Ketika Akasha datang berkunjung menunggang angin, bersamanya cahaya menjadi selendang dan membentuk lingkaran-lingkaran pita. Tubuh elok wangsa Akasha yang menyerupai Nistalit, dengan kulit cemerlang dan rambut indah terurai bersama mahkota di kepala, selalu menyihir mata para budak. Berharap, takdir menukar kehidupan mereka.
Akasha Giriya, penguasa pegunungan, menyukai warna-warna kelabu cemerlang seperti warna bebatuan. Wangsa ini menyukai simbol-simbol berbentuk segitiga, hingga sulaman berkilau di ujung lengan dan tepian jubah mengambil bentuk serupa gunung di kejauhan.
Para hulubalang Giriya, menggunakan senjata cambuk Kuncup Bunga sebagai pertahanan dan cara menghukum lawan. Khusus bagi panglima Rakash banna Giriya, pedang dengan hulu dihiasi permata yang berasal dari batu mulia pegunungan menjadi ciri khasnya. Selain tentu, terselip cambuk Kuncup Bunga di pinggang sebagai senjata kedua.
"Nistaliiit!!" teriak hulubalang. "Panglima Rakash banna Giriya berkunjung. Beri penghormatan kalian!"
Rakash, berdiri tegap sembari melipat kedua belah tangan di depan dada. Jubah kelabunya berkibar tertiup angin yang menjadi tunggangannya. Ia mendarat dengan mulus di permukaan tanah, menancapkan pedang Batu Mulia yang masih bersarung di daratan sebagai penopang. Rambut hitamnya berkibar, mahkota melingkar di kepala. Simbol segitiga terpampang di dahi.
Seluruh prajurit dan pekerja memberi hormat, berlutut, menundukkan kepala.
"Hulubang Daga!" Rakash menyebut sebuah nama. "Sampai mana pembangungan Gerbang Batu? Mengapa tak selesai seperti yang kau janjikan, heh?"
❄️💫❄️
Daga menyeret satu sosok ke depan Rakash.
Jalma terkesiap. Seluruh budak Nistalit terbelalak.
Tubuh ringkih, rambut awut-awutan berwarna putih. Mata setengah rabun, hingga tubuh tertopang tongkat yang berguna juga sebagai penunjuk jalan.
"Kenapa dia?" tanya Rakash, menggelegar.
"Dia mengajari orang-orang Nistalit di Giriya melarikan diri," Daga melemparkan tuduhan.
Jalma menatap lelaki yang terbungkuk, terhempas di depan mereka semua. Tak percaya.
"Ki Dam?" bisik Jalma.
Daga melempar pandangan sengit ke arah Jalma yang seketika menunduk dalam.
"Ya! Lelaki tua ini, Dam, membawa lari orang-orang Nistalit keluar Giriya. Pindah ke Gangika! Atau bahkan menyeberang lebih jauh lagi."
Rakash mendekati Ki Dam perlahan.
"Nistalit Tua, kau mengakuinya?" tanya Rakash tanpa tedeng aling-aling.
Ki Dam, kebingungan, memberikan isyarat dengan kedua belah tangannya. Ia berteriak membela diri. Semua tak benar! Semua bohong! Itu hanya fitnah! Daga, merampas kantung kecil dari ikat pinggang Ki Dam. Jari Daga membuka tali, mengeluarkan isi kantung berupa batu warna kuning cemerlang seukuran kuku.
Rakash memicingkan mata, menatap barang yang dilemparkan Daga ke tanah.
"Hanya orang-orang Gangika yang punya logam mulia yang terbuah dari bijih emas seperti ini!" Daga berteriak, membeberkan kesalahan Ki Dam ke tengah-tengah prajurit dan orang-orang Nistalit. "Lelaki tua ini, mengkhianati kalian semua, wahai Nistalit!"
Jalma memandang Ki Dam yang pucat pasi , setengah menangis tak percaya.
"Kaulah penyebab orang-orang Nistalit enggan bekerja di Giriya dan selalu bermimpi bisa menyeberang ke luar! Betapa busuknya akalmu!" bentak Daga.
Jalma terhimpit antara rasa percaya dan tak percaya. Siapapun ingin ke luar dari perbudakan Akasha Giriya. Tapi melarikan diri sendiri, mengorbankan pihak lain, sama sekali tak dapat dimaafkan.
"Hamba tak melakukannya, Yang Mulia Panglima Rakash banna Giriya!" teriak Ki Dam parau. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dahi, memberikan penghormatan yang dalam.
Daga, menampar wajah lelaki tua itu hingga terjengkang.
"Beraninya kau menyebut nama panglima kami?" bentak Daga. "Pahamilah, Budak! Ada kata-kata yang tak boleh ke luar dari mulut kalian walau kalian lakukan sambil bersujud!"
"Hamba tak melakukannya…," Ki Dam mencoba duduk, walau kesusahan. " Hamba tak melakukannya, Tuan…bahkan…hamba...mengajak orang-orang Nistalit untuk...bekerja giat…"
Satu tendangan menghantam dada Ki Dam.
Jalma, tanpa sadar berteriak, menghambur ke arah sosok tersungkur di hadapannya. Memeluknya erat, berusaha memberikan kehangatan dan perlindungan.
"Tuan kami," Jalma memberikan penghormatan dalam, "…mustahil, Ki Dam melakukannya."
Muka Daga merah padam.
"Kau mengatakan aku berdusta, Nistalit???" bentaknya.
Jalma menggeleng, tetap menunduk.
"Tidak…bukan demikian…," Jalma berusaha menerangkan. "Bahkan tadi malam, Ki Dam memberikan nasihat kepada hamba untuk giat bekerja."
Daga tertawa mengejek.
"Kenapa kau perlu diberikan nasihat, Nistalit? Karena kau ingin melarikan diri??"
Jalma terkejut. Terbelalak sesaat. Teringat semalam Ki Dam menatap angkasa, melihat pergerakan pohon-pohon dan dedaunan tertiup angin. Kata lelaki tua itu, suara angin dapat merupakan suara alam atau Akasha menggunakannya sebagai tunggangan. Apakah seseorang mendengar percakapan mereka semalam? Tak mungkin sesama Nistalit, pasti akan terlihat nyata. Bagaimana mereka bisa menangkap jejak Akasha bila sosoknya tak tampak saat mereka tak beralih rupa?
"Daga," ujar Rakash memberi perintah.
"Baik, Panglima!"
"Selesaikan Gerbang Batu dalam jangka waktu kurang dari dua purnama," lanjut Rakash. "Perintah Ratu Madhavi jelas, bukan?"
"Siap, Panglima!"
Rakash menatap sekilas ke arah Jalma dan Ki Dam yang saling berpelukan, teronggok berdebu di tanah.
"Lakukan segala cara untuk membuat pembangunan ini berhasil!" Rakash menuntaskan perintah.
Nyali Nistalit seluruhnya menciut. Kata-kata 'lakukan segala cara' adalah ancaman dan penyiksaan yang akan segera dilakukan oleh hulubalang Daga yang angkuh.
❄️💫❄️