Silva diadili di ruang kepala sekolah.
Bukan di ruang guru atau BK. Ruang BK atau bimbingan konseling hanya bagi anak-anak yang 'dianggap' bermasalah . Ruang kepala sekolah, berarti 'benar-benar' bermasalah dan siap dijatuhi hukuman.
Silva bergemeletuk.
Rahang beradu rahang. Kulit punggung mengeluarkan keringat sedingin salju. Jemarinya saling bertaut, berkeringat. Tangannya memainkan cincin di jari manis. Menariknya ke luar, memasangnya lagi. Memutar-mutarnya. Memindahkan dari jari manis kanan ke jari manis kiri. Atau sesekali memindahkan ke kelingking atau ibu jari. Begitu seterusnya. Khas Silva bila gugup dan panik. Selain suka menancapkan kuku-kuku ke jemari atau telapak tangan sendiri.
Ia berjalan beberapa kali nyaris tersaruk karena lutut beradu lutut. Mana Silva yang tempo hari gagah ke luar dari gedung kesenian setelah menyelamatkan Candina? Tak terbayang wajah anggota keluarganya bila Silva terpaksa keluar dari Javadiva, salah satu sekolah terbaik di negeri ini yang berhasil mengasah bakat minat siswanya menjadi orang-orang bertalenta. Javadiva telah menghasilkan gubernur termuda, pengusaha-pengusaha start-up, pemusik mendunia, animator dan mangaka yang dikontrak berbagai negara yang maju di bidang perfilman dan animasi.
๐ ๐๐
Javadiva bukan sekolah biasa.
Sekolah luarbiasa yang menjadi tempat bagi anak-anak yang tak biasa dan tak normal di dunia luar sana. Anak terlalu pandai yang justru terlihat bodoh, anak super introvert unsocialized yang menyimpan bakat terpendam, anak ranking paling buntut di sekolah yang ternyata memiliki keahlian spesifik. Terkadang, anak-anak yang dianggap cacat secara psikis : seperti orang gila gegara indigo dan sensitif terhadap dunia dimensi lain.
Silva?
Entah ia dimasukkan Javadiva karena apa.
Terlihat bodoh, ya. Super introvert dan unsocialized, betul. Urutan akademis paling bawah, yup! Dianggap gila? Sepertinya demikian. Yang belum ditemukan dari dirinya adalah bakat minat tertentu. Silva merasa ia salah masuk ke Javadiva. Walau tagline sekolah ini adalah menemukan mutiara terpendam di lautan dalam, Silva merasa tak memiliki hal yang pantas dibanggakan.
Ia sempat berharap Javadiva berbeda dengan sekolah lain yang pernah dimasukinya.
Guru-guru yang lebih hangat. Teman-teman aneh yang lebih manusiawi. Lingkungan yang lebih bersahabat. Kenyataannya, ia terpojok dan selalu sendiri. Javadiva memang sekolah yang menggali bakat minat terpendam, tapi juga menuntut pembayaran berlipat-lipat lebih. Tentu bersekolah di sini membutuhkan tumpukan materi. Hanya orang tertentu yang dapat memasuki. Bila, hanya satu pihak yang menguasai, apakah tidak terjadi monopoli?
"Kamu menyerang Initta dan Zaya," kepala sekolah memvonis fatal. Ia lelaki bulat; dengan perut tebal, kacamata tebal, mulut tebal, kumis tebal. Satu-satunya yang tipis dari dirinya hanya rambutnya.
Silva membuka mulut.
Menyerang?
Bukannya terbalik?
"Initta dan Zaya luka parah. Hampir mati," kepala bagian kesiswaan yang bertanggung jawab terhadap seluruh siswa Javadiva angkat bicara. Bu Santi yang selalu cantik dan modis, terlihat dingin menatapnya. Ia melanjutkan, "Mereka dirawat di pusat kota."
Silva menelan ludah. Ia tak suka dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian dan memenangkan segala perkara di sekolahnya. Tapi membayangkan mereka dalam keadaan tak berdaya sama sekali, sungguh tak mengenakkan.
"Kamu tahu apa sanksi yang bisa kamu dapatkan, Silva?" Pak Gatot si-serba-tebal itu menyelidik.
Silva menggeleng.
"Kamu bisa dikeluarkan."
Silva menelan ludah.
"Kamu bisa dipenjara," bu Santi menambahkan dengan nada penuh tekanan, "kalau nyawa Initta dan Zaya tak tertolong."
Mulut Silva kering. Penjara macam apa yang akan menampungnya? Apakah kehidupan penjara selalu menjadi takdirnya selama ini?
"Kamu ngerti kan, Silva, apa yang kami katakan?" pak Gatot dan bu Santi menegaskan. "Kamu ngerti kan, betapa gentingnya situasi ini? KAMU MENYERANG SISWA LAIN DAN MELUKAI MEREKA!"
Silva terdiam.
Apakah ia menyerang Initta dan Zaya? Ataukah ia yang diserang? Tapi mengapa guru-guru dan anak-anak Javadiva menuduhnya menyerang kedua gadis famous itu? Ah, terkadang Silva pun tak dapat memercayai isi kepalanya sendiri. Apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya, berikut apa yang dilakukannya berbeda.
"Mama gak pernah ngerti kamu! Papa juga! Semua kakakmu bilang kamu anak yang susah dikasih tau!" teriak mama histeris sebelum ia dimasukkan ke Javadiva, karena bermasalah lagi dan lagi di sekolah.
Kalau orang terdekat dengan dirinya saja sering bertentangan dengan dirinya, apalagi orang lain?
Ia susah berbicara. Tak bisa membela diri. Tak dapat menjawab tidak. Tak dapat menyangkal. Tak mampu membantah, apalagi berdiskusi lebih lanjut. Segala yang dituduhkan terlihat tak nyata dan rekayasa, tapi mana mampu ia membela diri? Sejak dulu ia tak pernah punya kemampuan menolong diri sendiri! Ia terlalu rapuh, bahkan untuk sekedar berkata 'ya' atau 'tidak' pun tak sanggup.
Diam selalu menjadi satu-satunya senjata.
๐ ๐๐