CleoRa, bimbel elit, Jakarta.
Dia turun dari mobilnya, berjalan ringan dengan payung yang melindungi si jangkung itu agar tidak terkena air hujan yang turun dari atas langit. Gerimis masih kokoh, sepertinya belum puas membasahi kota sejak satu jam yang lalu.
Hawanya pun semakin gila saja.
"Aku kira kamu gak masuk!" Seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya, membuat Anggar hampir saja tersentak.
Dia memelankan langkah kaki. Sungguh, ini di luar dugaan. Bertemu dengan Lyne pagi menjelang siang begini, di tengah hujan dengan dua payung warna berbeda. Begitu kontras antara merah dan bening.
"Ini bukan jadwal les kamu," sahut Anggar, tidak mau menjawab kalimat Lyne. Toh juga itu tidak perlu mendapat jawaban.
Lyne manggut-manggut. "Aku pindah jadwal les balet, jadi kursusnya juga pindah." Dia menjelaskan seadanya. Tidak muluk-muluk.
"Isam tahu soal itu?" Anggar menyambung lagi, sela-sela langkah kakinya dia menoleh ke arah Lyne.
Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Dia orang pertama yang aku beri tahu, makan sebelum Mama aku sendiri." Dia tertawa kecil. Menoleh ke arah pemuda yang sudah ada tadi menatapnya dengan ekspresi wajah datar.
"Kenapa menatapku begitu?" tanyanya, memprotes. Tidak nyaman dengan pandangan mata Anggar.
Anggar mengalihkan fokus. Menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa."
"Ngomong-ngomong, kamu tidak berniat untuk cari pacar?" tanyanya. "Hidup akan membosankan jika kamu hanya pergi les lalu pulang tidur dan besoknya sekolah lagi. Setidaknya kita harus menikmati masa muda," katanya lagi. Tiba-tiba saja dia merangkul lengan Anggar, membuat pemuda itu menoleh dan melirik ke arah genggaman jari jemari itu.
"Kalau ada yang lihat, Sagara bisa memaki-maki diriku lagi."
Lyne berdecak. "Persetan tentang Sagara, dia selalu begitu." Lyne menghela nafas. "Isam saja tidak masalah. Lagian kita teman sejak dulu, kita akrab," kata Lyne lagi. Terus menggelayut manja di lengannya.
"Tidak ada laki-laki dan perempuan yang saling akrab, Lyne." Pemuda itu melepaskan tangan Lyne dengan perlahan-lahan. "Ingat itu," tukasnya, dia menutup kalimatnya.
Anggar mempercepat langkah, berniat untuk pergi dari hadapan Lyne. Lagian mereka tak berada dalam satu kelas. Lyne berada di kelaa matematik jika dia tidak keliru, tetapi Anggar memilih fokus pada fisika minggu ini.
"Kenapa tidak?" tanya Lyne, sedikit mengeraskan suara. Rintik hujan menutupi itu, takut kalau Anggar tidak dengar.
Dia memandang dari jauh, kaki jenjang Anggar membuatnya lekas melangkah menjauh dari Lyne.
"Maksudku kenapa tidak boleh laki-laki dan perempuan berteman dekat?" tanyanya lagi. Tertawa. "Kamu berpikir aku akan jatuh hati sama kamu atau bagaimana?" Lyne menatap fisik Anggar dari atas ke bawah, jujur saja ... dia jauh lebih tampan dari Isam. Tubuhnya kekar dengan kaki jenjang dan kulit putih bersih. Wajah tampan itu menyempurnakannya. Rambut poni belah tengah yang jatuh di atas alis legam miliknya.
Lyne menyukai hidung Anggar yang lancip dan sempurna. Itu benar-benar keren, jarang orang Indonesia punya hidung mancung sempurna dan pas begitu.
"Kamu memang tampan, tetapi ... aku tipe setia," katanya membela diri. Tertawa lagi. Dasar bocah aneh. Moodnya naik turun kalau bertemu dengan Anggar.
"Bukan kamu ...." Anggar membuka suara. "Tapi aku." Setelah menyelesaikan kalimat singkatnya itu dia pergi dari hadapan Lyne.
Tentu saja yang baru saja terucap membuat gadis itu tidak bisa berkata-kata. Dia hampir saja berteriak, persetanan orang satu itu!
••• Young Mama vs Little Daddy •••
"Mama katanya tidak pulang malam ini," katanya. Memberi informasi. Itulah tujuannya berdiri di depan ambang pintu Juli. Dia memberanikan dirinya, mengganggu Juli adalah hal yang paling berbahaya. Apalagi itu di akhir pekan.
Juli tidak memberi jawaban. Dia hanya diam, menatap lawan bicaranya itu.
"Dia menginap di rumah Om Riam."
Deg! Jika jantungnya bisa berbicara maka dia akan mengumpat habis-habisan. Tidak menyangka mamanya akan segesit itu.
Juli hanya menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya apa yang dilakukan oleh wanita itu ...." Dia bergumam, hampir saja menutup pintunya. Namun, Juni menahan itu. Membuatnya terhenti di sana.
"Kamu ngapain?" tanya Juli. Emosi, tentu saja. "Ada yang mau kamu katakan lagi?"
"Tidak bisa kah kita akur, Jul? Kita dulu begitu. Sebelum papa meninggal." Juni memohon dengan pandangan matanya.
Juli menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya dengan tegas. "Tidak akan pernah."
"Jul ...."
"Kalau sudah selesai, pergi. Aku mau beristirahat. Besok senin aku ada ulangan, kalau tidak percaya tanya saja Lyne."
Juni diam. Terus menatap sepasang mata teduh milik saudari kembarnya. Entah bagaimana ceritanya keadaan semakin rumit saja, dia berusaha untuk menyatukan semua yang sudah renggang, tetapi pada kenyataannya dia selalu gagal untuk melawan keras kepala seorang Juli.
"Sudah selesai?"
Juni manggut-manggut. Dia mundur, memberi celah padanya untuk kembali menutup pintu.
Sesuai dengan dugaan, pintu dibanting dengan keras. Menandakan bahwa hati Juli semakin gila setelah mendengar kabar dari mamanya. Tentu saja, menerima itu bukan hal yang mudah untuknya. Juli terlalu menyayangi ayahnya, dia jauh lebih dekat dengan pria gempal itu ketimbang dengan mamanya.
"Beri tahu aku kalau kamu laper! Aku beliin ayam tepung ya?" Dia mencoba untuk menawari, tetapi yang ditawari hanya diam tanpa kata-kata. Sunyi mulai dirasa. Akhirnya Juni memilih untuk turun ke lantai dasar. Entahlah, dia akan pergi memberi ayam tepung sekarang. Tidak peduli mau dimakan atau tidak, setidaknya jika Juli mati kelaparan dia tidak akan disalahkan.
••• Young Mama vs Little Daddy •••
Perjalan membeli ayam tepung siang ini penuh dengan perjuangan, bukannya bagaimana, kenyataannya hujan semakin deras setelah berhenti selama beberapa menit sana. Angin berhembus sedikit kencang, seakan ingin menyeret tubuh Juni mengikuti arus air yang turun ke sisi selokan di pinggir jalan.
"Juni! Samar-samar suara menembus derasnya hujan yang turun. "Jun!" Dia memanggil lagi, sekarang Juni yakin itu bukan halusinasi. Jadi dia memutuskan untuk mencari sumber suara.
Menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak menemukan siapapun.
"Di atas sini!" Dia menyeru lagi. Sekarang kata itu berhasil menarik fokus Juni ke arah yang benar.
"Dara?" Juni mengerutkan keningnya, tentu saja dia tidak bisa mendongak dengan benar sebab hujannya begitu deras.
"Iya, aku Dara!"
Padahal Juni tak menyeru, dia hanya bergumam. Bagaimana bisa gadis itu menjawab dengan tepat.
"Masuklah, aku bukankan pintu!"
Belum juga Juni menolak, sebab dirinya tau Juli tak betah di rumah sendirian kalau hujan dan angin kencang menjadi satu begini. Dia sebenarnya adalah orang yang penakut.
Namun, sayangnya, Dara sudah menghilang dari balkon lantai atas, sepersekian detik kemudian, suara gerbang dibuka, Dara muncul dari sana.
"Masuklah! Aku buatkan teh!"
Juni diam sejenak. Menatap Dara, gadis ini lama menghilang lalu tiba-tiba muncul begitu saja. Anehnya, pikirannya pun diajak bernostalgia tentang fakta Dara adalah mantan kekasih Isam satu tahun yang lalu.
... Bersambung ...