Pikirkanlah tentang rumah sakit.
Bau alkohol, cairan infus, suara teriakan, derit roda-roda brankar yang didorong tergesa.
Satu lagi : ada yang sangat berkuasa di sana.
๐ ๐๐
Berita tentang Innita dan Zaya yang harus dirawat di rumah sakit menyebar cepat. Kisahnya bercampur bumbu-bumbu tambahan hingga rasanya semakin pedas dan overdosis. Walau penggunaan gawai di sekolah bakat minat Javadiva dibatasi, media sosial masih mencari-cari celah meniupkan gossip. Postingan story yang singkat dan intimidatif. Cuitan kata-kata pendek dengan alter-account yang menimbulkan tanda tanya dan multitafsir.
Semua menggiring opini ke satu titik : Silva bersalah. Gadis itu harus menebus kesalahannya. Tak ada acara lain, kecuali mendengarkan perintah pak Gatot dan bu Santi bila ingin tetap bertahan di Javadiva. Mama papa pun sudah mengancam, jika kali ini dikeluarkan dari Javadiva maka Silva akan menggelandang di jalanan.
Baiklah.
Hidup ini tak adil. Keras. Penuh masalah.
Tak ada yang berkenan mendengarkan Silva bicara kecuali Salaka dan Candina. Juga Cookies. Oh, lagipula Silva jarang mengeluarkan suara, nyaris tak pernah berbicara, jadi siapa pula yang bisa mendengarkannya?
๐ ๐๐
Ruang VVIP nomer 103 yang teduh dan asri tidak menjadi kamar hotel bagi Silva.
Di dalamnya, sang ratu Javadiva bertahta dengan segala kecongkakannya.
"Potongkan kukuku," perintah Initta. "Tanganku masih nyeri."
Silva menurut.
"Makanan rumah sakit nggak oke," kata Initta. "Pesankan steak sama choco-latte."
"Tapi aku nggak punya motor," Silva berpikir.
Seolah membaca pikiran Silva, Initta manis berujar, "kamu bisa belanja pakai e-wallet kan?"
"Emang duit siapa?" Silva mengeluh dalam hati.
"Kamu pasti punya duit banyak!" kejar Initta tanpa ampun. "Anak manja seperti kamu tabungannya gak akan habis buat belanja online tiap hari."
Silva terpaksa lagi-lagi menurut.
"Jangan lupa kalau nanti malam aku mau salad. Aku harus jaga BB," Initta mengingatkan.
Gadis paling cantik dan paling terkenal di sekolah itu bertahta di atas ranjang rumah sakit yang lebar dan empuk. Infus di lengannya entah untuk apa. Mungkin untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar sakit, bukan sekedar drama. Jemarinya tak lepas dari gawai dan menggerakkan layar, menggeser atas-bawah. Kanan-kiri. Tertawa-tawa, menjerit-jerit, mengumpat-ngumpat.
Silva menatapnya sebal.
Selesai di kamar Initta, tugas Silva belum tuntas.
๐ ๐๐
Ruang VVIP 104 di sebelah menunggu layanan.
"Mukaku jerawatan," Zaya merengut. "Tolong skin care-in aku. Maskerin sekalian."
Silva celingukan. Mau skin care an pakai apa? Lysol, alkohol, infus, injeksi? Maskeran pakai perban?
"Jangan khawatir," Zaya menenangkan. "Tuh, di lemari. Aku bawa dua pouch isi skin care sama kosmetik. Gampang, kan? "
Silva mencatat baik-baik tugas dua ratu Javadiva.
Hm, apakah pak Gatot dan bu Santi berbohong? Kata mereka, Initta dan Zaya dalam kondisi parah yang tak bisa berbuat apa-apa. Atau sebetulnya dua gadis itu sudah kondisi terminal, makanya meminta hal yang aneh-aneh? Yah, hitung-hitung berbuat kebajikan bagi mereka untuk saat-saat terakhir, Silva menghibur diri sendiri. Toh, orang mati tidak selalu harus dalam kondisi lemah. Banyak artis dan selebritis yang segar bugar meninggal mendadak.
Silva mencubit lengannya sendiri.
Berusaha membangun akal sehat daripada berpikir buruk yang merusak diri.
Mengapa ia ditugaskan untuk melayani Initta dan Zaya, jika keduanya tak seberapa sakit? Apakah karena Silva melakukan hal tak menyenangkan bagi dua putri pembesar Javadiva maka ia harus menebusnya dengan menjadi pelayan dan menerima penghinaan serta tugas-tugas tak masuk akal?
Silva mengoleskan susu pembersih ke kulit Zaya yang mulus.
Menggosoknya.
"Aw! Kasar banget! Pelan dikit, k'napa?" Zaya meradang.
Silva pun menggerutu. Ia tak pernah bermanja-manja seperti ini.
Demi kedamaian dunia, Silva mencoba melakukan permintaan Zaya sesuai kemampuannya. Pikirannya tengah melanglang ke semesta lain saat mengurut scrub ke bagian pipi dan hidung Zaya. Sedikit tekanan dan tenaga yang terlepas membuat telapak tangannya mengurut kelewat keras hingga menyodok kelopak mata.
"Kamu sengaja, ya? Bikin aku kesel?! Atau emang mau mencelakakan aku lagi?" Zaya berujar kasar, berteriak cukup keras. "Kamu tuh harusnya tau diri! Kalau aku mau, kamu udah dikeluarin dari sekolah! Kamu udah bikin kita-kita celaka. Aku sampai harus lama di rumah sakit kayak giniii!"
Beberapa orang masuk tergesa.
Bu Santi, masuk bersama seorang perempuan separuh abad yang cantik terawat dan seorang lelaki muda bertubuh tegap. Perempuan matang yang dipanggil 'mama' oleh Zaya itu melempar pandang gusar ke arah Silva. Lalu beralih ke arah Zaya yang tampak marah dan memperlihatkan gesture tubuh bertahan. Tanpa pikri panjang, segera ia mengayunkan tas kecil berantai ke arah Silva. Silva, yang mencoba bertahan, tanpa sadar mengangkat telapak tangannya untuk menahan pukulan.
"Berhenti!"
Bu Santi berteriak ketakutan, menahan mama Zaya agar tak melanjutkan pukulan. Matanya terlihat dipenuhi kengerian saat melihat tangan Silva.
Terlambat.
Rantai tas melayang keras ke arah lengan Silva, yang sejurus kemudian mengeluarkan pekikan perlahan.
๐ ๐๐