Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 8 - Javadiva (2)

Chapter 8 - Javadiva (2)

"Apa yang mereka katakan?" Candina ingin tahu.

Silva terdiam. Memojok di kantin. Bel masuk kelas telah berbunyi, tapi ia tak ingin masuk untuk mata pelajaran pilihan yang berikut. Sastra Indonesia sangat disukainya, tapi ia tak ingin masuk kelas.

"Aku akan membelikanmu sesuatu," Candina berkata prihatin.

Silva menatapnya penuh rasa campur aduk. Baru kali ini ada yang memperhatikannya seperti ini. Lalu, ia harus bagaimana? Senang karena ada orang yang membelanya? Atau membenci Candina, karena gadis kuno itulah ia dapat getah seperti ini.

Candina membawa sesuatu.

"Ini, untukmu," Candina meletakkan sesuatu.

🔅🔆🔅

He?

Silva melotot. Ia pikir Candina beli minum atau makanan untuk menghiburnya. Gadis itu menatap benda pemberian Candina takjub. Jengkel kemudian. Alisnya naik seolah bertanya, "ini apa??"

"Ini untukmu!" Candina menegaskan.

Silva membolak balik benda di meja tak mengerti.

Tissue. Dua bungkus, lagi.

Pulpen.

Buat apa?

"Yang satu bungkus kalau kamu menangis," Candina menjelaskan polos. "Yang satu buat kamu tulis. Siapa tahu kamu ingin mencurahkan sesuatu. Kamu tulis di situ, di tissue. Aku tidak menemukan buku kecil di toko kantin. Pulpen? Kamu tidak bisa menulis kalau tak pakai pulpen."

Silva menatap Candina aneh.

Gadis cantik, dengan kulit pucat, mata syahdu dan dandanan kuno itu selalu menggunakan bahasa Indonesia yang lengkap dan baku. Terkadang itu cukup mengganggu sekaligus menggelikan.

"Jadi?" tanya Candina lagi. "Apa yang dikatakan kepala sekolah dan kepala kesiswaan?"

Silva menatap tissue dalam genggaman. Satu di tangan kanan, satu di tangan kiri. Sulit sekali menggambarkan perasaannya saat ini. Apakah karena ia sulit berekspresi, orang-orang menafsirkan dirinya secara keliru? Ia tenang disangka sedih. Ia sedih disangka tak peduli. Ia gembira disangka menghina. Ia marah disangka menerima.

Candina menarik napas pendek. Tampak bersabar dan mencoba mengerti.

"Kalau kamu tidak mau cerita, tak mengapa, Silva," lembut Candina menyentuh lengannya. Terasa lunak dan dingin bagi Silva, hingga tanpa sadar ia menarik menjauh dari pegangan si gadis kuno.

Candina menarik telapak tangannya dari lengan Silva. Ia pun tampak serba salah.

"Aku ingin kamu tahu, aku ingin menemanimu," Candina menjelaskan dengan nada bersahabat. "Aku berterimakasih sekali, bahwa kamu melindungiku tempo hari. Kamu menghentikan anak-anak menyerangku. Kamu sampai harus kena pukulan juga."

Silva menatap Candina dalam-dalam.

Jadi, apa yang dikatakan guru-guru dan para siswa berseberangan dengan Candina? Mereka yang menyerangnya. Bukan Silva yang menyerang mereka! Berarti, pikiran dan ingatan Silva tidak sepenuhnya salah. Apa yang sedang direncanakan pak Gatot dan bu Santi? Mengapa mereka mengancamnya dengan beberapa hal? Silva memejamkan mata, berusaha mengingat dengan jelas kata-kata pak Gatot dan bu Santi.

Ancaman di penjara.

Perintah untuk mengakui kesalahan.

Perintah untuk menuruti perintah.

Perintah untuk…

🔅🔆🔅

Jeritan melengking. Suara benturan dan gesekan keras. Lompatan. Konsentrasi Silva buyar seketika. Kelopak matanya terbuka, menatap pemandangan aneh di depan. Benar-benar! Apakah Candina punya keahlian khusus menjengkelkan orang?

Di depannya, si gadis kuno gemetar. Ia bertengger di bangku kantin, yang bergoyang-goyang menahan tubuh di atasnya. Suara kaki besi kursi dan lantai bergesekan berdecit-decit. Di atasnya, si pucat pasi. Matanya membulat, jemarinya tumpuk menumpuk menutup mulut yang terbuka. Jelas ia didera ketakutan sangat. Fokus pupilnya tertuju ke satu titik. Silva mengikuti arah telunjuk Candina. Dengan santai, Silva bergerak ke arah sosok yang menimbulkan jeritan luarbiasa.

Makhluk bulat berbulut lebat. Warna coklat, putih, hitam. Wajah tak berdosa yang memandang dengan mata bola dua warna : biru dan gelap. Sorotnya seperti reptil yang mengancam, namun gerakannya gemulai dan perlahan.

Silva menyentuhnya, mempermainkan bulu-bulu. Mengangkatnya, memeluknya, menciuminya.

"Awww…hiii!" desis Candina. "Kamu…berani??"

Silva memandang Candina sekilas.

Bagaimana mungkin ada orang yang histeris, ketakutan, menolak keberadaan makhluk selucu ini?

"Cookies," bisik Silva pelan. Suara yang jarang didengar orang dan sangat jarang didengar Candina. Seingatnya, baru kali ini Candina mendengar suara Silva yang unik.

"Apa?" Candina menajamkan telinga.

"Cookies," ulang Silva. "Namanya Cookies."

🔅🔆🔅