Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 30 - Artefak (4)

Chapter 30 - Artefak (4)

Malam yang dipenuhi mimpi.

Suara dengungan –atau dentingan, atau mungkin tiupan yang tak dikenal dari dunia ini. Setidaknya, tidak dalam masa sepuluh atau duapuluh tahun belakangan. Najma menyukai musik. Dari Gen Hoshino sampai Sound Horizon. Dari Twice sampai N-Flying. Dari SIA sampai Alan Walker. Sepanjang ia suka, akan didengarkan. Dangdut koplo pun oke. Semua musik yang membuatnya lebih senang dan bergairah, didengarkan saja. Musik-musik itu biasanya didengarkan ketika ia sedang lelah dan butuh energi ekstra. Sesudah lelahnya hilang, dan ia ditimbun kesibukan, yang menemaninya hanya instrumentalia macam piano Yiruma.

Tak ada yang membekas demikian dalam.

Kalau ia ingin mendengarkan musik, harus membuka laptop atau lewat ponsel. Dengarkan saja, dan lupakan. Sesimpel itu. Semudah itu. Makanya selera musiknya cepat berganti-ganti. Indonesia, India, Jepang, Korea, Amerika, Finlandia, sampai lagu-lagu jadul orangtuanya yang masih pakai bahasa Belanda atau lagu propaganda penjajah.

Tak ada musik yang masuk secara lengkap hingga ke alam mimpi.

Najma berada di antara tidur dan terjaga. Suara panjang dan harmoni tunggal dari celah-celah tanah merekah bekas lubang penggalian seperti lagu nina bobo. Menghanyutkan. Sendu. Membawa hati ingin mengikuti arah datangnya suara dan terhanyut di dalamnya.

🔅🔆🔅

"Aku nemu benda aneh," Najma mendatangi Ragil, ketua tim lapangan cagar budaya yang sedang sibuk dengan berkas dan komputer.

"Hm?" Ragil tak menanggapi. Rambut ikal yang panjang dan diikat ekor kuda ke belakang, seharusnya menambah tampan wajahnya. Kalau saja rambut itu disisir, minimal rajin bertemu shampoo.

"Aku nggak ahli di bidang ini, Mas Ragil. Aku cuma bisa baca manuskrip kuno. Apa Mas Ragil bisa ikut aku ke lokasi?"

"Sudah lengkap penggaliannya? Sudah ada sketsa bangunan induk?" tanya Ragil , tanpa mengalihkan mata dari komputer.

"Ha?" Najma menaikkan alis, tak mengerti. "Ya, belumlah. Ini baru nemu benda aneh yang menyumbat kerja ekskavator."

Ragil berdehem.

"Kalau gitu, selesaikan aja penggaliannya," saran Ragil enteng.

"Ya, mana bisaaa?" Najma merengut. "Kalau digali semua, butuh orang. Kalau gak digali, siapa tahu dihancurkan sama kontraktor bangunan pemilik proyek. Siapa tahu itu jejak sejarah yang belasan, ribuan tahun. Berharga banget buat Indonesia 'kan?"

Ragil tak merespon, ia masih berkutat dengan gambar-gambar di komputer. Sembari menelepon beberapa orang. Najma menunggu antara sabar dan tak sabar.

"Mas Ragil!"

"Haduh, Naj!" Ragil merasa terganggu. "Kamu gak liat apa, kepalaku berasap? Pusat dan internasional minta profiling temuan gambar-gambar kuno di gua. Proyek candi di Jawa Timur aja belum selesai. Ini udah ada lukisan kuno di gua Maros."

"Makanya aku gak mau ganggu Mas Ragil lama-lama. Mas Ragil liat lokasi, liat benda apa itu. Katakan sama aku kalau itu benda kuno atau cuma benda tua," Najma bersikukuh.

Ragil menggeleng kuat, "Ndak. Aku ndak bisa! Pokoknya ora isooo*!"

Najma memandang dengan mata memohon ke arah Ragil yang tak tergoyahkan. Gadis itu membuang napas jengkel.

"Mas Ragil…"

"Najma, pliiiisss. Jangan ganggu aku!"

"Aku cuma nanya. Pertanyaan terakhir. Habis itu aku pergi," Najma mengatupkan tangan, meletakkan di depan dada tanda bersungguh-sungguh.

"Oke! Oke!"

Najma tarik napas sembari berdoa.

"Mas Ragil pernah gak, nemu artefak kuno yang magis? Yang seolah menyihir pikiran dan jiwa?"

Ragil tetap mengetik dan memusatkan pikiran ke depan komputer. Ia benar-benar tak bisa diganggu. Kata-kata, kalimat, pertanyaan Najma seolah angin lalu. Demi dilihatnya tak ada jawaban dan tanggapan, Najma beranjak dari meja kerja Ragil.

🔅🔆🔅

Jam istirahat.

Najma membuka bekal makanan yang terdiri dari buah, sayur pecelan dan rempeyek, juga jamu kunir asem yang sering dibuatkan ibu. Paket lengkap bagi anak gadis yang ingin berdiet. Biasanya sayur pecel ibu membangkitkan selera. Kali ini, hanya rempeyek kacangnya yang terasa lezat dikunyah.

Sesosok tubuh pemuda muncul di depan mejanya.

"Ya, aku pernah," jawab Ragil.

Rempeyek tergantung di mulut Najma. Pernah apaan? pikir Najma.

"Aku pernah merasa dihantui, terpengaruh, tersihir, seolah masuk ke dalam alam kuno ribuan tahun silam ketika menemukan sebuan candi berundak yang ternyata pemakaman. Aku sampai harus dibawa berobat sama orangtuaku. Kata seorang ustadz, aku harus diruqyah. Kata orang pintar, aku kena 'sawab'** jin penunggu. Kata orang indigo, ada yang menguntitku sejak keluar dari candi berundak."

Najma meletakkan rempeyek hati-hati ke boks makanan.

"Ya…aku ngerasa semua yang dikatakan itu benar. Tapi itu gak ngebantu sama sekali. Aku jadi sakit. Sakit pikiran, sakit badan. Waktu akhirnya aku dibawa ke psikiater dan psikolog, kupikir jawaban itu membantu," Ragil menjelaskan.

Najma menatap Ragil serius.

"Kata mereka : aku terlalu terobsesi," Ragil mengakhiri percakapan.

Ragil membalikkan badan.

Najma berpikir cepat.

Hal terakhir yang dikatakan Ragil adalah : don't be too much obsessed with something you don't know.

"Mas Ragil!" panggil Najma. "Aku tahu kenapa kamu sembuh, Mas. Itu bukan karena psikiater atau psikolog itu."

Ragil kembali membalikkan badan ke arah Najma, keheranan.

"Apa maksudmu?" tanya Ragil.

"Itu karena kamu mendapatkan 'jawaban' yang kamu butuhkan. Makanya sakitmu terhenti, Mas. Obsesi itu yang menjadi jawaban kerisauanmu yang berat. Pikiran Mas Ragil trus tenang."

Ragil terdiam sejenak, terlihat merenung, lalu angkat bahu.

"Nah, makanyaaa. Aku butuh jawaban biar gak terobsesi," Najma cepat melanjutkan. "Nanti aku sakit badan. Sakit jiwa."

Ragil menggerutu.

Mengomel panjang pendek.

"Itulah susahnya kalau ngomong sama anak sastra! Segala macam perkataan diputar balik!"

Najma terkikik.

Kata siapa anak sastra kurang IQnya?

🔅🔆🔅

____________

*ora iso : tidak bisa (bahasa Jawa)

**sawab : pengaruh (bahasa Jawa)