Istana ratu terletak terpisah dari istana raja.
Lima menara berdiri, sepenuhnya berada dalam kekuasaan Laira halla Aswa. Sang ratu menempati ruang dengan menara terbesar yang terletak tepat di tengah-tengah. Menara paling tepian di kanan kiri adalah menara tertinggi, berisi prajurit Aswa baik lelaki dan perempuan untuk melindungi keselamatan ratu. Dua menara di sisi sebelah dalam berguna untuk memenuhi segala kebutuhan sang ratu dan putra putrinya.
Lima menara awan terlindungi dinding-dinding berbuih es yang dinginnya mampu mencincang tubuh. Musuh yang mencoba mendekat dari segala penjuru akan mengering, lapuk dan hancur bagai remahan. Jembatan yang menghubungakan istana ratu Laira dan istana raja Shunka dipenuhi buih kristal awan yang runcing dan beku. Hanya yang diizinkan ratu mendapatkan perlindungan keamanan untuk masuk mendekat.
❄️💫❄️
"Bantu aku menemui ratu Laira, Milind," Nisha memerintahkan.
"Kita tak mungkin mendekat lewat jembatan utama, Putri. Tubuh kita tak akan sanggup menempuh jalannya."
"Beri aku kekuatan dirimu. Aku mencoba menembus jarak dan bergerak berhemat waktu," Nisha bersikukuh.
Milind menarik napas pendek, tampak tak setuju namun tak mampu berbuat lebih banyak.
"Hamba menunggu di ujung jembatan dan semoga Putri dapat mengetuk pintu ruang peraduan ratu tepat waktu."
Nisha bergerak berkali lipat lebih ringan dan berkali lebih cepat untuk memasuki peraduan ratu. Ia tak melewati jalan biasa dan bertemu para penjaga yang berlapis-lapis, para pelayan yang berlapis-lapis, pemimpin dayang yang pasti tak akan mengizinkan bertemu tanpa perjanjian awal. Tak seorangpun melihat kehadirannya selain merasakan hawa sejuk nan wangi bergerak masuk tanpa dapat dicegah. Menembus pintu peraduan ratu Laira juga bukan perkara mudah karena berlapis-lapis kristal putih kebiruan yang tak tergores bahkan oleh senjata paling ampun sekalipun
"Hamba mungkin lancang. Tapi…," Nisha menggantung ucapan, seolah meminta persetujuan. Ia telah berada di ruang peraduan ratu yang tengah duduk termenung di hamparan lapisan halus nan lembut berwarna keperakan. Para dayang yang tengah melayani terkejut tak terkira. Tubuh mereka seketika membeku, berubah bentuk menjadi dinding yang melindungi ratu.
Laira memberikan isyarat tangan.
Semua bukan ancaman.
Perlahan para dayang undur dan waspada di balik pintu.
Laira menyambut tenang dan mempersilakan Nisha duduk tak jauh dari hadapan. Ia mengamati putri Wanawa di hadapapannya yang terlihat gelisah, namun mencoba untuk tetap tegar dengan kecamuk keadaan.
Nisha menarik napas panjang beberapa kali, "…hamba ingin membantu kerajaan Aswa. Terutama, hamba ingin membantu Baginda Ratu Laira. Apakah yang dapat hamba perbuat untuk meringankan beban Ratu?"
Laira tersenyum.
Tangannya yang lentik meraih piala perak di hadapannya, meminum beberapa teguk.
"Bagaimana mungkin kau bisa membaca pikiran dan hatiku, padahal kita berbeda?" bisik Laira.
Nisha membungkuk memberi hormat.
"Mungkin, karena hamba tak pernah memiliki sosok ibu yang utuh, maka hamba selalu ingin tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan seorang perempuan yang menjadi ibu. Seperti ratu Laira."
Laira terlihat prihatin.
"Aku sampai lupa menanyakan kabar Ratu Varesha," Laira mendesah pelan. "Beliau …ah, bagaimana aku harus berkata?"
Nisha membungkuk hormat sebelum menjawab, "Ratu Varesha dalam keadaan penuh perlindungan kerajaan Wanawa. Beliau berada dalam pengayoman ayahanda raja Vanantara."
Jauh di lubuk hati, Nisha merasakan kepedihan yang dalam.
"Kau putri yang istimewa, Putri Nisha," puji Laira.
"Terima kasih, Yang Mulia," Nisha menerima pujian dengan penghormatan yang dalam. Jujur, ia meragukan ucapan Laira. Bukan menganggap sang ratu berbohong, namun makna pujian itu seolah bualan belaka.
Bayangan masa lalu yang dikisahkan para dayang secara berbisik-bisik, melintas di benak Nisha sejenak. Konon, Varesha melihat sesuatu dalam diri Nisha ketika melahirkannya. Demi melindungi putri kesayangannya, ratu Wanawa rela memberikan pengorbanan berkah usia panjang dan kesaktian. Tubuhnya membeku seperti batu, namun tak mengecil dan mengkristal seperti jasad Kundh yang menandakan kematiannya.
Setiap pergantian malam dan siang, setiap pergantian purnama dan pergantian penjaga wangsa; Nisha memandang tubuh Varesha yang terbaring anggun dan cantik di peraduan. Ia berharap, suatu hari, akan melihat Varesha membuka mata dan melihat dirinya. Mengapa justru saat ini ia terjebak dalam situasi sulit?
"Kau pernah bermimpi, Putri Nisha?"
Nisha tersentak.
Di ujung penglihatan, matahari beringsut pelan masuk ke cawan bumi. Warna keemasan berlimpah di Aswa, yang menyimpan sepanjang hari kerlip cahaya matahari. Menampungnya dalam wadah-wadah kristal sebagai lampu-lampu di tiap penjuru. Kerajaan Aswa selalu terang benderang, tak peduli matahari ataukah bulan yang menemani.
"Saya sering bermimpi tentang Ratu Varesha," Nisha berujar jujur.
Laira tertawa kecil.
"Aku pernah bermimpi buruk," Laira berkata pelan. "Tapi aku selalu tahu, bagaimana mencegah kesialan menimpa Aswa."
Nisha mendengarkan seksama.
Laira terdiam lama, mengamati kaca-kaca menara utama yang lebar dan memberikan arah pandang luas. Beberapa waktu, keduanya hanya terdiam bersama-sama, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Laira tertawa kecil kemudian.
"Sungguh, ternyata sangat sulit menyampaikan pendapat kita pada orang lain, bukan? Kita lebih senang berbicara dan berdebat dengan diri sendiri. Padahal, masalah tak akan selesai dengan kita berkutat dengan diri sendiri."
Laira tak dapat membicarakan hal yang sangat rahasia kepada putri di depannya. Bagaimanapun, Nisha dari wangsa yang berbeda. Bahkan wangsa yang sama seperti Pasyu pun dapat saling berseteru, apalagi wangsa yang wilayah kekuasaan dan tubuhnya tak sama tak serupa.
Percakapan singkat mereka hanya sebentar hingga minuman di piala masing-masing tandas.
❄️💫❄️
Gelembung kekuatan Laira memberikan kehangatan pada Nisha yang mulai menggigil ketika meninggalkan menara utama menuju ujung jembatan. Sang putri Wanawa selamat sampai ke seberang dan sangat terkejut, mendapati Milind berdiri kaku tak bergerak. Tangannya siap siaga menggenggam ujung pedang. Matanya tertuju ke satu titik, gerbang menara utama . Ujung kaki hingga ujung rambut di kepala tak bergerak, seluruhnya berselimut embun kristal beku. Bahkan kelopak mata dan bibirnya pun dipenuhi serbuk es.
Nisha melepaskan selendang panjang yang melindungi kepala dan lehernya. Ia melemparkan, melilitkan ke tubuh Milind. Menarik sang panglima masuk ke gelembung perlindungan Laira, ratu Aswa.