Entah kekuatan apa yang menyebabkan Silva mampu memapah Salaka dibantu sisa-sisa tenaga Candina. Vlad dan Cristoph terbanting jauh, menembus gerbang perak transparan hingga membentur dinding-dinding Dahayu. Tembok pembatas bergetar. Javadiva sedikit berguncang.
Pesta ramah tamah di aula utama Javadiva dipenuhi teriakan tertahan.
Tamu-tamu Eropa terpekik lirih sementara para siswa saling berangkulan.
"Kemana Salaka?" Initta mencari-cari. Kesal kehilangan pemuda yang ditaksirnya.
"Candina lenyap! Ke mana dia?" pikir Bhumi, mencari-cari teman yang menjadi pasangannya di acara ini.
"Salaka dan Candina ke mana?" Sonna bertanya.
"Nggak tau," Bhumi kebingungan. "Tadi dia di sini, lho!"
Kegelisahan dan ketakutan merambat cepat seiring suara dentuman dan goncangan kecil.
"Tenang! Tenang! Calm down, all of you!" pak Gatot menenangkan.
Bu Santi mengangguk, sembari berkata, "Javadiva dekat dengan gunung berapi aktif. Sesekali, magma bergejolak dan gunung terbatuk-batuk."
"Tidak ada laporan tentang bencana alam," tegas pak Gatot.
Hening sesaat. Lalu gamelan dan lagu tradisional diperdengarkan, menghalau kekacauan kecil yang sempat timbul.
🔅🔆🔅
Mereka tiba di ruang bawah tanah. Celah berpintu sempit di ruang Dahayu ternyata menuju bilik-bilik sangat luas. Sebuah tangga mengarah ke bawah. Bukan hal mudah menyeret tubuh tinggi dan perkasa milik Salaka. Tubuh mungil Silva terseok-seok menariknya yang seolah tak bernyawa. Ketika Silva dan Candina berhasil membaringkan di lantai cukup lapang, Candina berlari kembali ke tangga.
"Jaga Salaka, Silva. Aku akan menyegel pintu!" teriak Candina.
Candina berlari cepat menuju tangga ke atas. Berniat mengunci. Bahkan menyegelnya sekalian, agar tak dapat terbuka untuk jangka waktu lama. Sayang, niatnya kandas. Dua sosok mendorong keras pintu itu dengan tenaga dahsyat.
"Hiaaaaakkkk!!!" Candina mencoba mendorong pintu itu dari dalam.
Tenaga seorang gadis sepertinya, terluka cukup parah, tak akan dapat menghadang Vlad dan Cristoph yang bergabung menyerang. Walau dua pangeran Eropa itu terlihat terhuyung dan tercabik, jelas kekuatan mereka masih lebih baik dibanding Candina.
"Silvaaa! Bantu akuuu!" Candina berteriak sampai berkeringat.
Silva, meninggalkan Salaka yang terkapar begitu saja. Ia berlari ke tangga, mencoba membantu Candina. Mendorong pintu sekuat tenaga agar Vlad dan Cristoph tak menembus masuk.
"Aaaaauuwwwwh!" Candina berteriak kesakitan.
Telapak tangannya terluka.
Bukan hanya sekedar mendorong, Vlad dan Cristoph menghunuskan pedang masing-masing untuk merusak pintu jati berpahat yang dihiasi ukiran perak di tepian dan tengahnya. Ujung pedang pendek Cristoph menikam telapak tangan Candina, hingga gadis itu melepaskan pegangannya pada pintu. Walau mencoba menahan dengan tubuh dan siku-siku tangan, Candina tak akan sanggup bertahan lama. Apalagi, mereka berdua harus menghindar dari tusukan-tusukan pedang.
"Biarkan kami masuk!!"teriak Cristoph.
"Jangan mati sia-sia, Candina!" bentak Vlad. "Kami tak berniat melukai kalian, apalagi sampai menghilangkan naywa!"
Walau terengah, Candina benar-benar ingin meluapkan amarah.
"Tak berniat melukai, heh??! Kau bahkan sudah menikam kami berkali-kali!" teriak Candina.
Silva menahan pintu itu sekuat tangan dan kakinya mampu bertahan. Candina mulai lunglai, pintu itu terbuka separuh, cukup untuk meloloskan Vlad dan Cristoph yang bertubuh ramping.
"Candina!" teriak Silva. "Kita harus ngapain??!"
Tubuh Candina basah oleh keringat dan tetasan darah. Ia tak dapat menjawab pertanyaan Silva. Jelas, bertahan tak mungkin. Namun menyerah juga tak ingin dilakukan. Melihat Candina bersikukuh, Silva seolah mendapatkan jawaban. Ia tetap menahan pintu walau Vlad dan Cristoph juga mendorong masuk hingga tubuh mereka terhimpit. Cukup lama adegan itu berlangsung, hingga untuk ke sekian kali, Vlad berhasil melukai lengan Candina hingga tersisa Silva di balik pintu.
Candina terpelanting, tubuhnya menggelinding di tangga.
Tak tega melihat temannya terluka, sontak Silva melemahkan dorongan dan tubuhnya berbalik menyusul Candina.
"Candinaaa!!!" Silva dihantui ketakutan dan rasa panik. Tubuh Candina berdebam di bawah tangga, menghantam keras pilar penopang tangga. Sudut-sudut bibir Candina mengeluarkan cairan merah. Kesadarannya perlahan menguap.
Pintu rahasia di bilik bawah tanah ruang Dahayu terbuka.
Vlad dan Cristoph berdiri di ujung atas anak tangga, membelakangi cahaya yang masuk. Tubuh tinggi keduanya, dalam balutan jas hitam dan pedang terhunus; bagai sosok malaikat maut menjemput paksa. Menyusuri pegangan tangga, Vlad dan Cristoph perlahan menapakkan kaki. Menuju ke bawah. Tertangkap bayangan mata tubuh Salaka dan Candina terkapar, luka-luka basah terlihat dalam balutan pakaian yang tercabik. Kaki Silva gemetar. Nyalinya ciut. Tak tersisa keberanian selain hanya rasa takut yang makin menggelembung memenuhi seluruh udara di ruangan.
"Matilah aku," pikir Silva gentar. Matilah aku!
Langkah kaki Vlad makin tegap walau terseok. Gerakan Cristoph makin tegas walau terhuyung.
"Mereka nggak niat membunuh," pikir Silva. Mereka tadi bilang begitu!
Demi melihat pedang terhunus, Silva tak yakin pada pendapatnya. Saat ia menoleh ke arah Salaka dan Candina yang terkapar, janji Vlad dan Cristoph diragukan. Silva mundur perlahan. Beringsut sedikit demi sedikit. Kalau ada jalan untuk melarikan diri, akan dilakukannya.
"Uuuhhh, kenapa aku selalu sial kalau nolongin kamu, Candina?" gerutu Silva.
Mata Silva terarah ke atas tangga, pintu terbuka lebar di sana. Namun tangga dijaga Vlad dan Cristoph yang pasti tak akan membiarkannya lolos begitu saja. Silva terus menggeser langkahnya lebih ke belakang.
"Sil…va…?" bisik Candina. "Sil?"
Silva terkejut. Terhenyak melihat Candina mencoba bergerak.
"Lari, Silva. Jangan mati di sini…," bisik Candina.
Perintah Candina justru membingungkan Silva. Apa ia akan setega itu membiarkan kedua temannya terluka dan kehilangan nyawa? Silva tak tahu permasalahan apa yang membuat Salaka dan Candina harus berada dalam situasi berbahaya seperti itu. Walau ingin selamat dan melarikan diri sejauh mungkin, ada yang berontak dalam diri Silva. Mengapa orang tega menyakiti orang lain tanpa berpikir derita yang dihasilkan?
"…lari, Silva…," bisik Candina lemah.
Silva semakin mengkerut. Di depannya, Vlad dan Cristoph mendekat beberapa langkah. Silva mundur ke belakang dan nyaris terjatuh karena tersandung sesuatu. Ia melirik ke bawah, tertegun.
Jam bandul Candina, dengan rantai panjang yang berlumuran darah, tergeletak di sisi tubuhnya. Tanpa berpikir panjang, Silva meraihnya. Menggenggamnya dengan gemetar, tak tahu harus berbuat apa. Benda logam di tangan, setidaknya menjadi senjata pengaman. Saat Silva kebingungan, Vlad dan Cristoph justru tertegun. Tubuh mereka kaku.
Silva meraba pelan rantai perak panjang yang lengket oleh cairan kemerahan. Ujung bandulnya terasa dingin dan berat. Walau rasa takut masih merajai, Silva merasakan keberanian mulai menjalari tubuh seiring kekuatan merasuki pembuluh darah.
"Silva…?" Candina yang lemah masih dapat membuka mata, terbelalak.
Di sebelahnya, Salaka sedikit siuman, mencoba bangkit dan membuka kelopak mata.
Demi melihat Salaka dan Candina masih bernyawa, Silva tersenyum. Setitik harapan cukup memberi kekuatan. Matanya berbalik ke arah Vlad dan Cristoph, lalu menyerang mereka dengan keras dan pasti.
🔅🔆🔅