"Kamu pernah mau mati, Cookies?"
Anabul di kakinya hanya membuka mata pelan, lalu tertidur lagi.
"Aku sering banget mau mati. Pingin mati. Udah merencanakan mati, malah. Tapi gak jadi-jadi. Gimana aku bisa mati kalau hidup aja aku gak berani?"
Silva duduk bersandar di bawah pohon. Batang berkayu yang sangat tinggi, dengan cabang-cabang panjang dan ranting kurus yang juga panjang. Di ujungnya, buah-buah kering menggelantung. Ia senang mengambil buah kering yang jatuh, terbentur tanah dan merekah mengeluarkan isi. Bentuknya seperti serabut-serabut putih. Bila ditarik, gumpalan-gumpalan serupa benang lunak mencuat ke luar.
🔅🔆🔅
Cookies diam, tidur di kaki Silva.
"Oya, kuharap kamu berumur panjang ya, Sweetie. Tau gak? Aku senang melihara kucing kayak kamu. Tapi tiap kali, aku ngasih nama kucingku dengan nama kue. Kitkat, Pudding, Choco. Akhirnya mereka mati semua. Harusnya aku nggak ngasih nama makanan ke kucing-kucingku, ya?"
Silva menatap Cookies.
"Waktu ngeliat kamu, langsung aja kebayang nama kue kesukaanku. Kalau di rumah, aku suka bikin kue kering. Sejak kecil, saat masih SD, aku udah suka bikin-bikin kue sendiri. Ngebanting-banting adonan, memecahkan telur; kayaknya ngebantu nguras emosi aku, Cing."
Silva mempermainkan Cookies yang melingkar tak jauh dari kakinya, mengganggunya dengan ujung ibu jari kaki. Sejurus kemudian, gadis itu membopong anabul bermata biru-coklat itu dan memeluknya hangat.
"Tau nggak, Cookies? Kenapa aku duduk di bawah pohon ini? Pohon ini namanya kapuk randu. Pohon setan. Pohon yang dihindari manusia. Gak ada yang berani ke mari. Katanya, hantu-hantu bergelantung di puncak-puncak pohonnya."
Silva menengadahkan wajah ke atas, memandang langit yang berhias pendar matahari sore. Ranting tanpa daun dan buah lonjong seukuran botol, dengan garis cahaya yang menerpanya, membentuk bayang lonjong di tanah.
"Liat tuh, Cookies. Di atas sana? Ada hantu, gak? Ada setan, gak? Ayo, buka matamu, dong! Kamu kan bisa liat dimensi lain. Coba terawang, ada setan gak di atas sana?"
Silva menggoyang lembut badan bulat dan berbulu kucing tiga warna di pelukannya. Sang anabul hanya menghembuskan napas pendek.
"Bangun! Tuh liat di atas? Ada setan?"
Suara berkoak panjang , nyaring dan merdu elang Jawa melintas. Berputar-putar di langit. Sebelum hinggap di salah satu cabang kapuk randu menggunakan sepasang kakinya yang kokoh.
"Heh! Kamu tuh, tidur aja, sih. Apa gak liat aku lagi down banget? Habis kena sabet tas ibunya Zaya. Kena marah pak Gatot bu Santi. Untung aja mama sejauh ini belum dengar, Kies. Or, udah dengar, who knows? Gak taulah aku. Mama, papa, empat kakakku sama sekali gak berharap aku lahir."
Elang di atas kepala Silva mengepakkan sayap sesaat, terbang menanjak. Tak terlalu jauh, berputar mengelilingi kapuk randu, berbalik lagi. Hinggap di dahan yang lebih rendah, mendekat ke arah Silva dan Cookies. Suaranya panjang, jernih, terdengar perkasa di antara pucuk-pucuk pohon tinggi. Silva menengadah lagi, menatap elang yang juga tengah melihat ke arahnya.
"Ssst, Kies. Apa setan bisa berubah jadi elang?"
Silva menepuk-nepuk panggul anabul.
"Hm, kayaknya nggak sih. Setauku, menurut kabar-kabar, setan itu berubah jadi anjing. Ular. Gak ada yang jadi burung. Kalau zaman dulu, zaman kuno, setan bisa berubah jadi kucing katanya. Eee? Jangan-jangan kamu setannya??"
Silva berbincang pada kucing kembang telon dalam dekapannya, yang sekarang mulai menggeliat malas dan membuka mata. Sejujurnya, ia lebih banyak bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Saat tak ada orang yang mau mendengarkan, punya hewan peliharaan yang bisa diajak diskusi sungguh menyenangkan. Yah, anggap saja Cookies kembang telon dengan mata berbeda itu sebagai peliharaannya.
"Udah sore ya, Kies. Malu balik ke asrama gak? Malas aku. Malas ketemu orang-orang. Malas ketemu sama Sonna yang baik hati tapi kepo. Malas ketemu abang Sonna yang bikin aku cemburu. Kenapa ya, Sonna bisa punya abang sebaik itu? Malas juga aku ketemu Candina. Malas ketemu Salaka. Hhh, emangnya mereka mau ketemuan sama aku?"
Silva mengelus-elus bulu lebat Cookies.
"Pertanyaanku belum kamu jawab : di pohon setan ini ada penunggunya, gak? Hayo, katanya kamu bisa liat alam ghaib. Mana buktinya, coba?"
Silva menarik napas pendek, mencoba menghibur diri. Memeluk-meluk Cookies hingga ia nyaris kehabisan napas.
"Gummuuussh, orang malas ketemu aku. Setan juga malas, kok. Aku ini gak disukai siapa-siapa. Kalau udah gini, aku suka mikir : buat apa ya, Tuhan menciptakan makhluk gak guna kayak aku?"
Cookies menegakkan kepala. Tubuhnya menegang.
"Eh? Kenapa? Kamu liat hantu? Setan? Makhluk halus?"
Silva merasa darah di dalam dirinya mengalir lebih cepat. Ia merasa mulutnya kelewatan bicara. Siapa juga di dunia ini yang benar-benar berhasrat ketemu setan! Lebih baik ditelan bumi daripada berhadapan dengan makhluk mengerikan yang dikutuk jadi penghuni neraka. Punggungnya dingin terasa. Perlahan, gadis itu berdiri.
Hari sudah sangat senja.
Bayang-bayang dahan dan buah kapuk randu semakin samar di tanah.
"Kita pulang, yuk!" Silva mencoba menjauh dari pohon besar yang banyak ditakuti manusia.
Memeluk tubuh Cookies yang hangat memberikan rasa berani dalam dirinya. Tapi kucing itu meronta. Meloncat dari pelukan dan berdiri kaku dekat kaki. Ia mengeluarkan suara keras yang aneh. Mirip teriakan nyaring : campur aduk antara marah, terkejut dan keinginan menerkam. Si anabul mengamuk? Atau takut?
Silva melihat bulu-bulu tubuh Cookies berdiri. Gentar juga rasanya, mata Silva menelusuri tatapan mata Cookies menuju ke satu titik di atas. Gadis itu menjulurkan leher, menengadahkan wajah. Badannya menggigil.
🔅🔆🔅