Desa Kemamang, kaki gunung Nagini 1998.
Warna jingga di atas langit sore yang tampak indah kini perlahan berubah menjadi merah darah mengerikan ketika matahari tertelan bumi. Malam itu gumpalan awan hitam pekat menaungi hutan lebat yang menjadi daerah terlarang bagi warga desa disekitarnya.
Hutan yang diyakini menjadi tempat para dedemit dan penunggu dunia lain tinggal. Petir menyambar-nyambar. Menghantarkan getaran dan suasana mencekam yang semakin menjadi-jadi.
Tetesan air hujan mulai turun perlahan. Mengaburkan pandangan jarak jauh.
Sementara itu dari arah hutan, seorang wanita muncul dengan tergopoh-gopoh berlari ke arah desa.
Penampilannya tampak mengenaskan. Wajahnya pucat dengan rambut hitam yang nyaris tertutup lumpur, serpihan daun dan ranting kecil. Kakinya telanjang, kotor dan tampak goresan kasar berdarah di beberapa bagian. Seolah wanita itu baru saja melewati tempat yang mengerikan yang penuh dengan duri dan benda tajam.
Tok … tok …
"Paman …. Buka pintunya!" wanita itu berteriak dengan suara kecil. Tubuhnya bergetar hebat.
Tak berapa lama pintu terbuka, menampilkan sosok laki-laki paruh baya yang berumur.
"Astaga, Ratih! Apa yang terjadi Nak." Laki-laki itu berseru panik. Suaranya membuat sang istri yang sedari tadi di dalam rumah ikut berlari menghampiri pintu.
"Ratih!" Sang istri berteriak. Wanita itu dengan sigap meraih tubuh menggigil keponakannya. Membawa masuk kedalam rumah kecilnya.
Sementara sang suami menutup pintu, Menyalakan lampu minyak untuk penerangan. kemudian menghampiri Ratih yang kini tengah duduk di kursi rotan.
"Apa yang terjadi Nak. Kenapa penampilanmu seperti ini," ucapnya.
Bahrudin, laki-laki paruh baya itu tidak habis pikir ketika menatap keponakannya yang berpenampilan mengerikan, lusuh dan kotor. Padahal ia ingat siang tadi keponakannya itu meminta izin mencari jamur di pinggiran hutan bersama teman sebayanya.
"Ratih, katakan pada Paman apa yang terjadi? Apa ada yang berbuat jahat?"
Ratih adalah wanita tercantik di desa mereka, kembang desa yang sering menjadi pusat perhatian para pemuda. Tidak jarang ada yang berniat tidak baik pada keponakannya itu.
Wanita bernama Ratih tidak mengatakan apapun. Wanita itu menunduk, menggeleng kan kepalanya beberapa kali. Hanya isakan kecil yang bisa didengar.
Tubuh kecilnya semakin bergetar hebat. Suaranya sesenggukan, tidak ada yang kalimat yang jelas terdengar di sana.
"Hu-hutan... Ul- ul, aar. Ratih, A-apii... Han-nan... tu." Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Menggenggam arat ujung pakaiannya sendiri kemudian isakan keras kembali terdengar.
Bahrudin mengerutkan alisnya kebingungan dengan apa yang diucapkan sang keponakan.
Sampai sang istri, Rahmi muncul seraya membawakan baskom air dan kain bersih. Wanita itu duduk di samping sang keponakan yang masih setia menunduk dan menangis.
"Nak Ratih, sini Nak, Bibi bersihkan dulu," ucapnya lembut.
Bahrudin menatap sang istri dan keponakannya dalam diam. Helaan nafasnya terdengar tidak stabil, meski ai menahan diri untuk tidak mendesak Ratih untuk bicara lagi.
Suasana semakin suram ketika tidak satupun dari mereka yang bicara.
Waktu berlalu dengan cepat. Malam semakin larut. Hujan semakin lebat. Angin bergemuruh hebat. Menyentuh ranting dan dahan, sehingga membuat suara ribut di atap genteng rumah.
Rahmi terbangun ketika suara decitan jendela di kamarnya berbunyi nyaring. Angin membuat jendela itu terbuka lebar. Angin dingin dan juga rembesan air hujan masuk dengan tiba-tiba.
Wanita itu menghela pelan. Ia menatap sang keponakan yang tidur di sampingnya. Tertutup selimut tipis yang sudah lusuh tanpa terganggu sedikitpun padahal suara gaduh di luar terdengar sangat nyaring.
Rahmi beranjak, langkahnya terhenti ketika tidak sengaja menatap sosok besar yang berdiri di bawah pohon beringin, tidak jauh dari rumah mereka. Matanya kuning kememasa, nyaris menyala, bagian tubuhnya tidak terlalu terlihat dengan jelas, tapi Ratih yakin ia tengah melihat ekor ular yang melingkar di akar pohon beringin.
Rahmi memejamkan matanya beberapa kali. Sampai sosok itu tiba-tiba menghilang.
Rahmi yang tersadar langsung menutup jendela. Ia terkejut saat berbalik dan mendapati sosok keponakanya yang tadi tertidur, kini duduk di atas kasur dengan mata merah melotot ke arahnya.
"Ra-ratih, kenapa Nak?" tanyanya gugup.
Sang keponakan tersenyum kecil. Namun semakin lama semakin lebar dan terlihat mengerikan.
"Harum, baunya harum..."
Kekekan kecil terdengar setelah Ratih bicara aneh. "Bayi ini harum sekali, darahnya harum. Apa aku harus merebutnya, sayang sekali dia kecil."
Rahmi tidak mengerti dengan apa yang dikatakan sang keponakan.
"Bayi siapa? Tidak ada bayi di sini," serunya.
"Bayinya harum, heheheh... sangat harum. Aku ingin memakannya."
Bertepatan dengan itu sosok Ratih, sang keponakan berubah menjadi sosok mengerikan berambut panjang, suaranya kekekan terdengar nyaring.
"Ahhhhh!"
Rahmi berteriak. Wanita itu berlari kesetanan meninggalkan sosok sang keponakan yang berubah mengerikan.
Ketakutan membuat pikirannya melayang-layang. Ia bahkan mendengar suara-suara auman yang begitu berat dan mengerikan. Semakin lama suara auman semakin jelas.
Ratih berlari memanggil sang suami yang tidur di kamar putra mereka yang baru berusia sepuluh tahun.
Namun ketika ia bersama sang suami kembali ke kamar Ratih. Wanita itu tidak ada di tempat tidurnya. Bahkan bantal dan selimut tipis itu terasa dingin. Seolah tidak pernah ada yang berbaring di atasnya sebelum itu.
Suasana semakin mencekam ketika mendapati fakta aneh yang baru saja mereka lalui.
Sampai suara ketukan kembali terdengar dari arah pintu luar. Bahrudin dan sang istri saling pandang beberapa saat sampai akhirnya ia beranjak membuka pintu.
Angin dingin mendadak masuk bersamaan dengan keterkejutan dari sang pemilik rumah.
"Ratih?" Bahrudin berseru bingung ketika mendapati sosok sang keponakan yang muncul berdiri di hadapannya.
Keadaanya tidak semengerikan sebelum ini. Hanya beberapa luka kecil di kakinya dan juga pakaian yang basah kuyup.
"Paman, Ratih kehujanan. Tadi sempat berteduh di rumah Dewi." Wanita itu menunjuk sosok wanita lain berdiri bersama sosok laki-laki paruh baya yang mengenakan payung.
"Hujan lebat Pak. Kami menahan Ratih dirumah sampai hujannya sedikit lebih reda." Jelasnya.
Bahrudin dan istri masih dalam keterkejutan yang sama. Keduanya hanya mengangguk dan mempersilahkan Ratih untuk masuk.
Sang istri menepuk pundak suaminya. "Tadi yang datang sebelum ini siapa Pa? Ratih yang ini asli, berarti siapa yang datang sebelumnya?"
Bahrudin tidak tau harus mengatakan apa. Ia sendiri juga kebingungan dengan kejadian yang tengah menimpa mereka.
Siang harinya Rahmi dan suaminya pergi bertanya pada tetua kampung. Ia menceritakan semuanya termasuk sosok keponakannya yang terlihat aneh tadi malam.
"Sepertinya ada yang aneh dengan keponakanmu itu. Apa dia akhir-akhir ini sudah bertingkah aneh?"
Tetua kampung bertanya sambil menghirup kopi pahit miliknya.
"Tidak Mbah, Ratih berteman seperti biasa."
"Apa dia sering masuk hutan?"
"Tidak, Ratih hanya minta izin mencari jamur di pinggiran hutan. Tidak sampai ke dalam hutan."
Tetua kampung itu mengangguk angguk paham. Ia menghela nafas pelan.
"Kita tunggu beberapa waktu. Menurut saya mungkin keanehan keponakanmu itu ada kaitannya dengan kebiasaannya yang sering ke pinggiran Hutan. Sosoknya secara tidak sengaja mengundang para dedemit untuk mendekat."
Rahmi tampak panik. Wanita itu ingat dengan sosok mengerikan di luar jendela malam tadi. Ditambah lagi dengan sosok Ratih palsu yang bicara aneh dengannya.
"Lalu bagaimana Mbah. Kami takut keponakan kami jadi semakin aneh."
"Berikan dia kalung ini." Tetua kampung menyerahkan kalung yang lebih mirip dengan tasbih namun maniknya jauh lebih kecil.
"Pasangkan ke keponakanmu itu. Ini akan mencegah makhluk penghuni hutan itu untuk mendekat."
Bersambung....