Hari ini hari minggu. Aku tidak heran semuanya masih ada di rumah dari bangun tidur.
Hari minggu biasanya merupakan hari di mana ayahku dan aku membersihkan rumah, karena kami biasanya selalu sibuk dengan kerja dan sekolah.
Tapi hari minggu kali ini sedikit berbeda dengan keberadaan keluarganya Silvia Anggraini. Kami sudah selesai membersihkan rumah dengan bantuan mereka sejak pagi tadi.
Saat ini, aku sedang bermain-main dengan Luka dan Luki seperti biasa, dan Silvia Anggraini sedang mengerjakan tugasnya di ruang tamu seperti biasa. Mungkin dia mengerjakan tugasnya di ruang tamu untuk mengawasiku sekalian.
Aku berencana pergi ke mal hari ini. Belakangan ini, aku sudah tidak perlu lagi membeli bahan makanan karena ibunya Silvia Anggraini setiap beberapa pagi sekali membeli bahan makanan di pasar. Aku sebagai seorang murid tidak pernah punya cukup waktu untuk membeli bahan makanan di pasar pagi hari, jadi selama ini, aku selalu membeli bahan makanan di mal. Aku dengar harga di pasar bisa lebih murah dibandingkan di mal.
Terakhir kali aku lihat, ibunya Silvia Anggraini adalah teman kerja ayahku. Itu artinya, seharusnya, dia tidak punya waktu untuk membeli bahan makanan di pagi hari karena jam kerja ayahku dimulai dari pagi sampai sore.
Lagi pula, dia seharusnya tidak memiliki pengetahuan cara kerja pasar di pagi hari karena seharusnya dia tidak punya pengalaman, 'kan? Atau mungkin saja sebelum dia cerai, dia adalah ibu rumah tangga? Maka dari itu dia pandai masak dan bersih-bersih?
Aku tidak tahu dengan detail apa yang terjadi dengan pekerjaan ibunya Silvia Anggraini. Aku sudah bertanya kepada ayahku, tapi kurang lebih dia menjelaskan bahwa ini bukan urusanku. Sebagai seorang anak, aku tidak perlu khawatir tentang hal ini. Memang betul alasan ayahku. Kewajiban mereka sebagai orang tua selalu di luar genggamanku. Aku hanya penasaran saja, jadi aku melepaskan hal ini dengan mudah. Meskipun ayahku tidak memberitahuku, aku sebenarnya sudah tahu bahwa ibunya Silvia Anggraini berhenti bekerja. Itu menjelaskan juga siapa pelaku yang mengantar-jemput Luka dan Luki.
Jika ibunya Silvia Anggraini sudah berhenti bekerja, itu artinya mereka berdua sangat berkomitmen untuk menikah. Kemungkinan, ini yang mereka rencanakan dari awal. Mereka berdua membuat Silvia Anggraini, Luki, dan Luka tinggal di rumah keluargaku untuk menjadi terbiasa. Jadi ketika mereka berdua menikah secara legal, tidak akan ada hal yang berubah. Silvia Anggraini, Luki, dan Luka tidak akan merasakan perubahan dari sebelum dan sesudah menikah. Tentu saja pemikiran tersebut tidak normal. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk melakukan hal rumit seperti ini. Jika betul ini adalah rencana mereka, luar biasa.
Rencana ini dikhususkan untuk aku dan Silvia Anggraini. Silvia Anggraini yang sekarang tidak merasakan kegentingan situasi ini. Saat ini, Silvia Anggraini tinggal di rumah keluargaku dengan pola pikir bahwa suatu hari, keluarganya akan kembali ke rumah awal. Ketika hari di mana kita dibicarakan tentang pernikahan mereka, kemungkinan, Silvia Anggraini tidak akan terlalu menentang. Pada hari itu, aku tidak akan heran jika pemikiran Silvia Anggraini telah menjadi: "pernikahan hanya menyebabkan dua orang tinggal di rumah yang sama".
Aku berencana pergi ke mal hari ini bukan dengan tujuan membeli bahan makanan, tapi untuk membeli hadiah untuk ulang tahun Luki dan Luka, dan tugasku sebagai anggota Majelis Perwakilan Siswa. Aku perlu mendata lokasi dan harga bahan-bahan di berbagai toko. Jadi, sebenarnya aku tidak hanya mengunjungi mal, aku juga berencana mengunjungi toko-toko lain.
"Aku berangkat dulu." Sapaku ke Silvia Anggraini yang sedang duduk di ruang tamu. "Kalau ada tambahan lagi, chat aku." Aku sedang membicarakan bahan yang perlu dicek.
"Oke. Hati-hati." Silvia Anggraini menjawab tanpa menengok ke belakang, matanya terpaku di layar laptop. Silvia Anggraini tidak akan menyampaikan kata-kata sebaik itu jika tidak di depan orang tua kami.
Meskipun ini hari minggu, kami semua anggota Majelis Perwakilan Siswa tetap berhubungan satu dengan yang lain melalui aplikasi komunikasi. Justru karena ini hari minggu, kita bisa lebih leluasa. Tentu saja ada yang sibuk dengan urusannya sendiri karena pada dasarnya ini adalah hari libur, jadi tidak ada yang bisa memaksa satu sama lain.
Dengan pakaian santai dan rapi, aku sedang memakai sepatu di dekat pintu rumah, bersiap berangkat.
"Nak, aku antarkan." Ayahku tiba-tiba datang dari belakang. Dia sedang menawarkan aku untuk diantarkan melalui sepeda motor.
"Eh, nggak usah. Aku perlu naik sepeda soalnya nanti ke toko-toko lain, kok."
"Nggak apa, aku juga mau ikut kamu." Dalam arti ini, ayahku tidak bermaksud hanya mengantar-jemput saja, tetapi ikut berjalan-jalan bersamaku. "Sudah lama nggak jalan barengan."
"...Cuman ke sana kemari doang." Aku tidak punya alasan bagus untuk menolaknya. Aku juga tidak sedang melakukan hal-hal aneh yang perlu kusembunyikan darinya. Dengan bantuannya, aku juga bisa menyelesaikan tugas ini lebih cepat dari prediksiku, dan aku suka efisiensi. Aku hanya mengatakan ini supaya aku tidak terlihat sangat menginginkan bantuannya. Aku tidak suka berhutang budi, meskipun kepada ayahku sendiri.
"Nggak apa. Sungguhan."
"Ya udah, ayo."
"Oke. Tunggu bentar aku siap-siap." Ayahku masuk ke kamarnya, mengambil barang-barang yang diperlukan.
Aku punya perasaan aneh dari ayahku. Aku punya perasaan apa pun alasan yang kulemparkan, dia akan tetap memaksakan dirinya untuk ikut denganku.
Seharusnya, dia tidak tahu bahwa aku keluar bukan untuk belanja atau senang-senang, tapi untuk tugas Majelis Perwakilan Siswa. Aku tidak membicarakan hal ini sama sekali dengan Silvia Anggraini di rumah. Kami berdua mendiskusikannya dengan anggota-anggota lain di grup chat. Itu artinya, dia tidak peduli alasannya apa, dia hanya ingin berada di luar rumah bersamaku.
Dia ingin berbicara sendirian denganku. Itu masuk akal. Rumah kami berisi orang-orang asing, jadi dia perlu alasan bagus untuk keluar rumah hanya denganku saja. Padahal, kita bisa menggunakan handphone.
'Klik' Aku sedang mengambil foto salah satu perabotan kemudian mengirimkannya ke grup chat.
Kami sedang ada di mal bagian toko mebel. Ayahku sedang berdiri di belakangku selagi aku mengirimkan foto dan pesan kepada anggota-anggota lain di grup chat. Meskipun aku tidak sedang menghadap ayahku sekarang, aku bisa merasakan kecanggungan situasi ini.
"..." Sejak dari tadi, ayahku tidak mengatakan apa pun. Dia tidak berusaha mengajakku berbincang-bincang sama sekali, padahal sudah lama kita berdua sendirian.
Sepengetahuanku, toko mebel di toko mana pun tidak akan pernah ramai. Jarang sekali orang-orang berpapasan atau melewati kita. Jika mereka ingin lewat, mereka hanya mengambil jalan lain. Ini adalah toko mebel, tentunya akan ada banyak tempat kosong untuk dilalui. Seleluasa itu tempat ini.
Sekarang adalah waktu yang cocok baginya untuk memulai pembicaraan serius.
"Nak."
Akhirnya. "Ya?" Aku tetap menghadap ke depan dan melihat ke layar handphone, seolah aku menganggap percakapan ini akan biasa saja.
"Menurutmu keluarga ini bagaimana?"
"Keluarga ini, ya?" Aku menyuarakan pertanyaan selagi berpikir.
"..."
Ini bukan lagi keluarga yang kukenal beberapa minggu lalu. Ini adalah keluarga dengan ibu dan anggota keluarga yang baru. Jujur saja, aku tidak terlalu khawatir tentang hal internal keluarga. Aku lebih khawatir terhadap hal eksternal.
"Aku denger tetangga..."
"Oh." Dengan satu kalimat yang simpel saja, ayahku langsung menangkap maksudku.
Ini bukanlah taman Eden. Ditambah lagi, kita sedang berada di negara Indonesia. Pernikahan adalah topik yang sensitif di sini, di mana norma dan agama sangat terjalin di kehidupan masyarakat.
Aku akan jadi lebih heran kalau tetangga kami menutup mata ketika melihat ada perempuan yang masuk-keluar rumah kami seenaknya. Aku sedang berpikiran bagaimana caranya menyelesaikan masalah eksternal ini...
"Nggak usah khawatir tentang itu, nak. Itu masalahku- masalah kami berdua. Masalah orang dewasa. Kamu enjoy sekolah aja." Dia merusak rambutku yang rapi, seolah mengatakan aku masih pendek dan seorang anak kecil tidak perlu memerhatikan apakah rambutnya rapi atau tidak.
"..."
Apa yang dikatakan ayahku memang benar. Seorang anak SMA tidak perlu dan tidak akan efektif untuk menyelesaikan masalah keluarga di masyarakat.
Jika ayahku dan ibunya Silvia Azure sudah memiliki solusinya, aku tidak perlu bertindak kalau begitu.
"Terus? Selain itu? Ada masalah lain? Gimana? Ibunya Silvia?"
"Ya, baik-baik aja." Aku memberinya jawaban netral dan tetap berpura-pura tidak terlalu penting.
"Beneran?"
"Beneran. Kenapa emangnya? Kalau mau nikah ya silakan nikah."
"Bukan gitu..." Ayahku mulai merasa putus asa karena melihatku masih tidak paham. "Kalau kita beneran nikah, dia akan jadi ibumu, 'kan? Kamu nggak apa? Kamu..." Kata-katanya terputus di situ. Entah dia kehilangan kekuatan atau terlalu takut untuk mendengar jawabanku.
"Aku betulan nggak apa. Terakhir kali 'kan aku juga bilang gitu. Orangnya kelihatan baik."
"Bukan gitu juga. Lebih dari itu. Bukan sebagai istriku, tapi sebagai ibumu."
"?"
"Dia berusaha menjadi ibu yang baik bagimu, nak."
"..." Jadi begitu.
Tidak mungkin aku tidak menyadari bahwa ibunya Silvia Anggraini telah berusaha menjadi lebih dekat denganku. Hanya saja, aku meremehkan betapa tulus niatnya itu.
Tidak heran dia lebih mudah didekati dan lebih terbuka dari yang kuperkirakan. Aku kira itu hanya sifatnya saja, ternyata bukan. Lumayan juga ibunya Silvia Azure punya maksud baik.
Kedua kata "istri" dan "ibu" bisa berarti sama, namun maknanya berbeda. Aku bisa memandang ibunya Silvia Anggraini sebagai "istri ayahku" dan sebaliknya, dia bisa memandangku sebagai "anak suamiku".
Ayahku mengajakku berbicara hari ini, mungkin karena dia mendengar keluh kesahnya ibunya Silvia Anggraini.
Memang betul dugaan mereka berdua. Tidak pernah sekalipun aku menerima ibunya Silvia Anggraini sebagai ibuku sendiri. Itu memang terdengar dingin, tapi memang itulah yang kuinginkan.
Satu-satunya waktu aku berbicara dengannya dengan sukarela adalah tentang hal-hal tidak penting atau ketika aku ingin mengetahui lebih banyak tentang Silvia Anggraini. Aku membuat semacam garis pembatas tak terlihat antara kita berdua.
Seperti yang kukatakan pada ayahku sendiri, aku tidak berpikir ibunya Silvia Anggraini adalah orang yang jahat atau tidak pantas bagi keluargaku. Fakta bahwa ibunya Silvia Anggraini tidak hanya ingin terikat dalam "tanggung jawab ibu" dan betul-betul ingin menganggapku sebagai anaknya sendiri, patut dihormati dan tidak mengherankan. Dia adalah ibunya Silvia Anggraini dan wanita yang dipilih ayahku untuk dicintai. Aku tidak akan senyaman ini jika dia tidak memiliki dua kedudukan tersebut.
Aku tidak yakin wanita lain akan mengambil kesimpulan dan pemikiran yang sama dengan ibunya Silvia Anggraini. Aku diberkati karena telah ada wanita sebaik dirinya yang ingin menjadi bagian dari keluarga ayahku.
"Hm... Oke!" Aku teriak tiba-tiba.
"Apanya?"
"Nanti malam aku ajak omong."
"Beneran?" Muncul sebuah lengkungan di mulut ayahku.
"Beneran."
Aku dan ayahku pergi ke toko mainan untuk mencari hadiah untuk ulang tahun Luki dan Luka. Karena tidak ada mainan yang kuharapkan di mal, aku memutuskan untuk pergi ke toko mainan daripada mencari di dalam mal.
Mainan yang sedang kucari adalah yang mereka katakan padaku ketika aku sedang menemani mereka bermain. Rupanya mainan tersebut adalah mainan yang berhubungan dengan acara televisi anak-anak. Aku tahu mainan yang dimaksud karena aku ikut menonton bersama mereka beberapa kali.
Ayahku memutuskan untuk membelikan mereka tas yang ada gambar berhubungan dengan acara televisi anak-anak. Dengan bantuanku, ayahku berhasil memilih tas yang tepat. Tidak lucu jika tas yang dia beli tidak ada hubungannya dengan acara televisi kesukaan mereka.
Untungnya, toko di mana kita membeli hadiah ini menyediakan pelayanan membungkus hadiah. Kita tidak perlu lagi membeli bungkus kado dan kesusahan membungkus kado sendiri.
Kami tidak punya banyak pengalaman membungkus kado. Apalagi ayahku.
Aku sempat merayakan ulang tahun untuk beberapa temanku. Sedangkan ayahku hampir tidak memiliki pengalaman membungkus kado karena dia sudah dewasa. Dia tidak punya teman dewasa yang menginginkan hadiah terbungkus dengan warna-warni.
Aku sudah SMA, jadi kami berdua sepakat tidak perlu lagi repot-repot membungkus kado atau melakukan kejutan ulang tahun. Dan meskipun aku lebih muda dari sekarang, kami tidak akan merayakan ulang tahunku dengan kado atau kejutan.
Sejak ibuku meninggal dunia, kami selalu merayakan ulang tahun kami berdua dengan makan malam di luar rumah dan menghabiskan uang sedikit lebih banyak lewat makanan yang mewah. Ayahku merasa bersalah, tapi aku selalu bilang bahwa aku tidak peduli.
Kami pulang dengan keresek hitam supaya Luki dan Luka tidak melihat tanpa sengaja apa yang telah kami beli.
Setelah kami sampai di rumah, aku menyimpan hadiah mereka di bawah kasurku.
Malam itu, Silvia Anggraini tidur lebih awal dari biasanya. Mungkin, dia lelah karena telah bekerja dari pagi. Kebetulan sekali aku ingin berbicara serius dengan ibunya sendiri.
Setelah menggendong Luki dan Luka ke tempat tidurnya, ibunya Silvia Anggraini kembali lagi ke ruang tamu. Aku sedang mencuci perangkat makan di dapur setelah makan malam, selagi menunggu dia kembali.
Selagi pikiranku kosong, aku mendengar langkah kaki mendekatiku.
"Aku bantu, ya?"
"..." Aku tidak mengatakan apa pun, hanya tersenyum dan melangkah ke samping untuk memberinya ruang untuk berdiri di sampingku. Suara air deras menggema ke seluruh ruangan, tapi aku masih tetap bisa mendengar suaranya jelas karena aku berdiri dekat di sampingnya.
"...Ayahmu tadi sudah ngomong ke aku. Makasih, nak." Tangan kami tetap bekerja mencuci perangkat makan.
"..." Aku masih memasang senyumanku. Tadi, aku menyuruh ayahku untuk memberitahukan kepada ibunya Silvia Anggraini bahwa aku ingin berbicara privat dengannya, sehingga menyebabkan keadaan saat ini.
"Aku khawatir dari dulu, nak. Karena 'kan di keluarganya orang lain. Waktu aku dengar ayahmu punya anak, sama kayak keluargaku, aku takut kamu nggak suka sama aku." Dia tersenyum lebar. Berdiri di sampingnya saja, aku bisa merasakan semacam aura bunga-bunga.
"Hm..." Aku mengangguk untuk menandakan bahwa aku paham apa yang dia katakan. Kekhawatirannya dapat dimengerti. Mataku tetap terpaku kepada air, sabun, dan perangkat makan di tanganku. Akan sangat merepotkan jika sampai pecah.
"Puji Tuhan sekarang nggak apa. Mungkin setelah HUT, kita bisa keluar makan bersama."
"..." Apa mungkin dia salah paham tentang semuanya ini?
"Oh ya, kamu nggak suka makan apa? Karena semua makanan kamu pasti habisin. Luki dan Luka 'kan masih kecil, jadi mereka berdua nggak suka sayuran. Hehe. Dulu Silvi juga gitu; nggak suka sayuran." Katanya dengan main-main sambil mencondongkan mulutnya ke telingaku, seolah memberi gerak-isyarat dia tidak ingin orang lain mendengar kami. Pundak kami bersentuhan.
"Haha..." Aku masih memasang senyuman masam.
"Ah... nggak sangka jadi kayak gini. Aku sering bayangkan kalau misalnya Silvi itu cowok, mungkin kayak gini ya rasanya? Kita kayak keluarga beneran-"
"Piringnya." Suara berat keluar dari mulutku dan memotong kata-katanya. Aku menunjuk ke rak perangkat makan karena raknya lebih dekat di dirinya. Suaraku keluar lebih berat dari yang kuharapkan.
Itu menyebabkannya berhenti dan menengok ke arahku. "Oh! Oke." Menangkap maksudku, dia segera mengabaikan suara beratku tadi, mengambil piring yang sudah kukeringkan dari tanganku, dan meletakkannya ke rak perangkat makan yang kering. Kemudian, dia mengambil satu piring kotor dari tumpukan dan memberikannya ke aku.
"..." Aku menangkap piring tersebut tapi tanganku berhenti, menyebabkan kami berdua masih memegang piring yang sama dari kedua sudut.
"...Kenapa?" Dia bertanya sambil terlihat khawatir.
"..."
Hanya ada suara air deras keluar dari keran dan mengenai keramik.
Kami berdua berdiri saling berhadapan. Matanya melirik ke mataku untuk melihat arti dari tindakanku.
Waktu seolah berhenti. Aku tidak mengatakan apa pun dan dia ketakutan akan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dia lihat di wajahku sampai membuat mulutnya yang cerewet tertutup. Yang jelas, tidak ada senyuman di wajahku.
"..." Dia ingin menjadi ibuku. Dia tidak ingin merawatku hanya karena dasar kewajiban. Itu mengagumkan. Namun... ini menjengkelkanku. "Pikirkan perasaanku."
"He?"
"Tiba-tiba ada orang yang ingin menggantikan ibuku? Memangnya siapa kamu?" Aku mengatakannya dengan sangat datar sampai terdengar seperti menyatakan fakta, bukan pertanyaan.
"..." Mulutnya terbuka dan membeku di tempat.
Seketika dia mendengarkan perkataanku, aku bisa merasakan pegangannya di piring melemah. Aku mengambil kesempatan itu. Aku segera melepaskan piring dari genggamanku dan piring tersebut lolos dari pegangannya, jatuh ke lantai, dan pecah berkeping-keping.
'Prang!' Karena momentum dan arah jatuhnya piring, kebanyakan keping pecahan menusuk ke kakiku dan darah keluar, tapi aku tidak tersentak sama sekali. Aku bergeming dan tidak melepas tatapanku selama ini terjadi.
"Sori!" Suara piring pecah membangunkannya dan dia segera berlutut untuk mengambil pecahan piring di lantai dengan tangannya. Pikirannya kacau balau sampai dia berusaha mengambil pecahan tajam dengan tangannya.
"Tante." Aku juga ikut berlutut dan tiba-tiba menggenggam kedua pergelangan tangannya dengan kuat sampai membuatnya menjatuhkan pecahan-pecahan yang tadi dia sudah ambil.
"Sori! Aku- aku ambil sapu!" Mungkin dia salah paham, atau dia ingin dirinya salah paham untuk keluar dari hadapanku sesegera mungkin.
"..." Tetapi meskipun dia mengatakan dia akan pergi mengambil sapu, genggamanku masih tidak lepas dari kedua pergelangan tangannya.
"..." Itu menyebabkannya untuk melihat ke bawah, ke tanganku. Dia tidak ingin melihatku.
Kepalaku mendekat dan mulutku berhenti di samping telinganya. "Kamu pikir ibuku gampang diganti seperti itu, ya? Maaf. Berapa lama waktu akan lewat dan betapa tulus tujuanmu, aku tidak akan menerimamu sebagai ibuku. Bagiku, kamu adalah istri ayahku dan ibu teman sekolahku; tidak lebih dari itu.
Aku berencana mengatakan kurang lebih beberapa kalimat tentang "kamu tidak bisa menggantikan ibuku" secara tidak langsung. Tetapi, rasanya tadi terlalu langsung. Aku tidak bermaksud melakukan itu.
Rasanya, suaraku lebih kasar dari biasanya. Perekam suaraku masih di kamar, jadi nanti aku tidak bisa cek apakah suaraku memang terdengar kasar atau tidak. Aku kira aku lumayan andal dalam mengendalikan intonasi suaraku. Rupanya, aku merasa lebih marah dari yang kuduga tentang fakta bahwa dia telah menghancurkan rencana hidupku. Hah... Bagaimanapun juga, dengan ini aku telah membuat garis pembatas yang lebih jelas antara hubungan kita. Semoga dia tidak melakukan hal-hal bodoh lagi, seperti mencoba berbicara denganku atau mencoba mendekatiku.
Dan pada saat seolah semuanya telah direncanakan dari awal, terdengar suara teriak dari luar dapur. "Di belakang nggak apa...?"
Kami berdua mendengar dan mengenal suara tersebut. Kami berdua langsung menengok ke arah sumber suara tersebut, yaitu suara ayahku.
Aku menurunkan volume suaraku lebih kecil lagi dan segera mengingatkannya: "Mungkin kamu memang telah membuatnya jatuh cinta kepadamu, tapi kamu nggak akan pernah menggantikan ibuku. Oh, ya. Jangan beri tahu ini, oke? Dia akan merasa sakit karena anaknya telah menolak wanita yang dicintainya. Aku nggak ingin melihatnya lebih sakit dari ini. Bohongi saja kalau aku butuh waktu. Paling tidak, itu bisa menjelaskan ekspresi wajahmu." Seketika aku selesai mengatakan bagianku, aku menarik tubuhku menjauh darinya.
"A-" Tuhan tidak memberinya waktu untuk mengatakan apa pun.
"Kenapa? Kalian nggak apa?" Ayahku mengintip masuk ke ruangan.
Pada awalnya, dia mendengar piring pecah tetapi dia tahu ada kami berdua, jadi dia tahu kita bisa memperhatikan satu sama lain. Namun, dia tetap khawatir dan dia berjalan ke sini tanpa buru-buru dengan setengah ingin tahu dan setengah khawatir.
Melihat kita berlutut di lantai dan darah di kakiku, ayahku mempercepat langkahnya mendekati kami.
Kami bertiga membersihkan semua pecahan piring dari lantai dan memutuskan untuk melanjutkan mencuci piring esok harinya. Setelah kami selesai membersihkan, kami sepakat untuk menutup hari karena hari sudah malam.
Tipuanku berhasil. Ketika ayahku melihat wajah suram ibunya Silvia Anggraini, ayahku hanya mengira bahwa dia khawatir tentang piring pecah dan luka di kakiku.
Ibunya Silvia Anggraini ingin mengatakan sesuatu kepada ayahku, tapi ketika dia melihatku sedang melihatinya, dia menghilangkan niat tersebut dari pikirannya.
Aku tidak memiliki dendam kepada ibunya Silvia Anggraini. Aku tidak membencinya sebagai manusia.
Jika anaknya bukan Silvia Anggraini, mungkin hubungan kita berdua sekarang akan sedikit berbeda. Aku tidak tahu berbeda dalam arti apa, yang penting adalah faktor Silvia Anggraini yang memengaruhi besar hubungan ini. Selain itu, ada faktor bahwa dia adalah kekasih ayahku.
Hanya itulah hubungan di antara kita. Jika bukan karena itu, aku tidak akan berusaha menjaga hubungan baik seminimal mungkin.
Tidak penting seberapa baik dia, tidak penting seberapa tulus tindakannya, dia hanyalah orang asing; orang yang tak kukenal.
Sejak kejadian itu, jumlah interaksi kami berkurang drastis. Lebih tepatnya, dia berhenti mencoba.