Di kamarnya yang terletak paling sudut dan tersembunyi, Silva memeluk tubuhnya yang bergetar hebat. Jemarinya bertaut, membentuk segitiga gunung. Beralih, membentuk segitiga lembah. Ia memainkan cincin di jari manis, memutar-mutarnya. Memindahkan ke jari manis kanan, ke kiri. Ke ibu jari, ke kelingking. Ke sepuluh jarinya bergantian. Selesai ritual itu, berganti ke yang lain. Kuku-kuku menancap ke jemari, lalu ke telapak tangan.
Ia menyurukkan kepala di antara lutut, menyembunyikan wajah, berusaha tak menangis meski dadanya sulit menghirup oksigen. Napas turun naik dengan berat. Isi kepala menyuruh matanya untuk menumpahkan air agar lega. Namun perasaannya yang tumpul emosi tak menemukan tombol kesedihan hingga sulit sekali mengoperasikan kepedihan, airmata, dan sedu sedan menjadi satu program.
🔅🔆🔅
"Dia gak berhak warisan papa!" mas Rendra, kakak sulung menegaskan. "Silva gak punya darah keturunan papa."
"Dia bahkan juga gak perlu tinggal di rumah kita," timpal mbak Fuji, kakak kedua.
"Bukan tanggung jawab keluarga ini untuk merawatnya," mbak Kikan, kakak ketiga pun sependapat.
"Tapi dia masih punya darah mama," mas Pandu, kakak keempat mencoba membela.
"Aku nggak ngerti, kenapa papa sok baik hati menampungnya?" mbak Fuji yang paling frontal menentang keputusan papa dan mama. "Dia aib keluarga ini!"
Karena rahasia Silva, Rendra pernah kena skors gegara memukul wajah temannya yang mengejek keluarga mereka.
Karena rahasia Silva, pertunangan Fuji dan Bima, dibatalkan.
Karena rahasia Silva, Kikan menghadapi olok-olokan di sekolah.
Karena rahasia Silva, Pandu tak bisa masuk ke boarding school yang diidamkan.
Karena rahasia Silva, hidup mama dan papa dipenuhi pertikaian.
Secara fisik, Silva berbeda dari keempat kakaknya. Secara kecerdasan, ia pun merasa berbeda dari mereka. Secara ikatan kekeluargaan, ialah yang paling diabaikan dan paling sering menerima hukuman. Bila kehadiran seorang anak tak diinginkan, mengapa dulu dilahirkan? Ia pernah bertanya demikian pada mama, apakah tak pernah terpikir untuk menggugurkannya?
Mama berbalik memakinya.
Mengatakan bahwa seharusnya Silva bersyukur dilahirkan normal karena mama berjuang keras untuk bertahan dari hinaan dan siksaan batin demi melahirkannya. Konon, seorang anak dilahirkan dengan jalan takdir masing-masing. Rendra lahir ketika mama papa berjuang, maka ia pun akan menjadi anak yang tahan banting. Fuji lahir ketika perusahaan papa merangkak naik, maka ia akan hidup dalam keberuntungan. Kikan lahir ketika perusahaan papa mapan. Kikan akan selalu hidup dalam kemapanan dan keberhasilan. Pandu hidup ketika perusahaan papa mulai menghadapi persaingan keras, namun tetap bertahan. Pandu ditakdirkan untuk memiliki musuh-musuh besar dan selalu memenangnkan pertarungan.
Silva?
Mama yang mabuk kepayang dengan salah satu kolega.
Ia tumbuh dari benih rasa malu.
Dilahirkan dengan tangisan dan hinaan.
Mungkin, takdir hidupnya adalah airmata.
Walau Silva sulit sekali mengeluarkan airmata karena terlalu bebal dengan hinaan dan kemarahan. Pukulan sudah biasa. Cubitan apalagi. Kata-kata kasar adalah kudapan. Satu yang membuat airmatanya meluncur deras adalah ketika mendengar kalimat tuduhan yang membanting harga dirinya hingga remuk redam.
"Anak haram!"
🔅🔆🔅
Ia tak ingin menangis.
Rantai tas mama Zaya melukai tangannya, meninggalkan jejak dalam. Bukan rantai itu yang membuat airmatanya tumpah. Ya, ada rasa sakit demi melihat seorang ibu demikian membela putrinya seperti yang dilakukan mama Zaya pada Zaya. Sesuatu yang tak pernah didapatkannya baik dari mama, apalagi papa. Papa membiarkannya tumbuh di dalam rumah. Papa lelaki baik yang bertanggung jawab. Kata beliau, mama adalah istrinya sampai kapanpun. Baik dan buruknya mama adalah tanggung jawabnya. Papa memang pahlawan bagi keempat anak kandungnya, orang yang melindungi seluruh keluarga. Tapi papa adalah tiang kebekuan yang menatapnya dingin. Papa tak pernah ada untuknya. Apalagi mama.
Kata-kata mama Zaya tepat mengenai ulu hati.
"Brengsek banget kamu, sih! Cuma anak haram yang hidupnya sama sekali gak tau aturan!"
🔅🔆🔅
Anak haram.
Hanya kata itu yang bisa membuat airmatanya tumpah. Bukan luka di lengan yang mulai menimbulkan rasanyeri luarbiasa. Ia biarkan luka di lengannya mengeluarkan darah. Beberapa menetes di lantai. Bekas lukanya menampakkan jejak bengkak, tanda lebam pukulan benda berat.
"Silva?"
Sebuah suara lembut menyapa.
Silva memejamkan mata.
"Silva, ini aku Sonna. Aku nyari kamu ke mana-mana. Ya Tuhan...tanganmu kenapa? Aku sama Candina nyariin kamu. Katanya kamu ke rumah sakit ikut ngerawat Initta sama Zaya. Trus kita dengar ada insiden lagi. Trus..."
Silva menepis tangan Sonna, teman sekamarnya di asrama putri Javadiva, yang mencoba menyentuh lengannya lembut. Letih, ia mendorong tubuh Sonna menyingkir menjauh. Silva tak ingin bertemu siapa-siapa. Lebih baik menyendiri kalau begini.
🔅🔆🔅