Chereads / Young Mama vs Little Daddy / Chapter 3 - 3. Aku akan meninggalkan mereka.

Chapter 3 - 3. Aku akan meninggalkan mereka.

"Mama bilang gak boleh pacaran sama Isam." Dia datang dengan ekspresi wajah yang menyebalkan, sembari memainkan sedotan dari lubang susu kemasan yang dia beli.

Pemuda di sisinya menoleh, menatap kedatangan Lyne. "Gak latihan?" tanyanya, seakan sudah menjadi pertanyaan yang wajib. Lyne dikenal karena tariannya yang mengagumkan ditambah paras cantik dan tubuh semampai miliknya.

Lyne mengabaikan pertanyaan itu, dia hanya berdiri menatap ke arah arah tiang bendera. Di sana ada tiga pemuda berjajar, berdiri sembari hormat pada kibaran sang merah putih.

"Jaman sekarang ... masih ada hukuman seperti itu?" Lyne terkekeh, membuang bungkus susu kemasan yang sudah habis isinya. "Itu tidak keren sama sekali," katanya.

Pemuda di sisinya tertawa, gelak tawa itu mencuri perhatian Lyne.

"Apanya lucu?" Lyne menunjuk ke depan dengan pandangan matanya. "Lihat teman kamu, mereka bertiga dihukum sedangkan kamu berdiri di sini?" Lyne berdecak. "Katanya calon perwira itu harus setia kawan."

"Mereka bolos pelajaran seni." Dia menjawab, seadanya. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Ini bukan kali pertamanya," katanya lagi. "Namun, ini kali pertama kesabaran Bu Linda habis, jadi beliau menghukumnya." Dia bagian akhir kalimat dia mengeluarkan gelak tawa yang menyebalkan, menghina padahal mereka kemana-mana selalu berempat. Namun, kalau masalah dihukum, Anggar tidak pernah kena imbasnya. Dia selalu cuci tangan, bersih dan mundur dari hal semacam itu.

"Kamu kenapa gak bolos juga?" tanya Lyne, menatapnya. "Karena ketua kelas?"

Anggar Tama Wijaya adalah namanya, pemuda yang termasuk dalam lingkup pertemanan gila milik Isam dan teman-temannya. Tidak ada sebutan yang pantas, sebab kalau dikategorikan dalam kata 'berandalan sekolah', itu terlalu kasar. Namun, mereka juga bukan murid teladan yang datang pagi, belajar dengan khidmat, lalu pulang layaknya anak-anak yang lainnya.

Bisa dikatakan, Anggar dan Isam berada di tengah-tengahnya.

"Yang mau jadi perwira cuma mereka, aku enggak." Anggar menjawab, dia mantap untuk menjadi seorang pengusaha. Entah pengusaha apa, katanya yang penting ada perusahaan, jalan dan semuanya baik-baik saja.

"Seni dibutuhkan untuk berwirausaha," kata Anggar lagi. Manggut-manggut dengan kalimatnya.

Hampir saja Lyne muntah dengan tawanya sendiri. Anggar membosankan, kalimatnya itu-itu saja.

"Katakan sama Isam, nanti sore temui aku di kafe biasa," tukas Lyne. Dia menepuk ringan pundak lawan bicaranya. Lantas pergi meninggalkan Anggar di sana.

"Lyn!" Dia memanggil. Berniat berbicara lagi dengan Lyne. "Kenapa dia harus menemui kamu?"

Lyne mengerutkan keningnya. Alisnya bertaut kemudian.

"Kamu bilang mama kamu tidak merestuinya. Mama kamu adalah keputusan yang paling ...."

"Karena aku merindukannya!" Lyne menjawab dengan tegas. Dia memang tergolong gadis ambius, apapun yang Lyne katakan harus menjadi kenyataan. Namun, dia tidak menolak fakta bahwa dia hanyalah remaja pubertas. Cinta dan skandal masa muda adalah caranya menikmati hidup.

"Bagaimana kalau mama kamu tahu?" tanyanya, mulai khawatir. Padahal itu terkesan menyebalkan untuk Lyne.

"Katakan saja sama Isam, gak perlu mengkhawatirkan apapun. Itu yang akan menjadi urusanku." Lyne menyelesaikan kalimatnya dengan helaan nafas kasar, menatap Anggar dengan penuh tak suka.

Dia pergi setelahnya.

Lyne menjaga jarak dengan Anggar, alasannya sudah pasti. Desas-desus mengatakan bahwa Anggar menyukainya. Cinta monyet, Lyne menganggapnya begitu. Katanya pemuda itu mencintai Lyne sudah sejak kali pertama dia datang ke sekolah ini. Itu artinya hampir tiga tahun berlalu.

Dari kejauhan, Isam menatap semua yang terjadi. Bisikan teman yang ada di sisinya seakan menjadi bisikan setan yang mengganggu dirinya sekarang.

"Anggar menyukai Lyne, Sam." Sudah yang kesekian kalinya. "Katanya begitu," imbuhnya lagi. Dia melirik ke arah Isam, pemuda ini hormat dengan tegap, membusungkan dadanya. Serius kalau sudah masalah sang merah putih. Sebegitu cintanya dia pada negaranya.

"Sam ..." Dia menyenggol bahunya. Membuat Isam hampir goyah. "Gimana kalau Lyne terpikat?"

Isam masih diam, menganggap itu godaan dari penjajah.

"Anggar itu tampan, anaknya orang kaya. Meskipun gak kaya kaya banget. Ayahnya guru dan ibunya juga. Hidupnya berkecukupan dan dia juga pandai, mumpuni. Tipe pemuda yang jadi idaman ibu-ibu untuk putrinya." Dia terus menjajah keseriusan milik Isam.

"Anggar juga punya kepribadian yang baik, tidak seperti kita."

"Memangnya kita kenapa?" Bukan Islam, tetapi pemuda berkepala plontos di sisi Isam yang menyahut. Mencondongkan tubuhnya ke depan, sepertinya dia yang terpancing oleh 'setan' satu ini. "Memangnya kita kenapa?" Dia mengulang lagi, sekarang dengan nada bicara yang sedikit jengkel.

"Kenapa tidak menjawab?" Terus mencecar. Hanya mendapat decakan dan lirikan mata.

Itu memancing emosinya, sebab memang pada dasarnya dia punya tempramen yang buruk. Orang memanggilnya Sagara. Pemuda yang cukup menyukai keributan dalam hidupnya. Apa-apa selalu dibawa dalam suasana tegang olehnya. Egonya yang tinggi, membuat Sagara banyak dihindari oleh orang-orang. Alasannya?

Tentu saja karena dia menyebalkan.

"Aku tanya sama kamu!" Dia tiba-tiba menurunkan tangannya. Tak lagi dalam posisi hormat yang khidmat. Berjalan memutari Isam yang baru saja memejamkan matanya. Dari helaan nafas Isam, dia seakan ingin mengatakan pada dunia. "Mereka mulai lagi!"

"Aku tanya memangnya kita kenapa?" Sagara meninggikan nada bicaranya, berdiri di depan temannya itu. "Berandal?" tanyanya lagi.

"Kenapa kamu emosi? Aku bicara sama Isam!" Dia juga kesal. Namun, masih bisa mengontrol nada bicaranya. Agar tidak mengundang keributan.

"Kalau dipikir-pikir, kita di sini karena kebodohan kamu, Jun!" Dia menarik kerah bajunya. "Ini bukan kali pertama kami mengacaukan semuanya. Bolos kita jadi sia-sia!" Semakin kuat mencengkram kerah baju lawan bicaranya.

Juni, itulah nama pria berambut keriting ini. Dia tergolong sabar, lebih kepada sifat penakut yang membawa kebodohan yang hakiki dalam dirinya. Benar yang dikatakan oleh Sagara, Juni adalah perusak dalam rencana mereka. Sering.

"Kenapa kamu membandingkan Isam sama Anggar?" --ah, inilah yang membuatnya marah. Berkali-kali Sagara berbicara padanya bahwa Isam tidak sama dengan Anggar. "Kenapa kamu membandingkan kuda yang berlari dengan kupu-kupu yang terbang?" tanyanya lagi, ludahnya sampai-sampai membasahi wajah lawan bicaranya sebab Sagara berteriak-teriak bak orang kesurupan.

Semua anak-anak di sekolahnya menoleh pada mereka, sialnya ini adalah jam istirahat, jadilah mereka sebagai bahan tonton kali ini.

Isam yang malu, sungguh. Ini juga bukan kali pertama dua manusia ini bertengkar.

"Isam saja tidak marah! Kenapa kamu marah?"

Sagara mengeluarkan tawa menyebalkan yang khas. "Orang ini bodoh atau bagaimana?" gumamnya. Menatap Juni dari atas hingga bawah. "Aku sahabatnya Isam!" Dia menepuk dadanya. "Jadi aku marah jika ada yang menghina dia, membandingkan dia secara fisik, ekonomi, prestasi, dan lainnya," ucap Sagara. Melotot pada Juni.

"Calon perwira itu setia dengan rekannya! Bahkan matipun harus bersama-sama!" katanya pada Juni.

"Calon perwira tidak memukul rekannya, Ga!" Juni menyahut. Ikut menarik kerah baju Sagara.

Inilah yang terjadi, inilah akhirnya. Selalu saja begini.

"Calon perwira juga tidak memaki rekan kerjanya sendiri!" Isam akhirnya angkat bicara. Dia menghentikan aksi heroiknya hari ini. "Lihatlah kalian berdua!" Isam menunjuk ke arah cengkeraman jari jemari Sagara untuk Juni dan begitu juga dengan sebaliknya.

"Kalian yakin mau jadi tentara dengan sikap seperti itu?"

... To be continued ...