"Tampan.... dia tampan sekali."
"Sangat tampan. Rambutnya halus dan berkilau. Aku ingin menyentuhnya, tapi tidak bisa. Itu sangat panas."
"Lihat matanya. Tidak ada anak manusia yang memiliki mata seperti itu."
"Hihihi... dia kan bukan manusia."
"Apa dia siluman? Aromanya seperti manusia."
Lagi-lagi suara tanpa wujud yang terdengar di telinganya membuat remaja itu nyaris mengumpat pada udara.
Raka Bimantara, seorang remaja berwajah tampan dengan iris mata langka berwarna kuning emas dan menyala.
Seperti siluman...
Itu yang dikatakan oleh suara-suara tanpa jiwa si sekelilingnya. Karena mata itu juga Raka harus menyembunyikan keanehannya dengan lensa hitam normal.
Rambutnya hitam, halus. Wajahnya nyaris mendekati cantik dan Male di saat yang bersamaan. Tidak ada orang yang serupawan dia.
"Liat, dia bangun. Apa dia mendengar kita? Kau bilang dia siluman bukan?"
"Akan bagus jika dia melihat kita. Tapi sepertinya itu tidak terjadi. Kita sudah bersamanya sejak dia bayi, tapi dia tidak pernah menampakkan tanda-tanda jika dia bisa melihat kita."
"Sayang sekali. Padahal bagus jika dia menjadi suamiku kelak."
Prangkk...
Raka mendenggus kesal. Remaja itu sengaja menjatuhkan gelas minumnya. Membungkam para makhluk aneh itu agar tidak mengunjinginya lebih parah lagi.
Kepalanya sakit setiap malam hanya karna celotehan aneh itu.
Raka tidak lagi takut. Ia bahkan nyaris seumur hidupnya mendengar suara tidak berwujud itu. Ketika masih kecil, ia pernah mengadu pada ibunya. Alhasil ia dibawa ke beberapa tempat orang pintar, dimandikan dan diberikan kalung kecil yang menyerupai tasbih.
Milik ibunya...
Raka menghela nafas pelan. Ia mengusap rambutnya beberapa kali. Melirik tas besar di ujung ranjang.
'Besok ia akan meninggalkan rumah ini. Memulai kehidupan baru bersama ibunya di desa terpencil.'
"Sepertinya aku tidak akan bisa tidur kali ini."
****
Matahari pagi bersinar lebih terik dari biasanya. Raka masih mengusap-usap wajahnya setengah mengantuk. Ia sempat tertidur di dalam taksi ketika perjalanan ke stasiun tadi.
"Semua barang sudah dibawa?" Ratih bertanya pada sang putra. Menepuk pundaknya lembut.
"Sudah Ma," seru Raka.
Remaja tampan itu menenteng dua tas besar. Ratih berhenti pada kompartemen kosong, memasukkan bawaannya ke dalam rak bagasi di atas tempat duduk penumpang.
Raka tidak bicara. Ia melepaskan ranselnya, mengeluarkan ponsel dan headset sebelum kembali meletakkan ranselnya ke bagasi bersama barang lainnya.
Remaja itu duduk di dekat jendela, menyalakan music dari ponselnya sambil menunggu keretanya berangkat.
"Masih mengantuk?" Ratih bertanya pelan. Bibirnya tersenyum kecil walau sedikit pucat. "Tidur saja nanti kalau keretanya sudah jalan. Perjalanan kali ini akan memakan waktu lama."
Raka mengangguk. Ia sendiri tidak pernah mengetahui tentang desa terpencil yang menjadi tempat tujuan mereka itu. Tidak ada cerita atau referensi yang memuat desa itu. Yang ia ketahui hanya penjelasan dari sang ibu. Itupun tidak terlalu membantu sama sekali.
Ibunya hanya mengatakan desa Kemamang itu salah satu desa terpencil yang letaknya di kaki gunung Nagini. Kawasannya tidak terlalu luas, mengingat desa itu diapit oleh gunung dan hutan lebat di sekelilingnya.
Tidak ada listrik, hanya penerangan bantuan dari genset yang terbatas. Hampir seluruh penduduknya masih tidak tersentuh teknologi luar. Itulah yang Raka ketahui.
Alasan yang sama saat Raka menolak keputusan mamanya saat itu. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal. Ia seperti akan hidup di zaman primitif kembali.
Raka menghela nafas pelan. Matanya tidak bisa terpejam walau sebelumnya ia sangat mengantuk.
"Tidur saja Raka, keretanya sudah berangkat." Ratih kembali mengingatkan sang putra.
Raka mengangguk. Remaja itu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Menatap pemandangan di luar yang bergerak cepat, ketika keretanya sudah melaju.
Raka menghela napas Panjang beberapa kali. Perjalanan kali ini akan memakan waktu yang jauh lebih lama dan ia bahkan tidak bisa memejamkan matanya lagi sepanjang jalan.
Kereta berhenti tepat di stasiun. Raka merenggangkan tubuhnya. Duduk hampir empat jam membuat tubuhnya kaku.
"Kita akan naik ojek sampai ke gerbang desa." Ratih berseru sambil membawa barang bawaannya.
"Naik ojek? Tidak ada taksi Ma?"
"Tidak ada. Akses jalan ke desa sedikit sulit."
'Kacau...'
Rasa kesalnya semakin menjadi-jadi. Raka sudah menduganya hal-hal seperti ini memang akan terjadi mengingat desa itu desa terpencil.
Ah, bahkan nama desanya saja mungkin tidak ada di dalam peta.
"Jangan hanya mengeluh Raka. Bantu Mama mencari ojek."
****
Raka tidak suka. Remaja itu benar-benar tidak menyukai tempat ini. Tidak ada yang berjalan dengan mulus.
Desa Kemamang adalah desa terburuk yang pernah Raka ketahui. Akses jalannya sangat buruk, lumpur dimana mana. Rumput tumbuh liar di sisi kanan dan kiri jalan. Bahkan ada yang tumbuh di tengah-tengah.
Ketika mereka tiba di gerbang desa, hujan kecil turun. Membasahi baju dan barang bawaannya. Namun ibunya menolak untuk berteduh.
"Pamanmu akan datang sebentar lagi. Hujan tidak akan lebih besar dari ini," seru Ratih.
Raka mengangguk setengah jengkel. Remaja itu berdiri di samping ibunya, sesekali mengamati keadaan di sekitarnya yang nyaris dipenuhi oleh semak belukar dan pohon-pohon besar yang berlumut.
Suasana sedikit menakutkan. Gelap, entah karena matahari yang terhalang pohon besar atau hujan gerimis yang sedang berlangsung. Padahal masih dua jam lagi sebelum senja menyapa.
Srek... srek...
Raka menoleh ke arah semak-semak. Alisnya terangkat sedikit. Telinganya terlalu sensitif ketika mendengar suara di sekitarnya.
"Ada apa?" Ratih bertanya ketika melihat tingkah sang putra yang sedikit aneh.
"Ada suara di balik semak."
"Suara?"
Ratih mengikuti arah pandangan putranya. Mengamati sebentar sebelum ia menghela nafas pelan.
"Tidak ada apapun disana Raka. Itu hanya semak belukar yang tidak terurus."
"Tapi tadi ada suara-" Raka berseru yakin. "Apa mama tidak mendengarnya?"
Suaranya terlalu keras untuk didengar. Ia bahkan yakin dalam radius lima ratus meter ke depan suara itu juga terdengar dengan jelas.
Ratih menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apapun di sana. Mungkin hanya suara tetesan air dari ranting yang jatuh."
Raka terdiam beberapa saat. Ia yakin telah mendengar sesuatu. Sampai remaja itu setuju dengan ibunya. Menganggap suara yang tadi hanya halusinasi.
Srek... srek...
Degh....
Raka kembali menoleh. Kali ini ia yakin mendengarnya dengan jelas. Suara seseorang yang menabrak semak belukar. Suara ranting kecil yang patah dan juga suara sesuatu yang terseret di atas ranting daun dan tanah. Suaranya jauh lebih nyaring dari sebelumnya.
"Ma... ada suara lagi-"
"Raka, astaga. Mama bilang tidak ada apapun di sana. Jika ada pun hanya hewan liar, jangan terlalu menanggapi apa yang kau lihat. Pura-pura saja tidak mendengarnya."
Raka mengangguk setuju. Ia tidak bisa mengatakan apapun lagi atau merengek pada ibunya seperti ia kecil dulu. Walaupun kali ini ia merasa ada sesuatu di belakangnya.
Mengawasi di balik semak belukar yang rimbun.
Bersambung....