Matahari beringsut.
Angin senja yang syahdu mempermainkan dedaunan, rumput dan rambut-rambut.
Najma memarkir sepeda motor agak jauh dari area penggalian. Ia tak melepas jaket dan helm ketika mendekati tempat yang ditunjukkan pak Koko, pertanda kunjungannya ingin dilakukan secara cepat. Suara pemuda-pemuda bersuit-suit ketika melihatnya datang. Bukan 'catcalling' yang merendahkan. Para pekerja tahu, gadis itu anak kesayangan pak Koko.
"Helmnya, Mbak?" Bambang menggoda.
"Gak usah. Aku gak mau otakku rusak di sini," Najma menjawab setengah mengejek.
"Wooo, ngenyek* yaaa. Emang kita tumpul semua otaknya?" Bambang memonyongkan mulut. "Mau ngapain ke sini? Disuruh bapak?"
Najma terus berjalan ke arah ekskavator tanpa mempedulikan Bambang.
Beberapa area terlihat bekas penggalian dalam dan panjang. Lubang empat meter menganga di tanah yang berwarna coklat. Area persawahan yang hijau berubah menjadi kuburan raksasa dengan lubang dan gundukan tersebar di berbagai penjuru. Beberapa kubangan air juga muncul.
"Hati-hati! Kadang tanahnya ambrol!" Bambang mengingatkan, ia terus menguntit.
Pak Koko, justru sedang menepi dan terlibat perbincangan serius dengan beberapa orang, termasuk Rendra. Wajah lelaki paruh baya itu terlihat terkejut melihat Najma hadir dan salah tingkah. Ia tampak meminta izin sejenak pada Rendra.
"Kok kamu udah di sini, Nduk?" tanya pak Koko khawatir.
"Lha, Bapak yang minta saya ke sini, kan?"
"Itu kemarin. Kok baru datang sekarang?"
"Aku kan juga sibuk, Pak. Ini juga belum selesai," Najma melihat ke kanan dan ke kiri. "Bapak rapat aja. Nanti aku kasih laporan, ya. Maafkan, Najma baru bisa datang."
Ia melompat masuk.
Ya Tuhan.
Ia lulusan sastra Jawa yang terjebak di pekerjaan cagar budaya. Membantu peneliti dan mahasiswa arekeologi atau antropologi sekarang menjadi bagian dari hidupnya. Membantu bapak, sekarang masuk daftar juga.
"Hei, bajumu kotor ntar!" Bambang dan para penggali menatap dari atas lubang galian.
Najma menengadahkan kepala. Baru terasa, helmnya ternyata cukup mengganggu. Ia tadi berharap hanya mampir sebentar, berharap macetnya ekskavator kali ini hanya karena pondasi bangunan biasa. Melihat galian-galian di sana sini, mau tak mau ia merasa gusar. Mungkin jiwa penggalian artefak kuno ikut mencelupnya. Dari hanya membaca manuskrip, sekarang ingin ikut menyelamatkan prasasti atau temuan-temuan kuno.
"Mas, tolong helmku!" Najma mengulurkan ke atas, ke arah tepian lubang. Bambang menerimanya dan menyuruh seseorang meletakkannya di bangku ekskavator.
Tanpa diminta, Bambang turun.
"Aku mau meriksa apa ini," kata Najma. "Angkat bucket-nya dong."
"Yaaah, kalau bisa diangkat, udah dari kemarin gak mogok begini, Mbakyuuuu," jelas Bambang.
Bucket, atau yang mirip telapak jari raksasa di ujung lengan ekskavator, benar-benar seperti motor mogok yang tak bisa berjalan.
"Mas Bambang, ambilkan kape," perintah Najma, meminta Bambang mengambil satu alat.
"Astaga! Mana kita bawa alat-alat kayak gitu? Kita bukan mau bangun satu rumah. Ini mau bangun hotel, gedung bertingkat!"
"Coba, tolong mintakan sama bapakku. Bapak biasanya selalu bawa alat-alat lengkap."
Bambang menghilang sesaat.
Jari jemari bucket itu memang seperti tersangkut sesuatu. Kalau pondasi bangunan, boleh jadi mudah dihancurkan. Bahkan, beberapa bangunan candi yang super kuat pun, bebatuannya bisa dikalahkan alat berat. Sangat disayangkan memang. Mungkin saja, bapak dan Bambang memang tak berniat menghancurkannya. Beberapa waktu lalu, penemuan bom lawas dan sebuah potongan wilayah candi membuat tim bapak mendapatkan penghargaan dari pemerintah daerah. Hadiahnya tak besar, tapi membanggakan. Bagi buruh seperti bapak Koko, Bambang dan para penggali, pemberian penghargaan dengan acara seremonial sangatlah membanggakan.
Mungkin saja demikian.
Najma mencoba mengelilingi bucket. Berdiri di sisi kiri, pindah di sisi kanan. Berputar ke depan. Balik ke belakang. Seperti anak kecil mengagumi mainan.
Bambang datang dengan sejumlah alat.
"Apa powernya kurang buat ngangkat?" Najma bertanya.
"Sembarangan! Sampai tiga hari tiga malam kita nyoba ngangkat."
"Jangan-jangan mas Bambang mau dapat hadiah dan penghargaan lagi, makanya segaja ekskavatornya dibiarin macet," goda Najma.
"Hadeeeh. Ngapain juga. Akubutuh duit segera. Kalau proyek lancar, duitnya juga lancar."
"Kape. Empat inchi," Najma meminta.
Bambang mengulurkan.
Najma mencoba berjongkok, menjauhi bucket yang tertancap. Masih cukup panjang bentuk yang mencuat keluar dari bucket. Panjang dan berat. Seperti bebatuan. Seperti undak-undakan. Seperti balok. Entah. Kape, berbentuk seperti pisau kotak dengan ujung lebar bergagang kayu, jadi andalan penggalian artefak . Empat inci adalah ukuran mata pisaunya.
Hati-hati, Najma berusaha membersihkan tanah lumpur yang melekat kuat. Tanah itu mengeras. Seperti serbuk , adonan, tapi menempel rapat. Dengan gesekan dan garukan, serbuk itu selapis demi selapis terlepas. Baru beberapa kali mengeruk , Najma berhenti ragu.
"Kape dua setengah," Najma meminta.
Bambang mengulurkan. Najma terus menyisir, menggaruk, mengeruk perlahan. Wajahnya semakin tegang.
"Kape satu inchi," Najma meminta lagi.
"Ya, ampun! Macam dokter bedah di pilem-pilem kamu ini, Mbak!"
Najma memegang kape kuat-kuat. Ia harus memperlakukan barang ini dengan lembut. Mungkin saja cuma pondasi biasa. Mungkin cuma tanah tua. Mungkin juga sesuatu yang lain.
"Nduuuuk! Hati-hati!" teriak pak Koko. "Jangan lupa baca doaaa!!"
Najma menatap ayahnya dan mengangguk.
"Apa yang kalian lakukan?!" Rendra berteriak dari atas.
Terkejut, Bambang tanpa sengaja menjatuhkan setumpuk alat milik pak Koko yang terlindung kulit tebal. Suara aneh menguar ke udara. Wajah Bambang pucat pasi. Menatap ke arah Najma yang juga terkejut.
"Kamu dengar??!" Bambang berbisik, setengah berteriak. "Suaranya…"
Najma mengangguk
"Lariiii! Ini bom tua jaman Jepang yang mungkin meledak!" teriak Bambang sekuat tenaga.
Bambang meloncat meninggalkan Najma yang terbelalak, kaku di tempatnya. Seluruh buruh berhamburan, menjauhi penggalian dan ekskavator. Pak Koko dan Renda yang di tepian lubang terlihat panik, menoleh ke arah gadis di lubang bawah tanah yang terjebak sendiri.
"Kamu cepat keluarrrr!" seru Rendra.
"Cepat, Nduuuk!" pak Koko berteriak.
Sontak keduanya mengikuti arah para buruh penggali melarikan diri sejauh-jauhnya. Baru beberapa langkah pak Koko terhenti dan menggamit tangan Rendra.
"Mas Rendra, itu putri saya masih di sana!"
Terkesiap, Rendra menghentikan langkah. Pak Koko berbalik arah, menuju lubang penggalian. Najma masih di sana! Najma terjebak!
"Najmaaa!"
________________________
*Ngenyek : mengejek (bhs. Jawa)