Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 61 - ●Nistalit : Hamba Giriya (1)

Chapter 61 - ●Nistalit : Hamba Giriya (1)

"Nistaliiittt!" teriak seorang hulubalang Giriya.

Yang dipanggil berlari tergopoh.

"Sudah kau siapkan anak buahmu membangun Gerbang Batu?" tanya sang hulubalang.

"Sudah, Tuan," Nistalit muda bernama Jalma membungkuk hormat.

"Berapa yang terkumpul?"

"Limabelas orang, Tuan."

"Limabelas???"

Jalma tak berani menatap.

"Hanya limabelas??" gelegar suara hulubalang.

"…betul..," Jalma menjawab lirih. Menunduk dalam.

"Dasar Nistalit pemalas!! Limabelas orang kau pikir bisa membangun gerbang, heh? Itu hanya menggali kuburanmu sendiri!"

Tubuh Jalma berdebu. Berkeringat. Pakaian tipis menempel, terbuat dari kulit pohon yang disamak kasar. Sepasang alas kaki bertali yang usang melindungi kaki dari panas membakar dan dingin yang menggigit. Lima belas orang berdiri berjajar, menanti penugasan berikut. Atau penghakiman.

Tenggorokan kering. Suara perut berteriak sejak matahari sepenggalah naik. Hingga matahari mulai lengser ke barat, hanya sebonggol jagung mampir ke lambung.

❄️💫❄️

"Gerbang batu setinggi bukit? Mustahil, Jalma," keluh seorang Nistalit.

"Mereka berniat membunuh kita!"

"Kita tak punya kekuatan seperti wangsa Akasha," keluh yang lain. "Mengapa mereka tak membangun gerbang batu atau bangunan megah yang lain dengan mantra? Mengapa harus kita?"

"Diamlah!" bentak Jalma lirih. "Kita hidup dalam belas kasihan mereka. Jika mereka melepaskan cambuk Kuncup Bunga, habislah umurmu! Mati!"

"Kenapa mereka sepertinya membenci kita setengah mati," bisik seorang Nistalit yang lebih muda.

Jalma mendengarkan saja. Pertanyaan-pertanyaan itu sudah lama mengendap di benaknya. Berkarat di hatinya, lalu dibiarkan menguap bersama hari esok yang tak berbeda. Leluhur mereka telah menjadi budak wangsa Akasha dan Pasyu sekian lama. Sekarang, hanya menjalani dan melanjutkan.

"Apakah kita tidak bisa minta keringanan?"

"Ya. Butuh hari lebih panjang untuk membangun Gerbang Batu!"

"Selain itu, butuh orang lebih banyak! Orang-orang kita sedang membangun bendungan, jembatan dan tempat-tempat pemandian. Permintaan bangsawan-bangsawan Akasha dan Pasyu banyak sekali."

"Sampai kapan kita akan seperti ini?"

"Apakah ada kemungkinan anak-anak kita punya masa depan?"

"Kurasa, kita akan tetap seperti ini selama ratusan tahun ke depan. Jika ingin benar-benar hidup, jadilah abdi yang baik!"

"Leluhurku dan keluargaku adalah hamba setia Akasha. Tapi tak ada belas kasihan sama sekali. Kami tetap seperti ini."

"Sama. Keluargaku pun begitu. Lihatlah aku! Apa kau melihat sesuatu yang menggembirakan dari diriku?"

Duka lara para budak Nistalik hanya seperti bisikan samar yang tenggelam dalam pusaran angin.

❄️💫❄️

Dalam gua-gua gelap pekat ketika matahari telah bersembunyi, Nistalit saling berpegangan tangan. Duduk berhimpitan, saling memberikan kehangatan. Mereka tertidur hingga esok pagi saat semburat matahari menerpa masuk. Tanda sempurna bagi setiap budak untuk kembali bekerja.

Malam itu, Jalma tak dapat tidur. Pikirannya gelisah. Ia melepaskan diri dari kelompoknya. Mencari udara sejuk di luar gua, menyusuri jalan remang yang hanya diterangi cahaya rembulan. Kaki-kakinya menyentuh daun-daun gugur. Ranting-ranting kering. Kerikil dan bebatuan. Tak tahu akan ke mana, hanya menuruti kata hati. Yang penting : menjauhi gua.

Seseorang membekap mulutnya dari belakang.

Menarik paksa. Menyeretnya yang tak siap.

"Apa-apppp…??" Jalma mencoba bersuara namun tercekat.

"Kau mau mati, Jalma??!" bentakan lirih terdengar. Lalu suara batuk tertahan.

Jalma mengenal suara itu. Suara bijak nan hangat, namun juga renta dan melemah.

"Ki Dam," bisik Jalma. "Apa yang Tetua lakukan di sini?"

"Mengawasi orang-orang liar sepertimu," jawab Dam, lelaki tua yang masih terlihat liat di usia senja walau dibantu tongkat ketika berjalan.

"Aku hanya ke luar gua," Jalma menahan napas.

"Untuk apa?"

"Hanya berjalan-jalan."

"Kau seharusnya tidur!"

"Aku akan tidur sebentar lagi, Ki Dam!"

"Lebih baik segera kembali dan istirahatlah!"

Dalam keremangan malam, Jalma melihat kilatan mata Ki Dam yang dipenuhi kecemasan.

"Mengapa Ki Dam berkeliaran juga?" Jalma bertanya.

"Jaga mulutmu, Jalma!" bentak Ki Dam. "Aku selalu ke luar malam untuk mengawasi orang-orang sepertimu yang suka berpikiran pendek."

Jalma mengerutkan kening.

"Maksud Tetua?" Jalma bertanya. Telinganya tergelitik oleh kata 'berpikiran pendek'. Apakah ada orang-orang sepertinya? Bosan hidup di gua-gua lalu melarikan diri?

"Apapun yang kamu pikirkan, hidup di gua dan menghamba seperti ini, jauh lebih baik daripada mati mengenaskan!" Ki Dam mengakhiri perdebatan.

Lelaki tua itu memaksa tubuh Jalma berbalik, lalu mendorongnya dengan tongkat untuk berjalan kembali ke gua. Jalma mengikuti arahan Ki Dam sembari terus berpikir. Berapa banyak orang-orang berpikiran pendek? Apa yang mereka lakukan? Apakah semua berakhir mati mengenaskan? Siapa saja yang sudah mencoba melakukannya.

Jalma berhenti tiba-tiba. Membalikkan badan. Menatap sosok di depannya dengan teliti.

"Ki Dam, apa yang akan terjadi kalau aku ke luar dari wilayah Giriya? Atau bila aku nekat ke Gangika, dan terus menyeberanginya?"

Ki Dam terbelalak, lalu menampar pipi Jalma.

"Diam kau, Pemuda Nistalit!" bentaknya ketakutan. "Kau tak tahu apa yang ada di luar sana!"

Jalma mengaduh pelan, memegangi pipinya yang memanas oleh amukan Ki Dam. Walau jengkel karena diperlakukan seperti itu, Jalma mencoba bungkam demi menghormati lelaki tua di depannya. Diam dan membisu adalah senjata para Nisalit untuk bertahan hidup.

Angin dingin bersiut panjang.

Menggerakkan dedaunan, ranting-ranting panjang, hingga batang-batang pohon meliuk-liuk. Ki Dam menengadahkan kepala, meneliti. Gerakan angin bisa berarti suara alam, atau bila ditunggangi Akasha, makhluk api abadi itu ikut mendengar percakapan.