Silva menangkis serangan.
Pukulan yang melayang ke arahnya. Jemari yang menjambak. Telunjuk yang mendorong pelipisnya dengan gaya meremehkan, "dasar bego!"
"Emang kamu siapa?"
"Gak usak sok! Kamu tuh cuma anak buangan!"
"Lebih baik tau diri daripada cari mati!"
Ia mengangkat tangan.
Hanya mengangkat telapak tangannya.
Letih harus bertahan dari penindasan, ejekan dan tekanan bertubi dari teman sekolah yang selalu merasa keberadaannya hanya sampah dunia seperti sisa-sisa serat daging di gigi. Kali ini, ia terpaksa bersikap lebih bertahan karena tak tahan melihat gerombolan paling famous di sekolahnya menindas anak lain.
Tapi Silva tak pernah menyangka, gerakannya mengangkat telapak tangan berakibat fatal.
๐ ๐๐
Sepasang tangan menariknya paksa.
Tangan kuat yang nyaris mencekik, krah baju menekan leher hingga nyaris kehilangan napas. Menyeret tubuhnya masuk ke ruang kesenian yang dipenuhi alat-alat musik modern maupun tradisional. Menghardiknya dengan suara dalam.
"Apa yang kamu lakukan?"
Silva terengah, menarik oksigen pendek-pendek lewat mulutnya yang terbuka lebar.
"Apa yang kamu lakukan, heh?"
Lidah Silva terjulur sedikit ke luar.
Ia tak mampu menjelaskan ke pemuda di depannya, yang menatap dengan tajam penuh selidik. Apa yang harus dilakukannya di depan Salaka, pemuda paling digemari di seluruh Javadiva? Wajah tampan, sorot mata beku dan sikap tak peduli yang membuat seluruh gadis di sekolahnya terbakar rasa jatuh cinta. Salaka tak pernah menaruh perhatian pada siapapun. Tidak pada Initta, gadis tercantik di Javadiva. Tidak juga pada Zaya, gadis paling kaya pewaris perusahaan tambang. Tak sedikitpun pernah menanggapi Arumi, Terra, Vanya atau siapapun putri orang-orang terpandang di negeri ini.
Tapi Salaka justru melindunginya, menariknya dari kerumunan orang-orang yang kalut dalam perkelahian barusan. Membuat seisi sekolah terperangah dan Silva merasa sebentar lagi bola api raksasa akan dilemparkan ke dirinya.
Celaka kamu, Silva! Ia mengejek dirinya sendiri.
Apa-apaan kamu, sok jadi pahlawan buat orang lain? Padahal dirimu sendiri butuh dilindungi pasukan bodyguard untuk melawan gerombolan famous.
๐ ๐๐
Tapi ia ada di sana.
Ia, Silva, gadis paling lemah yang selalu mengalah dan kalah. Si tertindas yang selalu jadi keset, sandal, alas kaki bagi banyak orang. Hafal betul rasanya jadi hamba sahaya. Paham betul sakit jiwa raganya menghadapi siksaan batin hari demi hari. Maka, ketika melihat Candina โgadis yang sama pecundangnya seperti dirinya โia seperti melihat dirinya sendiri.
Rambut panjang Candina dipermainkan. Ditarik-tarik. Ikat rambutnya dilepas paksa dan dibuang ke tempat sampah. Rambut kelabangnya menjadi sasaran kekerasan bagi gadis-gadis di Javadiva yang sepertinya tak pernah mendapat didikan etika sejak jabang bayi. Silva ada di sana, dan ia dapat merasakan penderitaan dirinya dua kali lipat menguat, dua kali lipat lebih pedih. Bersamaan kemarahan yang tetiba menggelora dari perut, naik ke dada, melewati kerongkongan dan melenyapkan nalar di kepala.
Silva merangsek menolong Candina.
Hasilnya, ia sendiri hujan pukulan.
Dalam kondisi kesakitan dan marah, Silva mengangkat telapak tangannya dan, ya. Begitulah.
Hanya mengangkat telapak tangan.
๐ ๐๐
"Pelipismu berdarah," Candina menatapnya sedih.
Silva menatap gadis di depannya yang terduduk sembari menyandarkan punggung ke dinding. Keduanya terdampar di dalam ruang kesenian yang terisolasi jauh dari ruang-ruang kelas, aula, ruang kepala sekolah dan ruang guru.
"Aku bawa sapu tangan," Candina mengeluarkan kain katun bercorak kotak-kotak dari saku baju.
Silva menatapnya heran.
Rambut Candina awut-awutan. Jalinan kelabangnya entah sudah berbentuk apa : mirip gulungan ramyeon yang ruwet di jepit sumpit. Helai-helai halus rambutnya menebal terkena debu dan keringat, lengket dan menggumpal. Mirip sapu ijuk yang biasa digunakan menyapu lantai kantin.
Lembut, Candina menempelkan sapu tangan ke pelipis Silva yang merintih pelan.
"Gak usah cengeng," ledek Candina. "Lukamu nggak seberapa, kok."
Silva menggigit bibir dalam kuat-kuat.
"Sepertinya hanya tergores ujung meja," Candina menggumam. Masih menempelkan saputangan di pelipis Silva.
Hanya? Silva mengulang dalam hati. Hanya ujung meja?
"Atau ujung kursi," Candina menggumam lagi, entah bermkasud prihatin atau melepaskan humor demi mengurangi ketegangan. Humor yang sama sekali tak lucu.
"Candina, kamu baik-baik saja?" Salaka menatap Candina lurus, terlihat sangat khawatir.
Silva menatap kedua sosok di depannya heran. Candina memang terlihat berantakan, tapi Silva yang terluka. Mengapa Candina yang mendapatkan perhatian penuh Salaka? Ups, apa ia cemburu?
Silva menekan permukaan kulit telunjuk dengan kuku ibu jari. Hal yang biasa ia lakukan bila pikirannya terlalu jauh mengembara. Semakin berkelana khayalan, semakin kuat kuku ibujari berusaha menekan permukaan kulit telunjuk. Kadang hingga terkelupas, atau bahkan berdarah.
"Aku nggak papa," Candina menenangkan.
"Betul, kamu tak apa?" Salaka menahan napas.
Silva bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa adegan tanya jawab di depannya terlihat aneh dan ada yang terasa menggelitik. Tapi ia tak tahu sebabnya.
"Kamu tahu apa yang kamu lakukan?" Salaka menatap Silva tajam.
Silva menggeleng, tapi berikutnya mengangguk ragu.
"Kamu sadar apa yang kamu lakukan?" Salaka kembali bertanya dengan tatapan dan suara menuduh.
"Salaka, sudah!" cegah Candina. "Dia hanya mau nolong aku. Sudahlah."
"Apa kamu tahu, apa yang terjadi tadi?" Salaka benar-benar ingin menumpahkan tuduhan pada Silva.
๐ ๐๐
Ketika Silva memutuskan bahwa ia harus menghadapi ketakutannya seorang diri โseperti yang sudah-sudah โ gadis itu melangkah ke luar ruang kesenian. Pintu kayu jati berukir yang besar berbentuk kupu-kupu terasa dingin dan berat ketika Silva mencoba mendorongnya ke arah luar. Ia sendiri tak tahu, dorongan apa yang membuatnya menolong Candina tiba-tiba. Kalau ia tahu tindakannya akan membuat Salaka salah paham, tak akan dilakukannya! Biarkan saja Candina remuk redam menjadi korban penindasan, sama seperti dirinya juga demikian.
Anak-anak famous itu butuh permainan.
Bila mereka sudah lelah dengan media sosial, mereka akan menciptakan hal-hal yang membangkitkan adrenalin. Membuat orang marah dan menangis adalah kegemaran utama. Siapa lagi bila bukan anak-anak lemah macam Silva dan Candina yang menjadi sasaran?
Dari percakapan yang samar terdengar di belakang punggung, ia menangkap sekilas perbincangan Candina dan Salaka.
"Kamu bisa saja mati tadi, Candina."
"Dia menyelamatkanku!"
"Itu bukan tindakan penyelematan. Kamu lihat apa yang terjadi?"
"Dia bahkan nggak tau apa yang dilakukannya!"
"Apa kamu tidak melihat, dia gadis paling aneh di sekolah ini? Aku merasa ada sesuatu yang jahat dalam dirinya."
Meski pelan, kata-kata mereka berdua masih tertangkap jelas.
Silva menyesal telah menolong Candina. Ia menyesal, harus berbuat baik karena rasa terpaksa saja.
Apalagi ketika ia benar-benar keluar dari ruang kesenian, membiarkan pintu raksasa jati berukir menutup sempurna di belakang punggungnya, matanya menyapu deretan orang-orang yang berdiri di sana. Seperti menunggu. Seperti bersiap menjatuhkan dakwaan. Seperti bersuka cita akhirnya menemukan alasan untuk membuatnya lebih menderita.
Baiklah, Silva.
Hari penghukuman seperti yang sudah-sudah akan menyambutmu lagi.
๐ ๐๐