"HooooY! Ekskavatornya gak bisa gerak!"
"Kenapaaa?"
"Gak tau! Susah banget nih!"
Para pekerja penggalian yang berpeluh basah di tengah cuaca panas membanting topi. Mandor mendekati supir ekskavator.
"Kenapa, Mas?"
"Ndak tau ini, Pak. Kenapa kayak gini, ya?" pengendara mesin besar warna kuning itupun tegang.
Tak sabar, mandor menggerak-gerakkan salah satu tuas ke kanan dan ke kiri. Ke depan ke belakang
Betul.
Beku.
Membatu.
Lengan raksasa ekskavator menancap kuat. Gusar. Mandor menyuruh supir bawahannya turun dan ia mengambil posisi mengganti. Gerakan kombinasi arm dan boom sama sekali tak menggerakkan moncong. Bahkan ditambah tuas bucket hingga maksimal pun, jari-jemari raksasa ekskavator yang kokoh itu bagai tertidur pulas.
🔅🔆🔅
Tiga hari pekerjaan terhenti.
Area penggalian pondasi dalam untuk area hotel wisata itu terbengkalai untuk beberapa saat. Pekerja benar-benar tak mampu bergerak apa-apa tanpa bantuan alat berat. Mandor terlihat gelisah dan sibuk dengan ponselnya untuk mengontak banyak pihak. Siang itu, pimpinan proyek akan meninjau. Kedatangannya disambut dengan rasa segan dan harapan agar proyek tetap berjalan
Lelaki muda tinggi tegap, dengan hidung mancung dan mata tajam tergesa mendatangi area penggalian. Orang-orang menyambutnya hormat diselimuti penuh rasa khawatir.
"Kita nggak punya waktu banyak untuk buat pondasi, Pak Koko!"
"Mohon dimaafkan, Pak Rendra," mandor yang dipanggil pak Koko mencoba menenangkan.
"Kalau nggak bisa menyelesaikan ini dalam jangka waktu dua bulan, investor kita dari Korea bakal menarik modal!"
"Nggih, saya ngerti, Pak," pak Koko menarik napas panjang.
"Ada solusi?" tantang Rendra.
"Saya usahakan," pak Koko mengangguk, mencoba bersabar.
"Apa solusinya?"
"Mungkin kita perlu alat berat lebih banyak dan lebih kuat."
"Lebih banyak?" Rendra menaikkan alis. "Pak Koko tahu, bahkan untuk mengeluarkan satu alat berat dari kandangnya aja kita sudah harus bayar belasan juta? Untuk ngangkut alat itu ke sini dan harus lewat jalan kita terpaksa bayar banyak orang, termasuk back-ing yang berwajib!"
Pak Koko terdiam.
"Lebih banyak alat, lebih banyak duit!" Rendra gusar berujar. "Cari solusi yang lebih masuk akal!"
"Baik, Mas," pak Koko mengiyakan. "Oh, maksud saya, Pak Rendra."
Rendra melap dahinya yang berkeringat dengan ujung lengan yang digulung.
"Pak Koko," Rendra melunak. "Kalau saya boleh milih, dana yang digelontorkan mending buat para pekerja. Nggak buat alat, bayar sana sini, dan lain-lain. Nanti biar saya usahakan uang lembur kalau memang harus kerja sampai dini hari."
Dini hari?
Wajah pak Koko terlihat terkejut.
Uang lembur?
Ini berita menghibur.
Ketika Rendra menghilang dari pandangan, pak Koko mengeluarkan ponsel lawasnya.
🔅🔆🔅
"Jadi gimana?" seorang pekerja mendekat.
"Kita harus lembur, Mbang," ujar pak Koko.
"Lembur lagi?" pekerja kasar yang dipanggil Bambang itu berteriak.
"Ya, kamu mau ndak?"
"Ada duitnya?"
"Ada laaah! Emang pak Rendra orangnya galak, tapi gampang bagi-bagi duit."
Bambang terkekeh, "Dia udah dapat banyak, makanya suka bagi duit! Bagi dia duit segitu cuma buat ngelap keringet!"
"Hush! Ndak usah nyangka jelek sama orang yang lagi berbuat baik," pak Koko menepuk-nepuk punggung Bambang.
"Trus, kita ngapain?? Ngeluarin mesin gede lagi?"
Pak Koko menggeleng ragu.
"Hah? Kita mau nyangkul, gitu?" mata Bambang terbeliak.
"Nanti kukabari. Kasih tau teman-temanmu, kalau bakal ada kerja lembur. Trus ada duit tambahannya juga."
Pak Koko memencet nomer seseorang.
🔅🔆🔅
Setelah saling mengucap salam, percakapan singkat terjadi.
"Kamu bisa ke mari, Nduk?"
Gadis yang dipanggil 'nduk' itu menatap jam di dinding. Ia belum selesai dengan pekerjaannya merapikan kembali buku-buku, melapnya dari debu dan meletakkanya sesuai label. Anak-anak sekolah yang berkunjung memperlakukan buku-buku tua itu seperti tiket parkir yang gampang dibuang. Andai mereka tahu berapa nilainya!
"Aku usahakan ya, Pak."
"Kamu banyak kerjaan, Najma?"
"Nnnnnddak sih, Pak," Najma menatap tumpukan tipis di mejanya. Tumpukan yang tak tinggi tapi menguras energi. "Memangnya ngapain aku ke tempat Bapak?"
"Bapak mau minta bantuanmu. Proyek Bapak macet lagi."
"Astaga! Bapak mau nyuruh aku nggali-nggali? Kejadian tempo hari ternyata cuma pondasi proyek tua yang terkubur karena investornya lari."
"Ya…tapi kamu juga pernah nemu bekas bom kan?" pak Koko mengingatkan.
Najma menghembuskan napas.
"Emang yang ini kenapa, Pak?" Najma tak seberapa berminat.
"Ekskavatornya macet. Pokoknya Bapak tunggu segera, ya!"
Pak Koko mematikan ponsel. Ia menatap mesin besar warna kuning yang sering disebut Bambang sebagai Bumblebee, tokoh dalam film Transformer. Puluhan tahun ia bekerja sebagai buruh bangunan, tukang, hingga akhirnya menjadi mandor. Kehidupan lapangan yang tak mudah. Temuan di lapangan sering tak terduga, kadang tak sesuai nalar juga. Ia hanya berharap kali ini, hanya pondasi tua yang sudah mengering dan menyatu dengan kerak bumi.
Semoga Najma bisa tepat waktu sampai, sebelum matahari menghilang.
🔅🔆🔅