Pelajaran sastra yang dibawakan bu Yasmin memikat para pecinta kata-kata dan calon-calon penulis yang berniat mengikuti jejak JRR Tolkien atau Leo Tolstoy. Bukan saja guru muda yang energik itu pintar membawakan materi, ia juga mampu mengaitkan sastra dengan sejarah dan psikologi. Bu Yasmin mengisahkan bahwa penulis-penulis besar dihasilkan dari situasi yang sulit dan rumit. Mereka yang pernah mencicipi pahitnya perang misalnya, dapat menghasilkan karya-karya yang humanis seperti Victor Frankl.
Ini kelas favorit Silva. Tapi gadis itu raib.
"Kamu lihat Silva?" Candina mendesis perlahan, berbisik ke arah Salaka. Mereka berdua duduk berjajar di deret paling belakang. Kelas ini hanya berisi siswa tak sampai duapuluh. Semuanya adalah anak-anak yang memang memiliki minat besar di bidang kepenulisan, baik menulis prosa ataupun jurnalistik.
Salaka memberikan isyarat 'tidak'.
"Betul kamu tak melihatnya?" Candina berbisik lebih keras sedikit.
Untuk kedua kalinya Salaka memberi isyarat yang sama.
Candina menahan napas. Bangkit berdiri dari bangku. Jemari Salaka menarik kain baju Candina hingga gadis itu nyaris terjerembab tersandung.
Seisi kelas mendengar kegaduhan tersebut.
"Ya, Candina?" bu Yasmin memperbaiki kacamatanya, tersenyum penuh arti. "Kamu bersemangat sekali sampai-sampai berdiri ketika mau bertanya."
Candina sengit menolah ke arah Salaka.
"Ya, Candina?" bu Yasmin menunggu tanggapan.
"Tidak, Bu. Saya hanya ingin pindah bangku, mendekati Ibu. Tempat duduk saya kurang nyaman di belakang sini."
Bu Yasmin mengangguk, mempersilakan. Candina salah satu murid favorit di kelas sastra Indonesia. Kesukaannya menggunakan bahasa baku dan sempurna, membuatnya tampak dewasa dan bersungguh-sungguh. Jika bukan kesalahan berat, guru seperti bu Yasmin enggan menghukumnya.
Berada di deret paling depan tidak membuat Candina lebih tenang. Pikirannya tertuju seutuhnya pada Silva. Ada yang unik pada gadis super pendiam yang nyaris dianggap tuli bisu itu. Ada yang aneh padanya. Sesuatu yang Candina sendiri tak tahu itu apa.
🔅🔆🔅
"Sonna, kamu teman sekamarnya. Kemana Silva?" Candina gegas bertanya pada satu-satunya orang yang dianggap mengerti keberadaan Silva. Sebelum Sonna ke kantin, Candina mencegatnya.
Sonna angkat bahu, lalu menggeleng.
"Nggak ngerti, Can."
"Tapi semalam kamu masih tidur sekamar bersamanya, bukan?" Candina menginterogasi.
"Y..ya…kayaknya sih," Sonna menjawab ragu.
"Kenapa kamu ragu?" Candina mengernyitkan kening.
"Ya…gimana ya…," Sonna terlihat bingung.
Candina menunggu jawaban dengan sabar.
"Ah, aku nggak tahulah," Sonna angkat bahu, berbalik pergi.
Candina menahan langkah Sonna, memegang bahunya yang tertutup kerudung, hingga kain di kepala Sonna tertarik ke belakang. Sonna mendadak jengkel.
"Apaan sih, Can?" semprot Sonna.
Candina hampir membuka mulut ketika tetiba dua sosok cowok mendekati mereka.
Salaka menegur Candina dan bertanya untuk ke sekian kalinya, apa yang akan dilakukan gadis itu. Sonna menatap Salaka gugup, salah tingkah ketika pemuda itu melemparkan senyum teduh padanya. Tubuh Sonna kaku bak tiang listrik. Seseorang menjentikkan jemari beberapa kali di depan wajahnya.
"Heh! " serunya. "Heh!!"
Sonna menggigit bibir.
"Kamu kenapa?" seorang pemuda, yang memanggul ransel bulukan, menegurnya agak keras.
Sonna mengerjapkan mata.
"Hei, Son!?"
Gadis berkerudung putih itu sedikit pucat pasi.
"Kamu ngapain? Bengong begitu?!"
"Eh…aku? Aku kenapa?" Sonna garuk-garuk kepala. "Mas Bhumi ngapain di sini?"
Bhumi mengehembuskan napas sedikit.
"Kita dipanggil ke ruang guru, Dek," Bhumi berkata pelan.
Sonna membelalakkan mata.
"Ruang guru wali kelas, atau BK?" Sonna terdengar cemas.
"Nggak tau," Bhumi menggandeng Sonna penuh kasih sayang. "Yuk! Mas Bhumi habis ini ada pelajaran gambar setting."
Bhumi dan Sonna berjalan beriringan.
Candina menatap mereka takjub, nyaris tak berkedip.
"Kamu kenapa, Candina?" Salaka terdengar heran.
Candina terlihat merenung, lalu memaksakan segaris senyum.
"Salaka," Candina berbisik. "Aku menemukan hal sangat aneh pada Silva. Banyak hal terasa kabur, tapi seakan jaring laba-laba membentuk pola kait mengait. Aku tidak dapat berpikir. Aku tidak dapat merasa. Aku hanya ingin tahu, Silva ada di mana?"
Salaka terdiam sesaat.
"Ayo kita ke ruang kesenian," ajak pemuda itu.
Baru beberapa langkah, seorang gadis cantik dengan mata indah dan rambut hitam sebahu menahan langkah mereka. Di sebelahnya, beberapa gadis yang menemani terpekik lirih berhadapan dengan Salaka.
"Halo, Salaka! Aku Retta. Boleh minta nomer telpon kamu, atau alamat email?"
"Untuk apa?" Salaka bertanya heran.
"Ada agensi model butuh sosok tinggi, cakep, dengan wajah Asia sepertimu," Retta menjelaskan. Gadis itu mengeluarkan berbagai pujian yang membuat telinga Salaka memerah.
"Terima aja!"
"Ayo, terima Salaka!"
"Udah deh, kamu bakalan bisa jadi bintang sinetron atau bintang film."
Teman-teman Retta terpekik lirih memberikan dukungan sembari berekspresi dengan wajah semangat dan kepalan tangan.
Salaka pasi dan salah tingkah. Matanya memandang gadis-gadis di depannya dengan risih.
"Maaf, Teman-teman. Saya tidak bisa memenuhi harapan Teman-teman sekalian. Saya memohon maaf sebesar-besarnya," Salaka menggamit lengan Candina dan tergesa melangkah menjauh.
Di belakangnya, Retta dan teman satu lingkarannya berkubang emosi. Campuran histeria dan gemas.
Setelah si Candina aneh yang selalu berbahasa penuh tata aturan, ada lagi Salaka yang lebih ajaib gayabahasanya. Belum lagi Silva dan belasan anak-anak aneh di Javadiva. Apakah memiliki minat dan bakat tertentu yang istimewa, membuat seseorang tersuntik DNA alien?
🔅🔆🔅