"Sayang sama Juli?" Hampir saja dia mengumpat, mengeluarkan semua yang ada di dalam hatinya.
"Kalau memang mama sayang sama Juli, seharusnya tidak membawa pria lain datang ke rumah dan mengatakan bahwa kalian sudah menikah siri!" Air matanya sudah tidak bisa lagi dibendung pada kenyataannya, inilah rasa sakit luar biasa yang selalu ditakutkan olehnya sepanjang malam menjelang tidur.
"Jaga nada bicara kamu, Juli." Wanita itu menatap ke arahnya. Dia duduk di atas kursi, terus memandangi perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh putrinya hanya dalam satu malam.
Menangani Juni bukan hal yang sulit, setelah dirinya memperkenalkan Riam sebagai ayah baru untuk si kembar, Juni hanya diam meskipun wajahnya dipenuhi kekecewaan seperti sekarang. Namun, tidak untuk Juli. Dia histeris seperti sedang kesetanan. Melempar barang-barang yang ada di depannya, sembari terus menangis layaknya kehilangan sesuatu.
"Mama minta aku untuk menjaga nada bicara? Untuk apa?"
Selama ini Juli diam, menyikapi semuanya berusaha dengan cara yang dewasa. Namun, malam ini pertahannya runtuh. Dia melupakan apa yang dipendam selama bertahun-tahun.
"Mama tahu apa yang paling Juli benci!" Dia berteriak lagi. "Juli gak mau punya ayah baru!" Terus saja meninggikan ada bicaranya penuh dengan emosi. Dia harus dipaksa menguatkan diri menghadapi kenyataan yang seolah-olah meremehkan semua usahanya.
"Kenapa nggak mau?" Wanita tua itu menyahut. "Karena kamu masih berpikir kalau ayah kamu akan kembali hidup atau bagaimana?"
Luka yang dia terima juga tak kalah besarnya. Setelah sepeninggal suaminya, dia harus pantang-panting ke sana. Menghidupi dua anak kembar yang biaya hidupnya juga tidak murah di tengah padatnya kota yang semuanya serba mencekik.
Juli diam di tempatnya. Menangis. Air mata itu adalah bentuk protes dari apa yang dilakukan mamanya.
"Mama pergi selama berhari-hari, katanya mau lembur kerja tetapi pulang-pulang tiba-tiba bawa laki-laki lain yang mengatakan bahwa dia adalah suami mama?" Juli menelisiknya. "Mama pernah ketik saja memikirkan apa perasaan Juli?" Dia menepuk dadanya yang terasa begitu sesak. "Mama pernah tanya apa yang jadi suka dan apa yang Juli tidak suka?"
Juni yang berada di sudut ruangan, sekuat tenaga berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya. Ayahnya pernah berkata bahwa suatu saat nanti ketika dia menjadi tulang punggung keluarga, menjadi kepala keluarga dia tidak boleh menangis di depan keluarganya.
Tidak pernah menyangka bahwa sumpah dan kata itu yang akan terjadi begitu cepatnya. Di usia pubertas yang dia sendiri belum bisa menentukan kemana masa depannya harus dijemput nanti.
"Mama salah memikirkan Juni. Mama selalu berpikir bahwa Juni adalah yang utama seperti adalah ...." Dia tidak bisa meneruskan kalimatnya, ternyata rasa sakit itu menghentikan semuanya pada akhirnya.
"Riam adalah pria yang baik, meskipun dia juga seorang duda. Dia tidak dikaruniai anak dari pernikahan sebelumnya, itulah sebabnya dia bercerai dengan istrinya," ucap Marlia, ibu Juni dan Juli.
"Itu artinya dia sangat menginginkan seorang putra dan putri. Dia pasti akan menerima kalian dan dia pasti akan mencintai kalian."
Marlia menatap Juni. "Juni juga butuh seseorang untuk mengajari dia menjadi seorang kepala keluarga, Jul." Sekarang pandangan matanya kembali tertuju pada putrinya. "Jika sudah begitu mama bisa fokus sama kamu," imbuhnya. Menutup kalimat.
Namun, Juli tidak selunak itu. Dia bangkit dari posisinya bersimpuh. "Sebesar itu mama mama mencintainya?" tanya Juli.
Marlia manggut-manggut, dia tahu apa sedang bergelut di dalam hati dan pikir Juli. Dia juha paham, Juni sekarang sedang riuh dengan isi kepalanya.
Dia sudah menduga kalau beginilah respon kedua anaknya. Tidak mungkin mereka bisa menerima kehadiran orang baru begitu saja.
"Sampai-sampai mama bisa memuji dia di depan Juli begini?" tanyanya, tersenyum seringai. Dari balik matanya hanya ada kebencian yang luar biasa untuk mamanya. Memaafkan adalah hal yang sulit sekarang.
"Mama tidak meminta pendapat Juli?" Gadis itu melirih kemudian. Menggelengkan kepalanya. "Bagaimana dan apa yang Juli rasakan setelah mengetahui pria asing datang dan mengaku sebagai ayah sambung?"
"Juli ...." Marlia berusaha untuk sabar, tetap mengerti sebab di sini dia adalah orang dewasa yang sedang menghadapi dua remaja pubertas. "Mama mohon ... kamu bahkan belum berbicara dengan dia. Kamu belum mencoba untuk menyapa dan kamu langsung pergi ke kamar kamu setelah dia datang." Marlia bangkit dari posisinya. "Dia pasti sedang mendengar perdebatan kita ..."
Juli menggeleng dengan mantap. Menatap ibunya dengan kedua mata sembab.
"Juli, mama mohon jadilah dewasa untuk—"
Belum sempat wanita itu menyelesaikan kalimatnya, Juli sudah melempar barang-barang yang ada di depannya tepat mengarah pada wajah ibunya itu. Mungkin untuk bantal dan guling adalah hal yang wajar, tetapi tidak dengan benda yang akhirnha melukai sisi wajah wanita itu.
Juli mulai kesetanan.
"Jul!" Juni berlari ke arahnya. Mencoba untuk menghentikan aksi Juli sekarang. "Stop, Jul! Stop!" Dia berusaha untuk meraih tangan Juli. Sekuat tenaga meskipun Juli terus memberontak, tak mau diberhentikan.
"Mama keluar saja!" kata Juni. "Biarkan aku yang bicara sama Juli, Om Riam pasti syok juga." Dia mengimbuhkan.
Marlia tentu saja tidak tega melihat putrinya begini, tetapi sebagai seorang ibu dia hanya bisa menenangkan dengan cara yang tidak menyakitinya. Dia berusaha untuk tidak bermain fisik apalagi sampai menamparnya.
Marlia manggut-manggut. "Mama akan pergi."
Marlia melangkah dari tempatnya dengan berat hati, dia menutup pintu kayu itu perlahan-lahan sembari memastikan kalau putrinya bisa ditenangkan oleh saudara kembalinya sebab dia sudah gagal melakukannya.
"Jul!" Juni membentak. "Kamu ini jangan kayak anak kecil!"
Kalimat itu menghentikan Juli sesuai dengan dugaan Juni.
Dia menatap Juni lekat-lekat. "Apa yang kamu bilang?"
"Kamu kayak anak kecil!" sahut Juni, mengulang. Tak mau mengalah kali ini. "Sikap kamu ini ... kayak anak kecil yang tidak berpikir!"
Juli tertawa tiba-tiba. "Kamu mendukung mama?"
"Aku tidak mendukung siapapun!" Juni ikut emosi tiba-tiba. "Seperti biasa, sesuai dengan perintah kamu ... aku tidak akan berpihak pada siapapun dan berdiri dengan kakiku sendiri!"
Juli mendorong tubuh Juni. Berjalan menjauh darinya. "Kali ini, memihaklah padaku!" --tentu saja bukan memohon, Juli memaksa. "Kita usir orang itu! Memberontak dan mengatakan bahwa kita tidak butuh dia! Ayah kita hanya satu!"
"Jul ...." Juni mendekatinya. "Juli, kita pasti bisa menerimanya lambat laun. Kita bisa bersama terus-menerus, kita bisa saling menguatkan satu sama lain. Aku janji aku akan tetap berada di sisi kamu dan tidak pernah berubah," lirihnya. Berusaha untuk menjinakkan saudari dirinya.
Juli menggelengkan kepalanya. "Pilih orang itu tetap di sini dan aku pergi dari sini atau aku di sini tetapi kita usir orang itu?"
"Jul, come on!" Juni mulai frustasi. "Kita juga harus memikirkan kebahagiaan mama," tuturnya. "Jadi—"
"Fine! Aku yang pergi!"
... Bersambung ....