Siksaan apa yang paling pedih?
Walau tersusun dari tanah liat yang dibakar, kulit Nistalit setipis helai daun. Bersentuhan panas, dingin, benda tajam, atau benda bergerigi akan melukai. Akasha tahu betul cara membuat Nistalit merintih dan mengakui kesalahan. Cambukan Kuncup Bunga tak seperti namanya yang indah. Selain menggores kulit, mengambil cairan tubuh dan membuat kulit mengkerut; bersama mantra pemangkas-usia, seorang Nistalit akan terpotong umurnya di dunia lebih pendek.
Teriakan Ki Dam dan Jalma memecah keheningan Giriya.
Memberi pelajaran berharga bagi Nistalit lain agar tak main-main dengan perintah. Apalagi berniat membangkang bahkan, jangan coba-coba melarikan diri.
"Aaaarrrrgggggh!!!"
❄️💫❄️
Tubuh Ki Dam menyusut hingga separuh. Ia bagai sebentuk pohon kurus yang meranggas. Tulang pipi mencuat, pelipis menonjol. Rahang geligi menyembul. Belulang tubuhnya hanya berbalut kulit tanpa daging. Tongkat percuma menopang tubuhnya. Ia tinggal menunggu detik-detik sekarat dan berubah menjadi debu.
Jalma dibebaskan setelah menjalani beberapa siksaan. Bagaimanapun, tubuh mudanya bermanfaat bagi pembangunan Gerbang Batu. Hulubalang Daga tak akan menghabiskan sisa umur Jalma dengan siksaan di penjara. Kaki-kaki Jalma terluka, kulitnya terbakar dan menyusut, sulit digerakkan. Apalagi berjalan. Di dalam gua, orang-orang pesakitan teronggok seperti ikan membusuk.
"Sudah kukatakan," bisik Nami berurai airmata. "Kakak jangan bertindak keterlaluan."
Jalma menahan sakit.
"Daga keparat!" dengus pemuda itu.
"Kak!" Nami berbisik ketakutan. "Kau ingat apa yang dinasihatkan ibu?"
"Lain kali, aku tak akan berdiam diri. Aku lawan dia sampai mati!"
"Kakak! Jangan sembarangan!" Nami mulai terisak. "Aku ingin Kakak hidup lebih lama."
Jalma terdiam. Mencoba sekuat tenaga menahan diri sementara rasa sakit menjadi-jadi. Ia hanya dapat menggerakkan tubuhnya dengan mengengsot. Merangkak pun tak bisa, lututnya terbakar dan tekelupas. Nami, adik perempuannya, mecoba mengolesi luka dengan lendir sejenis siput.
Sehari-hari, Nami mengerjakan apa yang bisa dilakukan. Kadang ia diminta membantu pekerjaan di Giriya saat akan dihelat perjamuan dan pesta. Kadang, ia ikut membantu pekerjaan lelaki membangun sesuatu, seperti saat ini : Gerbang Batu. Tak ada imbalan layak bagi mereka. Tidak upah, tidak tempat tinggal. Jagung yang masih dapat dimakan, sudah sangat disyukuri sebagai imbalan. Sekali waktu, jika bertemu Akasha Giriya yang baik hati, mereka akan memberikan selembar kain. Atau alat makan bekas. Atau alas kaki.
"Aku akan mencari siput lagi," Nami mengusap pipinya yang basah.
"Berhati-hatilah," Jalma memandang adiknya penuh kasih.
"Kakak jangan ke mana-mana."
"Memangnya, apa yang bisa kulakukan dengan kaki seperti ini?" bisik Jalma.
Nami mengangguk.
Ia ke luar. Mencari apa yang bisa didapatkan di tepian sungai, tepian hutan, perdu-perdu yang ada. Sedikit buah kecil yang manis dapat dipetik dari pohon kersen. Nami memasukkannya ke kantong, berikut bunga dan daun-daunnya yang dapat dipakai obat. Ketika ia kembali ke gua, Jalma tengah memeluk tubuh mengkerut yang telah hitam dan mengecil.
"Ia telah pergi," Jalma berkata sendu. "Ki Dam sudah mati, Nami."
Nami mengangguk. Kematian hal biasa bagi Nistalit.
"Ini kesalahanku!" Jalma menangis.
"Bukan!" Nami menggeleng. "Kak Jalma tak salah sama sekali!"
"Ini salahku!" Jalma meremas rambut. "Andai aku tak berkata akan lari dari Giriya, ia pasti masih hidup!"
Nami mematung, tak tahu harus melakukan apa.
"Daga keparat! Kalau aku mel-ll…," Jalma bersumpah, kalimatnya tak selesai. Nami membekap mulut abangnya.
Angin dingin bertiup di bibir gua. Menyelinap masuk, membawa hawa dingin sejuk. Nami tampak waspada. Matanya memberi isyarat pada Jalma untuk diam dan tenang.
"Aku akan meletakkan tubuh Ki Dam di bawah matahari, bersandarkan pohon," kata Nami. Ia bersedih sangat, namun perhatian utama tertuju pada Jalma. "Semoga debu tubuhnya bersatu dengan angin, terangkat menuju angkasa lalu naik ke langit. Kuharap Ki Dam bahagia."
Nami memangguk tubuh Ki Dam yang jauh lebih ringan daripada menggotong seekor domba. Tetua Nistalit yagn sering berkeliaran di malam hari, rajin memberikan nasihat entah di minta atau tak diminta. Konon, ingatannya lumpuh dan tak seberapa bagus sejak didera siksaan beruntun. Bukan hanya sekali ia mendapatkan cambukan Kuncup Bunga. Ada yang berkata, Ki Dam sesungguhnya masih berusia muda. Hanya saja, cambuk Kuncup Bunga dan mantra Akasha memangkas usia dirinya hingga ia menua lebih cepat.
Gadis itu memberi penghormatan terakhir bagi Ki Dam, lelaki Nistalit yang sepanjang hidup menjalani penderitaan. Tubuh tua itu meringkuk aneh, memeluk dirinya sendiri. Sekarang, ia disandarkan ke pohon kersen. Menghadap matahari sore yang masih kuat membagikan sinarnya. Saat matahari sempurna menyoroti seorang Nistalit yang mati karena cambukan Akasha, tubuh tak abadi Nistalit akan menyatu kembali bersama alam.
Malam hari, ketika kematian Nistalit-nistalit tampak biasa bagi Akasha Giriya, sebagian besar Nistalit tidur dalam ketakutan dan mimpi buruk.
Cekikan.
Teriakan.
Pukulan.
Tendangan.
Cambuk Kuncup Bunga.
Tubuh mengkerut.
Nami mengalami mimpi buruk nyaris setiap malam. Tentang kedua orangtuanya. Ayah yang membela ia dan Jalma ketika kecil, ibu yang juga mempertahankan diri melindungi anak-anaknya.
Lalu sosok-sosok asing yang tak pernah dikenal gadis itu sama sekali. Dua sosok yang kadang seakan hadir demikian nyata. Kadang di sebelah sisi kanan, lain kali di sisi sebelah kiri. Sesekali tampak memandangi dari ujung kaki. Di suatu masa berada sangat dekat di kepala.
Menolongnya saat tenggelam.
Memandunya saat tersesat di kegelapan hutan.
Lalu ia bangun terengah dengan dada bagai terjepit. Tubuh gemetar dahsyat. Keringat mengucur deras. Jalma akan memeluknya erat, mengelus punggungnya. Berbisik menenangkan.
"Aku takut," desah Nami. "Aku…aku takut mati."
"Sssshhh!" Jalma menghibur. "Kau akan hidup seribu tahun seperti Akasha!"
Jalma berkata, kematian tak perlu ditakutkan. Hanya berpindah ke kasta lain yang lebih tinggi. Hidup lebih lama dari Pasyu dan Akasha, lebih abadi dari mereka.
❄️💫❄️