Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 64 - ●Nistalit : Hamba Giriya (4)

Chapter 64 - ●Nistalit : Hamba Giriya (4)

Gerbang Batu dibangun.

Bila Akasha dapat menyelesaikannya singkat waktu, Nistalit tak demikian. Mereka butuh berminggu-minggu, berbulan-bulan. Bahkan mungkin bertahun-tahun. Mengapa Akasha memerintahkan budak Nistalit membangun sesuatu padahal Akasha dapat lakukan sendiri? Bukan sekedar ingin menindas wangsa ketiga. Meski Akasha memiliki kesaktian hingga dapat membangun istana megah dalam waktu semalam, atau membuat bendungan sekejap mata; Nistalit memiliki keistimewaan.

Kedua tangan Nistalit bekerja teliti. Memiliki hasil halus, indah, dan kuat. Walau sebuah benda dibentuk sangat lama oleh tangan-tangan Nistalit, hasilnya selalu mengagumkan!

Kelak,ketika Gerbang Batu selesai dibangun oleh Nistalit, Giriya akan membanggakan kerajaannya kepada semua wangsa.

❄️💫❄️

"Gerbang Batu belum selesai, Ratu Madhavi," panglima Rakash memberikan laporan.

"Kenapa??" Madhavi gusar. "Apa kau tak cukup punya orang-orang Nistalit?"

Panglima Rakash menarik napas. Kenyataannya memang demikian.

"Bangsa Nistalit tak seperti kita, Ratu. Paduka tentu memahaminya," jawab Rakash, mencoba meredam kemarahan ratu di depannya.

Siapapun tahu tengan Nistalit yang mudah lelah. Mudah sakit. Bahkan mudah mati. Mereka juga suka mengeluh dan berkata : lapar, letih, bosan. Wangsa lemah yang sangat menyebalkan!

"Dasar budak!" geram suara Madhavi. "Mereka hanya menghabiskan sumber daya dunia!"

Rakash terdiam. Apa yang dikatakan ratu Giriya memang benar, Nistalit benar-benar menghabiskan banyak. Mereka makan tumbuhan dan buahnya seperti jagung. Padahal, menanam jagung butuh waktu lama. Mereka juga menyukai umbi-umbian. Menanam umbi juga butuh waktu lama hingga dapat dipanen.

"Kau mendapatkan laporan baru, Rakash?" Madhavi bertanya.

"Ya, Ratu," Rakash memandang ratunya khawatir namun mencoba tenang. Sejurus kemudian ia berkata hati-hati, "Mata-mata di perbatasan menemukan gerakan-gerakan nyata dari Mandhakarma."

"Apa maksudmu?"

Rakash menarik napas. Berharap apa yang ia sampaikan akan membawa keputusan dan tindakan penting.

"Ampuni hamba, Paduka Ratu. Apakah Raja Araga berkenan turut membahas hal ini?" pinta Rakash.

"Kau tak mempercayaiku, begitu?" Madhavi menyahut, menatap Rakash tajam.

"Maafkan, bukan demikian…"

Madhavi mengangguk. Menepiskan tangan. Menganggap tak masalah.

"Rajamu sibuk berburu, Rakash. Sampaikan saja padaku," tegas Madhavi.

Rakash memberikan hormat.

"Pusaran Mandhakarma semakin kuat, Ratu. Seperti gulungan ombak. Seperti gelombang samudera. Warna gelapnya terlihat dari tepi kerajaan kita."

Madhavi menatap tajam ke arah panglima kepercayaan Giriya.

"Benarkah?" desis Madhavi.

Rakash mengiyakan.

"Bagaimana mungkin," bisik Madhavi. "Bagaimana bisa Mandhakarma sebesar dan semenakutkan itu?"

"Hamba pun tak memahaminya," Rakash mengaku.

Madhavi bangkit dari duduk.

Kecantikannya terlihat suram dalam pikiran kalut seperti itu.

"Aku tak dapat berpikir, Rakash," Madhavi mengaku. "Aku tak dapat memutuskan. Bagaimana kabar kerajaan lain?"

"Wanawa akan datang kemari. Mereka mengirimkan panglima Milind untuk membahas Mandhakarma," jawab Rakash.

Madhavi menaikkan alis, "Wanawa?"

Rakash mengangguk.

Keadaan yang cukup sulit. Giriya sedang menjalin hubungan baik dengan Pasyu Vasuki sementara Wanawa jelas-jelas tak berpihak pada Vasuki. Wanawa terlihat lebih memihak pada Pasyu Aswa dan berseteru dengan Vasuki. Untuk saat ini, menolak kehadiran Wanawa juga tak bijak.

"Bagaimana dengan Gangika?" Madhavi ingin tahu.

"Gangika sedang sibuk membangun bendungan," jelas Rakash. "Mereka juga mengerahkan Nistalit."

"Gangika ingin membuat pertahanan dan memastikan kecukupan makanan bagi rakyatnya," bisik Madhavi menyimpulkan. Pikirannya diliputi kemarahan dan ketakutan membayangkan Araga mengabaikan Mandhakarma.

Madhavi berjalan ke sana ke mari. Pakaian kebesarannya menyapu lantai istana hingga terdengar suara halus menggores permukaan. Lalu duduk. Bangkit lagi. Berjalan-jalan lagi. Lalu duduk di singgasananya dengan kekakuan dan kegelisahan.

"Tuanku Baginda Ratu," Rakash membelah keheningan.

Madhavi melempar pandangan ke arah panglimanya.

"Ya, Rakash?"

Rakash terlihat ragu sebelum melontarkan pikiran.

"Katakan saja!" Madhavi memerintahkan.

Rakash memberikan penghormatan dalam terlebih dahulu sebelum mengungkapkan beban pikiran dan pertanyaan bertalu di dalam benak.

"Apakah…tidak berlebihan kita sangat mengkhawatirkan Mandhakarma?" tanya Rakash, sedikit mengecilkan suara.

Madhavi bangkit lagi segera. Berdiri. Berjalan penuh amarah ke arah Rakash.

"Kau meragukannya, Rakash?" bentak Madhavi. "Kau meragukan pemikiranku??!"

"Ampuni hamba," Rakash membungkukkan badan hingga separuh tubuhnya lebih rendah dari sang ratu.

Madhavi menarik napas panjang, mencoba memahami dan menyelami apa isi pikiran lelaki di depannya.

"Aku mempercayai Vasuki, Rakash," pelan Madhavi berkata. "Aku mempercayai sepenuhnya apa yang disampaikan Raja Tala hal Vasuki lewat ratu-ratu mereka, Gayi dan Nagen. Mereka memberitakan tentang kekuatan baru di dunia ini : Man-dha-kar-ma."

Rakash mengangguk, mencoba mencerna.

"Mengapa Ratu sangat mempercayai berita tentang Mandhakarma?" Rakash bertanya kembali. "Ampuni hamba yang lalai, Ratu. Hamba tidak memiliki pemahaman seluas ratu kami, Ratu Madhavi."

Madhavi tersenyum.

Bukan senyum kebahagiaan.

Suaranya setengah tercekik dan menahan teriakan ketika berbicara.

"Karena, Rakash, Panglima Giriya-ku; setiap kali berita sangat buruk terjadi, Vasuki tahu lebih dahulu!" pekik Madhavi. "Seperti mereka tahu rahasia langit tentang Nistalit, para budak tak guna itu!!"

❄️💫❄️