"Aku mencarimu di ruang kesenian," Salaka mendesis. "Kamu ke mana?"
Candina tenggelam dalam rak-rak buku perpustakaan kuno Javadiva.
"Kamu sudah menemukanku, bukan?"
"Lain kali, beri tahu aku kalau kamu akan pergi," Salaka tampak gusar.
"Aku tak mungkin pergi jauh darimu, Salaka," Candina tersenyum mengejek.
"Akan ada pertunjukan kecil di teater terbuka," Salaka tak menggubris Candina.
Candina diam, tak menanggapi.
"Kau harus ke sana!" Salaka setengah menghardik.
"Ya,ya, aku akan ke sana!" Candina terliha tak suka.
"Apa yang kau kerjakan?"
"Mencari sesuatu," Candina menggumam.
"Apa?" Salaka ingin tahu."
"Entahlah…," Candina mengangkat bahu, tak yakin.
"Kamu tidak tahu?" Salaka mengangkat alisnya yang tebal, mirip sepasang sayap elang.
"Aku semakin bingung, Salaka," Candina menarik napas panjang. "Tentang Javadiva, tentang orang-orang di sini. Tentang tugas kita. Tentang Silva…"
"Lupakan dia!" sentak Salaka. "Kita tak punya urusan apapun dengannya."
"Dia menolongku, ingat?" Candina menampik alasan Salaka. "Kalau bukan karena dia, aku sudah mati."
"Aku yang selalu menolongmu dan melindungimu!" Salaka mengingatkan.
"Kamu?" Candina mengejek. "Seberapa kuat kamu bisa melindungiku? Seberapa jauh?"
"Apapun yang terjadi, tugas utama kita menjaga jantung Javadiva," Salaka menegaskan.
"Kamu pikir aku mengabaikan tugasku?" Candina mengerutkan kening, tak suka.
"Sendratari akan segera diadakan," Salaka mengalihkan perbincangan. "Kita harus segera ke sana."
"Harus?"
"Ya," Salaka menggaris bawahi ucapannya.
"Mengapa?"
"Pak Gatot memerintahkan," jelas Salaka.
Candina melempar pandangan tak suka.
"Aku tak suka lelaki itu," Candina berujar, mengungkapkan perasaan.
"Tahan ucapanmu!"
"Aku perlu berada di sini," Candina seolah mencari alasan. "Aku masih perlu mencari tahu apa yang tertimbun di manuskrip-manuskrip kuno ini."
Salaka menahan napas.
"Candina, kita harus berhitung waktu…"
"Aku tahu. Aku tahu!" Candina memotong. "Itu sebabnya aku bekerja keras, Salaka."
"Kita berdua harus segera ke ruang teater terbuka. Sekarang! Sebelum pak Gatot mencari-cari."
"Katamu kau akan melindungiku," Candina menatap Salaka, memohon. "Aku perlu berada di sini."
Salaka menarik napas panjang.
Candina tampak tak berbohong. Sorot matanya bersungguh-sungguh.
"Aku tak bisa lama-lama mengelabui pak Gatot," Salaka setengah mengalah. "Kau hitung waktumu sendiri, begitu terasa mencurigakan, segeralah bergabung dengan siswa yang lain."
Candina mengeluarkan jam bandul dari balik jaket rajut. Ia menatap jarum menit dan detik, mengangguk kemudian.
🔅🔆🔅
Salaka melangkah keluar dari perpustakaan.
Sepanjang menelusuri koridor, puluhan pasang mata memandang ke arahnya. Mengagumi rambutnya yang hitam, ikal dan lebat. Sosoknya yang kokoh dan angkuh, dengan senyum segaris tipis yang tak diberikan pada sembarang orang. Mata hitam legam berkilauan yang menaklukan. Ketika ia hadir, seluruh penghuni Javadiva seperti terlihat usang dan fosil tua.
Gadis-gadis memandang Salaka penuh harap, menggeser duduk.
Berharap pemuda itu duduk di dekat mereka.
Salaka mengedarkan pandangan, mencari sudut kosong dari bangku-bangku semen melingkar yang dibangun bertingkat-tingkat mengelilingi teater terbuka. Pandangannya tertuju ke Bhumi dan Rasi yang duduk di tempat tersembunyi.
"Hm, dia ke sini," desis Rasi.
"Siapa? Cewek yang mana?"
"Bukan cewek, Bro. Cowok paling dicari di Javadiva," gumam Rasi. "Mati kita habis ini."
"Lha, kenapa?" Bhumi lambat berpikir.
"Kita bakal digencet cowok dan cewek semua. Dimusuhi semua cowok, dikejer-kejer semua cewek buat cari info," tebak Rasi sembari tersenyum kecut.
Salaka berjalan pasti.
Melangkah pelan dan tenang, mencoba melempar senyum persahabatan kepada Bhumi dan Rasi yang menatapnya penuh tanda tanya dan sedikit penolakan. Dugaan Bhumi dan Rasi meleset, Salaka melewati mereka. Pemuda itu mencari tempat duduk yang lain. Menghindari keramaian. Mencari sudut tersembunyi namun masih dapat memandang sendratari dan pertunjukan seni hybrid. Ia menghempaskan duduk di samping Silva yang menegang kaku.
🔅🔆🔅