Nami memandangi selarik kain jubah Milind.
Begitu lembut. Berkilau kehijauan dalam sentuhan cahaya rembulan purnama. Ia belum pernah menyentuh benda sehalus ini. Didekatkan ke hidung…alangkah wangi. Aroma dedaunan dan bebungaan hutan.
Panglima Milind, terlihat berbeda dari Rakash yang garang. Berbeda dari Daga yang pemberang. Begitu tenang dan bersahaja. Terlihat lembut dan menghormati semua. Tetapi, bukankah Milind hanya menghormati sesamanya saja? Ia sama sekali tak menyapa Nistalit. Menolak untuk menolong Nami, padahal Akasha memiliki mantra panjang-usia yang tak akan habis.
Seharusnya, tak perlu berpikir terlalu panjang dan meminta pertolongan Milind. Nistalit akan selalu menjadi budak, hamba sahaya, berakhir nestapa. Pemikiran para bangsawan seperti Milind tak akan jauh berbeda dengan Rakash dan Daga, apalagi mereka satu wangsa. Tak ada perbuatan baik Akasha bagi Nistalit. Satu-satunya pembelaan Milind pada Nistalit hanya karena Daga berusaha memukul seorang gadis. Lebih karena kebetulan belaka.
Jadi, Nami, jangan berpikir macam-macam, ujar Nami pada dirinya sendiri.
Kalian berbeda kasta. Berbeda wangsa. Bahkan Akasha dalam tingkatan biasa saja tak sudi berteman dengan Nistalit, apalagi bangsawan.
❄️💫❄️
Milind merasa kemarahan menyerangnya.
Ia melihat jubah hijaunya terkoyak di ujung. Berani betul Nistalit Giri itu menarik pakaiannya, merusaknya, dan menyobek seperti itu! Ia harus memberitahukan pada Rakash agar menghukumnya seberat-beratnya. Memberikan cambukan Kuncup Bunga. Memberi mantra pemangkas usia. Kalau bisa, memasukkan penjara dan menyiksanya agar jera.
Milind membaringkan tubuh di pembaringan. Kedua pedangnya tergantung di dinding, dekat atas kepala. Kelopak mata perlahan menutup.
Samar, alunan musik pengantar tidur dinyanyikan para pemusik Wanawa dari atas dahan-dahan pohon. Suara petikan. Hembusan panjang alat musik tiup. Ketukan-ketukan ujung jemari yang demikian lembut, penuh irama. Siapapun, akan terbawa tenang. Seberat apapun beban pikiran, nada-nada akan membawa kenangan buruk dan melemparkannya jauh ke jurang Mandhakarma. Menguburkan selama-lamanya.
Suara petikan.
Alat musik tiup.
Senandung merdu.
"Panglima Milind banna Wanawa?"
Panggilan lembut nan rapuh itu menyentuh telinga. Sebuah permohonan, selarik permintaan, diucapkan sedemikian pelan penuh pengharapan.
Milind terkejut.
Kelopak mata terbuka. Mimpi? Nyata? Khayal?
Malam masih panjang.
Bagaimana mungkin gadis Nistalit Giri itu meracuninya dengan suara yang sama sekali tak ingin didengarnya?
Tapi gadis itu menyelinap masuk ke ingatannya. Suara samar yang berasal dari dunia amat sangat jauh, membangkitkan sekilas kejadian yang telah ditinggalkan dan dianggap tak punya makna. Milind melihatnya bersimpuh, memohon di depan Daga. Memohon kelapangan bagi saudaranya yang terluka dan nyaris kehilangan nyawa.
Ah, itu bukan urusannya!
Mereka Nistalit dari kerajaan Giriya, tak berhubungan sama sekali dengan Wanawa. Milind menepis berbagai pikiran yang menyeruak masuk, tumpang tindih dalam ingatan. Tapi mengapa sosok gadis miskin, rendah, tak berharga itu mengusik benak Milind, sang panglima Wanawa?
Malam ini, bahkan kelelahan belum menguap.
Saat Milind berbaring dan belum sepenuhnya para pemusik mengantarkannya terlena. Ketika kepalanya beradu dengan bantal lunak, wajah gadis itu muncul. Wajahnya yang sendu. Matanya yang dipenuhi anak sungai. Keberaniannya menghadapi Daga sembari memeluk saudaranya yang sekarat.
Milind terduduk, memandang jubahnya yang tergantung. Mengingat peristiwa sebelum ia memasuki bilik peraduan.
"Jubahmu robek, Milind," halus suara Nisha menegurnya.
"Ya, Putri," Milind mengiyakan.
"Kau berkelahi?"
"Tidak, Putri."
"Ada kejahatan menimpamu?"
"Bukan, Putri."
Nisha tersenyum.
"Kau tampaknya tak ingin berbagi cerita denganku," Nisha menyimpulkan.
Milind tertegun.
Ia telah melaporkan hasil pertemuannya dengan Rakash kepada raja Vanantara dan sang putri ada di sana. Wajah cantiknya yang berkilau selalu membuat Milind salah tingkah.
"Biarkan ia istirahat, Nisha," Vanantara terlihat prihatin melihat Milind. Ia menepuk-nepuk pundak panglima kesayangannya. "Malam ini kau tidur dalam buaian senandung Nisha, putriku."
Milind berterima kasih sekali atas perhatian tak terhingga dari Vanantara. Kedua putri kerajaan Wanawa juga selalu melimpahkan perhatian dan kepercayaan. Bagaimana mungkin dalam lagu penghantar tidur yang dibawakan Nisha, suara gadis Nistalit Giri itu merasukinya?
❄️💫❄️