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Kita sudah menunggu dari tadi. Tapi kamu lupa karena kerjaan Majelis?"

"Oh, 'lupa karena kerjaan Majelis'?!" Dia berteriak marah dengan sindiran tajam. Rupanya aku telah menyentuh satu titik yang tidak dia ingin dengar. "Salahku tadi kakak kelas itu telat dan merepotkan semuanya?! Salahku?! Kenapa kamu nggak bantu aku coba?!"

"..." Aku memiringkan kepalaku sedikit ke bawah. Mataku tidak menemui matanya. Silvia Anggraini sedang melampiaskan kemarahan dan frustrasinya.

"Kenapa kamu nggak menghentikan mereka?!"

"..." Silvia Anggraini sendiri tahu bahwa ini bukan salahku dan percuma sekali berteriak padaku.

"Kenapa kamu pulang duluan kalau kamu pingin aku cepat selesai, ha?!"

"..." Itu adil. Aku memang sengaja untuk pulang terlebih dahulu dan tidak membantunya sama sekali dengan sepenuh pengetahuan bahwa itu akan semakin menyibukkan Silvia Anggraini.

"Memangnya kenapa kamu peduli banget sama keluargaku?! Kamu?! Dari semua orang di sini, nggak mungkin kamu peduli!"

"Kak Silvi!" Tiba-tiba pintu terbuka dan Luka berteriak.

"!"

Aku dan Silvia Anggraini sekarang bisa melihat siapa yang di balik pintu.

Meskipun ayahku dan ibuku berusaha menarik Luki dan Luka kembali ke dalam untuk menjauhkan mereka dari aku dan Silvia Anggraini, Luka lepas dari pelukan dan langsung lari menghadap pintu rumah dan menghadap kakaknya. Itu adalah situasinya sekarang.

"Jangan tengkar!"

"Nggak gitu, Luka. Kita nggak tengkar-"

"Tapi kenapa tadi teriak-teriak?!"

"Nggak... Itu karena tadi sekolah-"

"Kenapa sih Kak Silvi benci kakak satunya?!"

"Bukan gitu..." Silvia Anggraini langsung melirik ke arahku, seolah meminta tolong kepadaku.

"Kita baik-baik aja kok..." Dengan sengaja, suaraku dan tingkah lakuku tidak meyakinkan mereka.

Dari awal, aku dengan sengaja membiarkan Silvia Anggraini berteriak marah di luar rumah dengan penuh pengetahuan bahwa Luki dan Luka bisa mendengar kita. Sebuah pintu tidak akan terlalu menghentikan suara dari luar rumah.

Aku bisa saja menghentikannya atau menyuruhnya menurunkan suaranya, tapi kenapa aku harus lakukan itu?

Ketika Silvia Anggraini meneriakiku, aku tetap diam. Aku harus terlihat sebagai korban di mata Luki dan Luka.

Aku telah mempertimbangkan apakah lebih baik aku membantah kembali atau tidak. Jika aku bertengkar sungguhan, itu bisa traumatis bagi Luki dan Luka. Tapi aku tidak terlalu tahu apa gunanya bagiku. Jadi, aku tidak mengatakan apa pun ketika Silvia Anggraini sedang memarahiku.

Kemudian, Luki lepas dari pegangan ibunya dan menuju ke kita juga. "Ini ulang tahun kita... Jangan tengkar..."

"Luki..."

"Apa Kak Silvi lupa ulang tahun kita...?" "Kak Silvi..."

Kelihatannya air mata akan mulai bercucuran dari Luki dan Luka.

"Kak Silvi nggak punya kado buat kita..." Luki menggumamkan itu. Rupanya dia juga mendengar pembicaraan kami.

"Nggak, Luki! Aku ingat! Aku mau beli buku itu loh! Buku bergambar itu!"

"..." Seketika itu, Luki dan Luka berhenti dan melihat ke atas, ke wajah Silvia Anggraini.

Setelah berhasil mendapatkan perhatian adik-adiknya, Silvia Anggraini menenangkan nada suaranya yang sesuai ketika sedang berbicara kepada anak kecil. "Cuman aja buku itu belum rilis kemarin-kemarin. Itu baru rilis hari ini-"

"Bohong! Aku benci Kak Silvi!" Setelah meneriakkan itu, Luka lari kembali ke dalam rumah.

"Luka sayang!" "Luka!" Ibunya Silvia Anggraini dan Silvia Anggraini meneriakkan nama Luka bersamaan.

Setelah itu, Luki juga ikut lari mengejar Luka.

Ibunya Silvia Anggraini dan ayahku mengejar mereka berdua ke dalam rumah.

"...Aku beli kado dulu!" Silvia Anggraini berteriak keras ke dalam rumah kemudian lari mengambil sepedanya. Dia ingin lari dari rasa malu.

"Bentar!" Aku meneriakkan itu ke Silvia Anggraini, tapi dia tidak berhenti atau memperlambat diri.

Aku menutup pintu rumah dan kemudian mengejar Silvia Anggraini.

Aku menggenggam ganggang sepedanya untuk menghentikannya. "Aku boncengkan!"

"Ha?!"

"Kamu pasti capek, 'kan? Aku boncengkan." Aku menawarkan Silvia Anggraini tumpangan dengan alasan Silvia Anggraini lelah setelah pelajaran sekolah dan kerjaan Majelis hari ini.

"Nggak usah! Kamu masuk rumah aja!"

"Aku juga lupa kado." Aku tidak menunggu izinnya lagi dan mendorongnya mundur.

"..."

Aku menaiki sepeda dan Silvia Anggraini duduk di belakangku.

Kelihatannya, setelah mendengar itu dariku, tenaga dan adrenalin Silvia Anggraini hilang. Entah itu dikarenakan lega karena telah menemukan kawan yang senasib, atau dikarenakan dia telah mendengar alasan yang cukup logis. Manusia suka mendengar sesuatu yang mereka ingin dengar.

"Hngrh..." Aku mengayun sepedanya Silvia Anggraini dengan sekuat tenaga.

Ini bukan pertama kalinya aku memboncengkan seseorang. Beberapa kali aku memboncengkan Alex Mahes dan Calista Anita. Aku yakin aku tidak akan kehilangan keseimbangan dengan tambahan berat satu manusia di belakangku.

Setelah beberapa detik aku mengayun, aku bertanya ke Silvia Anggraini tanpa menengok ke belakang. Aku tidak bisa tahu wajah apa yang dia buat. "Di toko apa?"

"...Toko buku dekat sekolah."

"Oke. Bawa uang?" Karena aku tidak membawa dompetku. Aku membawa uang di sakuku, tapi tidak banyak.

"Bawa. Aku memang mau mampir di sana sebelum pulang."

Tapi kamu lupa. "Kalau misalnya buku itu tidak ada?"

"Nggak mungkin. Sudah aku tanyakan dengan yang kerja di sana."

"Oke."

Hanya itu percakapan kita selagi aku mengayuh sepeda ke toko buku yang dimaksud.

Aku tidak pernah berpikir bahwa buku bergambar yang dimaksud oleh Silvia Anggraini adalah sesuatu alasan yang dibuat-buat olehnya. Dia tidak akan berbohong tentang hal sepenting itu. Dia bukan tipe orang yang akan mengarang sebuah alasan.

Alasan yang Silvia Anggraini berusaha sampaikan kepada adik-adiknya adalah alasan sungguhan. Dia telah menunggu buku bergambar untuk sampai di toko buku hari ini. Sayangnya, dia lupa berhenti sebentar di toko buku dalam perjalanan pulang.

Silvia Anggraini pasti mengira itu adalah ide yang brilian untuk memberikan kado buku bergambar terbaru oleh pengarang yang sama yang menciptakan buku bergambar kesukaan mereka.

Rupanya mereka selalu membaca buku bergambar itu di kamar mereka. Sesuatu yang tidak aku ketahui, karena aku selalu menemani mereka di ruang tamu.

Itu menjelaskan betapa pentingnya kado ini bagi hubungan mereka.

Mungkin aku pernah mendengar Luki dan Luka menceritakannya ke aku, tapi aku tidak terlalu peduli. Aku tidak bisa memedulikan semua hal dengan kesibukan di sekolah. Silvia Anggraini sendiri saja sampai lupa.

Ketika kami sampai di toko buku dan kami turun dari sepeda, aku baru teringat Silvia Anggraini masih memakai seragam sekolah dan mencangklong tasnya yang berisi buku-buku dan sebuah laptop.

Seharusnya aku sadar lebih awal kenapa beban Silvia Anggraini lebih berat dari yang kukira. Rupanya kepalaku sangat berkabut.

Di toko buku ini, kami tidak mengatakan apa pun pada satu sama lain.

Silvia Anggraini membayar buku bergambar tersebut, kemudian kami segera dalam perjalanan pulang.

Silvia Anggraini tidak membungkus buku itu dengan bungkus kado, karena itu percuma. Luki dan Luka sudah tahu mereka akan mendapatkan apa untuk hadiah ulang tahun mereka.

Silvia Anggraini memasukkan buku itu ke tasnya dan kita berangkat pulang menuju rumah.

Posisi Silvia Anggraini sama seperti tadi. Dia duduk di belakangku selagi aku mengayuh sepeda.

""...""

Dalam perjalanan pulang, kami menjadi lebih tenang dan tenteram.

Waktu yang lama telah berlalu. Silvia Anggraini yang duduk di belakangku tidak melakukan apa-apa. Dia dapat merenungkan banyak hal sendirian. Karena semuanya itu, kepala Silvia Anggraini sudah menjadi lebih dingin. Angin sore menjelang malam yang mengenai wajahnya, juga membantunya menjadi lebih tenang.

"...Kenapa kamu nggak membeli buku?" Silvia Anggraini bertanya dengan suara yang sangat tenang. Dia sedang membicarakan alasan aku ikut Silvia Anggraini. Tadi, aku memberitahunya bahwa aku juga lupa membeli kado.

"Tadi hanya kebohongan. Kado yang sudah kusiapkan untuk Luki dan Luka masih ada di bawah kasurku."

"Oh." Tidak ada suara kejut, hanya pernyataan kesadaran akan sebuah fakta. "Terus kenapa ikut aku?"

"Itu karena jika aku menemani mereka, aku hanya akan terlihat lebih baik dari kamu. Aku tidak ingin itu terjadi. Dan sebenarnya aku ingin menawarkan diriku untuk membelikan buku itu supaya kamu berbaikan dengan mereka, tapi bisa saja di mata mereka, jika kamu menyuruhku membelikan buku itu, hadiah ulang tahun mereka bisa terlihat tidak tulus hati darimu. Jadi aku memutuskan bahwa membeli hadiah untuk mereka bersamamu dapat menunjukkan mereka bahwa kita betul-betul tidak ada masalah."

"..." Aku tidak bisa melihat wajah Silvia Anggraini, yang kutahu hanyalah kediaman saja darinya. Dia tidak meminta penjelasan lagi tentang alasanku.

"...Itu buku bergambar dikarang oleh pengarang yang sama dengan buku bergambar kesukaan mereka?" Aku memastikan fakta ini sekali lagi kepada orang yang lebih tahu.

"...Ya." Apa yang sedang terjadi dalam pikirannya? Silvia Anggraini hanya menjawab dengan lesu; tidak ada kekuatan darinya. Keputusan yang bagus olehku untuk memboncengkannya.

"Meskipun pengarangnya sama, isinya bisa berbeda." Aku mengatakan ini dengan maksud bahwa buku bergambar ini bisa memiliki isi yang tidak sesuai ditunjukkan untuk anak-anak.

"Bukunya itu kelanjutan ceritanya. Dan aku sudah baca sampelnya di internet."

"Oh?" Silvia Anggraini sudah lebih siap dari yang kuduga.

"Aku penasaran apa mereka sudah mulai..."

"Di situasi seperti ini?" Jika mereka betul-betul sudah memulai pesta ulang tahunnya, itu akan menjadi pesta ulang tahun terburuk bagi Luki dan Luka. "Lagi pula, mereka tidak bisa mulai."

"Huh? Kenapa?"

"Karena korek apinya masih di kantongku."

"..." Meskipun saat ini aku tidak bisa melihat wajah Silvia Anggraini, aku bisa tahu bahwa Silvia Anggraini sedang terdiam tercengang.

Apa itu berlebihan? Apa aku menunjukkan terlalu banyak? ...Ah, itu tidak penting. Itu tidak mengubah kesan Silvia Anggraini tentangku.

"Selamat ulang tahun, Luki, Luka." Silvia Anggraini berlutut ke lantai dan memberikan buku itu kepada mereka.

""Wahh..."" Mata mereka bercahaya. Mereka bisa membaca judul buku itu dan mereka langsung tahu bahwa itu kelanjutan dari cerita buku bergambar kesukaan mereka.

Tapi kaki mereka tidak bergerak mendekati Silvia Anggraini. Perasaan mereka masih berkonflik.

"..." Silvia Anggraini hanya tersenyum kaku. Dia terlihat sedang menahan tangis.

"...Buku itu sungguhan sampai di toko hari ini, kebetulan hari ulang tahun kalian." Aku berbicara kepada Luki dan Luka. "Kakak kalian lupa mampir ke toko buku karena sibuk mengerjakan kerjaan di sekolah tadi. Salahku juga nggak membantu Silvia."

""..."" Luki dan Luka diam dan melihat satu sama lain.

"Maafkan kakakmu, boleh?" Silvia Anggraini menatap mereka dengan takut dan sedih.

"Kak Silvi!!!" "Uwah!!" Mereka berdua langsung memeluk Silvia Anggraini.

"Maaf- Maaf, maaf, maaf! Kakakmu ini bodoh banget!"

Mereka berdua menangis di depan kami semua. Adegan emosional sedang terjadi di dalam rumahku dan di tengah ruang tamu.

Banyak hal terjadi pada hari ini. Sungguh... sebuah roller coaster emosi.

Jika aku tidak ada depan banyak orang, aku akan menghelakan nafas yang panjang.

"..." Di ujung penglihatan periferku, ibunya Silvia Anggraini mengintip wajahku.

"..." Aku langsung menyadari itu dan menghapus senyumanku. Hanya mataku yang menemui matanya. Apa yang dia harapkan dariku? Senyuman asli?

"!" Melihat itu, dia segera menurunkan kepalanya, menghilangkanku dari pandangannya.

Setelah waktu yang lumayan lama berlalu, aku mengeluarkan korek api dari kantongku dan menyalakan lilin. Aku juga tidak lupa memberikan Luki dan Luka kado yang sudah aku beli.

Aku tidak bisa merasakan kue. Namun opiniku tidak penting bagi mereka saat ini.