Dalam mangkok kristal awan yang tampak berbuih namun demikian kuat bagai cangkang, sebuah batu gelap berkilau dengan sisik-sisik keperakan bertahta bagai permata tersemat di mahkota. Di tengah putih pualam, warna mutiara dan nuansa pendar cahaya yang mendominasi kerajaan Aswa; batu itu terlihat berbeda dan menonjol. Ada kesan kokoh dan agung ketika memandangnya dalam mangkok kristal, sekaligus rasa sendu yang dalam.
Keberadaan batu hitam dalam wadah tersebut dijaga puluhan prajurit Aswa yang siap sedia.
Bahkan, kemilau kerajaan Aswa yang ditopang pilar-pilar berwarna gading dengan lambang kerajaan megah berupa sayap terbentang di depan gerbang, tak mampu menghadirkan warna terang di hati para penghuninya saat itu.
Nisha, mempersembahkan musik syahdu kerajaan Wanawa bagi duka yang menyelimuti Aswa. Ia membawa tiga tabung yang terikat bagai harpa. Tabung itu memiliki tonjolan-tonjolan panjang di semuruh permukaan gilignya. Dengan jemari lentik, Nisha menepuk-nepuk. Jemarinya cepat menggeser, menekan dan menepuk lagi. Seakan sebuah tiupan panjang berirama, lagu syahdu alam baka melapisi langit. Seperti suara angin yang lembut, seperti alunan nada yang melenakan.
❄️💫❄️
"Kita kedatangan hari buruk yang tak pernah terjadi dalam sejarah Pasyu," Shunka menggelar pertemuan terbatas dengan pemimpin-pemimpin prajurit terpilih. Laira, Milind dan Nisha turut hadir. Pakaian warna kelam dikenakan.
"Panglima Kundh yang perkasa telah wafat," Shunka melanjutkan, menarik napas dalam dan panjang. "Ratu Laira telah mencoba sekuat tenaga menyembuhkannya. Sayangnya, seluruh pengobatan terbaik istana tak dapat mengatasi luka."
Laira menunduk dalam. Ujung mata dihiasi bulir tipis rasa kecewa.
"Aswa akan mengantar jasad panglima Kundh segera ke kerajaan Vasuki," ujar sang raja, melemparkan kata bernada berita, sekaligus perintah. "Aku akan mengirimkan wakil terbaik Aswa sebagai penghormatan terakhir. "
Setiap yang hadir tegang.
"Jagra?"
"Siap, Yang Mulia!"
"Gundha?"
"Siap, Yang Mulia!"
"Kalian panglima muda terbaik sesudah Gosha. Bersiaplah!"
Kehormatan bagi Jagra dan Gundha, dua panglima muda Aswa yang digadang-gadang suatu saat kelak menggantikan Gosha. Walau siapapun tahu, tugas kali ini bukan hanya sekedar penghormatan. Juga, tersirat pesan kematian.
Laira menatap Shunka dalam-dalam.
Seribu tanya dan pertentangan berkecamuk.
Bagaimana mungkin raja mengirimkan utusan kepara pihak yang jelas-jelas memusuhi? Bagaimana tanggapan Tala hal Vasuki? Apakah raja tidak menyadari, apa yang telah terjadi pada dirinya, Laira halla Aswa, ketika beberapa waktu yang lalu menyambangi kerajaan Vasuki dan bertatap muka dengan Tala, Gayi serta Nagen? Apakah ada rencana tertentu dalam benak raja Shunka ataukah ia sama sekali tak memiliki strategi apapun?
"Paduka Yang Mulia," Laira menekuk lutut, hingga separuh dirinya hanya setinggi pinggang sang raja. "Bolehkah hamba memberi masukan?"
Shunka mengangguk, mempersilakan.
Ratu tampak berusaha mencari cara terbaik untuk menyampaikan maksud.
"Mengirimkan utusan ke Vasuki sepertinya bukan pilihan bijak saat ini," Laira berkata lembut nan hati-hati.
Shunka mengerutkan kening. Sejurus ia bertanya, mengapa sang ratu meragukan keputusannya. Berat rasa Laira menyanggah sang raja di tengah pertemuan penting seperti itu.
"Raja Tala hal Vasuki akhir-akhir ini selalu dalam keadaan penuh amarah. Kematian panglima Kundh hanya menambah kemurkaannya," jelas Laira sembari membungkuk dalam.
"Menurutmu, kita lebih baik menyimpan jasad panglima Kundh di sini? Di Aswa?"
"Hamba pun belum tahu apakah lebih baik menyimpan jasad panglima Kundh di sini. Namun mengirimkan Jagra dan Gundha ke Vasuki, sama saja mengirimkan mereka berdua ke lembah kematian."
Wajah Shunka memerah. Menahan amarah.
"Apakah kematian Jagra dan Gundha tak sepadan dengan kehormatan Aswa? Apakah mereka takut mati demi melindungi seluruh rakyat kerajaan Aswa?" Shunka gusar bertanya.
Laira merapatkan kepala ke arah dada, mengatupkan kedua belah tangan di depan dahi, tanda meminta ampun atas kesalahan yang demikian besar. Shunka menarik napas, melunak.
"Lagipula, belum tentu Jagra dan Gundha mati bila ke Vasuki. Kita justru berharap utusan Aswa akan memperbaiki hubungan antara Aswa dan Vasuki," Shunka berkata.
"Kalau memang tujuannya untuk memperbaiki hubungan, mengirimkan Jagra dan Gundha tak cukup," Laira berpendapat.
Sikap lunak Shunka, seketika berubah kembali. Ia merasa dua kali dibantah Laira di tengah situasi genting rapat penting para pembesar Aswa. Wajahnya menegang. Kemarahan tersembunyi di balik kilatan mata seperti tajam pisau yang siap menikam.
"Yang Mulia Baginda Raja Shunka yang Kami Cintai," Laira tak menghentikan kehendaknya. "Bila ingin memperbaiki hubungan di tengah situasi sulit setelah kematian seorang panglima, orang terbaik Aswa harus berangkat ke Vasuki."
"Maksudmu, aku?? Jagra dan Gundha tak cukup baik??"
Lidah Laira kelu. Tenggorokannya kering. Jantungnya berdebar kencang. Ia ingin sekali berbicara hanya berdua dengan suaminya, namun situasi tak memungkinkan. Segala sesuatu bergerak cepat, dan ia tak punya waktu bertatap mata bicara rahasia. Satu-satunya kesempatan untuk menyampaikan buah pikiran yang dirasa benar, hanya di pertemuan kali ini.
Dewan kerajaan turut memberikan pendapat.
"Raja Shunka tak seharusnya ke Vasuki. Sangat berbahaya," pendapat ketua dewan dan pejabat istana sepakat.
Laira ingin bersuara kembali, namun urung.
Shunka tampak merenung.
"Bagaimanapun, dipandang dari segi manapun, kerajaan Aswa memiliki kesalahan. Panglima Kundh mati ketika bertempur dengan Gosha. Panglima Vasuki mati di sini, di Aswa. Kita harus bertanggung jawab dan berani menunjukkan muka."
Laira tak sanggup menyangkal.
"Aku tahu, tak semua setuju dengan keputusanku. Mengakui kesalahan memang memalukan. Bertanggung jawab terhadap kesalahan, memang membahayakan. Tapi kita tak akan mundur hanya karena rasa malu dan bahaya. Lambang negeri ini adalah sepasang sayap putih yang terbentang lebar. Kita akan berkelana dengan kemuliaan dan keluhuran budi."
Hening mencengkram aula putih yang dinaungi dengan limpahan cahaya surya. Lubang-lubang berbentuk lingkaran sempurna dari atap aula, meloloskan jejak bintang paling cemerlang yang menghadirkan waktu siang. Keputusan Shunka bulat. Dewan istana dan pejabat kerajaan mendukung penuh. Gosha, yang baru sembuh dari sakitnya dan berjalan tertatih , berdiri tepat di belakang pasukan. Sang panglima meneriakkan seruan yang disambut gegap gempita.
❄️💫❄️
Hidup Raja Shunka hal Aswa,
Jayalah Wangsa Pasyu Aswa!
❄️💫❄️