Sepulang sekolah di awal minggu adalah hal yang paling disukai oleh Lyne. Dia membuat kesepakatan bersama mamanya kalau hari pertama, Senin, dia akan mengosongkan jadwal les dan baletnya. Alasannya? Lyne tidak ingin mengawali minggu dengan perasaan yang tak menyenangkan atau menghabiskan hari dengan hal yang melelahkan, jadi dia membuat keputusan itu.
"Rumah kamu besar banget," kata Isam, tamu Lyne siang ini. Katanya hanya mampir sejenak, Lyne butuh berganti pakaian sebelum mereka pergi nongkrong bersama yang lain, seusai dengan janji temu yang mereka sepakati sebelumnya.
Lyne menoleh ke arah sumber suara, dia melepaskan sepatunya. Berjalan naik ke lantai atas. "Mau melihat lantai atas juga?" tawarnya pada Isam, mengingat ini adalah kali pertama pemuda itu datang kemari.
Isam diam di tempatnya, duduk dengan rapi, dia adalah tamu meskipun ini rumah kekasihnya sendiri.
Bahkan satu ruangan saja sudah sama luasnya dengan satu rumah milik Isam di pinggiran kota.
"Naiklah. Kamarku juga ada di atas!" tuturnya, mengajak Isam untuk berdiri dari tempatnya.
Isam awalnya hanya diam, seperti orang kikuk. Sebelum akhirnya dia memantapkan dirinya untuk mengikuti Lyne naik ke lantai atas.
Dipimpin gadis itu, dia menunjukkan jalan, meksipun kenyataanya hanya ada satu tangga besar akses naik turun dari satu lantai ke lantai yang lain.
"Ngomong-ngomong, mama kamu kerja?" tanya Isam, memecah hening. Tak suka derap langkah kaki yang menggema tanpa suara.
Lyne manggut-manggut. "Pulang nanti malam atau paling cepat sebelum magrib," katanya pada Isam, menjawab seadanya. Dia bosan kalau ditanya pasal mamanya.
Isam menoleh ke kanan dan ke kiri. "Jadi kamu hanya tinggal sama mama kamu?"
"Setelah mama dan papa bercerai?" Dia manggut-manggut. "Benar. Ikut mama aku kira jauh lebih menyenangkan, tetapi lama kelamaan aku mulai bosan," jawabnya sembari tertawa kecil.
Isam menoleh pada satu titik, ada foto besar di sana. Foto keluarga, letaknya sedikit tersembunyi, tertutup oleh dinding besar di kanan dan kirinya.
Lyne yang menyadari kekasihnya tidak lagi mengikuti dia, kini berhenti. Tepat di depan ambang pintu kamarnya. Dia memutar tubuhnya, menatap Isam. Ternyata pemuda itu tertarik dengan foto yang terpasang di dinding ruangan.
"Foto mama, aku, dan papa," kata Lyne menyeru di tempatnya. Membuat Isam tersadar, dia seharusnya tidak begitu. "Hanya foto itu yang tersisa setelah pertengkaran mereka kala itu. Aku yang meminta mama untuk tidak menurunkan fotonya," kata Lyne. Tersenyum tipis.
Isam yang mendengar, merasakan goresan kecil di dalam hatinya. Lyne tipe gadis yang ceria, meskipun kenyataannya dia menyimpan banyak luka di dalam hatinya sebagai korban dari perceraian kedua orang tuanya.
Lyne sosok yang mudah tersenyum, kadang kala meksipun harus memasamkan wajahnya. Itu wajar, manusia punya mood yang naik turun bukan?
"Masuklah jika sudah puas memandangi itu," kata Lyne kemudian. Dia mendorong pintu kamarnya, membuka itu separuhnya dan masuk ke dalam.
Isam awalnya kembali fokus pada foto yang ada di sana, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Lyne. Tujuannya kemari untuk menemani Lyne.
Saat Isam membuka pintu kamarnya, dia terkejut bukan main melihat Lyne membuka kemeja seragam putih yang dia kenakan. "Sorry!" Pemuda itu segera memutar tubuhnya, memunggungi Lyne. "Aku ... g--gak sengaja." Dia melirih, menjatuhkan pandangan matanya. "Seharusnya aku ...."
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja derap langkah kaki terdengar. Sekarang Isam merasakan jari-jemari Lyne menyentuh tubuhnya.
Tentu saja pemuda itu sedikit terkejut, saat tiba-tiba saja Lyne memeluknya dari belakang. Meletakkan kepalanya di atas punggung lebar milik Isam.
"Lyne, kamu kenapa?" tanya Isam, melirih. Tidak biasa dia begini.
"Karena aku membahas tentang foto keluarga?" Isam kembali menambah. Dia sedikit tidak enak jika kekasihnya benar-benar merasa sedih hanya karena dia tidak sengaja menyinggung pasal foto keluarga itu. Isam juga sudah tidak punya seorang ayah, tidak ada sosok kepala keluarga di dalam keluarganya, jadi dia memahami apa yang dirasakan oleh Lyne.
Meskipun setidaknya dia jauh lebih kuat dari gadis ini.
Lyne menggelengkan kepalanya. "Toh juga aku yang menyuruh Mama untuk tetap memajang foto itu, alasannya karena aku terlihat cantik di sana," ucap Lyne. Masih memeluk kekasihnya dari belakang.
Isam tersenyum tipis, Lyne menggemaskan kadang kala.
"Hanya saja ...." Dia kembali mengeluh. "Beberapa hari ini ada yang mulai menggangguku, mungkin dua hari belakangan."
Isam melepaskan jari jemari Lyne yang saling bertautan di atas perutnya. Pemuda itu memutar tubuhnya, menatap Lyne.
"Apa?" Singkat, padat, dan jelas. Namun, nada bicaranya yang begitu lembut cukup untuk meluluhkan hati gadis itu. "Siapa atau apa yang mengganggumu?"
Lyne menghela nafas, wajahnya masam lagi, untuk yang kesekian kalinya. "Sebenarnya aku ingin bicara ini langsung padamu kemarin, tetapi setelah mendengar kabar dari Sagara kalau kamu ada pelatihan di lapangan, jadi aku tidak mau mengganggunya."
Isam manggut-manggut. "Katakan sekarang," titahnya. Dia menjadi pengertian kalau sudah bersama sang kekasih. Tingkat kesabarannya dan kepekaannya inilah yang membuat Lyne betah berada di sisinya.
"Siapa Haira Dara?" tanyanya. Secara tiba-tiba? Tidak. Lyne sudah memendam itu sejak kemarin, lebih tepatnya saat teman-teman baliknya mulai membicarakan pasal Dara dan masa lalunya yang menyangkut Abrisam, sang kekasih.
Isam didiamkan secara paksa dengan pertanyaan yang terkesan tiba-tiba. Sungguh, itu di luar dugaannya.
"Kenapa kamu malah diam saja?" Lyne mencoba untuk berpikir positif selama beberapa detik terakhir sebelum dia mendapati ekspresi wajah sang kekasih yang menjadi aneh. "Sepertinya kamu menyembunyikan itu dariku."
Lyne bukan tipe gadis yang akan merajuk dalam diam sebab kekasihnya tertangkap basah perselingkuh atau berhubungan lagi dengan mantan kekasihnya. Dia lebih baik mengutarakan itu semua dan blak-blakan padanya.
"Isam ...."
"Dia mantan kekasihku," kata Isam pada akhirnya. "Kita berhubungan di awal masa perkenalan sekolah sampai tahun pertama di akhir semester. Dia pindah ke luar kota sebab orang tuanya ada pekerjaan di sana. Dia yang memutuskan hubungan kita, meskipun waktu itu aku kokoh untuk mempertahankannya."
Di luar dugaannya, ternyata Isam begitu leluasa menceritakan semua itu.
Isam menatap Lyne. "Dari mana kamu tahu tentang dia?"
Lyne tersenyum miring. "Melihat ekspresi wajah kamu seakan-akan kamu kecewa karena aku mengetahuinya," sahut Lyne menyimpulkan.
"Bukan begitu ... aku hanya—" Lyne melepaskan pelukannya, tangannya dia turunkan dan langkah kakinya dia jauhkan. Lyne memilih untuk membuguminya dan berjalan ke sudut ranjang kemudian. Dia melepas kaos kakinya setelah duduk di sana.
"Aku akan ganti baju dan turun 10 menit lagi. Kamu bisa tunggu di bawah," katanya pada Isam.
Isam tahu, nada bicara Lyne jadi lain. Itu artinya gadis itu tidak suka, hatinya tidak nyaman.
"Lyne ..."
"Kamu sudah jujur, itu yang aku perlukan. Jadi kamu bisa menunggu di bawah dan aku akan turun," sahut Lyne lagi.
Namun, Isam keras kepala. Bukannya pergi keluar, dia malah masuk ke dalam. Berjalan mendekati Lyne, meraih wajahnya, dan mendongakkan kepalanya. Mencium bibir Lyne kemudian.
Begitulah caranya yang baru ketika Lyne marah dan tak suka hatinya. Dia akan mulai terbiasa.
... Bersambung ....