"Lyne Wasundari adalah balerina yang akan tampil pada pementasan opera festival tahunan kota!" Dia berbicara dengan penuh semangat, bersenandung ringan setelah menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya hatinya bahagia setelah membaca surat kabar yang datang dari kotak surat di depan halaman rumahnya.
"Dia adalah putri dari Fayya Angelina, pemilik gedung berita Grania," imbuhnya. Masih belum puas memuji hanya sekali saja.
Gadis muda yang duduk di atas kursi penumpang, tepat di sisinya hanya menyeringai. Sepertinya ibunya terlalu berlebihan dalam menyikapi kabar yang datang pagi ini.
"Bayangkan, Seperti apa ekspresi wajah orang tua wali balerina yang lain setelah bertemu denganmu nanti?" tanyanya, menoleh ke arah putrinya sejenak lalu kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya. Tugasnya setiap pagi sama seperti dengan ibu yang lainnya, Fayya bangun lebih pagi dan menyiapkan segala macam hal sebelum berakhir pada menghantar putrinya ke sekolah.
Sebenarnya berulang kali Lyne mengatakan pada ibunya itu untuk tidak perlu menghantarkannya lagi, toh juga dia sudah duduk di bangku SMA tahun ketiga, beberapa bulan lagi dia akan lulus. Namun, Fayya selalu menegaskan bahwa putrinya adalah 'tuan putri', pantas untuk mendapatkan semuanya.
"Mama segitu senangnya?" tanya Lyne, menoleh pada Fayya. "Lagian itu hanya acara festival tahunan, apanya yang bisa dibanggakan dari itu."
Fayya berdecak, menepuk paha sang putri beberapa kali. "Kamu ini ... mirip dengan papa kamu!" Dia terkekeh-kekeh. "Tidak peduli mau itu acara tahunan atau bahkan hanya acara antar kota saja, tetapi kamu menjadi pemeran utamanya, Lyne." Jari jemarinya mengusap pipi sang putri. "Mama benar-benar bangga sama kamu!"
Lyne Wisanduri. Namanya mungkin cukup terkenal belakangan ini, setelah didapuk sebagai pemeran utama dalam festival film dan dirinya berperan sebagai balerina dalam sebuah pementasan di film itu. Meskipun munculnya tidak lebih dari 15 menit, tetapi popularitasnya melejit tinggi apalagi dibantu fakta bahwa ibunya adalah pemilik gedung berita dan percetakan terbesar di Jakarta.
Sebagai seorang balerina, tentu saja fisik dan parasnya tidak perlu diragukan lagi. Dia punya tubuh yang semampai tinggi, sepasang kakinya begitu indah layaknya seperti tangkai bunga yang bersih. Lehernya jenjang, dengan warna kulit putih susu senada dengan wajahnya. Tidak ada celah luka untuk menghujatnya. Lukis wajah cantik itu dia dapatkan dari perpaduan antara ibunya dan ayahnya yang sudah meninggal sejak beberapa tahun yang lalu karena penyakit jantung yang menyerangnya.
"Ngomong-ngomong ...." Lyne memulai, memasukkan satu penyumbat telinga di sisi telinga kirinya. "Besok mama tidak perlu menghantarkan aku ke sekolah lagi," kata Lyne.
Berulang kali dia mengatakan itu pada mamanya, berulang kali juga dia ditolak mentah-mentah.
Fayya menggelengkan kepalanya. "Tubuh kamu adalah aset kamu. Di luar sana banyak bahaya yang mengintai, apalagi sejak kamu mulai populer. Tentunya keluar sendiri itu bukan ide yang bagus," ucap Fayya.
Bisa ditebak, itulah jawabannya setiap tahun. Tidak, bahkan setiap bulan atau setiap minggu ketika Lyne mulai membahas topik yang sama.
"Aku terlihat seperti anak manja," sambung Lyne, menatap ke luar jendela. "Teman-temanku berangkat sekolah sendiri di usia mereka. Ada yang naik angkot, bus, duduk di halte ... naik motor sendiri atau bahkan menyetir sendiri," tukasnya lagi.
Fayya sudah hafal dengan omelan ini.
"Jadi Lyne juga bisa melakukannya. Lyne sudah hampir 19 tahun," imbuhnya. Dia menatap ke arah ibunya. Memohon tanpa menyatukan tangannya.
"Mama juga bebas setiap pagi, mama tidak perlu tergesa-gesa untuk datang ke kantor." Gadis itu terus membujuknya dengan berbagai macam cara, jujur saja dia muak dengan kehidupannya yang ini ini saja.
Lyne adalah tipe orang yang mudah bosan dengan rutinitasnya. Dia hanya berangkat sekolah, pergi kursus, lalu berakhir pada latihan balet di tempat yang elit. Pulang malam hanya dia gunakan untuk belajar sebentar lalu tidur. Dia hanya punya waktu luang di hari minggu, itupun terhalang oleh wanita tua ini kadang kala.
"Siapa bilang mama kerepotan mengantarkan kamu? Mama juga jauh lebih senang kalau direpotkan ketimbang datang kerja dengan perasaan was-was," ucap Fayya. Mengusap puncak kepala gadisnya. "Lagian tidak ada yang salah kalau diantarkan sekolah sama mamanya, juga tidak merepotkan orang lain."
Lyne berdecak. Di dalam hatinya dia ingin terbang bebas seperti burung. Dulunya menjadi balerina adalah keinginannya, dia menyukai setiap waktu tubuh dan gerakan yang diciptakan oleh seorang ballerina. Namun, siapa sangka bahwa itu hanya menjadi ambisi yang tidak tertahankan pada akhirnya. Membawanya ke titik ini.
"Tapi, Ma ...."
Cit~ mobil mewah itu berhenti mendadak, tiba-tiba saja seorang pemuda menyeberang tanpa mengawasi kanan dan kiri. Untung saja responnya cepat, jika tidak Fayya akan menjadi orang jahat di sini.
"Untung saja ...." Fayya mengelus dadanya kemudian, menoleh ke arah sang putri yang tentu saja juga terkejut. Kepalanya terantuk di dasbor mobil.
"Itulah pentingnya pakai sabuk pengaman!" Fayya sedikit mengomeli putrinya kala dia mengerang kesakitan. "Sudah mama bilang untuk pakai sabuk pengaman kenapa malah dilepas?"
"Aduh ...." Lyne merintih, sembari mengusap-usap jidatnya. Benturannya cukup keras, mungkin jika setelah ini dia tidak mengingat siapa perempuan yang duduk di sisinya, maka bisa dipastikan dia gegar otak dan amnesia.
Setelah memastikan putrinya tidak terluka lebih dari itu, dia melepas sabuk pengamannya dan hampir saja keluar mendorong pintu mobil untuk memarahi pemuda yang berdiri di depan sana. Sepertinya dia juga sedang menenangkan dirinya sendiri sebab hampir saja mati terlintas mobil.
"Mama!" Lyne mencegah sang ibunda. Menggelengkan kepalanya. "Gak perlu!" Dia menegaskannya. Lyne tahu seperti apa mamanya kalau sudah mengomel. "Lihat, dia sudah minta maaf," ujar Lyne kala melihat pemuda itu membungkukkan badannya beberapa kali sembari mulutnya komat-kamit mengucapkan kata maaf, dia juga menyatukan kedua tangannya. Serius dengan permintaan maaf itu.
"Jadi, sudahlah. Lyne juga hampir terlambat masuk sekolah," imbuhnya, beralasan. Padahal masih ada 10 menit dan jarak sekolah sudah dekat.
Fayya berdecak. "Awas saja kalau begitu lagi," gumamnya. Kembali menutup pintu mobil, tak jadi keluar dan membiarkan pemuda itu pergi begitu saja.
Sembari memasang lagi sabuk pengamannya, dia mengomel. "Kamu, kalau cari pacar jangan kayak dia! Gak ada sopan santunnya sama sekali," kata Fayya. Dia melirik ke arah putrinya yang terdiam.
Wajahnya jadi aneh.
"Mama serius! Kamu harus cari pacar setidaknya CEO atau pemilik perusahaan besar, boleh juga dokter yang punya pengalaman. Setidaknya itu bisa menjamin kehidupan kamu."
Sebenarnya ini bukan kali pertamanya Fayya tiba-tiba saja membahas tentang pacar pada putrinya. Kalau saja bertemu dengan remaja berandal atau seseorang yang tidak dia sukai, kalimat semacam itu selalu saja keluar dari mulutnya untuk memberi wejangan pada sang putri.
"Bagaimana kalau ternyata dia adalah calon dokter atau calon pengusaha?" sahut Lyne. Dia juga selalu menjawab dengan kalimat yang sama.
"Jangan sama dia!" Fayya menegaskan. Kembali menjalankan mobilnya.
Lyne tersenyum miring, membuang pandangan matanya.
Sayangnya, pemuda itu adalah kekasih Lyne. Abrisam Lakya Maheswara.
... Bersambung ....