Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 66 - ●Nistalit : Nami (2)

Chapter 66 - ●Nistalit : Nami (2)

Pertemuan Milind dan Rakash berlangsung singkat.

Mereka membahas Mandhakarma sembari mengamati Gerbang Batu dibangun. Milind bukan tamu yang begitu ingin ditemui Madhavi, hingga sang ratu tak berniat menyambut secara istimewa. Cukuplah Rakash memberikan waktu kepada sang panglima Wanawa, menyambutnya di Gerbang Batu dan memberikan perjamuan di sana.

"Raja kami, Vanantara banna Wanawa, sangat mengkhawatirkan Mandhakarma," jelas Milind. "Lubang hitam itu bergerak mengkhawatirkan. Awan gelap semakin pasti bergerak menuju ke pusat-pusat kerajaan."

Raja Araga tak mengkhawatirkan apa-apa, batin Rakash.

"Para cerdik pandai kami, meramalkan hal tak biasa terkait Mandhakarma, Rakash. Kita harus bersiap."

"Sebagaimana kalian bersiap menghadapi Vasuki?" tebak Rakash, sedikit menyindir perseteruan beberapa dinasti kerajaan.

"Ya, Rakash," Milind mengangguk tegas. "Kami bersiap menghadapi apapun kemungkinan terburuk. Sungguh cerdas Ratu Madhavi, menitahkan prajurit Giriya dan Nistalit membangun benteng pertahanan."

Rakash dan Milind, melepaskan pandangan ke arah kelompok-kelompok Nistalit yang memecah batu. Mengikir tepian. Mengangkat. Menyusun. Memoles dengan perekat yang terbuat dari getah-getah pohon dan putih telur. Memahat, mengukir, memperindah bagian terluar Gerbang Batu.

Milind menahan napas, melihat Nistalit renta terbungkuk-bungkuk menggotong bahan baku. Nistalit anak-anak yang terpaksa memanggul bebatuan. Nistalit perempuan yang bekerja sama kerasnya dengan lelaki. Mata Milind terpaku pada satu sosok, hamba Nistalit yang diselamatkannya dari keganasan Hulubalang Daga di bibir gua.

❄️💫❄️

Ketika matahari memeluk bumi di cakrawala barat, Milind mohon pamit pada Rakash. Kedua panglima sepakat semakin mengawasi Mandhakarma dan terus bersegera membangun benteng pertahanan masing-masing. Saat bergerak menuju hutan untuk meneruskan perjalanan pulang, seseorang mencegatnya.

"Panglima Milind banna Wanawa, Paduka yang Mulia," Nami ragu-ragu menghalangi langkahnnya. Gadis itu segera bersimpuh di hadapan sang panglima.

Milind terkejut, tak percaya. Ia menatap curiga.

"Bagaimana kau tahu itu aku?" tanyanya.

"Hamba tahu dari gerakan angin yang memusar, membawa beberapa helai dedaunan," Nami mengaku. "Ketika angin itu menuju ke tepi hutan ini, hamba tahu itu adalah Panglima Milind."

Milind dapat saja meneruskan perjalanan dengan menunggang angin dan menghilang begitu saja, namun itu tak dilakukannya. Ia ingin tahu, bagaimana seorang Nistalit yang tak dapat melihat Akasha ternyata mampu meramalkan arah geraknya.

"Bagaimana caramu tahu, perbedaan angin biasa dan angin Akasha?" Milind menelisik.

Nami menarik napas panjang. Apakah pertemuan ini, pertanyaan dan jawaban yang terjadi akan menjadi pertanda buruk atau sebaliknya, ia tak tahu pasti. Telah lama Nistalit terbungkam. Ratusan tahun dalam perbudakan, apakah tak ada keinginan untuk bersuara walau belum tentu membuahkan hasil?

Gadis itu memejamkan mata.

Wajah ayah dan ibunya. Adiknya. Ki Dam. Tubuh-tubuh mengkerut di gua yang harus disandarkan ke pohon, bermandikan cahaya matahari agar menjadi debu. Semuanya mati dalam cambukan Kuncup Bunga. Hanya tersisa Jalma, satu-satunya keluarga, yang berada antara hidup dan sekarat.

"Nistalit," ulang Milind, "Aku bertanya padamu."

Nami membungkukkan badan sembari bersimpuh.

"Hamba…hamba belajar…mengamati, Panglima," bisik Nami, dipenuhi rasa takut dan khawatir.

Milind tegak mendengarkan.

"Teruskan," perintah Milind.

"Hamba…bertahun-tahun melihat, perbedaan angin. Udara. Ketika akan hujan. Ketika musim berganti. Sebab…kami…kami tinggal di gua. Di bawah pohon. Kami…harus tahu bagaimana cuaca di atas kepala," Nami terbata menjelaskan.

Milind menarik napas panjang, mengawasi seksama gadis di depannya yang terlihat jujur.

"…maka….kami juga tahu, ketika angin itu membawa wangsa Akasha yang mulia…," Nami menutup penjelasannya.

"Apa yang kau lakukan di wilayah tepian Wanawa?" tanya Milind.

"Hamba mencari Tuan," jawab Nami lirih.

"Mencariku? Untuk apa?"

"Meminta bantuan."

Milind membelalakan mata, lalu tertawa kemudian.

"Aku tak mungkin membantumu, Nistalit Giri," Milind menegaskan.

Nami membelalakkan mata.

"Jangan salah sangka, Nistalit," Milind berusaha menjelaskan. "Aku tak punya kepentingan apa-apa dengan Nistalit. Hanya kebetulan aku menolongmu dari Daga. Saat aku ke Giriya, tujuanku satu-satunya hanya bertemu Rakash."

"Tuan…?"

"Pergilah."

"Hanya Tuan yang dapat menolong Jalma, saudara saya satu-satunya," bening air mengalir di sudut-sudut mata Nami. "Ia butuh mantra panjang usia."

"Dan mengapa kau berpikir aku akan memberikannya padamu?"

Nami bersimpuh, membungkuk semakin dalam.

"Saya berjanji akan setia pada Tuan," Nami mengucapkan sumpah.

Milind tertawa, "Aku tak butuh kesetiaanmu, Nistalit Giri."

"Hamba akan membantu Tuan sekuat kemampuan hamba," Nami bersungguh-sungguh.

Milind mengerutkan kening.

"Kau? Membantuku? Bagiamana bisa! Baru saja kau berkata butuh pertolonganku," Milind meralat perkataan Nami.

Nami memandangnya putus asa.

"Tuan…tolonglah…" bisik gadis di ambang putus asa.

Milind memandangnya setengah hati.

"Kau seharusnya memohon pertolongan pada Rakash, bukan padaku."

"Hulubalang Daga menolak," Nami berusaha menjelaskan. "Hamba…hamba tak berani menghadap Panglima Rakash. Ia…ia …sangat menakutkan…"

"Kalau begitu, kau pun tak bisa berharap banyak padaku," tegas Milind.

Nami menatapnya semakin putus asa.

Milind berjalan melewatinya. Tak mencoba menunggang angin, berharap Nami tahu di titik mana Milind menghilang dan tak bisa diharapkan. Nami yang bersimpuh, merangkak cepat ke arah Milind. Memeluk kakinya, hingga Milind kesulitan bergerak.

"Lepaskan, Nistalit Giri!" bentak Milind.

Milind pun kebingungan menghadapi tindakan nekat Nami. Dengan sedikit kekuatan, ia mendorong gadis itu hingga terpelanting. Berpegangan pada ujung jubah Milind, pakaian hijau bersulamnya robek sedikit. Nami terkejut melihatnya. Gemetar tubuhnya. Gentar hatinya. Terbelalak mata menyaksikan selembar kain hijau tercabik dengan jemarinya. Petaka apa lagi yang akan dialaminya? Menyentuh Akasha adalah pelanggaran, merobek bajunya adalah penghinaan!

Muka Milind merah pedam.

"Aku bisa mengutukmu dengan mantra paling menyakitkan, Nistalit! Jangan pernah mendatangiku lagi! Jangan pernah menemuiku! Jangan pernah berharap sesuatu apapun dariku!"

"Panglima Milind…," Nami terisak.

Milind menatapnya dengan kemarahan puncak.

"Jangan pernah menyebut namaku!" desis Milind.

❄️💫❄️