Pak Koko berlari ke arah lubang penggalian. Sebagai seorang ayah, keselamatan putri yang dicintainya lebih penting daripada sekedar menyelamatkan diri sendiri. Demi melihat pak Koko berbalik, Rendra otomatis ikut berbalik. Manusia memang memiliki gerak refleks ikut-ikutan!
Di tepian lubang galian, pak Koko tiarap, menyorongkan kepala melebihi tepian lubang. Mengintip dengan rasa gelisah, panit, takut, bertumpuk-tumpuk. Rendra, yang tetiba telah berada di sisinya, otomatis ikut tiarap.
Di dasar lubang galian, Najma pun tengah tengkurap.
Memeluk balok, batuan, pondasi atau entah yang-belum-dapat-disebutkan-namanya. Gadis itu setengah mengelus-elus benda keras yang menyebabkan bucket ekskavator macet total. Telinganya ditempelkan. Kape di tangannya, digunakan untuk mengetuk-ngetuk.
Cemas, pak Koko berteriak.
"Nduuuuuk! Najmaaa??? Kamu masih waras*, kan?"
Najma tak menggubris. Teriakan ketiga kali, ia bereaksi. Beringsut perlahan, berdiri tegak sembari mengibas-ngibaskan debu tanah dan debu lumpur yang mengotori sekujur tubuh.
"Nduuuk??!"
Najma menengadahkan kepala.
"Waras, Paaaak!!" jawabnya, sembari mengacungkan dua jempol. "Lahir batin waras!"
🔅🔆🔅
"Penakut amat sih, Mas," Najma menegur Bambang, yang pertama kali mendekatinya sesudah ia keluar dari lubang. "Wong itu cuma barang tua kok."
"Bom?" Bambang mengkerutkan badan.
Najma angkat bahu,"Ndak tahu aku."
"Lha, kalau gitu, bahaya kan? Suaranya itu lho, kayak waktu kita nemu bom tua sisa penjajahan Jepun."
Najma terlihat berpikir.
"Nggak sama, Mas Bambang. Beda kok. Emang ada suara-suara aneh begitu."
Angin senja, jelang maghrib, berhembus lebih kencang. Suara dzikir dari berbagai masjid bersahut-sahutan sebelum adzan. Dengungan panjang nan keras, terdengar dari bawah lapisan tanah. Dengungan itu seperti orang beramai-ramai meniupkan sesuatu. Walau ditiup ribuan mulut, harmoninya tetap sama. Nada yang tunggal.
Bambang membelalakkan mata, terlihat bergidik.
"Mbak Najma! Denger kan??"
Najma mempertajam telinga.
"Iya, aku denger."
"Suaranya…suaranya…kayak aneh gitu. Ngeri!!" Bambang berbisik.
"Ngeri?? Nggak kok. Indah malah. Memang misterius."
Bambang membalik topi, resah.
"Dasar anak mandor tukang gali," sebut Bambang tanpa maksud menghina. "Sekarang malah sukanya makam-makam kuno, nyari-nyari istana kuno. Semua yang tua dan aneh dibilang bagus. Semua yang ada di bawah tanah dibilang barang berharga."
Najma terkekeh.
"Udah ah, mau Maghrib nih. Aku pulang dulu," Najma mengambil helm.
Mandor utama menekati mereka berdua.
"Najma," pak Koko mendekati putrinya. "Pak Rendra pingin tahu, tadi itu apa."
Najma, dikerubungi banyak sosok lelaki. Kalau bukan karena terbiasa, sebagai seorang gadis ia akan mengkerut ketakutan berada di tengah tukang-tukang dengan lengan-lengan sebesar guling.
Apa itu bangunan lama?
Apa itu pondasi bekas, mengingat daerah ini pernah mau jadi obyek wisata?
Saluran irigasi, mungkin?
Tumpukan bata-bata? Di banyak daerah, ada pabrik batu bekas yang akhirnya terbengkalai. Tertimbun tanah. Bata sekarang lebih ringan dan menggunakan campuran plastik.
Atau septic tank bekas? Pernah, sebuah kompleks dijadikan penimbunan WC-WC dari sekian banyak rumah yang dipugar.
Pertanyaan-pertanyaan menghinggapi Najma yang juga kebingungan harus memutuskan bagaimana. Ia mengangkat kedua belah tangannya, meminta berhenti.
"Pokoknya itu bukan bata, pondasi, septic tank apalagi WC. Ingat. BUKAN WC!" Najma menekankan, betapa berharganya barang yang tersangkut lengan ekskavator.
"Apa itu bisa dihancurkan pakai bom atau crane sama bola besi?" pak Gatot, buruh yang lebih senior dari Bambang angkat bicara.
"Wah, jangan dihancurkan, Pak!" kata Najma.
Rendra memotong.
"Proyek ini harus berjalan, Mbak. Jadi, bilang aja ke kami, barang itu apa. Nanti kami bereskan," kata Rendra.
"Bereskan?" Najma mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Maksudnya mau dihancurkan, diledakkan, dipotong-potong, digepengin," Bambang menjelaskan, setengah mencibir.
Najma terbelalak.
"Kalau itu barang peninggalam kuno? Prasasti? Candi? Atau artefak lain?" Najma bersikukuh.
"Barang kuno nggak bisa menghidupi orang," Rendra tertawa lirih. "Itu gak bisa menghidupkan roda perekonomian. Sekarang salah satu devisa negara dari pariwisata. Yang bisa menghidupi masyarakat sini ya kalau nggak resort dan hotel, juga café dan restoran."
Najma mengepalkan tangan ke arah Rendra. Pak Koko menyambut sigap, menggenggam tangan Najma dengan lembut dan menurunkan ke bawah. Ia memberikan isyarat kepada Najma untuk tak keras kepala.
"Nduk, sudah! Besok biar dirapatkan. Biar diputuskan sama pak Rendra dulu…"
"Ini???" Najma menudingkan telunjuk ke arah Rendra.
"Ya, ya…ini pak Rendra, atasan Bapak," pak Koko memperkenalkan sekilas.
"Oooo, jadi ini yang sering Bapak ceritakan? Yang tinggalnya lama di luar negeri? Amerika, Eropa, Jepang?" suara Najma nyinyir.
Pak Koko meletakkan telunjuk ke mulut, tanda diam. Jelas-jelas Najma tak menaruh hormat.
"Ya. Saya pimpinan proyek di sini!" Rendra menegaskan. "Jadi saya yang mengambil keputusan."
Najma memandang Bambang yang menaikkan bahu tanda pasrah.
"Oke," jawab Najma, setelah berpikir.
"Oke!" sahut Rendra.
"Oke," Najma mengulang kata itu lagi. "Semoga Pak Rendra sadar konsekuensinya."
Pak Koko tertegun. Bambang menatap Najma lurus-lurus. Rendra menatap gadis keras kepala di depannya dengan jengkel.
"Apa memangnya?" tantang Rendra.
Najma tersenyum simpul menatap wajah semua lelaki yang mengelilinginya.
Adzan maghrib berkumandang.
Najma menemukan momen tepat.
"Kalau merusak situs kuno, tanggung sendiri kalau semua buruh di sini kesurupan. Termasuk Pak Rendra!"
🔅🔆🔅
___________
*Waras : sehat (bahasa Jawa)