Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 65 - ●Nistalit : Nami (1)

Chapter 65 - ●Nistalit : Nami (1)

Tak ada cara lain demi mempercepat pembangunan Gerbang Batu selain mengumpulkan lebih banyak Nistalit. Lelaki, perempuan, anak-anak. Yang tua maupun yang muda. Ratu Madhavi mengkhawatirkan pusaran Mandhakarma akan menghancurkan Giriya. Itulah sebabnya, Gerbang Batu harus segera diselesaikan sebagai salah satu dinding pelindung.

Mandhakarma, sesungguhnya bukan sebuah kerajaan, apalagi sebuah wangsa.

Sebuah ceruk raksasa yang dalam dan hitam, terletak di jurang terluar kerajaan Akasha dan Pasyu. Ceruk itu tempat segala hal yang buruk dibuang : kematian, rasa sakit, derita, kemarahan, ketakutan. Itulah sebabnya kehidupan Akasha dan Pasyu diliputi selamanya oleh kegembiraan.

Ceruk Mandhakarma sangat luas dan dalam. Menyerupai palung laut semacam Kawah Gambiralaya tempat pusaka-pusaka para wangsa tersimpan. Anehnya, selama beberapa tahun belakangan, Mandhakarma menjadi pusaran yang terus bergerak. Tak hanya berdiam diri seperti Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara.

Mandhakarma seolah bernapas dan hidup!

❄️💫❄️

Semua harus bekerja segera.

Tak terkecuali yang sakit, seperti Jalma.

Daga, sang hulubalang mengayun-ayunkan cambuk Kuncup Bunga hingga Nistalit menghambur ketakutan. Tak ada kata lain selain taat. Ratusan Nistalit ke luar dari gua-gua dan tempat berteduh. Bekerja dalam tekanan dan penderitaan membangun dinding yang konon demi menghambat kekuatan jahat dunia.

"Semua bekerja, Nistalit!"

Beberapa yang sakit di gua, menatap ketakutan ke arah Daga.

"Kalian ingin mati cepat?!" bentak Daga.

Nami menatap Jalma cemas. Ia memeluk abangnya yang bahkan, bernapas pun kesakitan.

"Tuan Hulubalang!" Nami memberanikan diri. Memberikan penghormatan yang dalam. "Hamba akan bekerja di Gerbang Batu. Hamba berjanji akan bekerja lebih giat dan lebih cepat dari yang lain."

Daga menatap Nami senang.

"Bagus, Nistalit! Seharusnya begitu, memang!" bentak Daga.

Nami berlutut, membungkukkan badan dalam-dalam. Kedua jemari tangannya mengatup di depan kening, tanda penghormatan yang dalam.

"Tuan…izinkan saudara hamba, Jalma, tetap di gua. Izinkan ia beristirahat hingga sembuh," pinta Nami bersungguh-sungguh.

"Tak ada keringanan!!!" bentak Daga.

"Tuan, hamba mohon," Nami berucap lagi. Tubuhnya menegak sesaat, lalu membungkuk dalam hingga pelipis nyaris menyentuh tanah. Menegak lagi, lalu membungkuk dalam. Begitu berulang. "Tuan Hulubalang yang mulia, Paduka demikian berhati mulia. Izinkanlah Jalma istirahat."

Jalma, menatap adiknya penuh kekhawatiran. Walau didera kesakitan yang sangat, ia tak rela Nami harus menghadapi kebengisan dan keangkuhan Daga.

"Tak ada alasan apapun, Nistaliiittt!!" bentak Daga. "Ketika kau membual panjang lebar seperti ini, Nistalit lain telah bekerja di Gerbang Batu!"

Daga mengayunkan cambuk di udara. Sekedar mengingatkan para Nistalit lain yang masih berdiam di gua karena lemah dan sakit. Jalma, menggoyang lengan Nami, mencoba menyampaikan bahwa ia lebih baik bekerja.

"Kakak," ujar Nami sangat khawatir. "Kakak harus istirahat! Sepekan lagi baru bekerja!"

Daga terbelalak.

"Apa??? Sepekan lagi?! Kau pikir ini kerajaanmu dan perintahmu harus berlaku?" gelegar suara Daga.

"Tuanku," Nami berkata dengan permohonan yang dalam, "Bila Jalma sehat sepekan lagi, ia akan bekerja lebih baik. Sekarang ia belum dapat banyak bergerak. Hamba mohon, Paduka! Hamba mohon sekali…"

Cemeti mencambuk udara. Meninggalkan jejak gelegar dan uap api.

Nami masih terus memohon walau Jalma mengatakan bahwa demi keselamatan mereka semua, lebih baik ia bekerja. Kesal dengan rengekan Nami, Daga memuntahkan kemarahan. Ujung Kuncup Bunga mengenai tangan Jalma yang segera berteriak kesakitan.

Aaaaaaggghhhhkkkhhh!!!

"Kakaaaak!" Nami memburuh tubuh Jalma yang terjungkal.

Pemuda itu bahkan belum mampu bergerak sempurna. Sebelah tangannya melepuh, kulitnya mengkerut cepat. Nami memeluk abangnya penuh rasa bersalah. Airmata gadis itu bercampur dengan peluh di dahi Jalma yang mengerang kesakitan. Demi melihat Nami melindungi Jalma, Daga semakin meradang. Tak ingin satu lagi Nistalit sehat terluka, Daga menyarungkan cambuk. Bagaimanapun, satu orang Nistalit sehat sedang sangat dibutuhkan. Tangan Daga melayang ke arah Nami. Tubuh gadis itu terpelanting, terpisah dari Jalma.

"Betina Nistalit! Tinggalkan saudaramu yang sekarat di sini!"

Menolak meninggalkan Jalma, Nami merangkak kembali ke arah abangnya yang terkulai lemah dengan tubuh luka-luka. Daga benar-benar kehabisan kesabaran. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, bersiap memukul Nami hingga gadis itu jera dan mengikuti perintahnya.

❄️💫❄️

Angin bersiut.

Udara dingin yang kuat hadir, berpusar sesaat.

Bayang samar berkelebat.

"Tahan tanganmu, Hulubalang!"

Tangan Daga terhenti. Sesuatu menghalangi lebih kuat dari lengannya, mencengkram pergelangan.

"Dia hanya Nistalit hina! Tak ada guna membelanya!" teriak Daga murka.

"Aku tahu," sosok itu berkata. "Ia lebih rendah dari kita. Tapi jangan habiskan tenagamu untuk hal-hal remeh seperti itu."

Sosok itu menunggang angin.

Mengenakan jubah kehijauan, dengan dua pedang di pinggang.

Rambut panjangnya halus, jatuh di punggung. Mahkota sederhana berhias permata berbentuk daun hijau melingkar di kepala. Matanya berkilau, senyum tersungging tenang dan tegas. Suaranya jernih lembut, membawa rasa damai saat terucap kata dari mulutnya. Wajah aristokrat yang meneduhkan setiap yang memandang.

Daga, terpana sesaat. Tergopoh membungkuk, memberi penghormatan yang dalam. Tak menyangka bertemu sosok terpandang di saat tak terduga penuh kekacauan seperti ini. Terlebih, di hadapan Nistalit yang jelas-jelas membangkang.

"Aku Milind, Hulubalang," sosok itu mengabarkan namanya. "Panglima Wanawa."

"Panglima Milind banna Wanawa," suara Daga gemetar. Berkali-kali memberikan penghormatan sempurna. "Hamba mengenal paduka yang hebat. Maafkan atas kekacauan ini."

"Dapat kumengerti," Milind berujar. "Semua sedang dalam keadaan panik. Kita harus tenang dan waspada, itu kuncinya. Jangan biarkan kemarahan mudah menguasaimu."

Daga mengiyakan, memberi hormat kembali.

Tanpa sadar, Milind menolehkan kepala ke arah Nami yang tengah memeluk Jalma sembari menangis. Penuh rasa terima kasih, Nami membungkukkan badan. Sesaat kemudian, Milind memalingkan muka.

"Bawa aku ke Rakash, Hulubalang," tegas suara Milind.

Bibir gua itu segera sepi.

Nami tak akan melupakan kejadian singkat itu.

Ia melihat tangan melayang ke arahnya. Akasha itu – Panglima Milind, menahan tangan Daga.

❄️💫❄️