Halaman pertama, Buku Harian Balerina.
Aku masih muda dan muda itu membuatku belajar akan satu hal yang begitu penting : bahwa mimpi akan tetap jadi mimpi, kalau kita tidak melakukannya. Itu yang diajarkan oleh orang dewasa, kata-kata motivasi paling bijak, pembangunan kehidupan dan masa depan.
Namun, tidak pernah sekali saja aku dengar kalimat begini : bagaimana cara untuk 'melakukan' mimpi dan mewujudkannya?
Saat ini, kita masih muda. Rawan kesalahan dan kebodohan. Membohongi diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kecerobohan adalah cara 'orang muda' belajar banyak hal.
--dan aku ... belajar dari itu.
Jakarta, Desember 2021
....
Sekolah menengah Atas, Jati Hanca, Jakarta.
-Tragedi yang menyertakan kami di mulai di tempat ini-
"Mau jadi apa kamu?" Dia menatapnya, gusar. Derai air mata turun membasahi pipinya. Representasi hatinya yang begitu sedih. "Ibu tanya, Sam! Mau jada apa kamu?" pekiknya, nada bicaranya semakin tinggi.
"Ibu ini hanya wanita tua! Paruh baya! Usia 50 tahun!" Dia menepuk-nepuk dadanya, bunyi dentuman itu menyakiti hati Isam pada akhirnya. Dia tidak bisa menahan derai air matanya juga. Lambat laun hatinya sebagai seorang laki-laki pun mulai bergetar mendengar suara sang ibunda yang gemetar hebat.
"Isam! Mau jadi apa kamu, Le?" Dia memohon, setelah memukul-mukul dadanya sendiri, kini kedua kakinya lemas. Jatuh bersimpuh di hadapan putra semata wayangnya.
"Perwira!" katanya dengan lantang, menegakkan badannya. Membusungkan dada penuh kemantapan. "Aku mau jadi perwira!" Dia menegaskan seraya menggigit bibir bawahnya. Deru di dalam hatinya terasa begitu nyata, tubuhnya merinding kalau sudah menyebutkan kata itu.
Isam adalah pemimpi. Mimpinya menjadi seorang perwira. Tentara dengan pangkat tinggi, berjalan gagah menerjang bayu di jalanan kota. Dia suka corak seragamnya, dia suka dipandang gagah dan perkasa.
"Kalau mau jadi perwira .... kenapa malah begini?" Dia berbicara di tengah isak tangisnya. Masih belum kuat dengan kabar yang baru saja dia dapatkan. "Kamu mau jadi perwira, bukan jadi ayah di usia muda!" katanya menyeru, seraya menarik ujung celana abu yang dikenakan oleh putranya.
Isam mengerti seperti apa luka yang dia bawa pulang ke rumah sore ini.
"Aku itu hanya buruh cuci! Serabutan ke sana dan kemari setelah bapakmu mati." Wanita paruh baya itu mendongakkan kepalanya. Wajahnya nanar, membuka luka baru di hati Isam. Dia sangat menyayangi ibunya.
"Bagaimana bisa ...." Wanita itu tak punya tenaga lagi, lemah sudah. Dimakan usia dan keadaan. "Kamu malah menghamili anak orang? Huh?" tanyanya, sembari menangis tersedu-sedu. Tidak menyangka kalau mimpinya juga ikut hancur.
"Saat kamu bilang sama ibu, kalau kamu mau jadi perwira ...." Dia menarik ujung kemeja sang putra. "Aku ... aku yang hanya wanita tidak punya pengalaman ini mencoba untuk ikut mengejar mimpi kamu, nak! Ibu bangga kalau kamu tidak putus sekolah setelah keluarga kita habis-habisan sepeninggalnya bapak kamu," ujarnya. Terus menepuk-nepuk dadanya. Sampai benar-benar tidak terasa apapun.
"Katakan, katakan padaku ... pada ibumu ini, hiks!" Dia mengusap wajah putranya, membawa pandangan mata penuh dengan kekhwatiran dan penyesalan itu datang padanya.
"Sekarang kamu mau jadi apa?" tanyanya, lirih. Namun, air mata itu tidak mau lirih. "Kamu mau jadi apa, Isam?" Dia kembali meninggikan nada bicaranya.
--yang diajak berbicara hanya bisu, tak berani lama-lama menatap ibunya.
"Perwira itu pekerja yang mulia! Tentara, polisi adalah orang-orang hebat yang punya seragam khusus! Mereka punya kepribadian yang bagus, dari anak-anak yang pandai. Kamu bermimpi bisa setara dengan mereka setelah kamu menghamili anak orang?"
"Isam!" Ibunya berteriak. "Jawab ibu, sekarang!"
"Aku ...." Isam mulai membuka mulutnya. Tentu saja nada bicaranya gemetar hebat, dia berusaha semaksimal mungkin untuk memendam semua keresahan dan kesedihan di dalam hatinya.
Dia melakukan kesalahan yang besar, itulah kenyataannya. Namun, ayahnya mengajarinya untuk bertanggung jawab dan bersikap layaknya seperti seorang lelaki. Laki-laki tidak mengeluarkan air mata dipenyesalannya, tetapi mengeluarkan aksi untuk bertanggung jawab atas apa yang sudah dia lakukan.
"Aku akan bertanggung jawab, sesuai dengan apa yang aku lakukan, Ibu." Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia berusaha memberanikan diri untuk menatap wajah sang ibunda. Sekuat tenaga untuk tidak menangis.
Wanita tua yang tadinya menatapnya dalam diam, tiba-tiba saja mengeluarkan gelak tawa di tengah isak tangisnya.
Isam heran, padahal dia tidak sedang melucu sekarang.
"Dari mana kamu mempelajari kalimat itu?" tanyanya. Menatap Isam. "Dari mana kamu bisa berbicara semantap itu setelah apa yang kamu lakukan?" tanyanya lagi. "Bagaimana kalau tiba-tiba orang tua gadis itu datang ke sini dan membawa polisi?"
Isam diam lagi
"Kamu bukannya jadi polisi tapi malah kamu ditangkap polisi!" Perempuan itu kembali berteriak, kesetanan. "Harapan ibu itu cuma kamu, Isam!" katanya. "Kamu itu penerus bapak kamu. Bapak kamu sudah mati karena dia sakit dan meninggalkan kita semua di rumah tua ini. Kalau kalau ada badai, mungkin ini yang hancur duluan."
"Ibu, jangan berlebihan."
"Bagaimana aku bisa tidak berlebihan setelah kamu pulang membawa kabar seperti itu?" Dia memukul pundak putranya. "Bagaimana bisa kamu melakukan kesalahan sebesar itu?" tanyanya, terus menerus.
"Aku akan bertanggung jawab. Aku akan datang ke rumahnya dan aku akan menikahinya, Bu."
"Mau menikah pakai uangnya siapa?" pekiknya. "Mau bertanggung jawab bagaimana caranya?" Dia terus saja mendesak putranya untuk berpikir jernih.
"Dari tadi kamu cuma bilang mau bertanggung jawab, mau bertanggung jawab, padahal kamu sendiri saja tidak tahu apa definisi bertanggung jawab di dalam masalah ini?" Dia berdiri tegak tepat di depan putranya, mengabaikan kedua lututnya yang gemetar hebat sedari tadi.
"Jadi orang tua itu nggak mudah, Sam." Dia menekankan. "Kamu tidak perlu mencari contoh di luar sana, tapi kamu lihatlah wanita tua yang berdirir di depan kamu sekarang!" Dia menunjuk dirinya sendiri. "Beruntung kamu punya orang tua seperti aku?"
Isam menatap ibunya. "Sangat beruntung."
"Kalau begitu kenapa kamu mengecewakanku!" katanya, semakin jelas.
Isam diam lagi.
"Daripada harus melihat mimpi putraku, melihat harapan satu-satunya untukku sudah tidak ada lagi, lebih baik aku yang mati ...." Dia melirih kemudian. Mencengkram kerah baju putranya. "Aku gagal menjadi ibu untuk kamu dan jika .... jika bapak kamu masih hidup, dia pasti juga akan mengatakan hal yang sama, Sam. Kami gagal jadi orang tua untuk mendidik kamu."
Isam menggelengkan kepalanya. "Aku yang salah, Bu. Ibu tidak salah ...."
"Benar! Kamu yang salah dan kesalahan itu berasal dari didikanku. Aku tidak bisa melihat masa depan putraku aku hancur, aku akan mati saja!"
Dia pergi dari hadapan sang putra dan berlari menuju dapur. Isam lantas langsung mengejarnya, dia tidak mau hal buruk terjadi pada ibunya. Hanya ibunya yang dia punya setelah sepeninggal ayahnya.
"Ibu!" Isam berteriak kalau melihat pergelangan tangan ibunya meneteskan darah dari pisau yang dia pegang. "Ibu!" Dia berlari mendekatinya.
"Ibu!" ---Dia bangun secara paksa, keringat menetes di kedua sisi pelipisnya.
"Ck, sialan ...." Pemuda itu berdecak kesal sembari mengusap lehernya yang dipenuhi dengan keringat. Cuacanya benar-benar sialan pagi ini. "Aku mimpi buruk lagi?" Isam mendegus. Melirik jam. Sekarang, yang lebih sialan dari itu adalah dia terlambat masuk sekolah.
... Bersambung ...