Halaman 10, Buku Harian Balerina.
Terkadang kita membuat kesalahan yang kita sendiri tidak pernah menyadari bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Penyesalan adalah cara kita mengekspresikan kesalahan yang terjadi. Sayangnya, penyesalan tidak bisa menembus apapun yang sudah terjadi. Semua yang kita lakukan di masa muda adalah apa yang kita terima di masa tua.
Seperti kesalahan kami semua, misalnya.
___
Gerimis mengguyur kota pagi ini, mendung terasa begitu pekat di atas sana. Juli memandang tetesan air yang turun dari plafon rumahnya, sesekali mendengus kesal pada dirinya sendiri. Lyne benar, dia tidak bisa minggat, pada akhirnya di kembali ke rumah ini lagi, untuk yang kesekian kalinya dia melakukan itu. Minggat katanya, lalu tak lama kemudian, setelah memastikan rumah sepi dia kembali lagi.
"Sepatu kamu gak kamu cuci?" Suara Juni menerobos ketenangan Juli, membuatnya menoleh. "Ini emang hujan, tapi aku yakin besok kamu pasti malas mencuci. Mau aku cuci sekalian?" tanyanya, terus berusaha membuat Juli berbicara.
Dia tahu, Juli adalah gadis yang mudah rapuh di dalam sana, apalagi kemarin mamanya datang membawa seorang pria, katanya itu akan menjadi ayah barunya.
Juli tidak menjawab, dia bangun dari posisinya. Memandangi hujan memang kesukaannya, tetapi setelah kehadiran Juni, dia menarik kesukaan itu. Lebih baik berdiam diri dalam kamar.
"Aku juga tidak setuju!" Juni menyela langkah kakinya. Membuat saudari kembarnya itu diam, sejenak saja sebelum akhirnya kembali berjalan. "Papa kita hanya Andre!" Dia berbicara lagi. Terus mendesak pertahan Juli untuk mogok bicara.
"Bukan cuma kamu saja yang terluka, Jul. Aku juga." Dia melirih setelah memastikan kalau Juli bertahan di sana. Tidak bergegas pergi.
Juli menoleh. Menatapnya dengan cara seperti biasa, malas.
"Kalau memang tidak setuju, kenapa tidak ikut minggat?" tanyanya, tersenyum tipis. "Kenapa kemarin diam saja saat aku dan mama berdebat tentang ayah baru?" Juli menghela nafas tak suka, jujur dia tak nyaman dengan keadaan rumahnya setelah dia beranjak dewasa. Semua terasa begitu memuakkan.
"Kenapa kamu seolah-olah membuat hanya aku yang jadi pihak keras kepala di sini, Jun? Sekarang saat tidak ada mama dan pria, kamu baru bisa mengutarakan isi hati kamu?" Juli tiba-tiba saja tertawa dengan kelucuan yang dia dapatkan di sini.
"Itulah sebabnya kamu nggak pernah cocok jadi perwira, Jun. Perwira itu punya jiwa keberanian yang tinggi, berbicara dan bersuara dengan lantang dan tegas dengan cara pengambilan keputusan yang mantap." Dia melangkahkan kakinya mendekati Juni. "Kamu bisa apa?" tanyanya, menutup amarah.
Juni diam. Meletakkan sepatu yang baru saja mau dia jemur.
"Kamu melawan Sagara saja tidak bisa, terus kamu melindungi negara kamu?" Dia kembali tertawa, menghina dengan jelas. "Lebih baik orang kan niat kamu untuk bermimpi jadi perwira, entah itu tentara atau polisi tidak membutuhkan orang seperti kamu, Jun."
Juli mengakhiri kalimatnya di sana setelah dia puas menghina saudara kembarnya.
"Kamu memang tidak bisa diandalkan," lirih Juli sembari berjalan menjauh darinya, menaiki anak tangga untuk sampai ke kamarnya.
Juni lagi-lagi kalah, dia tidak tahu harus berbicara apa, takut menyakiti hati Juli terlalu banyak. Rasa bersalahnya lah yang membuat dia diam, memilih mengalah.
••• Young Mama vs Little Daddy •••
Kompleks elit, Jakarta.
"Aku les dulu!" Anggar berteriak dari ambang pintu, menutup gerbang besinya. Supirnya sudah menunggu di depan sana, sesuai dengan pesanannya bahwa dia tetap berangkat les meskipun gerimis semakin gila. Katanya, pesona laki-laki yang tidak akan pernah padam hanya dua, kepandaian dan penampilan.
Meskipun tidak ada jawaban, Anggar yakin kalau seseorang pasti sudah mendengarnya. Jadi dia memutuskan untuk pergi pagi ini.
"Hei, anak mama!"
Baru juga dia ingin melangkah, dari kejauhan seseorang berteriak dengan lari pagi di tengah hujan yang dia lakukan, ah dia memang gila.
Anggar tahu siapa itu tanpa harus menunggunya mendekat. Di komplek ini, hanya ada satu setan berwujud manusia yang memanggilnya begitu. Katanya sih, panggilan sayang untuk sahabat dekat.
"Mau les, tuan muda?" tanyanya, melambaikan tangan. Berhenti dari larinya saat mendekat pada Anggar.
Anggar menghela nafas. "Mau sakit atau mau sehat?" tanya Anggar balik, sepertinya malas menjawab pertanyaan dari Sagara. Toh juga itu sudah jelas. Pakaian dan tas yang digendong sudah menjawab pertanyaan itu. "Joging di gerimis pagi hari, mau sakit atau mau sehat?"
Sagara terkekeh. "Kamu mulai mencintaiku? Kenapa jadi peduli?" --dia memang gila kalau sudah berhubungan dengan Anggar Tama Wijaya
Beginilah hubungan unik mereka. Abrisam Lakya Maheswara adalah pemimpin geng mereka, yang paling bijak dan paling pendiam. Paling pertama pergi kalau Anggar Tama Wijaya dan Sagara Caesar Adhirama cekcok hanya karena masalah kecil. Bahkan debu terinjak saja menjadi masalah untuk mereka.
Kalau Juni? Dia sisanya.
"Sudahlah. Aku terlambat," ucap Anggar, dia menyerah kali ini. Tak suka dengan hawa dingin hujan di pagi hari.
Baru saja dia ingin pergi dari hadapan pemuda ini, Sagara menahannya. "Kenapa kamu mau temenan sama kita?" tanyanya.
Pertanyaan bodoh yang berulang kali ditanyakan oleh Sagara untuk dirinya. Dia selalu mengabaikan itu, diam tidak mau menjawab dan pergi meninggalkannya pada akhirnya.
"Kamu penasaran banget pengen tahu jawabannya?" tanya Anggar balik, dia menatapnya dengan serius sekarang.
Sagara menganggukkan kepalanya kemudian. "Tentu saja. Jelas-jelas kamu bisa mendapatkan koneksi pertemanan yang jauh lebih baik dari kita semua. Kamu yang paling kaya dan kamu yang membuat kesenjangan sosial di antara kita," ucap Sagara. Sejak awal dia memang tidak suka dengan pemuda ini. Juni dan Isam saja yang terlalu baik menerimanya.
"Kamu yang paling kaya, kamu yang paling rajin, dan kamu yang paling pintar juga populer di sekolah. Kamu tidak perlu bergaul sama kita untuk mendapatkan banyak perhatian."
"Kamu menganggap aku melakukannya hanya untuk itu?" Dia adalah tipe pemuda yang bisa mengatur semuanya dengan tenang, meskipun dia sedang berhadapan dengan anak puber seperti Sagara.
Dia bisa menguasai semuanya. Bahkan sekarang ini dia berbicara dengan begitu tenang.
"Itu karena kalian yang paling sederhana, kalian yang paling mudah dimengerti dan pertemanan. Kalian yang mudah untuk diajak berteman dan diajak berdiskusi tanpa memandang siapa diriku."
"Aku memandang siapa kamu," sahut Sagara. "Itu sebabnya aku tidak suka kehadiran kamu di pertemanan kita, apalagi setelah mengetahui fakta bahwa kamu Lyne ..."
"Itu sudah terjadi di masa lalu, jadi kenapa kamu mempermasalahkannya sekarang?" tanya Anggar, dia berusaha untuk menyembunyikan perasaan tidak sukanya ketika urusan pribadinya dikulik begini.
Sagara tertawa, dia melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan lawan bicaranya ini. "Hei, tuan muda ....." Dia menepuk dada Anggar, membuat bajunya sedikit basah karena tangan Sagara terkena air hutan. "Kita ini sama-sama laki-laki, bahkan dari cara kamu memandang dia saja aku sudah bisa menebak isi hati kamu sama dia. Juga berpikir kalau Isam diam itu berarti dia tidak tahu apapun yang kamu rasakan untuk kekasihnya?"
Anggar mengerutkan keningnya.
"Kamu masih mencintai Lyne, itu tergambar jelas dari ekspresi wajah kamu dan cara kamu menatapnya, bangsat. Jadi berhenti berpura-pura dan membohongi kita semua," ucap Anggar. Emosi. "Pertemananku dengan Isam, cukup kuat dan bisa menjadi alasan untuk membuat kamu bapak belur sampai kehilangan wajah tampan kamu itu suatu saat nanti, Anggar. Maka sebelum itu, mundurlah pelan-pelan."
... Bersama ...